Aceh dalam Fragmen Agustus
Agustus adalah bulan penuh momentum bagi rakyat Aceh, fragmen penuh sejarah. Jadikan semangat Agustus untuk merawat perdamaian dan menguburkan kenangan kelam.
Kemarin, 17 Agustus kita memperingati ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-69, tiga hari yang lalu, 15 Agustus ulang tahun ke-9 perdamaian Aceh. Bukan hanya dua momentum itu saja yang terpatri dalam bulan Agustus di Aceh, rentetan sejarah Agustus jauh sebelumnya sudah menyelimuti Aceh.
Ketika Republik Indonesia ini baru berdiri, Hasan Tiro juga ikut ambil bagian dalam perayaannya. Hasan Tiro muda yang aktif dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI) disebut-sebut pernah menjadi salah seorang penggerek bendera merah putih. Hasan Tiro pada tahun 1945 juga menjabat sebagai Ketua Muda PRI di Pidie.
Fanatisme Aceh telah banyak mengisi lembaran sejarah republik, bukan hanya romantisme tapi juga militansi. Simaklah beberapa fragmen sejarah Aceh. Pada bulan Agustus 1850 dulu Provinsi Aceh dileburkan ke dalam bagian Provinsi Sumatera Utara melalu Perpu nomor 5/1950. Hal yang kemudian Aceh bergolak. Beberapa hari setelah Perpu itu itu keluar, pada 21 September 1950 Tgk Muhammad Daud Beureueh memukul beduk perang dengan pemerintah pusat. Ia memproklamirkan DI/TII Aceh.
Daud Beureueh menilai Pemerintah Pusat ingkar janji kepada rakyat Aceh. Setelah tujuh tahun perang bergolak di Aceh, baru pada 1 Januari 1957 pemerintah pusat membentuk kembali Provinsi Aceh yang terpisah dari Sumetera Utara. Pembentukan kembali Provinsi Aceh kala itu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengeluarkan Undang-undang nomor 24/1956.
Meski demikian konflik Aceh-Jakarta belum sepenuhnya reda. Lagi-lagi dalam bulan Agustus, tepatnya pada 29 Agustus 1951, razia senjata besar-besaran dilakukan di Aceh oleh Brigade AA. Alasannya, rakyat Aceh diduga masih menyimpan banyak senjata sisa-sisa perang. Padahal, beberapa bulan sebelumnya razia senjata sudah dilakukan, dan Pemerintah Republik Indonesia telah memerintahkan Kepala Koordinator Kepolisian di Aceh untuk menarik seluruh senjata api, baik yang memiliki surat izin maupun tidak.
Fragmentaria sejarah Agustus lainnya di Aceh adalah, 12 Agustus 1998, Rumoh Geudong yang digunakan sebagai Pos Sattis Kopassu di Gampong Billie Aroen, Geulumpang Tiga Pidie dibakar. Rumah yang dijadikan sebagai pos penyiksaan itu dibakar massa hanya 30 menit setelah Tim Komnas HAM yang dipimpin Baharuddin Lopa meninggalkan lokasi tersebut. Selanjutnya 7 Agustus 1999, Panglima ABRI Jenderal Wiranto mencabut status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh.
Pada masa selanjutnya, 5 Agustus 2000, pondasi perdamaian Aceh mulai digali dengan kesepakatan antara Pemerintah RI dengan GAM terkait perpanjangan jeda kemanusiaan di Aceh. Setahun kemudian, 9 Agustus 2001, Presiden Megawati Soekarno Putri menandatangani Undang-undang nomor 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Nanggroe Aceh Darussalam (UU NAD).
Sebelas hari kemudian, 20 Agustus 2001, Megawati juga menyetujui pembebasan enam juru runding GAM yang ditahan aparat keamanan. Namun Menkopolkam yang saat itu dijabat Susilo Bambang Yudhoyono menjelaskan bahwa Megawati memberi catatan agar para juru runding GAM tersebut tidak melakukan pelanggaran hukum setelah dibebaskan. Presiden menyarankan agar perundingan harus diproteksi dan dihormati sebagai suatu proses, karena itu pemerintah mengambil keputusan untuk membebaskan juru runding GAM setelah memenuhi ketentuan yang diminta oleh pihak kepolisian.
Damai di Aceh terus disemai, pada 5 Agustus 2002, Anthony Zinni datang ke Aceh. Pensiunan jenderal bintang empat marinir Amerika Serikat ini datang ke Aceh bersama Deputi HDC Jenewa Andrew Marshall. Ketika sampai di Aceh keduanya juga ditemani David Gorman. Anthony Zinni merupakan wiseman yang aktif dalam perundingan antara pemerintah Indonesia dan GAM.
Damai pun wujud di Aceh pada 15 Agustus 2005, kala itu Wakil Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani kesepakatan damai di Helnsiki, Firlandia. Dan mulai 1 Agustus 2006, UU Nomor 11/2006 mengani Pemerintahan Aceh (UUPA) mulai diberlakukan. Demikianlah di antara sekian banyak fragmentaria Agustus di Aceh. Mari terus merawat dan mejaga perdamaian demi Aceh yang lebih bermartabat.[]
Kemarin, 17 Agustus kita memperingati ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-69, tiga hari yang lalu, 15 Agustus ulang tahun ke-9 perdamaian Aceh. Bukan hanya dua momentum itu saja yang terpatri dalam bulan Agustus di Aceh, rentetan sejarah Agustus jauh sebelumnya sudah menyelimuti Aceh.
Ketika Republik Indonesia ini baru berdiri, Hasan Tiro juga ikut ambil bagian dalam perayaannya. Hasan Tiro muda yang aktif dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI) disebut-sebut pernah menjadi salah seorang penggerek bendera merah putih. Hasan Tiro pada tahun 1945 juga menjabat sebagai Ketua Muda PRI di Pidie.
Baca Yamaha R15 dan Yamaha R25 Motor Sport Racing dan KencangNasionalisme yang diusungnya saat itu masih �merah putih� sebelum kemudian Jakarta dinilainya ingkar terhadap Aceh, hingga sang wali membangung nasionalisme sendiri, yakni nasionalisme keacehan melalui sebuah pemberontakan yang dinamainya Aceh Merdeka.
Fanatisme Aceh telah banyak mengisi lembaran sejarah republik, bukan hanya romantisme tapi juga militansi. Simaklah beberapa fragmen sejarah Aceh. Pada bulan Agustus 1850 dulu Provinsi Aceh dileburkan ke dalam bagian Provinsi Sumatera Utara melalu Perpu nomor 5/1950. Hal yang kemudian Aceh bergolak. Beberapa hari setelah Perpu itu itu keluar, pada 21 September 1950 Tgk Muhammad Daud Beureueh memukul beduk perang dengan pemerintah pusat. Ia memproklamirkan DI/TII Aceh.
Daud Beureueh menilai Pemerintah Pusat ingkar janji kepada rakyat Aceh. Setelah tujuh tahun perang bergolak di Aceh, baru pada 1 Januari 1957 pemerintah pusat membentuk kembali Provinsi Aceh yang terpisah dari Sumetera Utara. Pembentukan kembali Provinsi Aceh kala itu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengeluarkan Undang-undang nomor 24/1956.
Meski demikian konflik Aceh-Jakarta belum sepenuhnya reda. Lagi-lagi dalam bulan Agustus, tepatnya pada 29 Agustus 1951, razia senjata besar-besaran dilakukan di Aceh oleh Brigade AA. Alasannya, rakyat Aceh diduga masih menyimpan banyak senjata sisa-sisa perang. Padahal, beberapa bulan sebelumnya razia senjata sudah dilakukan, dan Pemerintah Republik Indonesia telah memerintahkan Kepala Koordinator Kepolisian di Aceh untuk menarik seluruh senjata api, baik yang memiliki surat izin maupun tidak.
Fragmentaria sejarah Agustus lainnya di Aceh adalah, 12 Agustus 1998, Rumoh Geudong yang digunakan sebagai Pos Sattis Kopassu di Gampong Billie Aroen, Geulumpang Tiga Pidie dibakar. Rumah yang dijadikan sebagai pos penyiksaan itu dibakar massa hanya 30 menit setelah Tim Komnas HAM yang dipimpin Baharuddin Lopa meninggalkan lokasi tersebut. Selanjutnya 7 Agustus 1999, Panglima ABRI Jenderal Wiranto mencabut status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh.
Pada masa selanjutnya, 5 Agustus 2000, pondasi perdamaian Aceh mulai digali dengan kesepakatan antara Pemerintah RI dengan GAM terkait perpanjangan jeda kemanusiaan di Aceh. Setahun kemudian, 9 Agustus 2001, Presiden Megawati Soekarno Putri menandatangani Undang-undang nomor 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Nanggroe Aceh Darussalam (UU NAD).
Sebelas hari kemudian, 20 Agustus 2001, Megawati juga menyetujui pembebasan enam juru runding GAM yang ditahan aparat keamanan. Namun Menkopolkam yang saat itu dijabat Susilo Bambang Yudhoyono menjelaskan bahwa Megawati memberi catatan agar para juru runding GAM tersebut tidak melakukan pelanggaran hukum setelah dibebaskan. Presiden menyarankan agar perundingan harus diproteksi dan dihormati sebagai suatu proses, karena itu pemerintah mengambil keputusan untuk membebaskan juru runding GAM setelah memenuhi ketentuan yang diminta oleh pihak kepolisian.
Damai di Aceh terus disemai, pada 5 Agustus 2002, Anthony Zinni datang ke Aceh. Pensiunan jenderal bintang empat marinir Amerika Serikat ini datang ke Aceh bersama Deputi HDC Jenewa Andrew Marshall. Ketika sampai di Aceh keduanya juga ditemani David Gorman. Anthony Zinni merupakan wiseman yang aktif dalam perundingan antara pemerintah Indonesia dan GAM.
Damai pun wujud di Aceh pada 15 Agustus 2005, kala itu Wakil Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani kesepakatan damai di Helnsiki, Firlandia. Dan mulai 1 Agustus 2006, UU Nomor 11/2006 mengani Pemerintahan Aceh (UUPA) mulai diberlakukan. Demikianlah di antara sekian banyak fragmentaria Agustus di Aceh. Mari terus merawat dan mejaga perdamaian demi Aceh yang lebih bermartabat.[]