WARUNG di Aceh menjadi sebuah trend masa kini bagi anak-anak muda, terutama kalangan mahasiswa. Whatever meeting about is in cafe.
Warung kopi seolah menjadi sumber inspirasi baik untuk belajar, diskusi, membaca, bisnis, bahkan teman lama.
Aceh dan kopi sudah bagaikan dua sisi mata uang yang tidak akan dapat
dipisahkan lagi. Setiap mendengar kata Aceh, maka yang terlintas
dibenak setiap masyarakat di Nusantara adalah kopi.
Kopi di Aceh memang tidak diragukanlah kenikmatannya. Bahkan salah
satu perusahaan kopi terbesar di dunia, menjadikan 80 persen biji kopi
Aceh sebagai bahan baku utamanya. Sebab itu saya kira wajar perusahaan
kopi tersebut tidak akan terlihat di seantero pelosok Aceh, karena
warung kopi itu tidak akan laku di Aceh, menjualnya di aceh dengan harga
mahal tidak akan ada yang membeli karena mereka bisa mendapatkannya di
warung kopi lain yang jelas bahan bakunya 100 persen dari Aceh dan tentu
harganya jauh lebih murah.
Hampir setiap warung kopi di Aceh menyediakan tempat ibadah bagi umat Islam atau leih dikenal Musallah.
Bahkan bukan hanya diwarung kopi, di seluruh warung makanpun
disediakan tempat ibadah. Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat Aceh
tidak akan pernah lupa dengan simbol-simbol ibadah, meski di warung.
Agama, akidah, ibadah, adalah sesuatu yang melekat pada masyarakat Aceh.
Pertanyaannya adalah apakah musallah itu terpakai dengan maksimal?
Apakah semua masyarakat yang minum kopi di warung tersebut
memanfaatkannya? Faktanya tidak. Sebab pada kenyataannya, jauh dari
harapan.
Kita semua tahu bahwa fungsi musolla adalah untuk ibadah shalat terutama shalat lima waktu.
Sepanjang penulis memanfaatkan tempat-tempat shalat di beberapa
warung kopi yang pernah penulis singgahi hanya beberapa orang yang
shalat pada waktunya, dan hanya pada waktu shalat Magrib saja yang ramai
jamaahnya.
Sementara penikmat kopi ramai, ketika masuk waktu shalat pengunjung kopi masih tetap tidak beranjak untuk shalat.
Sebulan lebih setelah saya menetap di Banda Aceh, saya sering
mengunjungi kedai kopi. Setiap kali saya ingin shalat di musolla warung
kopi, saya selalu shalat sendiri karena memang tidak ada jamaah lain.
Itulah mengapa tadi saya katakan rakyat Aceh tidak akan pernah lupa
dengan simbol ibadah, simbol agama. Dulu waktu kecil saya selalu ingat
sebuah guyonan dari guru agama saya, beliau mengatakan, “Awak Aceh munyo tapakat simayang, akan gejaweub “droneuh awai neujak, lon siat teuk”, tapi munyo takheun kaphe kah, parang ithak bak tanyo.”
Bagaimapun itu adalah sebuah nilai plus, nilai lebih untuk Aceh. Ini
sulit kita temukan diwilayah wilayah lain. Katakanlah di Jakarta atau
Kuala Lumpur. Saya kebetulan lama belajar di kedua kota tersebut.
Di mana-mana warung makan tidak akan pernah disediakan tempat shalat.
Kalau kita tanyakan dimana Mushallah, mereka akan arahkan kita diluar
warungnya.
Shalat Berjamaah
Pembaca yang budiman, gambaran diatas adalah hanya pandangan saya
secara personal, yang saya lihat ketika saya berkunjung ke warung-warung
kopi di Aceh.
Poin penting yang ingin saya sampaikan adalah tentang kewajiban shalat berjamaah lima waktu pada awal waktu.
Seorang Muslim, sudah seharusnya sangat tertarik dengan keistimewaan
dan keutamaan shalat pada waktunya dan apalagi berjamaah. Bahkan
seandainya kita selalu mengejar pahala dalam beribadah, tentu ibadah
shalat tidak mungkin kita tinggalkan, kecuali jika ada udzur. Mengapa?
Sebab, sering demi keuntungan duniawi saja, kita begitu sungguh-sungguh
meraihnya, maka begitu pula seharusnya saat kita mendambakan
’keuntungan’ di akhirat berupa pahala dan dijauhkannya kita dari azab
Neraka.
Ada sebuah kisah yang menakjubkan, selain kisah Rasul Shalallahu
‘Alaihi wassallam yang mengharukan di atas. Seorang ulama salih
terkenal, Muhammad bin Samma’ah, beliau seorang murid Imam Abu Yusuf. Di
antara generasi salaf yang begitu menjaga shalat berjamaah. Bahkan
dalam usia yang amat lanjut menjelang wafatnya (beliau wafat dalam usia
103 tahun), beliau masih sanggup menunaikan shalat sunnah puluhan rakaat
setiap hari. Beliau pernah berkata, “Selama 40 tahun saya tidak pernah
ketinggalan takbir yang pertama bersama imam dalam shalat berjamaah.
Hanya sekali saya ketinggalan mengikuti takbir yang pertama, yaitu saat
ibu saya wafat, karena saya sibuk mengurus jenazah beliau.”
(Al-Kandahlawi, Fadhâ’il al-A’mâl, hlm. 47)
Beliau adalah salah satu generasi salaf yang begitu memahami, bahwa
ketika seseorang ketinggalan shalat berjamaah, hingga terpaksa harus
shalat sendirian, maka keutamaan shalat berjamaah tak akan pernah bisa
tergantikan meski dengan mengulangi shalat sendirian itu sebanyak 27
kali.
Pasalnya, di dalam shalat berjamaah, sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadis, para malaikat ikut meng-’amin’-kan setiap kali surah al-Fatihah selesai dibaca, juga saat doa dipanjatkan setelah usai shalat.
Doa para malaikat tentu akan dikabulkan oleh Allah Subhanahu
Wata’ala. Salah satunya, adalah diampuninya dosa-dosa yang telah lalu.
Itulah di antara keberkahan yang hanya akan diperoleh oleh orang-orang
yang senantiasa menunaikan shalat berjamah.
Rasul Shallahu ‘alaihi Wassalam juga pernah bersabda, “…Tiadalah
seseorang berwudhu dengan sempurna, lalu pergi ke salah satu masjid ,
melainkan bagi setiap ayunan langkahnya Allah Subhanahu Wata’ala
mencatat satu kebaikan, mengangkatnya satu derajat dan menghapus darinya
satu keburukan. Sungguh tidak ada seorang pun yang menunda-nunda shalat
kecuali orang yang benar-benar munafik.” (HR muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ibn Majah).
Walhasil, bukan tidak boleh berbisnis, belajar,
bercengkrama, berdiskusi sambil minum minuman khas kebanggan Aceh itu,
tapi mari di tengah tengah kesibukan dunia kita, jangan pernah lupa
Allah, jangan pernah lupa bahwa kopi itu tidak akan dapat membawa kita
ke surga, kecuali rahmat Allah Subhanu Wata’ala. Jika kita bisa
meramaikan kedai, masjid dan mushallah kita harus jauh lebih ramai. Wallahu’alam.*
Penulis adalah penikmat kopi
Sumber: hidayatullah.com
loading...
Post a Comment