BRUSSEL mempunyai memori khusus dalam lawatan Ariffadhillah. Awal Juli
2013 lalu, Presidium ASNLF itu diundang oleh UNPO (Unrepresented Nations
and Peoples Organization) untuk bertemu di kantor advokasi organisasi
rakyat dan bangsa yang tidak terwakili di ibukota Belgia.
”Rapat Presidensi yang diadakan pada 6 – 7 Juli 2013 itu berlangsung di kantor UNPO di Brussels,” tulis Jeroen Zandberg dari UNPO kepada Ariffadhillah. ”Salah satu agendanya adalah permohonan dari ASNLF untuk menjadi anggota dan penjelasan lebih lanjut alasan untuk bergabung dengan UNPO,” tambah staf UNPO itu dalam emailnya.
Seperti biasanya, setiap ada kabar terbaru Arif memanggil perwakilan ASNLF di setiap negara untuk mengadakan rapat. Namun, bukan pertemuan tatap mata, tapi telekonferensi melalui Skype.
Usahanya membuahkan hasil. Lalu disepakati dalam “rapat” alam maya itu untuk datang ke Belgia. Selain Ariffadhillah, sebagai ketua delegasi dari Jerman, juga tercatat 5 orang anggota delegasi ASNLF, yang terdiri dari dua orang dari Swedia, seorang dari Belanda dan seorang dari Denmark. Mereka yang terakhir ini datang dengan mobil sedangkan Swedia tiba dengan kapal udara. Tujuannya sama, menuju kantor advokasi UNPO di Avenue Louise 52, pusat kota Brussel.
Di Belgia, hari pertama pertemuan Presidensi UNPO ternyata rapat internal membahas masalah masa depan organisasi tersebut dan cara kerja dalam bidang ekonomi, prinsip dan strategi dalam menghadapi tantangan global politik dunia yang selalu berubah-ubah. Meskipun rapat internal, delegasi dari Aceh dipersilakan mengambil bahagian secara pasif karena masih berstatuskan observer.
Sedangkan keesokan harinya giliran pemeriksaan kepada calon bangsa yang memohon menjadi anggota. Wawancara pertama oleh delegasi wakil bangsa Barotseland dari Zambia.
Selanjutnya delegasi dari Aceh diwawancarai tertutup selama 30 menit yang diselingi dengan debat. Dari situ akhirnya terbongkar bila GAM pernah meminta keanggotaan Aceh di UNPO dihentikan atas permintaan pimpinannya. Pertanyaan kritis itu diajukan oleh Sekjen UNPO sendiri, Marino Bushdachin.
Bukan hanya Arif yang dicecar dengan berbagai pertanyaan, delegasi dari Swedia yang juga wakil ketua Presidium ASNLF, Yusuf Daud, ikut menjelaskan konflik internal GAM hingga peta politik Aceh dulu, sekarang dan masa depan ASNLF nanti bila diterima menjadi anggota UNPO.
Dalam kesempatan itu juga dibeberkan sejarah dan hak bangsa Aceh. Dalam hal ini, mengutip dokumen dari Hasan Tiro, Yusuf Daud menjelaskan bila ASNLF selalu berpedoman pada status Acheh-Sumatra di bawah hukum internasional dengan merujuk pada resolusi PBB nomor 1514 – XV, 2621 – XXV, 2625 – XXV, 3314 – XXIX yang intinya semua bangsa memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri menurut prosedurnya di semua bekas kolonial–dekolonisasi–namun hal tersebut tidak terjadi di Hindia Belanda/Indonesia.
”Dengan bergabung ke UNPO, jelas Yusuf ketika ditanya alasan mengapa ASNLF merapat dengan UNPO, maka akan lebih mudah mengakses forum-forum internasional seperti markas PBB di Jenewa dan New York, Parlemen Uni Eropa di Brussel, Komisi Tinggi HAM di Palais Wilson dan badan-badan dunia lainnya yang diperlukan untuk kampanye dalam perkara HAM dan hak penentuan nasib politik, ekonomi, dan budaya bangsa Aceh”, papar Yusuf Daud ketika itu di Brussel.
