Halloween Costume ideas 2015
loading...

MoU Helsinki dan Rakyat Aceh

DUA tahun lalu, dalam sebuah pertemuan di Lhokseumawe, seorang pengusaha mengungkapkan keengganannya untuk menanamkan investasi di Aceh. Dia bilang, sikap pemerintah daerah berubah-ubah, tidak konsisten. Norma bisnis kerap bercampur dengan norma politik. Sikap birokrat yang seperti ini membuat teman-teman pengusaha lain mengurungkan niat berbisnisnya.

Dialog ini saya bawa dalam perbincangan dengan pejabat setempat. Birokrat itu malah merespons dengan nada menyalahkan pemerintah pusat yang masih setengah hati menjalankan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, yang kemudian melahirkan produk UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Pemerintah RI dianggap belum menyempurnakan UUPA, sehingga kinerja pejabat Aceh belum maksimal karena ada beberapa turunan UUPA seperti Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) yang belum diselesaikan. Intinya, sang penyelenggara negara Aceh masih tidak puas dengan pemerintah Indonesia.

Namun sepertinya birokrat itu khilaf menyinggung soal Pasal 183 ayat (2) yang tercantum dalam UUPA yakni pemerintah Aceh mendapatkan Dana Otonomi Khusus (Otsus) setara 2% pagu Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional mulai 2008 sampai 2022. Selanjutnya, selama 2023 sampai 2028, besaran Dana Otsus yang akan diterima pemerintah Aceh setara 1% pagu DAU Nasional.

Jika dihitung-hitung, Dana Otsus yang diterima pemerintah Aceh sejak 2008-2015 sudah mencapai Rp 41,26 triliun. Angka ini belum ditambah dengan dana yang masuk dalam periode rekonstruksi Aceh, yang dikelola Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias pada 2005-2009, yang nilainya Rp 60-70 triliun.

Lantas mengapa masih banyak masyarakat Aceh hingga ke tingkat pejabatnya memendam kekecewaan terhadap pemerintah Indonesia? Mengapa para pedagang pasar tradisional, nelayan, buruh, petani garam masih mengeluhkan tingkat kesejahteraan yang belum berubah sejak ditandatanganinya MoU Helsinki 10 tahun lalu atau tepatnya 15 Agustus 2005?

Mari kita perhatikan UUPA Pasal 183 ayat (1) yang menyebutkan bahwa tujuan Dana Otsus adalah untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Qanun Aceh No.2 Tahun 2008 dan perubahannya, yakni Qanun Aceh No.2 Tahun 2013, juga menyebutkan penggunaan Dana Otsus dengan penambahan program pembangunan dalam rangka pelaksanaan keistimewaan Aceh.

Sayangnya pembangunan itu belum berdampak luas terhadap masyarakat. Memang, ada perubahan tingkat ekonomi rakyat, seperti dalam hal jumlah penduduk miskin. Kajian ekonomi Bank Indonesia mencatat pada 2008, persentase penduduk miskin di Aceh adalah 23,53% atau 959.700 jiwa. Angka ini semakin menurun setiap tahunnya sehingga Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa presentasenya menjadi 17% atau 851.000 orang pada Maret 2015. Tapi presentase tersebut terasa tinggi jika dibandingkankan dengan jumlah penduduk miskin Nasional yang berada di posisi 11,22%.

Mari kita bandingkan dengan Sumatera Barat (Sumbar), provinsi yang memiliki penduduk 4,94 juta jiwa, tak jauh berbeda dengan Aceh yang mempunyai 4,84 juta jiwa. Persentase penduduk miskin di Sumbar “hanya” sebesar 7,31% pada Maret 2015 atau 379.609 jiwa. Padahal Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sumbar sejak 2008 tidak pernah melampaui angka Rp 5 triliun (APBD Sumbar Rp 4,17 triliun pada 2015 atau sepertiga dari APBA 2015 yang nilainya Rp 12,75 triliun).

Indikator ekonomi Aceh lainnya juga memprihatinkan. BPS menyebutkan bahwa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh sebesar 4,18%, nomor dua terendah se-Sumatera setelah Riau yang ada di posisi 2,61%. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh yang 73,05 hanya menang dari Lampung dengan IPM 72,86. Bisa dibilang, Aceh nyaris tanpa gigi di wilayah Sumatera.

Hakikat perdamaian
Wajar saja jika lambatnya capaian pembangunan ini membuat rakyat Aceh menganggap MoU Helsinki hanya jargon-jargon politik yang dilontarkan penyelenggara negeri Serambi Mekkah. Para birokrat lebih sibuk mempertontonkan berbagai kegiatan politik atau melakukan agenda seremonial ketika rakyat haus dengan program-program kerja substansial yang secara signifikan dapat memperbaiki kualitas hidup masyarakat.

Sejatinya kesepakatan perdamaian tersebut telah terimplementasi dalam sendi-sendi kehidupan. Setidaknya ada delapan ruh nota kesepahaman yang sudah dirasakan warga Aceh: Pertama, kekerasan telah berhenti. Masyarakat dapat beraktivitas tanpa ada rasa ketakutan, tanpa merasa dicurigai dan tanpa merasa dimusuhi. Energi yang biasanya dipakai untuk kegiatan negatif kini dapat dengan bebas digunakan buat gerakan positif membangun negeri dan menumbuhkan investasi yang dapat menggerakkan ekonomi rakyat.

Kedua, reintegrasi yang sudah berjalan baik, kendati masih berstatus perdamaian yang bersifat penghentian perang dan perlucutan senjata, belum mengarah ke perdamaian yang dapat mendongkrak kesejahteraan masyarakat pascakonflik. Kedua belah pihak sudah saling memaafkan dan ada usaha untuk menangani kombatan, penduduk yang ikut aktif dalam pertempuran. Bahkan banyak mantan kombatan GAM yang berkesempatan jadi anggota parlemen dan pemimpin daerah. Ini merupakan usaha yang positif demi melanggengkan perdamaian

Ketiga, penguatan HAM. Belajar dari kejadian hak asasi manusia di Aceh, masyarakat mempunyai ilmu penanganan berbagai kasus HAM. Tragedi tak boleh terulang kembali. Penanganan korban dengan konsep pendekatan restorative justice yang menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan pemulihan korban atau keluarga korban.

Keempat, penyelenggaraan pemerintahan di Aceh sudah diberikan dalam bentuk otonomi luas dan khusus, lebih luas dari wilayah lainnya. Selain itu, Aceh diberi keleluasaan pembentukan Lembaga Wali Nanggroe, Komisi Independen Pemilihan (KIP), serta rekomendasi untuk pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah dan Kepala Kejaksaan Tinggi yang berdasarkan rekomendasi Gubernur.

Kelima, Dana Otsus yang diterima pemerintah Aceh, yakni 2% dari DAU hingga 2027 nanti dapat digunakan untuk mengakselerasi pembangunan di berbagai bidang. Keenam, Aceh punya keleluasaan dan kewenangan membangun rancangan pembangunan bidang ekonomi, menentukan regulasi yang dapat mengakselerasi perekonomian rakyat, merancang tata ruang, membangun infrastruktur memadai, menetapkan tingkat suku bunga perbankan, dan lain sebagainya.

Ketujuh, bumi Iskandar Muda telah melaksanakan syariat Islam secara kaffah dari perkara ibadah, muamalah, syiar, pendidikan, jinayah sampai kepada perkara dusturiah, sehingga totalitas dari ajaran Alquran dan Hadis diterapkan secara menyeluruh dan konprehensif di Aceh.

Terakhir, kedelapan, berpotensi tinggi melakukan pengembangan sumber daya manusia (SDM) melalui sistem pendidikan yang dimiliki. Rasio jumlah guru dan murid di Aceh mencapai 1:15, lebih baik dari rasio guru-murid Indonesia yang 1:18, bahkan menurut data UNESCO rasionya lebih baik dibanding Brazil (1:22), Jepang (1:18), serta Prancis (1:18).

Jumlah perguruan tinggi negeri di Aceh yakni Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, Universitas Samudera (Unsam) Langsa, dan Universitas Teuku Umar (UTU) Meulaboh, Politeknik Negeri Lhokseumawe, IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa, STAIN Gajah Putih Takengon, dan STAIN Meulaboh, sudah lebih dari cukup untuk menciptakan SDM yang handal (cerdas, intelektual, emosional dan spiritual) sehingga pembangunan akan mudah dilaksanakan. Sebab pendidikan, SDM, dan pembangunan adalah mata rantai yang tak dapat diputuskan demi kemajuan dan kemakmuran suatu daerah.

Potensi besar
Delapan hakikat MoU Helsinki tersebut dapat menjadi pondasi untuk mendorong peningkatan ekonomi di Bumi Iskandar Muda. Sudah cukup banyak yang Aceh dapat, kini tinggal mengisinya dengan melakukan perbaikan iklim bisnis dengan reformasi birokrasi dan perizinan serta ketersediaan infrastruktur memadai.

Orientasi pemimpin Aceh mesti mengutamakan peningkatan kesejahteraan rakyat, keadilan serta persamaan hak dan kewajiban yang sama bagi seluruh masyarakat. Butir-butir yang telah disepakati dan peluang-peluang yang ada harus disyukuri dan dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Sebanyak apapun uang pemerintah pasti tidak akan bisa memakmurkan rakyat. Investasi terbaik bagi penyelenggara birokrasi adalah memberikan dukungan berupa kemudahan birokrasi dan perizinan, menyediakan infrastruktur, menjaga stabilitas politik, dan menyediakan SDM memadai. Tanpa peran swasta, investasi pemerintah tidak mampu mengakselerasi kemakmuran masyarakat.

Kombinasi dana umum, dana desa, kredit usaha rakyat, dan suku bunga rendah dapat membantu ekonomi rakyat tetap tumbuh. Adapun hal-hal yang masih belum selesai, semua pihak sejatinya tetap bersikap rasional dan moderat sehingga tidak mengganggu potensi pembangunan yang dapat dinikmati oleh rakyat Aceh sampai ke pedesaan.

* Azwar Abubakar, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (2011-2014), Anggota Komisi I DPR RI (2009-2011), Wakil Gubernur dan Plt Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (2000-2005). Email: azwar.abubakar1952@gmail.com (Serambinews)
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget