Halloween Costume ideas 2015
November 2014

Prang ngon taki, khanduri ngon doa, pameo dalam masyarakat Aceh ini yang dikenal sebagai hadihmaja menjadi filosofi perang di Aceh, beberapa peristiwa besar pernah terjadi. Ya, perang itu dengan tipu muslihat, yang akhirnya kesuksesan akan selalu diakhiri dengan kenduri dan doa.

Adalah peristiwa penyerangan kapal Nicero dan Hoc Canton sebagai dua dari sekian banyak peristiwa suksesnya tipu muslihat perang yang dimainkan pejuang Aceh. Bermula ketika Nicero, sebuah kapal berbendera Inggris terdampar di Teunom.

Raja Teunom yang sedang gencarnya berperang dengan Belanda merampas kapal tersebut, awak kapalnya juga disandera. Sebuah tuntutan diajukan kepada Inggris, kapal dan sanera akan dibebaskan jika Inggris membayar tebusan 10.000 dolar.

Teuku Umar yang saat itu sudah memihak kepada Belanda melalui taktik perang tipu Aceh, ditugaskan untuk melakukan pembebasan kapal dan sandera. Teuku Umar meyakinkan Belanda bahwa Raja Teunom memiliki pasukan yang kuat, karena itu Inggris tidak berani menghadapi pasukan Raja Teunom, maka meminta bantuan Belanda.

Dalam uapayanya meyakinkan Belanda, sebenarnya Teuku Umar sedang membuat skenario besar. Ia menyatakan untuk merebut kembali kapal dan membebaskan sandera diperlukan pasukan pilihan dan persenjatan lengkap hingga mampu berperang salam waktu lama. Belanda mengiyakannya.

Teuku Umar bersama 32 tentara Belanda dan beberapa orang panglima, berangkat dari Kutaraja ke Aceh Barat dengan kapal Bengkulen. Di tengah pelayaran, semua tentara Belanda yang menyertainya dibunuh di atas kapal. Seluruh senjata dan amunisi dirampas. Dengan senjata rampasannya itu Teuku Umar dan pengikutnya memperkuat dan bergabung kembali dengan pejuang Aceh. Ia juga meminta kepada Raja Tunom untuk tidak menurunkan nilai tuntutannya kepada Inggris dan Belanda.




[Teuku Umar bersama panglimanya ]

Sejarawan Aceh H M Zainuddin (1972 : 5) mengungkapkan, Belanda sangat tercuncang dengan peristiwa itu. Pemerintah Kolonial Belanda di Kutaraja mengumumkan akan memberi hadiah 25.000 dolar bagi siapa saja yang sanggup menangkap Teuku Umar hidup atau mati.

Sejarawan lainnya Moehammad Said (1985 : 228) menulis bahwa tidak ada efek apapun dari pengumuman Belanda tersebut. Tidak ada di kalangan rakyat Aceh yang berani menghadapi Teuku Umar dan pasukannya, sebaliknya rakyat Aceh menyambut Teuku Umar sebagai pahlawan yang telah berhasil mengelabui Belanda dengan taktik tipu Aceh yang diterapkannya.

Akhirnya, Belanda terpaksa membayar tuntutan Raja Teunom. Pada 10 September 1884, kapal Nicero dan 18 orang awak kapal dibebaskan dengan uang tebusan 10.000 dolar. Raja Teunom berbesar hati atas peristiwa itu, karena kasus Nicero telah menggegerkan negara-negara Eropa.

Dua tahun setelah peristiwa Nicero, peristiwa serupa kembali terjadi. Kali ini menerpa kapal Hoc Canton, kapal dengan kapten Hansen, warga negara Denmark yang mendapat izin berlayar di perairan Aceh dari pemerintah Kolonial Belanda.

Muhammad Said menyebut Hansen sebagai pisau bermata dua. Ia memanfaatkan izin pelayaran untuk menyeludupkan sejata kepada pejuang Aceh di samping bisnis membeli rempah-rempah. Ia sangat lihai berlayar, bahkan untuk mengelabui patroli Belanda, ia mampu berlayar dalam gelap tanpa menghidupkan satu pun lampu di kapalnya.

