Halloween Costume ideas 2015
Latest Post

AMNews - Satuan Reserse Kriminal (Reskrim) Polres Lhokseumawe menangkap oknum pimpinan dayah berinisial AI (45) dan oknum guru ngaji MY (26) pelaku pelecehan seksual terhadap 15 orang santri di salah satu dayah ternama di Kota Lhokseumawe.

Dari 15 korban yang menjadi korban pelecehan seksual kedua pelaku hanya lima korban yang melaporkannya ke pihak Kepolisian yakni R(13), L (14), D(15), T (13), A (13). Kapolres Lhokseumawe AKBP Ari Lasta Irawan mengatakan, 29 Juni 2019 lalu pihaknya menerima laporan dari salah satu keluarga korban, kemudian petugas mendatangi rumah korban langsung memintai keterangan dari orang tua dan korban sendiri.

“Jadi kasus ini sengaja kita gelar supaya masyarakat tau dan pemerntah juga mengetahui atas kejadian yang menimpa santri-santri ini, sehingga setelah kita tangkap dua pelaku ini bisa menjadi pembelajaran untuk orang lain,” kata Kapolres didampingi Kasat Reskrim Indra T Herlambang dan Kanit PPA Ipda Lilisma Suryani saat konferensi pers di Mapolres Lhokseumawe, Kamis (11/7).

Sambungnya, aksi tersebut dilakukan oleh oknum pimpinan dayah dan oknum guru ngaji itu secara bergiliran, adapun modus yang dilakukan pelaku yakni dengan doktrin ilmu agama, karena korban yang tidak kuat menahan tindakan dari pelaku kemudian melaporkannya ke orangtuanya.

“Setelah menerima pengaduan dari anaknya, orangtua korban yang tidak bisa menerima hal itu kemudian melaporkannya ke pihak Kepolisian. Dan setelah kita mintai keterangan dari pelaku diketahui kurang lebih 15 orang yang sudah menjadi korban perbuatan bejat itu,” ungkapnya.

Pelecehan seksual yang dilakukan AI terhadap R sebanyak lima kali, L tujuh kali, D sebanyak tiga kali, T sebanyak lima kali dan A sebanyak dua kali.

“Saat ini kedua pelaku sudah kita amankan untuk proses penyelidikan,” pungkasnya.

Sumber: ajnn.net

Pertemuan pimpinan parpol anggota KAB (Foto: Muhammad Saleh/MODUSACEH.CO)
AMNews -  Tujuh partai politik lokal dan nasional di Aceh kembali melanjutkan dan membentuk koalisi di parlemen Aceh (DPRA) untuk lima tahun mendatang. Namanya tetap; Koalisi Aceh Bermartabat (KAB). Tujuh parpol tadi adalah, Partai Aceh (PA), Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nanggroe Aceh (PNA), Partai SIRA dan PKPI.

Pertemuan yang digagas bersama ini, dipimpin langsung Ketua DPA PA, H. Muzakir Manaf atau akrab disapa Mualem, Minggu (8/7/2019) di Banda Aceh. Rapat dihadiri sejumlah ketua dan sekretaris parnas dan parlok, peserta koalisi serta juru bicara Komite Peralihan Aceh (KPA) Azhari Cage.

Anggota DPR Aceh dari PA ini memang cukup berperan dalam membangun lobi dan komunikasi dengan sejumlah parnas dan parlok hingga lahirnya KAB jilid dua tersebut. “Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, kami telah sepakat bersama-sama, melakukan kerjasama dan membentuk Koalisi Aceh Bermartabat,” kata Mualem, kepada media ini, usai pertemuan.

Menurut Mualem, koalisi akan terus berlanjut hingga di parlemen Aceh. “Kami memang berbeda kamar atau partai. Namun, ibarat rumah, tetap bersatu demi masa depan Aceh lebih baik dan bermartabat,” sebut Mualem.

Itu sebabnya kata Mualem, anggota koalisi sadar betul tentang, fungsi, peran dan tugasnya sebagai wakil rakyat di parlemen Aceh. Terutama posisi dan kedudukan anggota DPR Aceh sebagai wakil rakyat dan perpanjangan tangan partai di parlemen.

“Kami akan melanjutkan berbagai program kerjasama yang sudah baik selama ini (KAB pertama) dan terus berikhtiar untuk menyempurnakan berbagai kelemahan yang ada,” sebutnya.

Mualem berharap dan menilai, sejak kesepakatan ini dicapai, maka setiap pimpinan parpol koalisi terus membangun komunikasi dan relasi antar sesama anggota koalisi. Sebab, komunikasi merupakan kunci dari berbagai keberhasilan dari perjuangan partai terhadap kesejahteraan rakyat Aceh masa datang. Misal, mengadakan pertemuan rutin bulanan atau tiga bulanan serta program pembangunan yang berpihak pada rakyat.

“Dengan komunikasi yang baik, tentu berbagai masalah yang terjadi di Aceh dapat kita bicara dan selesaikan, demi mewujudkan dan mengawasi berbagai program pembangunan yang memihak kepada rakyat Aceh,” papar Mualem.

