Judul : Proses Damai Aceh Model Resolusi Konflik Indonesia
Penulis : Boy Abdaz � Iskandar Norman
Ukuran : 14 x 22 Cm
Tebal : 430 Halaman
Penerbit : Transisi Foundation
Harga : Rp 200.000
Damai Aceh merupakan anugerah yang patut disyukuri. Bagaimana damai itu dibangun juga layak dicermati. Buku ini merekam setiap tahapan dari proses menuju perdamaian Aceh. Banyak kisah-kisah menarik yang belum terungkap sebelumnya, dibahas tuntas dalam buku ini.
Kelebihan buku ini terletak pada sumber-sumber utama pelaku perdamaian Aceh, baik sejak fondasi perdamaian diletakkan oleh HDC maupun kelanjutannya pada masa CMI berperan. Keterlibatan HDC dikupas pada BAB II buku ini, dimulai dari awal keterlibatan HDC, pembentukan komite-komite, hingga jeda kemanusiaan dan moratorium.
Boy Abdaz sebagai salah seorang staf pusat informasi publik HDC mengungkap dokumen penting terkait proses damai Aceh dalam buku ini. Kombinasinya bersama jurnalis Iskandar Norman membuat dokumen-dokumen �rahasia� itu bisa dipapar lugas dengan bahasa sederhana yang mengalir dan enak dibaca. Buku ini juga mengungkap kisah-kisah genting yang membuat proses menuju perdamaian mandeg, seperti gagalnya zona aman, perbedaan persepsi pemerintah RI dan GAM soal steering commite, hingga penangkapan enam juru runding GAM.
Pada bab selanjutnya (BAB III) buku ini mengupas tuntas tentang Damai Melalui Dialog (DMD), mulai dari pembekalan TMMK, UUD NAD sebagai titik awal perundingan, para wisman intrenasional ke Aceh, keterlibatan tim enam (sipil) dalam dialog, hingga gagalnya peace agreement karena GAM menolak menandatanganinya. Sisi yang paling menarik pada bab ini adalah tentang pengepungan rawa Cot Trieng menjelang penandatangan CoHA dan gagalnya konferensi Tokyo.
Boy Abdaz dan Iskandar Norman tidak berhenti pada titik itu saja. Pada BAB IV mereka membahas kisah-kisah menarik di balik penandatangan CoHA. Mulai dari polemik penempatan senjata GAM, demiliterisasi, persiapan JSC dan perwira sulapan GAM, hingga polemik keterlibatan militer Filipina. Yang tak kalah menariknya adalah tentang masuknya tim internasional ke Aceh, pembentukan joint council untuk evaluasi, serta kisah di balik menyerahnya panglima operasi militer GAM yang belum pernah diungkap ke publik.
Proses damai Aceh sempat manuai jalan buntu akibat gagalnya dialog. Ini merupakan tahap paling krusial dari upaya untuk mendamaikan Aceh. Tentang ini dibahas dalam BAB V. Akibat gagalnya Tokyo Meeting, para juru runding GAM ditangkap dan di Aceh diberlakukan Darurat Militer (DM). Hal yang membuat konflik Aceh kembali menggelora, ratusan ribu tentara dikirim ke Aceh, perang pecah di hampir seluruh wilayah Aceh.
Pada masa-masa genting itu, Perdana Menteri GAM Malik Mahmud berpidato di parlemen Eropa. Naskah pidato Malik Mahmud dan resolusi Uni Eropa terkait persoalan Aceh yang dibahas dengan cemerlang menjadi kekuatan narasi pada BAB V buku ini. Apalagi ditambah dengan fakta-fakta retaknya hubungan Indonesia dengan Swedia akibat kasus Aceh.
Proses damai Aceh yang sudah pada titik nadir itu, kemudian diretas kembali oleh lembaga lain, yakni CMI. BAB VII buku ini mengisahkan bagaimana upaya-upaya yang dimainkan pihak internasional dan Uni Eropa untuk membawa kembali pemerintah RI dan GAM ke meja perundingan. Kisah di balik upaya meretas dan menyambung kembali jalan damai yang buntu itu sangat menarik untuk dibaca.
Perdamaian bukan hanya dalam naskah MoU Helsinki. Cerita pro kontra dan tarik ulur antara pemerinrah RI dan GAM dalam beberbagai dialog lebih menarik untuk diketahui. Buku ini memberi jawaban terhadap itu.
Ketika damai sudah terwujud, hal yang tak kalah pentingnya adalah menjaganya. Aceh Monitoring Mission (AMM) dibentuk, senjata GAM dilucuti, TNI/Polri non organik ditarik dari Aceh. Perang benar-benar harus dihentikan, Komisi Penguatan Keamanan (COSA) dibentuk. Pada BAB VIII buku ini membahas tuntas tentang peran AMM di Aceh, dan kesimpulan Uni Eropa terhadap masalah Aceh.
Bab selanjutnya membahas tentang penjabaran isi MoU Helsinki, yakni tentang Aceh dan pemerintahan tersendiri. Buku ini membahas secara lugas tentang pembahasan hingga pengesahan Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA), pembentukan partai politik lokal di Aceh, serta kilas balik konflik Aceh di bawah enam Presiden Republik Indonesia, mulai dari Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono.
Ruh buku ini juga diperkuat dengan pernyataan dan kesaksian (testimoni) dari para pelaku perdamaian Aceh, seperti Pieter Cornelies Feith, Lousa Chan Boegli, Alexander Ian Fitzgerald Boyd, Martin Griffith, dan Juha Christensen. Buku ini cocok dibaca oleh semua kalangan. Sangat direkomendasikan bagi pemerhati dan peneliti konflik Aceh, dosen dan mahasiswa mata kuliah resolusi konflik. [**]
loading...
Post a Comment