AMP - Bagi hampir seluruh penduduk Aceh, pekan-pekan ini dan beberapa pekan mendatang, menjadi waktu yang panjang. Kabar tentang bencana banjir dari seluruh penjuru mata angin datang, pantai timur, wilayah tengah, hingga barat selatan. Ribuan warga terpaksa meninggalkan rumah untuk mencari lokasi aman. Rumah dan harta benda hilang, kerusakan infrastrukur pembangunan dan ekonomi tak terbilang, lahan pertanian warga hancur, aktifitas produksi dan ekonomi berhenti, distribusi barang dan jasa lumpuh, pelayanan publik dan aktivitas pemerintahan terganggu.
Bencana banjir ini harusnya menjadi pintu masuk Pemerintah Aceh mengevaluasi kembali kebijakan pembangunan. Perlu upaya holistik dan komprehensip. Bencana ini juga hendaknya menggugah Pemerintah Aceh untuk membangun kebijakan terkoordinasi Pemerintah Pusat dan seluruh kabupaten/kota.
Bencana yang datang sepekan terakhir ini bergitu massif dan berulang setiap hujan turun. Jika melihat jumlah korban dan dampaknya, bencana ini harusnya dikategorikan bencana nasional. Langkah ini harus dimulai dari koordinasi antara Badan Penanggulangan Bencana dari tingkat daerah hingga pusat. Badan ini tak bisa lagi menangani kasus ini sepotong-sepotong, kasus per kasus.
Aceh juga memiliki Peta Risiko Bencana yang dibuat di masa Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan diserahkan ke seluruh kabupaten/kota. Aceh juga memiliki Qanun Penanggulangan Bencana. Harusnya dua hal ini dijadikan dasar kebijakan penanggulangan bencana. Dengan kondisi alam Aceh yang semakin rusak, pemerintah juga perlu membuat cetak biru kebencanaan Aceh. Ini kemudian menjadi acuan dan fondasi kebijakan anggaran berperspektif bencana.
Untuk itu, sebelum KUA dan PPAS tahun 2016 disahkan, pemerintah dan dewan harus mengecek ulang, apakah kebijakan penanggulangan bencana masuk di dalamnya? Dan berapa besar alokasi yang diperuntukkan untuk itu? Karena penanganan bencana dan alokasi anggarannya bukan semata-mata menjadi beban BPBA dan Dinas Sosial Aceh. Ini adalah tanggung jawab seluruh perangkat kerja. Agar tak tumpang tindih, Pemerintah Aceh memerlukan komite kebencanaan, atau apapun namanya, untuk memetakan permasalahan, mengoordinasikan serta merumuskan agenda aksi bersama.
Tugas pertama komite ini yaitu memastikan APBA 2016 sebagai isu utama. Selanjutnya, komite melakukan sinkronisasi agenda aksi antar-satuan kerja, termasuk dengan pemerintah di seluruh daerah Aceh. Komite ini juga memiliki agenda untuk mengevaluasi izin pertambangan, perkebunan serta memonitoring aktifitas pembalakan liar. Jika nantinya ditemukan adanya pelanggaran, komite juga mendorong tindak lanjut temuan ini, baik secara administratif, ataupun tindakan hukum.
Tentu perlu keinginan politik dan niat baik Pemerintah Aceh untuk menghentikan bencana ini. Juga diperlukan energi besar dan waktu yang lama untuk membalikkan kondisi alam Aceh yang hancur lebur. Namun ini harus dilakukan, sekecil apapun langkah memulainya. Izin pertambangan, izin perkebunan, dan ketidakmampuan mengatasi pembalakan liar, adalah harga mahal yang sebenarnya tak perlu dibayar jika pemerintah memiliki kepekaan dalam membangun. Jika upaya perbaikan tak dilakukan, sama saja Pemerintah Aceh melakukan kejahatan kemanusiaan.[AJNN]
Bencana banjir ini harusnya menjadi pintu masuk Pemerintah Aceh mengevaluasi kembali kebijakan pembangunan. Perlu upaya holistik dan komprehensip. Bencana ini juga hendaknya menggugah Pemerintah Aceh untuk membangun kebijakan terkoordinasi Pemerintah Pusat dan seluruh kabupaten/kota.
Bencana yang datang sepekan terakhir ini bergitu massif dan berulang setiap hujan turun. Jika melihat jumlah korban dan dampaknya, bencana ini harusnya dikategorikan bencana nasional. Langkah ini harus dimulai dari koordinasi antara Badan Penanggulangan Bencana dari tingkat daerah hingga pusat. Badan ini tak bisa lagi menangani kasus ini sepotong-sepotong, kasus per kasus.
Aceh juga memiliki Peta Risiko Bencana yang dibuat di masa Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan diserahkan ke seluruh kabupaten/kota. Aceh juga memiliki Qanun Penanggulangan Bencana. Harusnya dua hal ini dijadikan dasar kebijakan penanggulangan bencana. Dengan kondisi alam Aceh yang semakin rusak, pemerintah juga perlu membuat cetak biru kebencanaan Aceh. Ini kemudian menjadi acuan dan fondasi kebijakan anggaran berperspektif bencana.
Untuk itu, sebelum KUA dan PPAS tahun 2016 disahkan, pemerintah dan dewan harus mengecek ulang, apakah kebijakan penanggulangan bencana masuk di dalamnya? Dan berapa besar alokasi yang diperuntukkan untuk itu? Karena penanganan bencana dan alokasi anggarannya bukan semata-mata menjadi beban BPBA dan Dinas Sosial Aceh. Ini adalah tanggung jawab seluruh perangkat kerja. Agar tak tumpang tindih, Pemerintah Aceh memerlukan komite kebencanaan, atau apapun namanya, untuk memetakan permasalahan, mengoordinasikan serta merumuskan agenda aksi bersama.
Tugas pertama komite ini yaitu memastikan APBA 2016 sebagai isu utama. Selanjutnya, komite melakukan sinkronisasi agenda aksi antar-satuan kerja, termasuk dengan pemerintah di seluruh daerah Aceh. Komite ini juga memiliki agenda untuk mengevaluasi izin pertambangan, perkebunan serta memonitoring aktifitas pembalakan liar. Jika nantinya ditemukan adanya pelanggaran, komite juga mendorong tindak lanjut temuan ini, baik secara administratif, ataupun tindakan hukum.
Tentu perlu keinginan politik dan niat baik Pemerintah Aceh untuk menghentikan bencana ini. Juga diperlukan energi besar dan waktu yang lama untuk membalikkan kondisi alam Aceh yang hancur lebur. Namun ini harus dilakukan, sekecil apapun langkah memulainya. Izin pertambangan, izin perkebunan, dan ketidakmampuan mengatasi pembalakan liar, adalah harga mahal yang sebenarnya tak perlu dibayar jika pemerintah memiliki kepekaan dalam membangun. Jika upaya perbaikan tak dilakukan, sama saja Pemerintah Aceh melakukan kejahatan kemanusiaan.[AJNN]
loading...
Post a Comment