Tegas Mualem. “Yang perlu kita sadari bersama adalah, anggota dewan itu dipilih dari rakyat. Maka, tugas kita bersama sebagai pimpinan partai untuk mengawasi dan menjaga mereka agar tetap berpihak kepada rakyat melalui berbagai program pembangunan selama lima tahun ke depan,” tegas Mualem.

Sekedar catatan, sesuai hasil keputusan KIP Aceh, jumlah perolehan kursi di DPR Aceh berjumlah 81, ada 46 diantaranya bergabung dari KAB di DPR Aceh Periode 2019-20224. Misal, Partai Aceh (18 kursi), Gerindra (8), PAN (6), PNA (6), PKPI (I) dan SIRA (1), PKS (6). Ini berarti, ada 35 kursi lagi milik parnas dan parpol di luar KAB seperti, Partai Demokrat  (10 kursi), Golkar  (9), PPP (6) PKB (3), PDA (3), Nasdem (2 kursi) dan Hanura (1) serta PDIP (1).[Modus Aceh]

Ilustrasi
AMNews - Hujan baru saja reda, jarum jam menunjukkan waktu tengah malam. Suhu udara terasa dingin hingga menusuk tulang. Seorang putri remaja duduk sembari mengutak-atik ponsel di sudut sebuah kafe di Kota Lhokseumawe, Aceh.

Seharusnya tengah malam begini, anak dara itu tidak lagi berkeliaran. Tapi ia bukan dara biasa. Ia sengaja mangkal di situ, mencari penghasilan dengan menggaet pria hidung belang.

Jangan bayangkan gadis itu memakai pakaian seksi. Ia mengenakan celana jeans agak ketat dipadu kaos lengan panjang, dan rambutnya tertutup jilbab. Terlihat sama seperti perempuan Aceh pada umumnya, hanya saja ia menggunakan celana jeans.

Sebut saja namanya Rindu (bukan nama sebenarnya). Ia sering dibawa lelaki hidung belang ke kamar hotel di pusat Kota Medan, Sumatera Utara.

Rindu bercerita kepada Tagar, mereka yang menggunakan jasa syahwatnya biasanya lelaki berusia dewasa dengan dompet tebal. Tarifnya minimal Rp 2 juta.

“Biasanya aku komunikasi melalui Facebook dan WhatsApp, melakukannya di Medan. Tidak pernah di Aceh, agar tak ada yang tahu, sehingga rahasia tetap terjaga,” ujar Rindu.

Bukan alasan itu saja. Tujuan lain menggunakan layanan jasa syahwatnya di Medan karena kondisinya lebih aman apabila dilakukan di hotel berbintang, dan apabila dilakukan di Aceh bisa saja nantinya akan kena cambuk.

Tidak Puas dengan Suami

Kasih (bukan nama sebenarnya). Perempuan berambut pirang ini tinggal di Kabupaten Aceh Utara. Ia memiliki suami dan anak. Pada tahun ini anaknya memasuki pendidikan di perguruan tinggi.

Kasih menjalani pekerjaan sebagai pekerja seks komersil (PSK) online selama dua tahun terakhir. Biasanya ia menggaet tamu dengan menggunakan aplikasi jejaring sosial Facebook dan WhatsApp. Setelah ada kesepakatan, komunikasi berlanjut melalui telepon.

Ia bercerita, terjun ke dunia gelap ini pada awalnya karena tidak mendapatkan kepuasan seksual dari suami. Berikutnya ia melakukannya untuk mendapatkan tambahan penghasilan.

“Saya tidak mendapat kepuasan saat berhubungan intim dengan suami, makanya saya menjalani ini. Selain itu supaya bisa mendapatkan uang lebih, untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari,” ujar Kasih.

Mereka yang menggunakan jasa Kasih pada umumnya adalah pria yang tinggal di Kota Medan. Mereka bertemu di salah satu hotel di Kota Binjai, Sumatera Utara. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga rahasia tamu jangan sampai ketahuan istrinya.

Saat pergi untuk melayani lelaki hidung belang yang memesannya di Kota Binjai, Kasih mengatakan kepada suaminya, ia pergi untuk bekerja di rumah temannya selama beberapa hari.

Sekali memberikan layanan seksual, Kasih mendapatk uang Rp 2 juta, kadang kadang ada yang memberinya Rp 5 juta.

Kasih yakin suami tidak mencurigainya sama sekali karena ia sangat rapi menyimpan rahasia pekerjaannya tersebut. Apalagi anak-anaknya, sama sekali tidak tahu pekerjaannya seperti itu.

Ia juga mengaku melayani pria hidung belang lokal yang ingin menggunakan jasanya. Namun dia lebih suka dibawa ke wilayah Binjai, karena menurutnya lebih terjamin keamanannya.

    Saya tidak mendapat kepuasan saat berhubungan intim dengan suami, makanya saya menjalani ini. Selain itu supaya bisa mendapatkan uang lebih, untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kasih juga melayani pria hidung belang di rumah kawannya di kawasan Aceh Utara. Teman wanitanya itu telah bersuami, hanya saja suaminya sedang bekerja di Malaysia.

