JELANG Pilkada Aceh 2017, segala gejala sosial yang tampak di permukaan sarat politik. Gejala sosial itu bermula dari kepentingan politik atau sebaliknya, dikait-kaitkan dengan kepentingan politik. Isu korupsi, isu kekerasan, isu ekonomi, hingga isu agama jadi dagelan politik
Berbagai isu sosial di tahun-tahun sebelumnya, menjadi ‘barang jualan’ politik menuju pemilihan Kepala Daerah di Tahun 2017 nanti. Bila tidak ada isu sosial yang tepat, maka isu apapun dapat ‘digoreng’ sedemikian rupa. Bila tidak terbukti suatu gejala sosial terkait dengan kepentingan politik, maka isu tersebut akan segera dikait-kaitkan sedemikian rupa sebagai isu politik. Gempa di daerah, misalnya, tentu tidak disebabkan oleh situasi politik, karena gempa adalah peristiwa alam. Namun, peristiwa alam itu bisa dijadikan momen politik melalui berbagai kegiatan untuk menjaring simpati publik. Secara struktural, dalam kehidupan bernegara, gejala sosial didominasi oleh politik. Namun tidak semua gejala sosial sejak awal dapat dianggap sebagai bagian dari politik.
Dagelan-dagelan—yang secara harafiah berarti ‘peristiwa yang sengaja dipertontonkan kepada publik dengan maksud tertentu’—politik semakin hari semakin riuh, semakin menumpuk, semakin menjejali kehidupan masyarakat. Bagaimana suatu peristiwa politik dan hukum yang melibatkan para politisi yang melibatkan Mahasiswa, Kader muda dan juga berbagai unsur lembaga.
Dalam khazanah teori sosial, Gramsci mengusung pemahaman kekuasaan melalui hegemoni. Hegemoni terselenggara lewat media, sekolah, kepemilikan modal, dan lembaga-lembaga negara. Instrumen-instrumen ini mampu mengolah isu sedemikian rupa sehingga mempengaruhi pikiran masyarakat agar sesuai dengan tujuan dari hegemoni tersebut. Media, sekolah, kepemilikan modal, dan lembaga negara adalah serangkaian wadah pembentukan dominasi. Bagi Gramsci, hegemoni dapat dilakukan melalui dominasi di berbagi sektor. Media massa, salah satu instrumen yang paling efektif dalam persemaian gagasan, dengan cara mengulang-ulangnya—seperti yang dilontarkan Napoleon: kebohongan yang terus diulang dapat diterima sebagai suatu kebenaran. Cepat atau lambat, penerimaan itu akan menjadi cara pandang tertentu untuk memandang realitas. Atau dengan kata lain, ideologi.
Dalam konteks perkembangan kapitalisme yang telah menghidupi kultur politik yang sarat korupsi ini, penguasaan media adalah syarat mutlak untuk memenangkan politik elektoral. Dengan kata lain, bila Anda mampu menguasai media, maka Anda mampu menguasai pikiran masyarakat sehingga jalan menuju kekuasaan pun semakin mulus.
Fungsi media kini telah bias. Media tak lagi menyalurkan informasi yang dibutuhkan publik. Sebagaimana yang sering ditegaskan para pakar media, ia lebih mengakomodasi kepentingan-kepentingan elit-elit politik di balik penyajian dan frekuensi pemuatan kontennya, sehingga tidak lagi dapat dipandang sebagai sarana informasi yang sifatnya murni untuk kepentingan publik. Cepat atau lambat, perkembangan informasi saat ini membuat perilaku media semakin politis. Media, singkatnya, berpolitik.
Peristiwa yang sekarang kita alami iyalah beberapa Media yang jelang menyokong dan hampir tiada hari yang memngembangkan isu pencintraan dan juga kampanye politi. contohnya salah satu kandidat kuat di Aceh yang sekarang lagi riangnya merekrut para rakannya, sasarannya ialah, mahasiswa/i, pemuda dan juga aparatur gampong yang di koneksi melalui jurus sistematis perintah komando yang mereka jalankan.
Berbagai isu sosial di tahun-tahun sebelumnya, menjadi ‘barang jualan’ politik menuju pemilihan Kepala Daerah di Tahun 2017 nanti. Bila tidak ada isu sosial yang tepat, maka isu apapun dapat ‘digoreng’ sedemikian rupa. Bila tidak terbukti suatu gejala sosial terkait dengan kepentingan politik, maka isu tersebut akan segera dikait-kaitkan sedemikian rupa sebagai isu politik. Gempa di daerah, misalnya, tentu tidak disebabkan oleh situasi politik, karena gempa adalah peristiwa alam. Namun, peristiwa alam itu bisa dijadikan momen politik melalui berbagai kegiatan untuk menjaring simpati publik. Secara struktural, dalam kehidupan bernegara, gejala sosial didominasi oleh politik. Namun tidak semua gejala sosial sejak awal dapat dianggap sebagai bagian dari politik.
Dagelan-dagelan—yang secara harafiah berarti ‘peristiwa yang sengaja dipertontonkan kepada publik dengan maksud tertentu’—politik semakin hari semakin riuh, semakin menumpuk, semakin menjejali kehidupan masyarakat. Bagaimana suatu peristiwa politik dan hukum yang melibatkan para politisi yang melibatkan Mahasiswa, Kader muda dan juga berbagai unsur lembaga.
Dalam khazanah teori sosial, Gramsci mengusung pemahaman kekuasaan melalui hegemoni. Hegemoni terselenggara lewat media, sekolah, kepemilikan modal, dan lembaga-lembaga negara. Instrumen-instrumen ini mampu mengolah isu sedemikian rupa sehingga mempengaruhi pikiran masyarakat agar sesuai dengan tujuan dari hegemoni tersebut. Media, sekolah, kepemilikan modal, dan lembaga negara adalah serangkaian wadah pembentukan dominasi. Bagi Gramsci, hegemoni dapat dilakukan melalui dominasi di berbagi sektor. Media massa, salah satu instrumen yang paling efektif dalam persemaian gagasan, dengan cara mengulang-ulangnya—seperti yang dilontarkan Napoleon: kebohongan yang terus diulang dapat diterima sebagai suatu kebenaran. Cepat atau lambat, penerimaan itu akan menjadi cara pandang tertentu untuk memandang realitas. Atau dengan kata lain, ideologi.
Dalam konteks perkembangan kapitalisme yang telah menghidupi kultur politik yang sarat korupsi ini, penguasaan media adalah syarat mutlak untuk memenangkan politik elektoral. Dengan kata lain, bila Anda mampu menguasai media, maka Anda mampu menguasai pikiran masyarakat sehingga jalan menuju kekuasaan pun semakin mulus.
Fungsi media kini telah bias. Media tak lagi menyalurkan informasi yang dibutuhkan publik. Sebagaimana yang sering ditegaskan para pakar media, ia lebih mengakomodasi kepentingan-kepentingan elit-elit politik di balik penyajian dan frekuensi pemuatan kontennya, sehingga tidak lagi dapat dipandang sebagai sarana informasi yang sifatnya murni untuk kepentingan publik. Cepat atau lambat, perkembangan informasi saat ini membuat perilaku media semakin politis. Media, singkatnya, berpolitik.
Peristiwa yang sekarang kita alami iyalah beberapa Media yang jelang menyokong dan hampir tiada hari yang memngembangkan isu pencintraan dan juga kampanye politi. contohnya salah satu kandidat kuat di Aceh yang sekarang lagi riangnya merekrut para rakannya, sasarannya ialah, mahasiswa/i, pemuda dan juga aparatur gampong yang di koneksi melalui jurus sistematis perintah komando yang mereka jalankan.
Publik pun harus semakin jeli memanfaatkan informasi yang semakin meningkat seiring perkembangan teknologi digital. Seperti apa yang diutarakan Gramsci, penolakan dan perlawanan dominasi hanya bisa dilakukan melalui suatu bentuk hegemoni yang sebanding (counter-hegemony). Pertanyaannya, upaya terorganisir apa, dan sejauh mana, yang telah dilakukan gerakan-gerakan progresif untuk menciptakan hegemoni tandingan ini?
DPR menganggap larangan pemberitaan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu di masa tenang tetap relevan kendati Mahkamah Konstitusi pernah membatalkan norma ini. Sebab, ada beberapa pemimpin media massa yang berpolitik praktis.
Nah,,, timbul tanda tanya, dimanakah faktor independensi sebuah media lokal di Aceh yang jelas terlibat kedalam politik praktis,,?
Nah,,, timbul tanda tanya, dimanakah faktor independensi sebuah media lokal di Aceh yang jelas terlibat kedalam politik praktis,,?
Mungkinkah media tersebut dibangun atau saham para pemimpin yang ada di Aceh sekarang dan berencana memenangkan pilkada Nanti..?
Moga Media lokal yang suka menjilat pantat pemimpim sadar akan fungsionalnya dan juga perannya di ranah publik untuk kepentingan rakyat umum.
Penulis: embargo
loading...
Post a Comment