AMP - Usai menempuh perjalanan selama enam jam
dari Bandara Kualanamu, Sumatera Utara, kami bertujuh akhirnya tiba di
salah satu tujuan yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB) Cahaya Peureulak Aceh
Timur. Keramahan dan kehangatan pendiri sekaligus pengelola SLB Cahaya,
Ibu Nur dan Pak Muchtar menyambut kehadiran kami, pada Selasa 1 Desember
2015.
Saya bersama lima orang lainnya merupakan peserta program Menyapa Negeriku yang digagas Kementerian Riset Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Jakarta. Mereka adalah Vika Restu (Ortopedagogik), Silvy Tanaga (Aktivis sosial), Rara Rengganis (Dokter), Bustomi (penggiat sosial politik), dan Dwi Prasetyo (Mahasiswa berprestasi), sedangkan saya Ramadhan Wibisono jurnalis TV One.
Kami didampingi Juni Safitri, alumnus SM3T angkatan 4 yang pernah ditugaskan di kawasan Peureulak. SM3T adalah program pemerintah (bermula Kemendikbud kemudian berlanjut Kemenristekdikti) sejak 2011 bagi guru yang hendak meraih status pegawai negeri sipil harus menempuh jenjang mengajar sekaligus mendidik di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal atau 3T selama setahun.
Kesan pertama yang saya rasakan di SLB Cahaya adalah keceriaan dan kehangatan tiada henti para pendidik SM3T dan peserta didik di balik kesederhanaan. SLB Cahaya menampung 43 murid pria dan wanita yang terbagi atas SLB tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, tuna daksa, serta lima pendidik SM3T. Sebagian murid bersama para pendidik SM3T menginap di asrama SLB Cahaya.
Sekilas bangunan SLB Cahaya tampak "normal" layaknya gedung sekolah pada umumnya. Berdiri sejak 2012 atas inisiatif pasangan suami istri Bu Nur dan Pak Muchtar, dikelilingi pematang sawah serta empang dan jalan beraspal tipis di wilayah yang pernah menjadi basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Namun ironis, di balik keceriaan semangat pantang menyerah para murid berkebutuhan khusus bersama seluruh pendidik SM3T di SLB Cahaya untuk maju, fasilitas SLB Cahaya yang berfungsi sebagai tempat tinggal sekaligus menuntut ilmu masih belum memadai. Menurut Bu Nur, perhatian atau kepedulian warga sekitar dan pemerintah setempat juga kurang.
Ruang kelas seadanya dengan jumlah terbatas, belum lagi kamar mandi ala kadarnya yang kerap memaksa para murid ataupun pengajar SM3T mengantri untuk menggunakannya, ditambah lagi fasilitas air bersih yang sering terabaikan.
Kepedulian masyarakat bersama pemerintah sangat dibutuhkan demi fasilitas terbaik dan berkembangnya generasi muda Indonesia khususnya Peureulak, Aceh Timur. Jangan lagi ada diskriminasi menganaktirikan anak-anak berkebutuhan khusus.
Rabu, 2 Desember 2015
Indonesia sangat kaya dengan budaya dan adat istiadat menarik, khususnya Nanggroe Aceh yang patut dilestarikan. Salah satunya Tari Ranup Lampuan yang menyambut kami bertujuh yaitu tim Menyapa Negeriku SM3T Aceh Timur di SMAN 1 Peureulak Aceh Timur. Dengan anggun dan lincah lima siswi SDN 1 Peureulak ini menampilkan Tari Ranup lampuan.
Tari Ranup Lampuan berarti sirih dalam puan atau tempat sirih khas Aceh. Awalnya dikenal di Banda Aceh kemudian berkembang ke seluruh wilayah tanah rencong. Tarian ini berlatar belakang adat atau kebiasaan masyarakat Serambi Mekah dalam menerima dan memuliakan tamu. Tarian yang diciptakan almarhum Yuslizar, warga asli Aceh pada 1959 ini memiliki arti tersendiri di tiap gerakan seperti memetik sirih kemudian membuang tangkainya, membersihkan sirih, hingga menyuguhkan sirih kepada tamu.
Penyambutan adat setempat kepada kami tak berakhir di Ranup Lampuan. Sejumlah gadis cantik murid SMAN 1 Peureulak ikut menyajikan tarian yang juga khas Aceh, Ati Awai. Tarian ini menggambarkan beragam permainan tradisional Aceh.