Untuk melakukan praktik syahwat di rumah tersebut, pelanggan lokalnya harus membayar Rp 200 ribu untuk satu jam, dan biaya jasa Rindu sebesar Rp 300 ribu untuk satu jam. Apabila ingin memperpanjang waktu layanan, harga tersebut tinggal diakumulasikan saja.

“Rumah ini cukup aman, karena orang tahu kawan saya itu punya suami, hanya saja kerja di Malaysia. Lagian pula di rumah itu ada anak-anaknya juga, jadi orang tidak curiga kalau kita bawa laki-laki,” tutur Rindu.

Syahril Ramazan asal Desa Lhok Bintang Hue, Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara di Rumah Sakit Palang Merah Indonesia (PMI) Jalan Samudera, Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe, Selasa (9/7/2019).(KOMPAS.com/MASRIADI)
AMNews - Tangis bayi berusia 44 hari pecah memenuhi ruang perawatan di Rumah Sakit Palang Merah Indonesia (PMI) Jalan Samudera, Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe, Selasa (9/7/2019).

Syahril Ramazan, bayi dari pasangan M Amin dan Ade Suraya itu merasakan sakit yang dahsyat pada punggungnya. Dokter memberitahu warga Desa Lhok Bintang Hue, Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara itu bahwa Syahril menderita kanker.

Rasa sakit dan tidak nyaman saat berbaring di ranjang rumah sakit membuat Syahril terus-menerus menangis. Kondisi tersebut semakin membuat panik kedua orangtua Syahril.

“Kondisinya kian memburuk. Saya mohon Allah menyembuhkan anak saya. Dia sudah sangat menderita dengan sakitnya,” kata Ade dengan mata berkaca-kaca.

Saat ini, Ade mengaku hanya bisa mendoakan kesembuhan buah hatinya. Sang suami tidak bisa menemani, karena harus bekerja mencari uang untuk membantu biaya perawatan.

Sehari-hari, Ade bekerja sebagai petani. Sementara suaminya, bekerja sebagai pedagang es krim keliling. Sebulan terakhir, kondisi Syahril kian memprihatinkan, meski luka di bagian punggungnya mulai mengering.

Saat ini, dokter rumah sakit itu terus berupaya menangani luka yang ditimbulkan akibat kanker tersebut. Keluarga berharap Syahrial dapat sembuh, agar pulih dan tumbuh layaknya anak seusianya.

“Tapi saya yakin dia akan sembuh,” ujar Ade.[Kompas.com]

AMNews - Forum Komunikasi Ormas dan OKP Pengawal Syariat Islam Kota Lhokseumawe mengecam kegiatan liga sepakbola Menpora bagi perempuan tingkat Provinsi Aceh yang akan dilaksanakan di Stadion PT Perta Arun Gas, Lhokseumawe. Mereka menuntut Pemerintah Aceh dan Badan Liga Sepakbola Pelajar Indonesia (BLiSPI) membatalkan seleksi dan pengiriman delegasi tim sepakbola U-17 putri Aceh ke tingkat nasional.

Kecaman dan tuntutan itu disampaikan Koordinator Forum Komunikasi Ormas dan OKP Pengawal Syariat Islam Kota Lhokseumawe, Tgk. Sulaiman Lhokweng, dalam konferensi pers di Masjid Agung Islamic Center Lhokseumawe, Kamis, 4 Juli 2019, siang.

Menurut Tgk. Sulaiman Lhokweng, Forum Komunikasi Ormas dan OKP Pengawal Syariat Islam Kota Lhokseumawe telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor: 024/FK/LSM/2019 tentang Menolak Segala Bentuk Kegiatan yang Bertentangan dengan Syariat Islam dan Kearifan Lokal Masyarakat Aceh. Hal itu terkait pemilihan dan penetapan tim Provinsi Aceh yang telah dan akan dilaksanakan pada 30 Juni sampai 14 Juli 2019 di Stadion PT PAG, Batuphat, Kota Lhokseumawe. Di mana tim Provinsi Aceh nantinya akan mengikuti liga sepakbola berjenjang piala Menpora atau Liga Menpora tahun 2019 untuk usia 14, 16 dan 17 tahun putri yang akan dilaksanakan mulai akhir Juli hingga awal September 2019 secara nasional.

"Tentunya ini sangat disayangkan bahwa di Aceh sudah ada liga sepakbola perempuan untuk usia 14, 16 dan 17 tahun. Seluruh OKP dan Ormas bersatu untuk menolak kegiatan tersebut," ujarnya.

Menurutnya, seleksi dan pengiriman delegasi tim sepakbola U-17 putri Aceh ke tingkat nasional itu bertentangan dengan marwah masyarakat Aceh. Untuk itu, pihaknya menuntut pihak pengelola Stadion PT PAG agar lebih selektif dalam memberikan izin tempat, terlebih kegiatan yang dinilai bertentangan dengan syariat Islam dan kearifan lokal di Aceh.

"Kita juga menuntut permintaan maaf dari BLiSPI kepada seluruh umat Islam Kota Lhokseumawe dan Aceh secara umum. Karena telah melukai perasaan dan kearifan lokal masyarakat Aceh, dengan mengeksploitasi perempuan Aceh di bidang sepakbola," katanya.