Selanjutnya menurut Yusuf, pembicaraan tentang permohonan keanggotaan ASNLF di Afrika Selatan akhir 2013 tidak akan diproses menurut undang-undang UNPO dengan cara voting, tetapi melalui sebuah konsensus. Ini mungkin karena banyak anggota baru presidensi UNPO yang minim pengetahuannya tentang Aceh.
Terakhir, diketahui bila Aceh masih bertahan dalam waiting list dan hanya perwakilan Barotseland di Zambia dan Papua Barat yang berhasil menjadi anggota UNPO. Sambil memberikan semangat, pria Aceh berpaspor Swedia ini mengutip ucapan terkenal penulis Amerika, Dr. Denis Waitley, ”Ada dua pilihan dalam hidup ini; yaitu menerima status quo dijajah dan tetap menjadi budak atau mengambil tanggung jawab dan berusaha untuk merubah semuanya itu,” terang Yusuf saat tiba kembali di Swedia medio akhir tahun lalu.
TERSIARNYA kabar terbaru dari Jerman pada bulan Ramadhan ini tentang diterimanya keanggotaan bangsa Aceh melalui Acheh-Sumatra National Liberation Front di UNPO menarik disimak. Menurut ASNLF, ini adalah salah satu target mereka yang dicapai ketika dua tahun lalu organisasi mereka diaktifkan kembali di Denmark. Dari sisi kepentingan Aceh, maka ada dua pihak yang pro dan kontra.
Salah satu diantaranya penguasa lokal di Aceh. Usaha memasukkan kembali Aceh ke dalam UNPO sudah tentu bertabrakan dengan kepentingan Indonesia. Oleh karena itu, sebagai perpanjangan tangan Jakarta di Aceh sudah tentu berkewajiban taat kepada tuannya.
Begitu juga, bila perlu digunakan sebagai pembantu untuk melakukan operasi kontra intelijen sebagai informan dengan mematahkan kegiatan ASNLF di Aceh dan di luar negeri. Pembicaraan lainnya adalah pro dan kontra pembajakan bendera Aceh Merdeka menjadi bendera salah satu provinsi di Aceh.
Hal itulah salah satu topik yang menjadi diskusi ringan melalui Skype menjelang buka puasa oleh beberapa aktivis perwakilan ASNLF yang bermukim di Swedia, Jerman dan Malaysia dalam beberapa hari di bulan Ramadhan ini. ”Perwakilan dari Australia berhalangan hadir karena selisih perbedaan waktu yang sangat jauh dengan Eropa,” kata Ariffadhillah yang bertindak sebagai moderator telekonferensi Ahad lalu.
Dalam diskusi serius tapi santai itu dievaluasi aktivitas ASNLF di dalam dan luar negeri. Mereka percaya bila beberapa aktvitas sebelumnya sebagai salah satu dari sekian bukti oleh UNPO ketika mengiktiraf ASNLF sebagai wakil Aceh di organisasi rakyat dan bangsa yang tidak terwakili itu.
Awalnya membuat ganjalan bagi ASNLF karena harus menunggu waktu dua tahun. Namun, ketika wakil ASNLF Yusuf Daud diundang untuk berbicara dalam acara diskusi tentang HAM Aceh, Maluku dan Papua (Human Rights Violations in Indonesia) di kantor PBB Jenewa, Maret lalu, hasilnya didapati bantuan lobi rekomendasi dari Papua Barat dan Maluku Selatan. Sebagai catatan, bangsa Papua dan Maluku sebelumnya sudah duluan menjadi anggota UNPO, dan asal memenuhi syarat, Aceh–kata mereka–akan menjadi anggota juga. Benar saja, kabar tersebut kemudian diumumkan pada rapat Presidensi di Munich, Jerman, 27 Juni 2014 lalu.
Ketika menjadi anggota UNPO, hal ini otomatis bendera Aceh menjadi hak milik ASNLF kembali. Untuk membuktikan klaim mereka tersebut, dalam penelusuran laman web UNPO kolom ”Nations & Peoples”, sesuai dengan abjad, Aceh berada pada urutan kedua namun tertulis ”Acheh” untuk ejaan bahasa Inggrisnya.
Disitu katanya Aceh berstatuskan wilayah pendudukan–seperti status Palestina di Gaza dan Ramallah–dengan deskripsi tujuan ASNLF bahwa untuk mengembalikan kedaulatan negara Aceh dan membebaskan rakyatnya dari semua jenis kolonialisme asing melalui pendekatan hukum, sesuai dengan nilai-nilai Aceh dan Hukum Internasional. Di atasnya tampak persis bendera bulan bintang yang sebelumnya diusulkan oleh DPRA dan Gubernur untuk dijadikan bendera provinsi Aceh.
Hampir bersamaan. Menurut Yusuf Daud yang sudah 30 tahun tinggal di Swedia ini, bendera Bulan Bintang merupakan bendera resmi Aceh Merdeka sejak 1976 — bukan bendera provinsi. ”Dan ini merupakan satu pengakuan resmi ketika UNPO menerimanya sebagai bendera Aceh. Bila masih ada juga yang mencoba-coba untuk membajak dan menjadikannya sebagai bendera salah satu provinsi di Indonesia, dengan bantuan advokasi UNPO maka akan kita gugat menjadi isu pelanggaran hak cipta bendera sebuah bangsa,” tegas Yusuf pada Kamis 24 Juli 2014 di sela-sela acara buka bersama warga Aceh di Stockholm.
Sementara itu diwaktu yang sama, tarik ulur pengesahan qanun bendera Aceh menjadi polemik terus berkepanjangan antara pemerintah Aceh dan tuannya di Jakarta. Bahkan kabar terbaru diketahui bila Presiden SBY enggan merespon perkara Aceh menjelang pergantian kekuasaan. Walaupun demikian, sampai saat ini belum ada tanggapan resmi dari pihak pemerintah Aceh yang sebelumnya membajak bendera Aceh Merdeka menjadi bendera provinsi Aceh.
SEJAK Aceh menjadi anggota UNPO waktu luang Ariffadhillah dan Yusuf Daud semakin berkurang. Sebagai ketua dan wakil ketua Presidium ASNLF, hari-harinya ditumpuki tugas dalam usaha konsolidasi aktivis mereka yang tersebar di berbagai negara dengan status penerima suaka.
Bulan puasa ini saja, Ariffadhillah di Jerman melakukan kunjungan ke Denmark dan Norwegia untuk bersilaturrahmi dengan warga Aceh disana. Sedangkan Yusuf Daud di Stockholm sendiri dalam musim panas ini ditugaskan untuk bersilaturahmi dengan warga Aceh yang tinggal di berbagai kota di Swedia. Sambil buka puasa bersama juga mensosialisasikan rencana untuk aksi ASNLF ke depan.
Dengan perjalanan ini mengindikasikan bahwa komitmen mereka tidak diragukan lagi. Dengan kemudahan transportasi, perjalanan antar negara di Eropa tergolong murah, sehingga kapan saja punya luang waktu maka mereka bisa berjumpa. Suara-suara untuk mengadakan rapat konsolidasi juga diterima dari Malaysia. Perwakilan mereka disana melihat perlu konsolidasi karena dengan ramai warga Aceh di Malaysia bisa direkrut atau minimal menjadi home base kedua gerakan.
”Dengan diterimanya ASNLF sebagai wakil Aceh dalam organisasi UNPO maka terikat dengan hak dan kewajiban anggota organisasi tersebut,” pesan Ariffadhillah dalam komentarnya ketika ditanya rencana aksi mereka ke depan. Begitu juga harapannya melalui kerja sama dengan UNPO, In Shaa Allah kegiatan kampanye seperti advokasi dalam institusi PBB dan parlemen Uni Eropa bisa dijalankan.
”Semua tersebut sebagai konsekuensi dan tanggung jawab kita yang harus dipikul dalam perjuangan Aceh Merdeka,” tambahnya. Meski rata-rata mereka sudah hidup mapan di Eropa ini, untuk kepentingan Aceh mereka masih tetap peduli sebagai tanggung jawab moralnya. Berbekal pengalaman hidup di Eropa, bergaul NGO Internasional, mereka menolak untuk berkhianat serta tetap istiqamah dengan amanah asli sang gurunya, Hasan Tiro. Dengan amanah itu pula ASNLF tetap teguh mengembannya. Hingga saat ini.
===================================================
''Puluhan tahun mereka hidup eksil di luar negeri hingga berganti generasi. Seiring dengan perkembangan politik di dalam negeri, cita-cita perjuangannya tak pernah pudar. Kini di luar negeri mereka mengorganisir kembali ASNLF/AM gerakan yang lebih dikenal dengan nama ''Aceh Merdeka''
MTD:Penerangan Aceh Merdeka Kuta Radja.
”Rapat Presidensi yang diadakan pada 6 – 7 Juli 2013 itu berlangsung di kantor UNPO di Brussels,” tulis Jeroen Zandberg dari UNPO kepada Ariffadhillah. ”Salah satu agendanya adalah permohonan dari ASNLF untuk menjadi anggota dan penjelasan lebih lanjut alasan untuk bergabung dengan UNPO,” tambah staf UNPO itu dalam emailnya.
Seperti biasanya, setiap ada kabar terbaru Arif memanggil perwakilan ASNLF di setiap negara untuk mengadakan rapat. Namun, bukan pertemuan tatap mata, tapi telekonferensi melalui Skype.
Usahanya membuahkan hasil. Lalu disepakati dalam “rapat” alam maya itu untuk datang ke Belgia. Selain Ariffadhillah, sebagai ketua delegasi dari Jerman, juga tercatat 5 orang anggota delegasi ASNLF, yang terdiri dari dua orang dari Swedia, seorang dari Belanda dan seorang dari Denmark. Mereka yang terakhir ini datang dengan mobil sedangkan Swedia tiba dengan kapal udara. Tujuannya sama, menuju kantor advokasi UNPO di Avenue Louise 52, pusat kota Brussel.
Di Belgia, hari pertama pertemuan Presidensi UNPO ternyata rapat internal membahas masalah masa depan organisasi tersebut dan cara kerja dalam bidang ekonomi, prinsip dan strategi dalam menghadapi tantangan global politik dunia yang selalu berubah-ubah. Meskipun rapat internal, delegasi dari Aceh dipersilakan mengambil bahagian secara pasif karena masih berstatuskan observer.
Sedangkan keesokan harinya giliran pemeriksaan kepada calon bangsa yang memohon menjadi anggota. Wawancara pertama oleh delegasi wakil bangsa Barotseland dari Zambia.
Selanjutnya delegasi dari Aceh diwawancarai tertutup selama 30 menit yang diselingi dengan debat. Dari situ akhirnya terbongkar bila GAM pernah meminta keanggotaan Aceh di UNPO dihentikan atas permintaan pimpinannya. Pertanyaan kritis itu diajukan oleh Sekjen UNPO sendiri, Marino Bushdachin.
Bukan hanya Arif yang dicecar dengan berbagai pertanyaan, delegasi dari Swedia yang juga wakil ketua Presidium ASNLF, Yusuf Daud, ikut menjelaskan konflik internal GAM hingga peta politik Aceh dulu, sekarang dan masa depan ASNLF nanti bila diterima menjadi anggota UNPO.
Dalam kesempatan itu juga dibeberkan sejarah dan hak bangsa Aceh. Dalam hal ini, mengutip dokumen dari Hasan Tiro, Yusuf Daud menjelaskan bila ASNLF selalu berpedoman pada status Acheh-Sumatra di bawah hukum internasional dengan merujuk pada resolusi PBB nomor 1514 – XV, 2621 – XXV, 2625 – XXV, 3314 – XXIX yang intinya semua bangsa memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri menurut prosedurnya di semua bekas kolonial–dekolonisasi–namun hal tersebut tidak terjadi di Hindia Belanda/Indonesia.
”Dengan bergabung ke UNPO, jelas Yusuf ketika ditanya alasan mengapa ASNLF merapat dengan UNPO, maka akan lebih mudah mengakses forum-forum internasional seperti markas PBB di Jenewa dan New York, Parlemen Uni Eropa di Brussel, Komisi Tinggi HAM di Palais Wilson dan badan-badan dunia lainnya yang diperlukan untuk kampanye dalam perkara HAM dan hak penentuan nasib politik, ekonomi, dan budaya bangsa Aceh”, papar Yusuf Daud ketika itu di Brussel.
Selanjutnya menurut Yusuf, pembicaraan tentang permohonan keanggotaan ASNLF di Afrika Selatan akhir 2013 tidak akan diproses menurut undang-undang UNPO dengan cara voting, tetapi melalui sebuah konsensus. Ini mungkin karena banyak anggota baru presidensi UNPO yang minim pengetahuannya tentang Aceh.
Terakhir, diketahui bila Aceh masih bertahan dalam waiting list dan hanya perwakilan Barotseland di Zambia dan Papua Barat yang berhasil menjadi anggota UNPO. Sambil memberikan semangat, pria Aceh berpaspor Swedia ini mengutip ucapan terkenal penulis Amerika, Dr. Denis Waitley, ”Ada dua pilihan dalam hidup ini; yaitu menerima status quo dijajah dan tetap menjadi budak atau mengambil tanggung jawab dan berusaha untuk merubah semuanya itu,” terang Yusuf saat tiba kembali di Swedia medio akhir tahun lalu.
TERSIARNYA kabar terbaru dari Jerman pada bulan Ramadhan ini tentang diterimanya keanggotaan bangsa Aceh melalui Acheh-Sumatra National Liberation Front di UNPO menarik disimak. Menurut ASNLF, ini adalah salah satu target mereka yang dicapai ketika dua tahun lalu organisasi mereka diaktifkan kembali di Denmark. Dari sisi kepentingan Aceh, maka ada dua pihak yang pro dan kontra.
Salah satu diantaranya penguasa lokal di Aceh. Usaha memasukkan kembali Aceh ke dalam UNPO sudah tentu bertabrakan dengan kepentingan Indonesia. Oleh karena itu, sebagai perpanjangan tangan Jakarta di Aceh sudah tentu berkewajiban taat kepada tuannya.
Begitu juga, bila perlu digunakan sebagai pembantu untuk melakukan operasi kontra intelijen sebagai informan dengan mematahkan kegiatan ASNLF di Aceh dan di luar negeri. Pembicaraan lainnya adalah pro dan kontra pembajakan bendera Aceh Merdeka menjadi bendera salah satu provinsi di Aceh.
Hal itulah salah satu topik yang menjadi diskusi ringan melalui Skype menjelang buka puasa oleh beberapa aktivis perwakilan ASNLF yang bermukim di Swedia, Jerman dan Malaysia dalam beberapa hari di bulan Ramadhan ini. ”Perwakilan dari Australia berhalangan hadir karena selisih perbedaan waktu yang sangat jauh dengan Eropa,” kata Ariffadhillah yang bertindak sebagai moderator telekonferensi Ahad lalu.
Dalam diskusi serius tapi santai itu dievaluasi aktivitas ASNLF di dalam dan luar negeri. Mereka percaya bila beberapa aktvitas sebelumnya sebagai salah satu dari sekian bukti oleh UNPO ketika mengiktiraf ASNLF sebagai wakil Aceh di organisasi rakyat dan bangsa yang tidak terwakili itu.
Awalnya membuat ganjalan bagi ASNLF karena harus menunggu waktu dua tahun. Namun, ketika wakil ASNLF Yusuf Daud diundang untuk berbicara dalam acara diskusi tentang HAM Aceh, Maluku dan Papua (Human Rights Violations in Indonesia) di kantor PBB Jenewa, Maret lalu, hasilnya didapati bantuan lobi rekomendasi dari Papua Barat dan Maluku Selatan. Sebagai catatan, bangsa Papua dan Maluku sebelumnya sudah duluan menjadi anggota UNPO, dan asal memenuhi syarat, Aceh–kata mereka–akan menjadi anggota juga. Benar saja, kabar tersebut kemudian diumumkan pada rapat Presidensi di Munich, Jerman, 27 Juni 2014 lalu.
Ketika menjadi anggota UNPO, hal ini otomatis bendera Aceh menjadi hak milik ASNLF kembali. Untuk membuktikan klaim mereka tersebut, dalam penelusuran laman web UNPO kolom ”Nations & Peoples”, sesuai dengan abjad, Aceh berada pada urutan kedua namun tertulis ”Acheh” untuk ejaan bahasa Inggrisnya.
Disitu katanya Aceh berstatuskan wilayah pendudukan–seperti status Palestina di Gaza dan Ramallah–dengan deskripsi tujuan ASNLF bahwa untuk mengembalikan kedaulatan negara Aceh dan membebaskan rakyatnya dari semua jenis kolonialisme asing melalui pendekatan hukum, sesuai dengan nilai-nilai Aceh dan Hukum Internasional. Di atasnya tampak persis bendera bulan bintang yang sebelumnya diusulkan oleh DPRA dan Gubernur untuk dijadikan bendera provinsi Aceh.
Hampir bersamaan. Menurut Yusuf Daud yang sudah 30 tahun tinggal di Swedia ini, bendera Bulan Bintang merupakan bendera resmi Aceh Merdeka sejak 1976 — bukan bendera provinsi. ”Dan ini merupakan satu pengakuan resmi ketika UNPO menerimanya sebagai bendera Aceh. Bila masih ada juga yang mencoba-coba untuk membajak dan menjadikannya sebagai bendera salah satu provinsi di Indonesia, dengan bantuan advokasi UNPO maka akan kita gugat menjadi isu pelanggaran hak cipta bendera sebuah bangsa,” tegas Yusuf pada Kamis 24 Juli 2014 di sela-sela acara buka bersama warga Aceh di Stockholm.
Sementara itu diwaktu yang sama, tarik ulur pengesahan qanun bendera Aceh menjadi polemik terus berkepanjangan antara pemerintah Aceh dan tuannya di Jakarta. Bahkan kabar terbaru diketahui bila Presiden SBY enggan merespon perkara Aceh menjelang pergantian kekuasaan. Walaupun demikian, sampai saat ini belum ada tanggapan resmi dari pihak pemerintah Aceh yang sebelumnya membajak bendera Aceh Merdeka menjadi bendera provinsi Aceh.
SEJAK Aceh menjadi anggota UNPO waktu luang Ariffadhillah dan Yusuf Daud semakin berkurang. Sebagai ketua dan wakil ketua Presidium ASNLF, hari-harinya ditumpuki tugas dalam usaha konsolidasi aktivis mereka yang tersebar di berbagai negara dengan status penerima suaka.
Bulan puasa ini saja, Ariffadhillah di Jerman melakukan kunjungan ke Denmark dan Norwegia untuk bersilaturrahmi dengan warga Aceh disana. Sedangkan Yusuf Daud di Stockholm sendiri dalam musim panas ini ditugaskan untuk bersilaturahmi dengan warga Aceh yang tinggal di berbagai kota di Swedia. Sambil buka puasa bersama juga mensosialisasikan rencana untuk aksi ASNLF ke depan.
Dengan perjalanan ini mengindikasikan bahwa komitmen mereka tidak diragukan lagi. Dengan kemudahan transportasi, perjalanan antar negara di Eropa tergolong murah, sehingga kapan saja punya luang waktu maka mereka bisa berjumpa. Suara-suara untuk mengadakan rapat konsolidasi juga diterima dari Malaysia. Perwakilan mereka disana melihat perlu konsolidasi karena dengan ramai warga Aceh di Malaysia bisa direkrut atau minimal menjadi home base kedua gerakan.
”Dengan diterimanya ASNLF sebagai wakil Aceh dalam organisasi UNPO maka terikat dengan hak dan kewajiban anggota organisasi tersebut,” pesan Ariffadhillah dalam komentarnya ketika ditanya rencana aksi mereka ke depan. Begitu juga harapannya melalui kerja sama dengan UNPO, In Shaa Allah kegiatan kampanye seperti advokasi dalam institusi PBB dan parlemen Uni Eropa bisa dijalankan.
”Semua tersebut sebagai konsekuensi dan tanggung jawab kita yang harus dipikul dalam perjuangan Aceh Merdeka,” tambahnya. Meski rata-rata mereka sudah hidup mapan di Eropa ini, untuk kepentingan Aceh mereka masih tetap peduli sebagai tanggung jawab moralnya. Berbekal pengalaman hidup di Eropa, bergaul NGO Internasional, mereka menolak untuk berkhianat serta tetap istiqamah dengan amanah asli sang gurunya, Hasan Tiro. Dengan amanah itu pula ASNLF tetap teguh mengembannya. Hingga saat ini.
===================================================
''Puluhan tahun mereka hidup eksil di luar negeri hingga berganti generasi. Seiring dengan perkembangan politik di dalam negeri, cita-cita perjuangannya tak pernah pudar. Kini di luar negeri mereka mengorganisir kembali ASNLF/AM gerakan yang lebih dikenal dengan nama ''Aceh Merdeka''
MTD:Penerangan Aceh Merdeka Kuta Radja.
Sumber: sumatranew
loading...
Post a Comment