Sebelumnya, dua orang dari kami didaulat mengikuti upacara Peusijuk yang berarti penyampaian doa oleh ketua adat agar kegiatan kami selama di Aceh Timur berjalan lancar sekaligus bermanfaat positif untuk masyarakat.
Kami pun turut menerima informasi dari tengku atau tokoh adat dan ulama setempat seputar asal usul sejarah Peureulak yang berlatar belakang lahirnya Kesultanan Islam pertama di Aceh, bahkan masuknya Islam di Indonesia juga berawal dari Aceh.
Tak hanya budaya, kami juga tidak melewatkan kesempatan menikmati tiga hidangan masakan khas Aceh di Peureulak. Sayur pli (berbahan kelapa dibusukkan dan bentuknya mirip sayur lodeh), asam udeng (udang asam penyet memakai belimbing wuluh), serta asam ke'eung (udang asam pedas menggunakan belimbing wuluh). Cita rasa kuliner melayu sungguh menggugah selera makan kami. Aaajiib !!!
Saya bersama lima orang lainnya merupakan peserta program Menyapa Negeriku yang digagas Kementerian Riset Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Jakarta. Mereka adalah Vika Restu (Ortopedagogik), Silvy Tanaga (Aktivis sosial), Rara Rengganis (Dokter), Bustomi (penggiat sosial politik), dan Dwi Prasetyo (Mahasiswa berprestasi), sedangkan saya Ramadhan Wibisono jurnalis TV One.
Kami didampingi Juni Safitri, alumnus SM3T angkatan 4 yang pernah ditugaskan di kawasan Peureulak. SM3T adalah program pemerintah (bermula Kemendikbud kemudian berlanjut Kemenristekdikti) sejak 2011 bagi guru yang hendak meraih status pegawai negeri sipil harus menempuh jenjang mengajar sekaligus mendidik di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal atau 3T selama setahun.
Kesan pertama yang saya rasakan di SLB Cahaya adalah keceriaan dan kehangatan tiada henti para pendidik SM3T dan peserta didik di balik kesederhanaan. SLB Cahaya menampung 43 murid pria dan wanita yang terbagi atas SLB tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, tuna daksa, serta lima pendidik SM3T. Sebagian murid bersama para pendidik SM3T menginap di asrama SLB Cahaya.
Sekilas bangunan SLB Cahaya tampak "normal" layaknya gedung sekolah pada umumnya. Berdiri sejak 2012 atas inisiatif pasangan suami istri Bu Nur dan Pak Muchtar, dikelilingi pematang sawah serta empang dan jalan beraspal tipis di wilayah yang pernah menjadi basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Namun ironis, di balik keceriaan semangat pantang menyerah para murid berkebutuhan khusus bersama seluruh pendidik SM3T di SLB Cahaya untuk maju, fasilitas SLB Cahaya yang berfungsi sebagai tempat tinggal sekaligus menuntut ilmu masih belum memadai. Menurut Bu Nur, perhatian atau kepedulian warga sekitar dan pemerintah setempat juga kurang.
Ruang kelas seadanya dengan jumlah terbatas, belum lagi kamar mandi ala kadarnya yang kerap memaksa para murid ataupun pengajar SM3T mengantri untuk menggunakannya, ditambah lagi fasilitas air bersih yang sering terabaikan.
Kepedulian masyarakat bersama pemerintah sangat dibutuhkan demi fasilitas terbaik dan berkembangnya generasi muda Indonesia khususnya Peureulak, Aceh Timur. Jangan lagi ada diskriminasi menganaktirikan anak-anak berkebutuhan khusus.
Rabu, 2 Desember 2015
Indonesia sangat kaya dengan budaya dan adat istiadat menarik, khususnya Nanggroe Aceh yang patut dilestarikan. Salah satunya Tari Ranup Lampuan yang menyambut kami bertujuh yaitu tim Menyapa Negeriku SM3T Aceh Timur di SMAN 1 Peureulak Aceh Timur. Dengan anggun dan lincah lima siswi SDN 1 Peureulak ini menampilkan Tari Ranup lampuan.
Tari Ranup Lampuan berarti sirih dalam puan atau tempat sirih khas Aceh. Awalnya dikenal di Banda Aceh kemudian berkembang ke seluruh wilayah tanah rencong. Tarian ini berlatar belakang adat atau kebiasaan masyarakat Serambi Mekah dalam menerima dan memuliakan tamu. Tarian yang diciptakan almarhum Yuslizar, warga asli Aceh pada 1959 ini memiliki arti tersendiri di tiap gerakan seperti memetik sirih kemudian membuang tangkainya, membersihkan sirih, hingga menyuguhkan sirih kepada tamu.