"Ini menyangkut marwah masyarakat Aceh. Pemerintah dalam hal ini Gubernur Aceh harus melihat kegiatan yang dilakukan oleh pihak terkait agar jangan asal ada kegiatan saja. Artinya, kegiatan itu harus ada nilai positif dan juga menjamin bagaimana berlangsungnya syariat Islam di Aceh. Tapi kita melihat sepakbola untuk putri ini sangat menyedihkan, dan bahkan kita sebagai rakyat Aceh malu dengan provinsi lain. Kok masih ada acara seperti ini khususnya di Aceh," ujar Tgk. Sulaiman.

Tgk. Sulaiman melanjutkan, pihaknya sudah sepakat bahwa sepakbola putri itu harus segera dihentikan, karena dikhawatirkan nanti ada masyarakat yang tidak bisa mengontrol emosi, dan jangan sampai terjadi hal yang tidak diinginkan.

"Kita mengingat ini bukan cuma kerugian biasa, tetapi ini merupakan kerugian yang sangat luar biasa," pungkasnya.[portalsatu.com]

AMNews - Setyono Djuandi Darmono atau orang mengenal dengan sebutan S.D. Darmono menyebut, pendidikan agama tidak perlu diajarkan di sekolah. Agama cukup diajarkan orangtua masing-masing atau lewat guru agama di luar sekolah.

“Mengapa agama sering menjadi alat politik? Karena agama dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Di sekolah, siswa dibedakan ketika menerima mata pelajaran (mapel) agama. Akhirnya mereka merasa kalau mereka itu berbeda,” kata Darmono usai bedah bukunya yang ke-6 berjudul Bringing Civilizations Together di Jakarta, Kamis (4/7/2019).

Tanpa disadari, lanjut chairman Jababeka Group ini, sekolah sudah menciptakan perpecahan di kalangan siswa. Mestinya, siswa-siswa itu tidak perlu dipisah dan itu bisa dilakukan kalau mapel agama ditiadakan.

Sebagai gantinya, mapel budi pekerti yang diperkuat. Dengan demikian sikap toleransi siswa lebih menonjol dan rasa kebinekaan makin kuat.

“Siswa harus diajarkan kalau mereka itu hidup di tengah keanekaragaman. Namun, keanekaragaman dan nilai-nilai budaya itu yang menyatukan bangsa ini, bukan agama,” tegasnya.

Kalau agama yang dijadikan identitas, lanjut Darmono, justru akan memicu radikalisme. Ketika bangsa Indonesia hancur karena radikalisme, belum tentu negara tetangga yang seagama bisa menerima.

“Kita harus jaga bangsa ini dari politik identitas (agama). Kalau negara ini hancur, yang rugi kita sendiri. Memangnya kalau kita pindah ke negara lain yang seagama, kita bisa diterima, kan tidak. Makanya rawatlah negara ini dengan nilai-nilai budaya, bukan agama,” bebernya.

Dia menyarankan Presiden Joko Widodo untuk meniadakan pendidikan agama di sekolah. Pendidikan agama harus jadi tanggung jawab orang tua serta guru agama masing-masing (bukan guru di sekolah). Pendidikannya cukup diberikan di luar sekolah, misalnya masjid, gereja, pura, vihara, dan lainnya.

“Kalau mau merawat persatuan dan kesatuan bangsa, itu harus dilakukan. Cuma saya melihat presiden tersandera oleh berbagai macam kepentingan politik. Jika ini tidak diubah, sampai kapan pun agama akan dijadikan alat politik indentitas,” tandasnya. (JPNN)

PADA tahun 1944, pemikir anti-kolonial Karibia, Eric Williams, menulis karya klasiknya Capitalism and Slavery. Buku itu berargumen bahwa kekayaan melimpah yang dipompa Inggris dari perkebunan-perkebunan budak di Hindia Barat pada abad ke-18, berkontribusi secara signifikan bagi Revolusi Industri, dan karena itu juga bagi kelahiran kapitalisme modern.

Tetapi dalam diskusi ini, Belanda dan kerajaan kolonialnya diabaikan. Seringkali sejarawan imperial konservatif di Belanda melihat pertanyaan tentang kontribusi perbudakan bagi kapitalisme sebagai sesuatu yang tidak relevan karena Belanda cukup terlambat dibanding Inggris dalam melewati revolusi industri. Argumen ini mengabaikan peran penting kapital dagang Belanda bagi terobosan yang lebih luas dari kapitalisme Eropa. Secara umum, sejarawan-sejarawan ini biasanya berargumen bahwa kontribusi perbudakan di Hindia Belanda adalah kecil. Mereka juga cenderung untuk memperlakukan sejarah kolonisasi, kekerasan dan perbudakan di Amerika secara terpisah dari sejarah kolonialisme Belanda di Asia, seolah-olah keduanya tidak berkaitan Namun, narasi ini mulai bergeser, bahkan di antara sejarawan-sejarawan yang bekerja di Belanda. Ini dapat menolong untuk menyediakan landasan bagi penulisan kembali sejarah keterlibatan global kerajaan Belanda dalam perbudakan, yang mempertemukan dunia sekitar Samudra Atlantik dan Samudra Hindia dan yang menunjukkan bagaimana kekayaan yang ditimbun di kedua belahan bumi ini menyuplai akumulasi kapital Eropa, dengan kapital Belanda sebagai inisiator, penegak, pengorganisir, dan penengah.