Namun, pada sisi lain Hansen juga tertarik dengan tawaran imbalan dari Belanda yang masih berlaku, yakni 25.000 dolar untuk menangkap Teuku Umar hidup atau mati. Pada 12 Juni 1886, Hansen bersama Roaura berangkat ke Reugaih dengan kapal Hoc Canton. Alasannya, mereka ingin mengambil kapal The Eagle yang berlabuh di Reugaih, tapi sebenarnya Hasen dan Roaura ingin menjebak Teuku Umar.

Setelah berlayar selama tiga hari, pada 15 Juni 1886, Hoc Canton melepar jangkar di perairan Reugaih. Mula-mula mereka membeli lada dari kelompok Teuku Umar. Setelah semua lada dimuat ke kapal, Hansen memberi syarat bahwa pembayaran akan dilakukan di atas kapal.

E Roaura yang sudah sangat dikenal di kalangan pejuang Aceh sebagai penyeludup senjata menjumpai Teuku Umar di darat. Ia mengatakan Hansen meminta Teuku Umar harus naik ke kapal Hoc Canton untuk menyelesaikan transaksi dagang tersebut. Syarat itu ditolak Teuku Umar, tapi Hansen tetap bersikeras, tiga kali utusan Teuku Umar datang ke kapal ditolak Hansen.

Kesabaran Teuku Umar habis, sebuah tak-tik dirancang, bagaimana pun harga lada yang sudah dimuat ke kapal Hoc Canton harus dibayar. Teuku Umar sendiri akan naik ke kapal itu untuk mengambil uang dengan segala resiko. Baginya uang itu sangat penting untuk kebutuhan logistik perang.

Teuku Umar meminjam kapal The Eagle pada Raoura, kapal yang sudah lama berlabuh di Reugaih untuk merapat dan naik ke Hoc Canton. Tapi ketika Teuku Umar naik, Hansen memerintahkan anak buahnya untuk menangkapnya. Suami Cut Nyak Dhien itu akan dibawa ke Kutaraja untuk diserahkan kepada Belanda. Imbalan 25.000 dolar sudah terbayang di matanya.

Namun, yang terjadi malah sebaliknya, semua anak buah kapal sudah lebih dulu disergap oleh 40 pejuang Aceh. Sebelum Teuku Umar naik ke kapal, ia telah menyusun skenario penyergapan kapal Hoc Canton, 40 pejuang Aceh sudah menyelinap ke sana pada malam hari. Hansen yang mencoba melarikan diri akhirnya ditembak. Kepala juru mudi Lanbker yang berkebangsaan Jerman juga tewas bersama masinis kepala Robert Mc Gulloch.

Sementara istri Hansen bersama masiis kedua John Fay dan enam awak kapal Hoc Canton disandera. Keenam awal kapal itu merupakan pria Melayu dan Tionghoa. Teuku Umar kemudian memerintahkan beberapa orang untuk menjaga kapal itu. Semua isi kapal disita, diantaranya: dua meriam, enam bedil model snider, lima pistol, serta uang tunai 5.000 dolar.


[Belanda membakar rumah Teuku Umar di Lampisang ]

Peristiwa Nicero dan Hoc Canton selain membuat pukulan telak bagi Belanda, juga menjadikan pemerintah kolonial itu di Aceh hilang wibawa di mata internasional. Apa lagi ketika dua peristiwa itu dimuat di koran Penang Gazatte. Asosiasi dagang Penang Association mengadakan rapat khusus dan mengeluarkan dua resolusi bagi Belanda di Aceh, yakni mengambil langkah cepat untuk membebaskan Jhon Fay, dan mendesak pemerintah Inggris untuk menyelesaikan kasus Kapten Hansen. Keputusan itu diambil setelah rapat asosiasi tersebut berkesimpilan bahwa Belanda tidak mampu menguasai keadaan di Aceh.

Belanda makin berang. Gubernur Militer Hindia Belanda di Kutaraja Jenderal Van Teijn memimpin langsung beberapa kapal dan ratusan pasukan menuju Aceh Barat. Reugaih akan dibumihanguskan. Namu n Teuku Umar tidak gentar. Ia balik mengultimatum Belanda, bila Reugaih diserang maka para tawanan akan dihukum mati.

Jenderal Van Teinj benar-benar gentar dengan ancaman itu. Ia memerintahkan semua kapal perang kembali ke Uleelheu. Belanda akan mengupayakan jalan diplomasi untuk menyelesaikan persoalan Hoc Canton.

Rakyat Reugaih bersorak ketika militer Belanda dan kapal-kapal perang itu kembali ke Kutaraja. Sementara Teuku Umar membawa tawanannya ke pedalaman. Nyonya Hansen diminta untuk menulis surat kepada Belanda, bahwa mereka akan dibebaskan jika Belanda bersedia membayar uang tebusan 40.000 dolar.

Sampai dua bulan lebih kemudian persoalan itu bekum juga selesai. Belanda yang mulanya akan menghadiahi 25.000 dolar bagi siapa saja yang mampu menangkap Teuku Umar hidup atau mati, kini dipaksa untuk membayar 40.000 dolar kepada Teuku Umar. Namun Belanda hanya menyanggupi 25.000 dolar saja. Teuku Umar benar-benar mendapat �hadiah� atas kepalanya sendiri.

Uang tebusan itu diserahkan kepada Teuku Umar pada September 1886 dan para sandera dibebaskan. Teuku Umar mempercayakan Nyak Priang tokoh yang masyarakat setempat sebagai perantara dengan Belanda untuk menjumpai Nyonya Hansen yang ditawan dalam rumah Teungku H Darwis Reugaih. Di rumah itu para tawanan diawasi dengan ketat. Nyoya Hansen mengakui dia diperlukan dengan sangat baik selama dalam tawanan, ia hanya mengalami luka kecil saat insiden di atas kapal Hoc Canton. Meski demikian ia mengaku sangat pilu dengan kematian suaminya.

Nyoya Hansen dan Fay bersama anak buah kapal Hoc Canton tiba di Kutaraja pada 6 Oktober 1886. Kepada Belanda Nyonya Hansen yang sudah lancar berbahasa Aceh mengakui bahwa ia diperlakukan dengan sangat baik oleh Teuku Umar.

Nyonya Hansen mengungkapkan semuanya kepada temannta sesama orang Denmark, Chirstiaansen. Ia menulis panjang lebar tentang sifat dan pribadi Teuku Umar beserta Cut Nyak Dhien yang dianggapnya sebagai ksatria. Seorang Mayor Belanda LWA Kessier juga mengakui hal itu. Ia menyebut Teuku Umar sebagai intellegente en zeer baschaafde Atjeher yakni orang Aceh yang paling cerdas dan sopan. [Iskandar Norman]




Perang Aceh melahirkan perempuan-perempuan perkasa, tidak hanya diakui oleh bangsanya, tapi juga musuhnya. Belanda menyebutnya sebagai Grandes Dames, wanita-wanita besar yang perannya melebihi kaum pria.


[Cristine Hakim memerankan sosok Cut Nyak Dhien dalam film Tjoet Nja' Dhien ]

Cut Nyak Dhien merupakan satu di antara sederetan nama-nama besar itu. Mereka muncul silih berganti menjadi panglima perang selama 60 tahun perlawanan terhadap penjajahan Belanda, mulai Maret 1973 ketika perang dimaklumatkan, sampai Belanda meninggalkan Aceh dengan kekalahannya pada tahun 1942.

H C Zentgraff, penulis Belanda dalam buku �Atjeh� menyebut perempuan-perempuan perkasa itu sebagai de leidster van het verzet, para pemimpin perlawanan yang memegang peranan besar dalam perpolitikan dan peperangan. Zentgraaf menulis.

�Keberanian wanita Aceh dalam mempertahankan cita-cita bangsa dan agamanya. Ia rela hidup dalam kancah perang dan melahirkan putranya di situ. Ia berperang bersama suaminya, kadang-kadang di samping, di hadapan, atau di tangannya yang kecil dan halus itu, kelewang dan rencong dapat menjadi senjata yang berbahaya.�

Salah satu perempuan Aceh yang sangat disegani Zentgraaff dalam bukunya itu adalah Cut Nyak Dhien, yang tampil memimpin peperangan melawan Belanda pada 1896 setelah Teuku Umar, suami keduanya meninggal. Ia lebih memilih melanjutkan perjuangan dalam rimba secara bergerilya dari pada tunduk pada Belanda. Cut Nyak Dhien terus melanjutkan perjuangan meski ia sudah tua, matanya sudah rabun, tapi semangatnya tidak terpatahkan.