Penyambutan adat setempat kepada kami tak berakhir di Ranup Lampuan. Sejumlah gadis cantik murid SMAN 1 Peureulak ikut menyajikan tarian yang juga khas Aceh, Ati Awai. Tarian ini menggambarkan beragam permainan tradisional Aceh.
Sebelumnya, dua orang dari kami didaulat mengikuti upacara Peusijuk yang berarti penyampaian doa oleh ketua adat agar kegiatan kami selama di Aceh Timur berjalan lancar sekaligus bermanfaat positif untuk masyarakat.
Kami pun turut menerima informasi dari tengku atau tokoh adat dan ulama setempat seputar asal usul sejarah Peureulak yang berlatar belakang lahirnya Kesultanan Islam pertama di Aceh, bahkan masuknya Islam di Indonesia juga berawal dari Aceh.
Tak hanya budaya, kami juga tidak melewatkan kesempatan menikmati tiga hidangan masakan khas Aceh di Peureulak. Sayur pli (berbahan kelapa dibusukkan dan bentuknya mirip sayur lodeh), asam udeng (udang asam penyet memakai belimbing wuluh), serta asam ke'eung (udang asam pedas menggunakan belimbing wuluh). Cita rasa kuliner melayu sungguh menggugah selera makan kami. Aaajiib !!!
Kamis, 3 Desember 2015
Hari ketiga di Peureulak, kami bertujuh memiliki aktivitas berbeda sejak pukul 9 pagi. Saya berbagi pengalaman jurnalistik cetak, online, dan elektronik, di SMAN 1 Peureulak. Sedangkan Bustomi dan Dwi mengisi kegiatan di SMPN 1 Peureulak seputar motivasi kerja dan membatik. Selanjutnya Vika dengan spesialisasinya berbagi bersama murid SLB Cahaya didampingi Silvy berlatih mural. Sementara Rara menyampaikan informasi seputar kesehatan kepada masyarakat lokal.
SMAN 1 Peureulak merupakan satu-satunya SMA Negeri di Peureulak. Bangunan sekolah lumayan apik dan fasilitas cukup mumpuni. Para muridnya pun tergolong kekinian karena mayoritas telah mengikuti perkembangan zaman dan sudah terpengaruh teknologi komunikasi serta media massa, meski internal sekolah tengah dilanda masalah dugaan pelanggaran etika oleh Kepala Sekolah.
Peureulak sendiri dinilai sebagai kecamatan yang beranjak berkembang meski belum banyak bangunan besar ataupun pusat perbelanjaan karena peraturan adat dan agama cukup ketat. Peureulak bisa dikatakan bukan tergolong daerah pelosok ataupun terluar.
Berbagi pengalaman seputar dasar jurnalistik kepada siswa siswi SMA adalah perdana bagi saya. Kepuasan bagi saya jika sahabat, teman-teman, dan saudara di SMAN 1 Peureulak antusias menerima dan memahami pengalaman jurnalistik. Selama berbaur dengan sahabat SMAN 1 Peureulak, saya didampingi seorang SM3T angkatan 5 dan Guru Garis Depan (GGD/alumnus SM3T angkatan 1), Ichwan Fikr Al-Mustanir.
Saya mengajak siswa siswi SMAN 1 Peureulak mengenal dunia jurnalisme mulai dari media cetak, online, hingga elektronik radio dan televisi. Selanjutnya saya mengajak mereka praktik reportase layaknya reporter televisi melaporkan secara langsung peristiwa di lokasi kejadian, sehingga muncul keberanian berbicara di depan publik secara sistematis. Saya berharap lahir jurnalis profesional bertaraf internasional sepuluh tahun mendatang dari Aceh Timur. Apapun profesi yang hendak diraih, selama ditekuni dengan baik, pantang menyerah, dan diiringi ketulusan ibadah kepada Allah, InsyaAllah berhasil.