Pedagang-pedagang Belanda terlibat dalam perbudakan global sejak abad ke-16. Mereka tetap berperan demikian hingga paruh pertama 1860-an, ketika Belanda menjadi bangsa terakhir Eropa yang secara formal menghapus perbudakan di koloni-koloninya. Bahkan setelah itu Belanda memberlakukan kerja paksa yang lebih parah lagi kepada subjek-subjek yang sebelumnya diperbudak. Di Hindia Belanda, hal ini diorganisir dalam bentuk “sistem tanam”, yang telah menggantikan perbudakan dengan tipe kerja paksa lain pada periode sebelumnya. Di Suriname dan koloni-koloni Belanda lainnya di Karibia, dekrit emansipasi tahun 1863 menuntut 10 tahun tambahan di perkebunan, di mana populasi Afrika diwajibkan untuk terus bekerja untuk tuan-tuan mereka yang sebelumnya. Peran kerajaan Belanda dalam perbudakan global bersifat ekstensif, termasuk transportasi dan penjualan ratusan ribu tawanan di wilayah Samudra Atlantik dan Samudra Hindia, dan operasi kerja perbudakan di koloni-koloni yang pada titik-titik tertentu mencakup Brazil Utara, New Amsterdam (sekarang New York), Suriname, Afrika Selatan, Indonesia hari ini, Sri Lanka, dan banyak bagian lain Asia. Eksperimen skala besar pertama dengan perkebunan budak oleh Belanda tidak dilakukan di Barat, tetapi di Pulau Banda di Maluku Selatan, tempat pala dihasilkan, setelah Gubernur VOC Jan Pieterszoon Coen mengorganisir genosida penduduk lokal. Di mayoritas area di bawah kontrol VOC, Belanda mengombinasikan perbudakan dengan banyak bentuk kerja paksa lain. Ini berbeda dengan koloni-koloni di Atlantik seperti Suriname, yang sepenuhnya diorganisir di sekitar institusi perkebunan budak Afrika di mana bentuk-bentuk lain dari kerja paksa pada penduduk asli didorong sampai ke marjin.

Sebagaimana yang terjadi pada Inggris dan Perancis, gelombang terakhir dari bentuk klasik perbudakan dagang yang sentral posisinya dalam argumen Eric Williams, terjadi di kerajaan Belanda sepanjang abad ke-18, ketika sirkuit perdagangan dan keuangan Atlantik meledak dengan skala masif. Dan sebagaimana Williams sendiri mengusulkan sekian dekade lampau, pemasukan-pemasukan utamanya tidak ditarik dari perdagangan budak saja, tetapi dari barang-barang yang diproduksi dari perkebunan oleh kerja-kerja para budak: gula, kopi, tembakau, nila, kakao dan produk-produk lain pasar Eropa. Minggu ini, kolega saya Ulbe Bosma dan saya akan menerbitkan artikel panjang dalam jurnal utama tentang sejarah sosial dan ekonomi di Belanda yang menantang anggapan bahwa Belanda hanya menarik keuntungan ekonomi yang marjinal dari perkebunan budak abad ke-18 di wilayah Atlantik. Artikel ini merangkum hasil kerja tim peneliti yang dalam 5 tahun terakhir melihat pentingnya perbudakan di Hindia Belanda bagi ekonomi Belanda. Dengan mengambil tahun 1770 sebagai titik awal, yang adalah tahun rata-rata paruh kedua abad ke-18, kami menunjukkan bahwa 5,2 persen dari PDB Belanda bersumber langsung dari perkebunan budak. Angka itu sendiri telah menunjukkan bahwa kita bicara tentang sektor yang besar. Baru-baru ini, sebuah studi yang dilakukan oleh ekonom-ekonom Amerika Serikat yang bekerja untuk pemerintah federal menyimpulkan bahwa bobot seluruh “ekonomi digital” — lembah Silikon, e-commerce, infrastruktur digital hingga atau mencakup perusahaan-perusahaan kabel — adalah sekitar 6,5 persen dari PDB Amerika Serikat hari ini. Namun, persentase PDB hanya menunjukkan kepada kita sepenggal kisah tentang bobot ekonomi dari perbudakan. Adalah penting juga untuk memahami di mana pemasukan-pemasukan ekonomi dari perbudakan itu mendarat. Dalam kasus Belanda, sebagian besarnya adalah di sektor komersial yang masif yang berlokasi di bagian Barat negara tersebut, provinsi terkata di Belanda yaitu Holland. Di sana, menurut perhitungan kami, pada 1770 10,36 persen dari PDB-nya berasal dari perbudakan di Atlantik. Bahwa persentase ini begitu tinggi adalah hasil langsung dari pentingnya barang-barang yang diproduksi budak dalam sektor dagang Belanda, yang masih mendominasi ekonomi pada saat itu. Dari semua barang yang melalui pelabuhan Belanda, 19 persen diproduksi langsung oleh para budak. 4 hingga 5 persen lainnya adalah barang-barang untuk kebutuhan perkebunan dan kapal-kapal budak.

