Ilustrasi |
AMP - Kedamaian di Aceh, yang telah tercipta selama 10 tahun terakhir, ternoda oleh pembantaian terhadap dua petugas intelijen TNI. Siapapun pelakunya dan apapun skenario yang melatarinya, kekejaman tersebut menjadikan Kesepakatan Helsinki sebagai taruhan.
Aceh memang belum bisa dikatakan aman. Ini karena masih maraknya kasus penembakan, perampokan bersenjata, dan peredaran senjata api ilegal. Kini ketegangan pun makin melesat gara-gara penculikan pada Minggu malam, 22 Maret 2015, oleh sekelompok orang bersenjata api laras panjang terhadap pejabat militer setempat.
Penculikan pertama dilakukan terhadap Panglima Muda Komite Peralihan Aceh Daerah Dua, Wilayah Pase, Mahmudsyah alias Ayah Mud (48), di Desa Paya Terbang, Kecamatan Samudra, Aceh Utara. Keesokan harinya, dua anggota intelijen Kodim 0103 Aceh Utara juga diculik di kawasan Dusun Alue Mbang, Desa Alue Papeun, Kecamatan Nisam Antara, Aceh Utara.
Berbagai spekulasi dari dua peristiwa yang terjadi hanya berselang dalam hitungan jam itu pun mulai bermunculan. Sebagian besar aparat keamanan mengindikasikan, pelakunya adalah para mantan Gerakan Aceh Merdeka. Ada pula yang mengkaitkan peristiwa ini dengan kelompok eks-GAM pimpinan Abu Minimi alias Din Minimi.
Nama Abu Minimi muncul di akhir tahun 2014, ketika ia menyatakan perang terhadap Gubernur Aceh Zaini Abdullah, yang mantan menteri luar negeri GAM; dan wakilnya, Muzakir Manaf, yang mantan panglima Tentara NAsional Aceh (TNA). Ancaman ini dipicu oleh kekecewaan ini terhadap pemerintahan Aceh yang dianggap menelantarkan kesejahteraan mantan kombatan GAM.
Perpecahan tersebut sebenarnya mulai merebak sejak Pemilukada Gubernur/Wakil Gubernur 2006. Kala itu para kombatan GAM dari kelompok TNA, termasuk Muzakir Manaf, mendukung pasangan Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar. Di pihak lain, kelompok mantan kementerian luar negeri GAM mendukung pasangan Humam Hamid-Hasbi Abdullah.
Perpecahan ini bertambah parah dalam Pemilukada 2012. Saat itu kelompok GAM melalui kendaraan politiknya, Partai Aceh, mengusung pasangan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf. Lawannya adalah incumbent, Irwandi Yusuf. Kali ini, karena tak dicalonkan oleh Partai Aceh, mantan juru bicara GAM itu maju sebagai calon independen.
Demikian dahsyatnya pertarungan politik dalam Pilkada itu, sampai terjadi pembunuhan terhadap mantan GAM pendukung Irwandi, Amirudin Husin alias Saiful Cagee alias Pon Cagee, pada pertengahan 2012. Pembunuhan ini menjadi menjadi momentum perpecahan terbesar dalam kubu GAM.
Pada Pilkada 2014, kubu Irwandi dengan dukungan mantan Wakil Panglima Perang GAM, Sofyan Dawood, keluar dari Partai Aceh. Dalam Pilkada ini mereka maju sebagai calon dari Partai Nasional Aceh.
Di tengah persaingan yang demikian ketat itu, siapa sesungguhnya yang paling berkepentingan membantai dua petugas intelijen TNI dan Panglima muda KPA?
Kecurigaan bisa saja diarahkan kepada kelompok Din Minim lantaran pernah menyatakan perang terhadap pemerintah Aceh. Atau kepada kelompok Vikram yang telah mengaku terlibat dalam pembunuhan Pon Cagee.
Hanya saja, Minimi dan Vikram telah membantah keterlibatannya dalam kaksi berdarah tersebut.
Menemukan siapa pelaku sesungguhnya memang tak gampang. Ini karena banyak senjata illegal beredar di Aceh. Kesepakatan Helsinski yang mewajibkan GAM menyerahkan senjata tampak tak berpengaruh kalau dikaitkan dengan tingginya angka gangguan bersenjata di Aceh.
Celakanya lagi, kini tak hanya mantan kombatan GAM yang bersenjata. Kasus penggerebekan kamp latihan teroris di Jantho, Aceh, pada 2010 membuktikan jaringan teoris non-Aceh tak boleh disepelekan. Menurut direktur Institute for Policy Analysis of Conflict, Sidney Jones, kamp tersebut dibangun oleh jaringan teroris Aceh dengan kelompok Medan, Solo, Malang, Bima, Poso, Banten, beberapa daerah di Jawa Timur, dan esktremis Darul Islam.
Sidney Jones juga percaya bahwa mereka sekarang menjadi pendukung utama milisi ISIS di Indonesia. Bila sekarang mereka memiliki semangat tempur sangat tinggi, tampaknya terkait dengan pernyataan para tokoh idola mereka - Abu Bakar Ba'asyir, Aman Abdurrahman (Jamaah Ansharut Tauhid-JAT), dan Santoso alias Abu Wardah (pemimpin kelompok teroris di Poso, Sulawesi Tengah) – yang telah mengakui Abubakar al-Baghdadi sebagai khalifah.
Lantas, skenario apa sesungguhnya yang tengah membuat penduduk Aceh dihantui oleh terulangnya konflik bersenjata sepertu dulu? Yang pasti, sebelum jenazah kedua anggota intelijen TNI ditemukan, telah tersiar kabar bahwa mereka telah tewas. Sedangkan untuk mengetahui siapa yang berkepentingan untuk menciptakan kekacauan di Aceh, kita masih harus menunggu dengan sabar.
Aceh memang belum bisa dikatakan aman. Ini karena masih maraknya kasus penembakan, perampokan bersenjata, dan peredaran senjata api ilegal. Kini ketegangan pun makin melesat gara-gara penculikan pada Minggu malam, 22 Maret 2015, oleh sekelompok orang bersenjata api laras panjang terhadap pejabat militer setempat.
Penculikan pertama dilakukan terhadap Panglima Muda Komite Peralihan Aceh Daerah Dua, Wilayah Pase, Mahmudsyah alias Ayah Mud (48), di Desa Paya Terbang, Kecamatan Samudra, Aceh Utara. Keesokan harinya, dua anggota intelijen Kodim 0103 Aceh Utara juga diculik di kawasan Dusun Alue Mbang, Desa Alue Papeun, Kecamatan Nisam Antara, Aceh Utara.
Berbagai spekulasi dari dua peristiwa yang terjadi hanya berselang dalam hitungan jam itu pun mulai bermunculan. Sebagian besar aparat keamanan mengindikasikan, pelakunya adalah para mantan Gerakan Aceh Merdeka. Ada pula yang mengkaitkan peristiwa ini dengan kelompok eks-GAM pimpinan Abu Minimi alias Din Minimi.
Nama Abu Minimi muncul di akhir tahun 2014, ketika ia menyatakan perang terhadap Gubernur Aceh Zaini Abdullah, yang mantan menteri luar negeri GAM; dan wakilnya, Muzakir Manaf, yang mantan panglima Tentara NAsional Aceh (TNA). Ancaman ini dipicu oleh kekecewaan ini terhadap pemerintahan Aceh yang dianggap menelantarkan kesejahteraan mantan kombatan GAM.
Perpecahan tersebut sebenarnya mulai merebak sejak Pemilukada Gubernur/Wakil Gubernur 2006. Kala itu para kombatan GAM dari kelompok TNA, termasuk Muzakir Manaf, mendukung pasangan Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar. Di pihak lain, kelompok mantan kementerian luar negeri GAM mendukung pasangan Humam Hamid-Hasbi Abdullah.
Perpecahan ini bertambah parah dalam Pemilukada 2012. Saat itu kelompok GAM melalui kendaraan politiknya, Partai Aceh, mengusung pasangan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf. Lawannya adalah incumbent, Irwandi Yusuf. Kali ini, karena tak dicalonkan oleh Partai Aceh, mantan juru bicara GAM itu maju sebagai calon independen.
Demikian dahsyatnya pertarungan politik dalam Pilkada itu, sampai terjadi pembunuhan terhadap mantan GAM pendukung Irwandi, Amirudin Husin alias Saiful Cagee alias Pon Cagee, pada pertengahan 2012. Pembunuhan ini menjadi menjadi momentum perpecahan terbesar dalam kubu GAM.
Pada Pilkada 2014, kubu Irwandi dengan dukungan mantan Wakil Panglima Perang GAM, Sofyan Dawood, keluar dari Partai Aceh. Dalam Pilkada ini mereka maju sebagai calon dari Partai Nasional Aceh.
Di tengah persaingan yang demikian ketat itu, siapa sesungguhnya yang paling berkepentingan membantai dua petugas intelijen TNI dan Panglima muda KPA?
Kecurigaan bisa saja diarahkan kepada kelompok Din Minim lantaran pernah menyatakan perang terhadap pemerintah Aceh. Atau kepada kelompok Vikram yang telah mengaku terlibat dalam pembunuhan Pon Cagee.
Hanya saja, Minimi dan Vikram telah membantah keterlibatannya dalam kaksi berdarah tersebut.
Menemukan siapa pelaku sesungguhnya memang tak gampang. Ini karena banyak senjata illegal beredar di Aceh. Kesepakatan Helsinski yang mewajibkan GAM menyerahkan senjata tampak tak berpengaruh kalau dikaitkan dengan tingginya angka gangguan bersenjata di Aceh.
Celakanya lagi, kini tak hanya mantan kombatan GAM yang bersenjata. Kasus penggerebekan kamp latihan teroris di Jantho, Aceh, pada 2010 membuktikan jaringan teoris non-Aceh tak boleh disepelekan. Menurut direktur Institute for Policy Analysis of Conflict, Sidney Jones, kamp tersebut dibangun oleh jaringan teroris Aceh dengan kelompok Medan, Solo, Malang, Bima, Poso, Banten, beberapa daerah di Jawa Timur, dan esktremis Darul Islam.
Sidney Jones juga percaya bahwa mereka sekarang menjadi pendukung utama milisi ISIS di Indonesia. Bila sekarang mereka memiliki semangat tempur sangat tinggi, tampaknya terkait dengan pernyataan para tokoh idola mereka - Abu Bakar Ba'asyir, Aman Abdurrahman (Jamaah Ansharut Tauhid-JAT), dan Santoso alias Abu Wardah (pemimpin kelompok teroris di Poso, Sulawesi Tengah) – yang telah mengakui Abubakar al-Baghdadi sebagai khalifah.
Lantas, skenario apa sesungguhnya yang tengah membuat penduduk Aceh dihantui oleh terulangnya konflik bersenjata sepertu dulu? Yang pasti, sebelum jenazah kedua anggota intelijen TNI ditemukan, telah tersiar kabar bahwa mereka telah tewas. Sedangkan untuk mengetahui siapa yang berkepentingan untuk menciptakan kekacauan di Aceh, kita masih harus menunggu dengan sabar.
Sumber: indonesianreview.com
loading...
Post a Comment