Usai berbaur dengan kegiatan masing-masing di tempat berbeda, kami bertujuh bersiap beranjak menuju Desa Lokop, Aceh Timur, yang berjarak tempuh empat sampai lima jam dari Peureulak pada hari yang sama. Setelah berkemas, kami berangkat ke SMPN 1 Lokop bersama semua rekan SM3T menggunakan dua mobil pickup sekitar pukul 3 sore. Sepanjang perjalanan kami diselimuti angin dingin perbukitan menembus jalur berkelok naik turun dan hutan belantara. Begitu tiba di SMPN 1 Lokop, kami disambut sahabat SM3T setempat bersama pengurus sekolah dan langsung beristirahat.
Jumat, 4 Desember 2015
Miris, begitulah kata yang dapat saya ucapkan melihat kondisi sarana pendidikan di pedalaman Aceh Timur, Kecamatan Lokop Serbejadi, tepatnya di SMP Negeri 1 Lokop yang berjarak 120 Km dari Kota Langsa dan 100 Km dari Ibukota Kabupaten Aceh Timur, Idi Rayeuk.
Saat sebagian besar rombongan kami menuju lokasi wisata air terjun Terujak, saya lebih tertarik berbaur sambil berbagi pengalaman jurnalisme saya bersama murid SMPN 1 Lokop. Saya pun ikut mengamati keadaan sosial masyarakat Lokop yang didominasi Suku Gayo. Sunyi dan tenteram dengan berjajar warung kopi khas Gayo. Fasilitas air bersih juga masih langka di wilayah ini. Terlebih lagi, sarana komunikasi berbagai penyedia layanan tidak terjangkau di Lokop meski sarana hiburan media massa khususnya televisi sudah diterima warga. Padahal, menara pemancar penyedia komunikasi telah berdiri gagah seolah tidak berguna.
PemKab Aceh Timur lupa-lupa ingat keberadaan Kecamatan Lokop di tengah belantara itu. Diskriminasi sosial dan timpangnya pembangunan menyelimuti aktivitas masyarakat setempat. Kondisi jalan yang hancur dan berliku kian menambah duka warga Lokop.
Hari ketiga di Peureulak, kami bertujuh memiliki aktivitas berbeda sejak pukul 9 pagi. Saya berbagi pengalaman jurnalistik cetak, online, dan elektronik, di SMAN 1 Peureulak. Sedangkan Bustomi dan Dwi mengisi kegiatan di SMPN 1 Peureulak seputar motivasi kerja dan membatik. Selanjutnya Vika dengan spesialisasinya berbagi bersama murid SLB Cahaya didampingi Silvy berlatih mural. Sementara Rara menyampaikan informasi seputar kesehatan kepada masyarakat lokal.
SMAN 1 Peureulak merupakan satu-satunya SMA Negeri di Peureulak. Bangunan sekolah lumayan apik dan fasilitas cukup mumpuni. Para muridnya pun tergolong kekinian karena mayoritas telah mengikuti perkembangan zaman dan sudah terpengaruh teknologi komunikasi serta media massa, meski internal sekolah tengah dilanda masalah dugaan pelanggaran etika oleh Kepala Sekolah.
Peureulak sendiri dinilai sebagai kecamatan yang beranjak berkembang meski belum banyak bangunan besar ataupun pusat perbelanjaan karena peraturan adat dan agama cukup ketat. Peureulak bisa dikatakan bukan tergolong daerah pelosok ataupun terluar.
Berbagi pengalaman seputar dasar jurnalistik kepada siswa siswi SMA adalah perdana bagi saya. Kepuasan bagi saya jika sahabat, teman-teman, dan saudara di SMAN 1 Peureulak antusias menerima dan memahami pengalaman jurnalistik. Selama berbaur dengan sahabat SMAN 1 Peureulak, saya didampingi seorang SM3T angkatan 5 dan Guru Garis Depan (GGD/alumnus SM3T angkatan 1), Ichwan Fikr Al-Mustanir.
Saya mengajak siswa siswi SMAN 1 Peureulak mengenal dunia jurnalisme mulai dari media cetak, online, hingga elektronik radio dan televisi. Selanjutnya saya mengajak mereka praktik reportase layaknya reporter televisi melaporkan secara langsung peristiwa di lokasi kejadian, sehingga muncul keberanian berbicara di depan publik secara sistematis. Saya berharap lahir jurnalis profesional bertaraf internasional sepuluh tahun mendatang dari Aceh Timur. Apapun profesi yang hendak diraih, selama ditekuni dengan baik, pantang menyerah, dan diiringi ketulusan ibadah kepada Allah, InsyaAllah berhasil.
Usai berbaur dengan kegiatan masing-masing di tempat berbeda, kami bertujuh bersiap beranjak menuju Desa Lokop, Aceh Timur, yang berjarak tempuh empat sampai lima jam dari Peureulak pada hari yang sama. Setelah berkemas, kami berangkat ke SMPN 1 Lokop bersama semua rekan SM3T menggunakan dua mobil pickup sekitar pukul 3 sore. Sepanjang perjalanan kami diselimuti angin dingin perbukitan menembus jalur berkelok naik turun dan hutan belantara. Begitu tiba di SMPN 1 Lokop, kami disambut sahabat SM3T setempat bersama pengurus sekolah dan langsung beristirahat.
Jumat, 4 Desember 2015
Miris, begitulah kata yang dapat saya ucapkan melihat kondisi sarana pendidikan di pedalaman Aceh Timur, Kecamatan Lokop Serbejadi, tepatnya di SMP Negeri 1 Lokop yang berjarak 120 Km dari Kota Langsa dan 100 Km dari Ibukota Kabupaten Aceh Timur, Idi Rayeuk.
Saat sebagian besar rombongan kami menuju lokasi wisata air terjun Terujak, saya lebih tertarik berbaur sambil berbagi pengalaman jurnalisme saya bersama murid SMPN 1 Lokop. Saya pun ikut mengamati keadaan sosial masyarakat Lokop yang didominasi Suku Gayo. Sunyi dan tenteram dengan berjajar warung kopi khas Gayo. Fasilitas air bersih juga masih langka di wilayah ini. Terlebih lagi, sarana komunikasi berbagai penyedia layanan tidak terjangkau di Lokop meski sarana hiburan media massa khususnya televisi sudah diterima warga. Padahal, menara pemancar penyedia komunikasi telah berdiri gagah seolah tidak berguna.
PemKab Aceh Timur lupa-lupa ingat keberadaan Kecamatan Lokop di tengah belantara itu. Diskriminasi sosial dan timpangnya pembangunan menyelimuti aktivitas masyarakat setempat. Kondisi jalan yang hancur dan berliku kian menambah duka warga Lokop.
Wahana pendidikan yang merupakan pencetak
generasi dibangun ala kadarnya. SMP Negeri 1 Lokop Serbejadi salah satu
contohnya yang seolah ditinggalkan. Di sini 338 anak Gayo tengah
menempuh pendidikan, berharap suatu hari nanti mereka bisa menjadi motor
bagi daerahnya.
Di tengah suasana memprihatinkan itu, para murid bersekolah dengan wajar. Mereka tetap ceria serta semangat menuntut ilmu dengan beragam cita-cita. Kebanyakan mereka bercita-cita sebagai bidan serta guru dengan hobi menikmati musik India. Mereka memiliki bakat potensial yang patut dikembangkan ke arah positif. Saya ikut berupaya menambah wawasan bahwa ada aktivitas jurnalis yang bisa menjadi profesi mereka atau setidaknya memperkaya hobi mereka yang bisa menghasilkan keuntungan.
Satu hal yang mengusik saya di tengah zaman modernisasi sekarang ini, masyarakat Lokop tidak dapat menikmati komunikasi. Jika hendak menghubungi keluarga atau teman di tempat terpisah, mereka terpaksa bertemu tatap muka. Bahkan kantor pos pun tidak tersedia.
Pemerintah bersama tokoh masyarakat ataupun pemuka adat setempat seharusnya duduk bersama menyelesaikan masalah tersebut dengan baik. Sarana komunikasi bukanlah barang mewah melainkan kebutuhan yang dapat memacu kemajuan perekonomian suatu daerah. Jika berdampak negatif, tentu dapat diatasi melalui dialog kekeluargaan bukan pelarangan yang mengakibatkan kemunduran sosial ekonomi masyarakat.
Sabtu, 5 Desember 2015
Inilah hari terakhir kami mengikuti Menyapa Negeriku. Saya mendapat pengalaman sangat berharga dan tak terlupakan mengikuti program ini. Lima hari merupakan waktu singkat tapi saya berharap kegiatan kami bermanfaat bagi semua pihak. Hari ini hanya diisi perjalanan kami menuju Bandara Kualanamu, Sumatara Utara, kemudian kembali ke Jakarta.
Salut maksimal sekaligus apresiasi optimal saya haturkan kepada seluruh rekan SM3T dan Guru Garis Depan (GGD) di manapun mereka berada, termasuk Aceh Timur. Para pejuang muda itu rela mengabdikan dirinya bahkan mengorbankan waktu mudanya di daerah yang mungkin tidak dikenal, dengan fasilitas sangat minim, jauh dari keluarga, serta kehidupan layak dan "normal" demi kemajuan pendidikan generasi muda Indonesia.
Terima kasih juga kepada Kemenristekdikti yang telah mengadakan program Menyapa Negeriku karena sudah sepantasnya pemerintah pusat bersama pemerintah daerah yang diwakili Kemendikbud maupun Kemenristekdikti dan Kementerian lain yang berkaitan untuk saling bersinergi memberikan penghargaan berlebih kepada mereka pahlawan SM3T serta GGD, tidak hanya janji pegawai negeri sipil ataupun kemudahan proses sertifikasi.
Aparat pemerintah terkait pun sudah seharusnya tidak hanya mengirimkan tenaga tangguh SM3T maupun GGD tiap tahun, melainkan segera memperbaiki sekaligus meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan serta kehidupan layak di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).
Anggaran tentu telah tersedia melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) jika tidak disalahgunakan oknum tidak bertanggung jawab. (Cerita ini dikirim oleh Ramadhan Wibisono, Jakarta)
Di tengah suasana memprihatinkan itu, para murid bersekolah dengan wajar. Mereka tetap ceria serta semangat menuntut ilmu dengan beragam cita-cita. Kebanyakan mereka bercita-cita sebagai bidan serta guru dengan hobi menikmati musik India. Mereka memiliki bakat potensial yang patut dikembangkan ke arah positif. Saya ikut berupaya menambah wawasan bahwa ada aktivitas jurnalis yang bisa menjadi profesi mereka atau setidaknya memperkaya hobi mereka yang bisa menghasilkan keuntungan.
Satu hal yang mengusik saya di tengah zaman modernisasi sekarang ini, masyarakat Lokop tidak dapat menikmati komunikasi. Jika hendak menghubungi keluarga atau teman di tempat terpisah, mereka terpaksa bertemu tatap muka. Bahkan kantor pos pun tidak tersedia.
Pemerintah bersama tokoh masyarakat ataupun pemuka adat setempat seharusnya duduk bersama menyelesaikan masalah tersebut dengan baik. Sarana komunikasi bukanlah barang mewah melainkan kebutuhan yang dapat memacu kemajuan perekonomian suatu daerah. Jika berdampak negatif, tentu dapat diatasi melalui dialog kekeluargaan bukan pelarangan yang mengakibatkan kemunduran sosial ekonomi masyarakat.
Sabtu, 5 Desember 2015
Inilah hari terakhir kami mengikuti Menyapa Negeriku. Saya mendapat pengalaman sangat berharga dan tak terlupakan mengikuti program ini. Lima hari merupakan waktu singkat tapi saya berharap kegiatan kami bermanfaat bagi semua pihak. Hari ini hanya diisi perjalanan kami menuju Bandara Kualanamu, Sumatara Utara, kemudian kembali ke Jakarta.
Salut maksimal sekaligus apresiasi optimal saya haturkan kepada seluruh rekan SM3T dan Guru Garis Depan (GGD) di manapun mereka berada, termasuk Aceh Timur. Para pejuang muda itu rela mengabdikan dirinya bahkan mengorbankan waktu mudanya di daerah yang mungkin tidak dikenal, dengan fasilitas sangat minim, jauh dari keluarga, serta kehidupan layak dan "normal" demi kemajuan pendidikan generasi muda Indonesia.
Terima kasih juga kepada Kemenristekdikti yang telah mengadakan program Menyapa Negeriku karena sudah sepantasnya pemerintah pusat bersama pemerintah daerah yang diwakili Kemendikbud maupun Kemenristekdikti dan Kementerian lain yang berkaitan untuk saling bersinergi memberikan penghargaan berlebih kepada mereka pahlawan SM3T serta GGD, tidak hanya janji pegawai negeri sipil ataupun kemudahan proses sertifikasi.
Aparat pemerintah terkait pun sudah seharusnya tidak hanya mengirimkan tenaga tangguh SM3T maupun GGD tiap tahun, melainkan segera memperbaiki sekaligus meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan serta kehidupan layak di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).
Anggaran tentu telah tersedia melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) jika tidak disalahgunakan oknum tidak bertanggung jawab. (Cerita ini dikirim oleh Ramadhan Wibisono, Jakarta)
VIVA
loading...
Post a Comment