Ibukota Belanda diuntungkan bukan hanya dari eksploitasi koloni-koloni budak yang dikontrol oleh perusahaan-perusahaan kolonial Belanda dan negara. Dari masa Revolusi Belanda di abad ke-16 dan setelahnya, Amsterdam telah berfungsi sebagai penghubung krusial perdagangan dan keuangan yang lebih luas di Eropa. Pada abad ke-17, peran distribusi ini telah melibatkan perdagangan barang-barang kolonial, tetapi secara absolut perdagangan-perdagangan Eropa mendominasi sirkuit investasi kapital. Hal ini secara bertahap berubah di abad ke-18, ketika Belanda kalah bersaing di area-area lain, tetapi sanggup mengompensasikannya dengan menambah bobot perdagangan barang-barang kolonial baik dari wilayah Samudra Atlantik maupun Samudra Hindia. Pada paruh kedua abad ke-18, Belanda bukan hanya mengimpor kopi dan gula dari Suriname, tetapi juga memegang jutaan pon kopi dan gula yang diproduksi di perkebunan utama koloni Prancis St. Domingue. Hubungan antara ekonomi Belanda dan St. Domingue ini bertahan, hingga revolusi budak pada 1791 membawa emansipasi dan pembentukan Haiti merdeka. Sementara itu, jaringan ketat para bankir, pedagang, pemberi hutang dan pemilik uang mengikat pasar finansial Amsterdam pada pemilik-pemilik kebun di koloni-koloni Spanyol, koloni-koloni Karibia milik Denmark, dan Amerika Serikat bagian Selatan.

Argumen-argumen tentang ekonomi Atlantik Belanda ini menunjukkan bahwa pertanyaan tentang hubungan antara kapitalisme dan perbudakan yang diajukan oleh Eric Williams harus didekati dengan kerangka yang lebih luas daripada sekadar hubungan antara Revolusi Industri Inggris dan kompleks gula Inggris di Hindia Belanda. Ia juga menantang ide beberapa sejarawan Belanda bahwa perbudakan Atlantik hanya punya peran yang marjinal dalam ekonomi Belanda. Tetapi ada yang bisa dikerjakan lebih daripada itu, jika sejarah perbudakan betul-betul didekati dengan skala global. Ini tidak harus berarti hanya mengopi metode-metode yang digunakan untuk menghitung signifikansi ekonomi perbudakan Atlantik dan menerapkannya pada kerajaan VOC. Sementara di dunia Atlantik, perkebunan budak menjadi titik yang kepadanya seluruh aktivitas komersil bertumpu, di Asia kerajaan-kerajaan kolonial kebanyakan mengombinasi banyak bentuk kerja paksa pada saat yang sama, sehingga menjadi sulit untuk memperkirakan apa yang mengonstitusikan keuntungan dari perbudakan saja. Juga bahwa perkebunan-perkebunan di wilayah Atlantik dimiliki secara langsung oleh orang-orang Eropa, sementara di Asia VOC sering bergantung pada perantara-perantara seperti raja-raja, bangsawan-bangsawan pemilik tanah, atau pedagang Cina dan petani-petani penyewa. Mungkin yang lebih penting pada tahapan ini, daripada mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut untuk membuat perhitungan yang persis dan sebanding, adalah menghadapi tantangan untuk membawa sejarah-sejarah perbudakan kolonial menuju kerangka bersama. Hubungan-hubungan antara perbudakan di Samudra Atlantik dan Samudra Hindia tidak berakhir dengan pengalaman Belanda dengan perkebunan budak di Pulau Banda, yang dilaksanakan oleh personil VOC dan WIC lintas samudra hingga wilayah Atlantik. Mereka berlanjut hingga era penghapusan perbudakan secara formal, ketika Johannes van den Bosch mengawasi ‘modernisasi’ perkebunan budak di Suriname sebelum ia mengorganisir sistem penanaman di Jawa, dan ketika pekerja-pekerja lepas dari India dan Indonesia dipindahkan ke Suriname untuk membangun kekuatan kerja paksa yang baru setelah dekrit emansipasi tahun 1863.

Menuliskan kembali sejarah perbudakan kolonial Belanda dengan cara yang demikian terhubung akan sangat diperkuat dengan kerjasama antara peneliti-peneliti yang mengerjakan topik-topik ini di Indonesia, Karibia, dan Belanda. Di Belanda sendiri, para sejarawan secara bertahap mulai mengungkap cerita global tentang pentingnya perbudakan untuk kapitalisme Belanda. Akhirnya.***

Pepijn Brandon adalah Asisten Profesor Sejarah Sosial dan Ekonomi di Vrije Universiteit, Amsterdam, dan Peneliti Senior di International Institute of Social History. Ia terhubung dengan Huntington Library, University of Pittsburgh dan Harvard University. Ia telah mempublikasikan secara luas karya-karyanya tentang sejarah perang, kolonialisme dan perbudakan di kerajaan Belanda, juga tentang ide-ide Karl Marx dan Rosa Luxemburg. Monografnya, War, Capitalism, and the Dutch State (1588-1795) diterbitkan dalam seri Historical Materialism dari penerbit Brill/Haymarket.[indoprogress.com]

JOKOWI melantik Wiranto menjadi Menteri urusan Politik, Hukum dan Keamanan pada 27 Juli 2016 lalu, genap dua puluh tiga tahun setelah aparat merangsek, menculik dan membantai pendukung Megawati di kantor PDI di Jakarta—dengan gratis tanpa ada proses hukum hingga detik ini, tentunya.

Mungkin tanggal jahanam itu sengaja dipilih untuk membasuh luka dengan cuka, supaya rakyat makin paham dan menyadari bahwa di mata elit politik, nyawa mereka cuma barang mainan murahan. Tapi yang nampak terang, ini hanyalah satu langkah terbaru dari arah perjuangan untuk meneguhkan haluan negara di jalur pengabdian pada kepentingan Kapital Dunia, seperti yang sudah dilaksanakan Orde Bau sejak lahir dengan banjir darah genosida yang mengamputasi cita-cita Proklamasi.

Darah rakyat memang tak pernah ada yang mau menanggung. Pun darah rakyat pendukung Megawati yang ditumpahkan aparat saat ia tampil berperan seakan oposisi bagi Soeharto dan Orde Bau, tidak pernah dibela—bahkan ketika Megawati bersemayam di Istana Negara setelah berhasil mengkhianati Gus Dur.

Sudah jauh-jauh hari PBB telah menuduh Wiranto melakukan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan saat memimpin tentara dan milisi yang mengintimidasi lalu mengamuk sejadi-jadinya ketika Indonesia kalah dalam Referendum di Timor Leste. Pengangkatannya itu justru mengingatkan bahwa tuduhan-tuduhan PBB itu, serta surat perintah penangkapan yang pernah diterbitkan untuknya, dibiarkan saja tanpa ditanggapi selama belasan tahun.

Dan Wiranto belum pernah menghadapinya dengan jiwa kesatria yang pantas dimiliki seorang jendral TNI. Setelah dilantik, ia malah mengatakan ‘Itu biasa, setiap saya muncul selalu ada reaksi penolakan terkait kasus pelanggaran HAM. Ya nanti kami selesaikan.’

Si wartawan yang mewawancarai Wiranto pun tidak mengajukan pertanyaan susulan, misalnya, mengapa soal pelanggaran HAM dianggap biasa? Dan mengapa soal yang sudah belasan tahun jadi masalah ini akan diselesaikan nanti, bukannya dulu-dulu?

Pesan yang sampai kepada warga Negara Indonesia dan warga dunia dengan pengangkatan Wiranto sebagai Menkopolhukam cukup jelas: Indonesia dan pemerintahan Presiden Jokowi tidak peduli dengan soal-soal HAM, dan tidak pula mampu melahirkan pemimpin baru, sehingga pemimpin dari Orde Keropos perlu dimunculkan lagi, tak peduli betapa kontroversial. Sedapnya lagi, pengangkatan tersangka pelanggar HAM berat menjadi Menkopolhukam beberapa hari sebelum eksekusi terpidana mati yang banyak mendapat tentangan komunitas internasional, seperti lebih menegaskan lagi sikap Indonesia menegasi nilai-nilai universal HAM.

Episode lanjutannya boleh kita perkirakan. Barangkali akan ada pasang naik lontaran-lontaran setengah matang di media sosial yang melecehkan gagasan-gagasan HAM, bahwa HAM bertentangan dengan keadilan, bahkan bertentangan dengan agama, dan tentu bertentangan dengan kepentingan Nasional. Para pegiat HAM akan makin disudutkan dan stigma sebagai ‘antek asing’ dan bahkan cap ‘musuh Islam’ akan disematkan beramai-ramai.

Anda boleh gemetar, Anda boleh merasa ngeri-ngeri sedap, tapi ini dibutuhkan demi restorasi Orde Bau secara murni dan konsekuen dan sejalan dengan gerakan menjadikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. ‘Pembangunanisme’, yang menyamar sebagai Pancasila dengan program Nawacita, adalah sejatinya ideologi rezim saat ini.

Beginilah caranya.

Pembangunanisme yang menolak nilai-nilai HAM tapi mengaku berdasarkan Pancasila dibutuhkan untuk menyatukan emosi rakyat Indonesia guna mensukseskan program-program besar yang kontroversial semacam pembangunan ‘food estate’ di Merauke dan tempat lain. Tanpa ada gerakan menolak nilai-nilai HAM, sulit mengatasi persoalan-persoalan di mana rakyat kecil ngelunjak dan sok tahu apa yang bagus untuk mereka, lalu menolak investasi duit—semisal para petani di Kulon Progo yang menolak tambang besi dan bandara, dan ibu-ibu petani di pegunungan Kendeng yang berani-beraninya berkemah untuk melawan obral kiloan gunung Kendeng Utara oleh investor demi pembangunan pabrik semen.

Penolakan nilai-nilai HAM juga dibutuhkan untuk mengatasi ‘separatisme’ di Papua. Apalagi mengingat belakangan ini perjuangan rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri terbukti mampu menarik simpati dunia dengan aksi-aksi massal yang berdisiplin dan tanpa kekerasan maupun rasa takut ditahan dan dipenjara. Juga dibutuhkan pendapat umum yang sangat anti-HAM, demi kesuksesan represi atas gerak warga Negara yang menghalangi derap laju modal, baik di Papua maupun di tempat lain, misalnya di Teluk Benoa dan di Teluk Jakarta.

Selain sebagai tanda ditolaknya nilai-nilai HAM di Negara (konon) Pancasila ini, pengangkatan Wiranto sebagai Menko Polhukam bisa pula ditafsirkan sebagai tanda bahwa sangat mungkin ormas kekerasan berkedok agama makin banyak digunakan untuk memecah belah dan menakut-nakuti rakyat sehingga mudah ditaklukkan dan dimanipulasi untuk kepentingan elit. Janji-janji Jokowi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan HAM, mulai dari soal genosida ’65 yang di sini haram disebut genosida, hingga  diskriminasi terhadap kaum Syiah dan Ahmadiyah serta suku-suku di pedalaman yang tak berguna bagi pembangunanisme dan dianggap sekadar bagian dari fauna yang menjengkelkan di lahan-lahan sawit, boleh jadi akan diselesaikan dengan cara-cara pemaksaan.

Kalau kita semua dipaksa mengatakan bahwa soal-soal HAM sudah selesai, maka selesailah soal-soal tersebut. Barang siapa menganggap bahwa soal pelanggaran HAM yang dikatakan selesai itu belum selesai bahkan tambah gelap, tentunya ia adalah antek asing yang kalau tidak digebuk secara resmi oleh aparat, boleh berharap dikeroyok ormas pentungan.

Mungkin semua pemikiran ini keliru dan alangkah bahagianya bila benar saya keliru.

Boleh jadi Wiranto samasekali tidak pernah terlibat pelanggaran HAM. Ia justru akan membantu Presiden Jokowi memenuhi janjinya untuk menyelesaikan soal-soal pelanggaran HAM berat yang membebani sejarah bangsa.

Bisa saja dalam beberapa hari ke depan Menkopolhukam akan melibatkan pihak-pihak kompeten yang independen untuk memverifikasi keberadaan kuburan-kuburan massal terkait Fitnah’65. Lantas, sejarah Orde Bau dapat ditulis ulang dengan lebih sesuai dengan pemahaman akademis di atas klaim-klaim politis. Mungkin sebentar lagi kita akan mendengar apresiasi Negara terhadap temuan Pengadilan Rakyat Internasional soal ’65 bahwa telah terjadi genosida dengan peran Negara di tahun-tahun kelam awal Orde Bau itu. Mungkin sebentar lagi kita akan menyaksikan Negara turun tangan mendampingi dan membela rakyatnya yang di sana-sini berhadapan dengan kepentingan modal. Mungkin ormas-ormas berkedok agama yang berkecambah di masa awal Reformasi setelah dibentuknya Pam Swakarsa yang terbukti sukses menggebuki mahasiswa yang mendemo Habibie kala itu, akan mendapat hidayah dan mengedepankan kasih lemah lembut serta meninggalkan pentungan-pentungannya sehingga berubah sifat menjadi kebalikan dari jati dirinya selama ini.

Semua itu sangat mungkin terjadi bilamana memang benar bahwa Orde Bau telah tumbang dan ke depan haluan Negara kita kembali ke Pancasila yang dicita-citakan Proklamasi sesuai mukadimah UUD’45. Namun semua kemungkinan itu hanya mimpi siang bolong, bila ternyata Orde Bau memang tak pernah tumbang.

Nyatanya, Orde Bau tak pernah hancur . Ia sekadar mundur ke belakang panggung, mengadakan konsolidasi, lalu kembali lagi dengan segala kegagahannya ketika berhasil mengusir Gus Dur dalam piyama ke luar dari Istana Negara.

Sejak saat itulah kembali berkuasanya Orde Bau semakin mantap dari hari ke hari.[indoprogress.com]

The newly formed United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Photo: Supplied
AMNews - A release from the office of the chairman of the United Liberation Movement for West Papua, Benny Wenda, says it's the first time the three major factions have come under a single arm.

Under the This 'Vanimo Border Declaration', the Liberation Movement is taking political leadership of the new grouping, formed today and dubbed the West Papua Army.

Mr Wenda says they are ready to take over Papua and are calling for international and domestic support.

"We welcome any assistance in helping us achieve our liberation. Indonesia cannot stigmatise us as separatists or criminals any more, we are a legitimate unified military and political state-in-waiting," he said in a statement.

The new force includes the West Papua Liberation Army, which is fighting a bloody war with state forces in Nduga regency.

Also joining the united front are the West Papuan National Army and the West Papua Revolutionary Army.[rnz.co.nz]
loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget