AMP - Perempuan tua itu sibuk di pinggiran pagar Apartemen Latumeten, Jakarta Barat. Mengurus lapak kecil. Tangan yang sudah keriput itu masih sigap bergerak. Membuka ikatan karung berisi sayur mayur.
Dalam sekejap, aneka sayur itu berpindah tempat. Sudah tertata rapi di lapak beralaskan plastik hitam. Suara serak terus berteriak. Menawarkan dagangan. Seolah tak mau tertinggal roda kehidupan.
Dialah Sunari. Pedagang sayur yang biasa mangkal di situ. Di tempat hunian kelas menengah itu, dia mengadu nasib. Berjibaku semenjak matahari baru menyembul. Bergumul dengan debu dan aroma asap kendaraan bermotor.
Dan hari itu, Senin 21 Desember 2015, dagangan Sunari laris manis. Perempuan separuh abad ini bak kekurangan waktu. Jangankan berleha-leha. Napas panjang pun tak sempat dia hela. Begitu satu pemesan dilayani, pelanggan lain sudah menanti.
Di bawah terik mentari dan guyuran hujan, Sunari memeras keringat. Penat, peluh serta dingin menjadi kawan setia. "Kemarin karena hujan yang beli sepi. Alhamdulillah hari ini dagangan lumayan laku," kata Sunari sambil mengambil obat puyer sakit kepala dari sakunya.
Perempuan dengan kepala ditaburi uban ini memang tengah kurang enak badan. Kemarin, ia tetap berdagang di tengah guyuran hujan lebat. Hanya mengenakan kantong plastik sebagai penutup kepala.
Tubuh rentannya sesekali bergetar menahan dingin. Bibir keriputnya pun bergetar. Matanya nanar. Menunggu satu dua orang membeli dagangannya. Tetap saja sepi pembeli.
"Kemarin karena hujan jadi banyak yang malas keluar. Tapi saya tetap jualan, kalau engga makan dari mana. Makanya kepala lumayan pusing karena kena hujan," kata Sunari yang berasal dari Indramayu.
Wanita yang hidup sebatang kara ini pertama kali menginjakkan kaki di ibukota saat berusia 12 tahun, bersama suaminya, Aswan. Pasangan muda itu membanting tulang demi mencukupi kehidupan sehari-harinya. Sunari berkerja sebagai pelayan restoran, sedangkan Aswan menarik becak.
"Suaminya paling banyak dapat uang narik Rp 100 ribu. Kalau saya diupah Rp 100 per bulan. Buat bayar kontrakan saja susah, apalagi buat makan," kata Sunari dengan mata berkaca-kaca mengenang.
Hidupnya makin berat setelah sang suami lebih dulu dipanggil sang khalik, setahun lalu. Sulit, tapi Sunari tak menyerah. Ia pantang menerima belas kasihan orang lain, apalagi ngemis. Selama masih punya tenaga dan kesehatan, lebih baik seperti ini, walaupun pendapatan tidak seberapa, begitulah prinsip hidupnya.
Jalan Sunari menyambung hidup tanpa mengemis akhirnya datang dari sebuah komunitas yang eksis di sosial media Instagram, @Ketimbang.Ngemis.Jakarta.
Komunitas itu banyak mengangkat kisah mengharukan dari para manula dan penyandang cacat yang tetap berjuang untuk hidupnya dengan jualan ketimbang mengemis.
Di zaman serba gegas, komunitas ini memanfaatkan sosial media. Biasanya mereka mendapatkan kiriman gambar dari followers via instagram. Dari situ KNJ mulai bergerak terjun ke lapangan untuk memberikan bantuan berupa modal usaha.
Sunari salah satunya. Ia mendapatkan bantuan sebesar Rp500 ribu.
Dalam sekejap, aneka sayur itu berpindah tempat. Sudah tertata rapi di lapak beralaskan plastik hitam. Suara serak terus berteriak. Menawarkan dagangan. Seolah tak mau tertinggal roda kehidupan.
Dialah Sunari. Pedagang sayur yang biasa mangkal di situ. Di tempat hunian kelas menengah itu, dia mengadu nasib. Berjibaku semenjak matahari baru menyembul. Bergumul dengan debu dan aroma asap kendaraan bermotor.
Dan hari itu, Senin 21 Desember 2015, dagangan Sunari laris manis. Perempuan separuh abad ini bak kekurangan waktu. Jangankan berleha-leha. Napas panjang pun tak sempat dia hela. Begitu satu pemesan dilayani, pelanggan lain sudah menanti.
Di bawah terik mentari dan guyuran hujan, Sunari memeras keringat. Penat, peluh serta dingin menjadi kawan setia. "Kemarin karena hujan yang beli sepi. Alhamdulillah hari ini dagangan lumayan laku," kata Sunari sambil mengambil obat puyer sakit kepala dari sakunya.
Perempuan dengan kepala ditaburi uban ini memang tengah kurang enak badan. Kemarin, ia tetap berdagang di tengah guyuran hujan lebat. Hanya mengenakan kantong plastik sebagai penutup kepala.
Tubuh rentannya sesekali bergetar menahan dingin. Bibir keriputnya pun bergetar. Matanya nanar. Menunggu satu dua orang membeli dagangannya. Tetap saja sepi pembeli.
"Kemarin karena hujan jadi banyak yang malas keluar. Tapi saya tetap jualan, kalau engga makan dari mana. Makanya kepala lumayan pusing karena kena hujan," kata Sunari yang berasal dari Indramayu.
Wanita yang hidup sebatang kara ini pertama kali menginjakkan kaki di ibukota saat berusia 12 tahun, bersama suaminya, Aswan. Pasangan muda itu membanting tulang demi mencukupi kehidupan sehari-harinya. Sunari berkerja sebagai pelayan restoran, sedangkan Aswan menarik becak.
"Suaminya paling banyak dapat uang narik Rp 100 ribu. Kalau saya diupah Rp 100 per bulan. Buat bayar kontrakan saja susah, apalagi buat makan," kata Sunari dengan mata berkaca-kaca mengenang.
Hidupnya makin berat setelah sang suami lebih dulu dipanggil sang khalik, setahun lalu. Sulit, tapi Sunari tak menyerah. Ia pantang menerima belas kasihan orang lain, apalagi ngemis. Selama masih punya tenaga dan kesehatan, lebih baik seperti ini, walaupun pendapatan tidak seberapa, begitulah prinsip hidupnya.
Jalan Sunari menyambung hidup tanpa mengemis akhirnya datang dari sebuah komunitas yang eksis di sosial media Instagram, @Ketimbang.Ngemis.Jakarta.
Komunitas itu banyak mengangkat kisah mengharukan dari para manula dan penyandang cacat yang tetap berjuang untuk hidupnya dengan jualan ketimbang mengemis.
Di zaman serba gegas, komunitas ini memanfaatkan sosial media. Biasanya mereka mendapatkan kiriman gambar dari followers via instagram. Dari situ KNJ mulai bergerak terjun ke lapangan untuk memberikan bantuan berupa modal usaha.
Sunari salah satunya. Ia mendapatkan bantuan sebesar Rp500 ribu.
Baca Selanjutnya
loading...
Post a Comment