Sebagaimana ditulis oleh Rusdi Sufi dalam buku �Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah� keperkasaan Cut Nyak Dhien juga diungkapkan oleh sejarawan Belanda lainnya, M H Szkely Lulafs dalam buku �Tjoet Nja� Dhien� Ia menilai jiwa kepahlawanan yang menggerakkan semangat juang dalam dada Teuku Umar adalah dorongan halus Cut Nyak Dhien. Sifat kepahlawanan Cut Nyak Dhien diwarisi dari ayahnya yang merupakan salah seorang pejuang penentang kolonialis Belanda.

Cut Nyak Dhien lahir pada tahun 1848, ayahnya Teuku Nanta Setia merupakan uleebalang VI Mukim bagian dari wilayah Sagi XXV Mukim. Mereka tinggal di Gampong Lampadang Peukan Bada, Aceh Besar. Ayah Cut Nyak Dhien merupakan keturunan seorang perantau asal Minangkabau Sumatera Barat, yang bernama Machoedoem Sati. Ia diperkirakan datang ke Aceh pada abad XVIII ketika Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sulthan Jamalul Alam Badrul Munir (1711 � 1733).

Sementara ibunya Cut Nyak Dhien merupakan putri uleebalang terkemuka di Kemukiman Lampageu yang juga wilayah Sagi XXV Mukim. Sebagai putri bangsawan, sejak kecil Cut Nyak Dhien sudah memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama dari ulama-ulama di wilayah kekuasaan ayahnya.

Sebagai putri uleebalang, kehidupan Cut Nyak Dhien dipengaruhi oleh gaya hidup bangsawan, tapi pendidikan agama yang didapatkannya membuatnya tumbuh menjadi gadis yang memiliki sifat-sifat yang tabah, lembut dan tawakal. Cut Nyak Dhien kemudian dijodohkan dengan anak saudara laki-laki dari ibunya. Pria muda itu bernama Teuku Ibrahim, putra dari Teuku Po Amat, uleebalang Lam Nga XIII Mukim Teungkop di Sagi XXVI Mukim.

Menurut Rusdi Sufi, pada saat Belanda menyerang Aceh dalam bulan Maret 1873, suami Cut Nyak Dhien yang dipanggil dengan sebutan Teuku Nyak Him dan bergelar Teuku Di Bitai, telah ikut berperang melawan agresi Belanda bersama pejuang Aceh lainnya. Meski baru berumahtangga, Cut Nyak Dhien merelakan suaminya untuk terjun ke medan juang. Ia memberi dorongan bagi suaminya dalam setiap peperangan.



[Lukisan perjuangan Cut Nyak Dhien ]

Namun, ketika Mesjid Raya Baiturrahman dibakar Belanda, Cut Nyak Dien tidak lagi menjadi perempuan yang hanya menyemangti suaminya untuk berperang, tapi ia sendiri yang turun ke garis depan setiap peperangan mendampingi suaminya. Cut Nyak Dhien sangat marah ketika Belanda membakar Mesjid Raya Baiturrahman.

Kemarahan Cut Nyak Dhien itu digambarkan oleh sejarawan Belanda M H Szkely Lulafs dalam buku �Tjoet Nja� Dhien� sebagai berikut:

�Cut Nyak Dhien meninggalkan rumah, lalu turun tanah. Dengan rambut tergerai-gerai, kedua tinjunya mengepal dan mengacung-acung, sampailah ia ke halamannya. Kepada sekalian orang kampung yang datang berkerumum melihat apa yang mengolak-olak itu dari jauh, berserulah ia dengan gemas dan mata terbelalak, katanya: Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu, mesjid kita dibakarnya. Mereka menentang Allah subhanahuwata�ala, tempatmu beribadah dibinasakannya, nama Allah dicemarkannya, camkanlah itu! Jangan kita melupa-lupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang mengampuni dosa si kafir itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?�

Perang dengan Belanda terus berkecamuk, karena Belanda lebih unggul dalam persenjataan, Cut Nyak Dhien dan suaminya terdesak hingga kemudian berpindah ke wilayah Leupeung. Dari sana perang terus digelorakan. Tapi pada 29 Juni 1878, Teuku Ibrahim Lam Nga, suami Cut Nyak Dhien tewas bersama beberapa pengikutnya dalam sebuah pertempuran di lembah Beuradeun Gle Tarom, Kemukiman Montasik, Sagi XXII Mukim.

Menurut Szekely Lulofs, penyebab peristiwa tersebut adalah pengkhianatan yang dilakukan oleh Habib Abdurrahman yang telah menyerah dan menerima kompensasi dari Belanda. Kematian suaminya itu membuat kebencian Cut Nyak Dhien terhadap Belanda semakin memuncak. Ia tampil di depan menggantikan suaminya dalam berperang melawan Belanda.

Sejarawan lainnya, Hazil dalam buku �Teuku Umar dan Tjut Nyak Dhien Sepasang Pahlawan Perang Aceh� mengungkapkan, sangking bencinya Cut Nyak Dhien kepada Belanda, suatu ketika antara sadar dan tidak, Cut Nyak Dhien pernah berucap dan berjanji akan bersedia menikah dengan laki-laki yang dapat membantunya untuk menuntut belas atas kematian suaminya.

Dengan gelora batinnya yang dibaluti kebencian terhadap Belanda itu, Cut Nyak Dhien terus memimpin pelawanan. Pada saat yang sama juga terkenal Teuku Umar yang memimpin peperangan melawan Belanda di wilayah barat Aceh. Meski antara Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar sudah saling mengenal nama, keduanya belum pernah bertemu. Hingga kemudian Teuku Umar dalam suatu peperangan mampun mengalahkan pasukan Belanda yang sebelumnya menewaskan Teuku Ibrahim Lam Nga, suaminya Cut Nyak Dhien.

Pada tahun 1878 beberapa bulan setelah kematian suaminya, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar di Montasik. Perkawinan mereka itu dibicarakan banyak orang, karena keduanya sudah dikenal sebagai pemimpin perjuangan melawan penjajah Belanda. Pasangan ini dinilai sangat cocok untuk memimpin kelanjutan peperangan.

Cut Nyak Dhien merupakan istri ketiga Teuku Umar. Sebelumnya Teuku Umar telah menikah dengan dua wanita lain yakni Cut Nyak Asiah putri Uleebalang Geulumpang, dan Cut Nyak Meuligoe putri Panglima Sagi XXV Mukim. Namun, diantara ketiga istrinya itu, Cut Nyak Dhien yang sangat memberi pengaruh padanya.

Dari perkawinannya mereka dikaruniai seorang anak perempuan yan diberi nama Cut Gambang, yang ketika dewasa kelak dinikahkan dengan Teungku Mayed Di Tiro alias Teungku Di Buket, putra Teungku Chiek Di Tiro.

Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien bersama pasukannya terus menjelajahi belantara, dari satu rimba ke rimba lain, dari satu jurang ke jurang lain. Cut Nyak Dhien kadang-kadang ditempatkan di tempat aman di tengah belantara ketika Teuku Umar dan pasukannya turun untuk menyerang patroli marsose yang terus memburu mereka.

Seperti pata tanggal 10 menjelang 11 Februari 1899, Teuku Umar dan pasukannya mencoba mencoba turun ke Meulaboh untuk menyerang sebuah pusat pertahanan Belanda. Esok harinya dalam sebuah pertempuran di Suak Ujong Kala Meulaboh, Teuku Umar tewas tertembak militer Belanda. Sesuai dengan pesannya kepada pasukannya, Teuku Umar dimakamkan di tempat yang tidak diketahui Belanda, yakni di Mon Tulang Pucok Meuhon Kendik Meulaboh.

Berita meniggalnya Teuku Umar diterima dengan tabah oleh Cut Nyak Dhien. Ia mengambil alih pimpinan pasukan yang ditingalkan suaminya itu. Ia melanjutkan perjuangannuya bersama Pang Laot Ali dan bertekat melawan penjajahan Belanda sampai akhir hayatnya.

Cut Nyak Dhien terus memimpin perjuangan melawan Belanda. Ia mengkoordinir pasukannya di belantara antara Kruen Woyla dan Meulaboh. Perang gerilya itu dilakukannya hingga enam tahun. Tapi dalam masa enam tahun itu, pasukan Cut Nyak Dhien mengalami kekurangan makanan. Cut Nyak Dhien juga sudah mulai sakit-sakitan dan rabun. Semua hartanya telah habis untuk membiayai perang melawan Belanda.

Dalam keadaan seperti itu Pang Laot Ali merasa kasihan dengannya. Wanita perkasa itu tidak lagi memiliki apa-apa selain semangatnya yang terus bergelora melawan Belanda. Kehidupannya sudah serba terpencil di rimba raya. Pang Laot Ali benar-benar tak kuasa melihat keadaan Cut Nyak Dhien yang seperti itu. Ia menawarkan kepada Cut Nyak Dhien untuk menyerah kepada Belanda agar ia bisa dirawat oleh rakyatnya di kampung.

Mendengar tawaran seperti itu, Cut Nyak Dhien yang sudah rabun dan mengalami encok, murka. Ia meludah dan berkata dengan lantang kepada Pang Laot Ali. �Takluk kepada kaphe, cis najis, semoga Allah Subhanahuwataala menjauhkan perbuatan yang sehina itu dari diriku.�



[Cut Nyak Dhien setelah ditangkap Belanda akibat pengkhuanatan Pang Laot ]

Namun Pang Laot Ali tetap tidak sampai hati melihat kondisi Cut Nyak Dhien seperti itu. Akhirnya ia mengkhianati Cut Nyak Dhien, ia mengirim seorang kurir untuk melaporkan tempat persembunyian mereka kepada Belanda di Meulaboh. Bagaimanapun ia ingin Cut Nyak Dhien bisa dirawat, tidak terlantar di dalam hutan.

Pada tanggal 4 November 1905, Letnan Van Vuuren bersama pasukannya berangkat ke tempat persembunyian Cut Nyak Dhien. Dalam perjalanan, ketika hampir sampai ke tempat Cut Nyak Dhien, tanpa sengaja seorang tentara Belanda melakukan tembakan. Suara tembakan itu terdengar hingga ke tempat persembunyian Cut Nyak Dhien.

Cut Nyak Dhien kemudian digendong dan dibawa lari dari tempat itu. Tapi beberapa saat kemudian ia ditemukan dan ditangkap. Cut Nyak Dhien yang sudah buta dan tak berdaya menengadah kedua tangannya, kesepuluh jarinya dikembangkan. Ia sangat emosi dan ingin terus melawan, tapi wanita perkasa itu kini sudah renta dan tak berdaya, meski sikapnya sangat menentang, ia kemudian berkata, �Ya Allah ya Tuhanku inikah nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir.�

Pang Laot Ali kemudian mendekati Cut Nyak Dhien dan berkata padanya agar Cut Nyak Dhien tidak takut, karena Belanda tidak akan menyakitinya, sebaliknya akan memperlakukannya dengan sopan. Akan tetapi ketika Pang Laot Ali henda meraba tangan Cut Nyak Dhien dan membujuknya, Cut Nyak Dhien dengan lantang berkara. �Cis, jangan menyinggung kulitku, pengkhianat engkau, tidak kusangka, lebih baik kau menunjukkan budi baikmu kepadaku dengan jalan menikamku.�

Cut Nyak Dhien kemudian dianikkan ke sebuah tandu, lalu digotong ke sebuah pos penjagaan Belanda. Bersama Cut Nyak Dhien juga ditangkap seorang kemenakannya yang bernama Teuku Nana. Dari sana Cut Nyak Dhien kemudian dipindahkan ke Kutaraja.

Paul Van� Veer menulis, meski Cut Nyak Dhien telah ditawan, pengaruhnya terhadap fanatisme rakyat Aceh dalam menentang Belanda di Aceh, khususnya Aceh Besar tidak lenyap. Perang terus saja berlanjut. Untuk menghilangkan pengaruhnya itu, Cut Nyak Dhien kemudian dipindahkan ke Pulau Jawa yakni ke Suimedang, Jawa Barat, melalui surat keputusan Pemerintah Hindia Belanda nomor 23 tanggal 11 Desember 1906.

Setelah sekitar dua tahun berada di pengasingan, pada 6 November 1908 Cut Nyak Dhien wafat dan dikuburkan di sana. Pemerintah Republik Indonesia kemudian mengangkatnya sebagai pahlawan kemerdekaan nasional melalui Surat keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 106, tanggal 2 Mei 1964.[Iskandar Norman]


loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget