Halloween Costume ideas 2015
March 2015



Untuk membantu serangan ke Aceh, ratusan pekerja paksa dikirim dari Jawa. Belanda menyebutnya beer  atau beeren. Orang Aceh menyebutnya Simeurant�. Orang-orang yang dirantai.

Pada agresi pertama Belanda ke Aceh. Bersama 2.100 tentara pribumi dari Jawa, Belanda mengikutsertakan 1.000 orang hukuman sebagai pekerja. 220 diantarnya wanita. Keberadaan mere di Aceh selains ebagai pekerja paksa yang membangun rel kereta api, juga pennagkut logistik. Sebagian dari budak asal Jawa itu meninggal karena letih dan lapar.

Dalam buku �Atjeh� H C Zentgraaff mengatakan, kuburan para pekerja paksa itu dibuat seadanya. Malah tak jarang mayat-mayat orang hukuman itu dibiarkan tergeletak begitu saja. �Mayat-mayat itu ada yang jadi makanan binatang buas,� tulis Zentgraaff.

Media-media Belanda mengakui keberadaan orang hukuman dari Jawa itu. De Nieuwe Rotterdamsche Couran misalnya. Pada edisi Januari 1983 koran itu menulis. �Usaha yang lainnya adalah usaha-usaha dalam pekerjaan umum, membangun dinas-dinas angkutan dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan ekspedisi di wilayah yang akan memberikan sahamnya bagi sejarah kettingbereb (pekerja-pekerja paksa) dalam pekerjaan menentramkan daerah-daerah dan membuka berbagai daerah.�

Selain memngangkut logistik tentara, mereka juga sering dijadikan tameng saat perang di daerah-daerah pedalaman, malah ada yang ikut berperang. Sebagai upah, mereka hanya mengharapkan keringanan hukuman, atau bahkan dibebaskan dari status budak.

Beer/beeren orang-orang Jawa yang dirantai dibawa ke Aceh

Kadang kala untuk resiko yang sangat besar sekalipun, para pekerja paksa itu mempertaruhkan nyawanya, hanya untuk mendapatkan sebatang rokok dari marsose. Lebih beruntung bila mereka diberikan baju bekas milik tentara Belanda tersebut.

Ketika tentara Belanda (Indiche Leger) baru memiliki 18 batalion infantri di Aceh, para pekerja paksa itu yang mengorbankan segalanya untuk mendapat sedikit hadiah atau dikurangi masa hukuman. Kumpulan pekerja paksa ini dijuluki sebagai batalion ke 19 atau batalion merah, sesuai dengan baju yang mereka pakai.

Peristiwa di Meureudu
Saat pos Belanda di Meureudu terkepung pada tahun 1899. Komandan Belanda sangat khawatir karena tidak mampu menghadang serbuan gerilyawan Aceh. Padahal dalam benteng itu terdapat 150 pasukan Belanda yang segar bugar.

Komandan Belanda di Meureudu pun kemudian meminta kepada seorang pekerja paksa (beer)asal Madura untuk mengantarkan surat mohon bantuan tambahan pasukan dari pos Belanda di Panteraja. Beer tersebut harus berlari seorang diri menerobos semak belukar dan menyebrangi tiga sungai (krueng), mulai dari Krueng Beuracan, Krueng Tringgadeng dan Krueng Panteraja.

Dengan wajah letih dan badan penuh goresan duri. Esok pagi beer tersebut berhasil menyampaikan surat itu ke pos Penteraja. Dalam keadaan gawat seperti itu Belanda kemudian mengirim delapan brigade morsase dari Pidie menuju Meureudu.

Para masrsose di Panteraja terkehut ketika mereka sedang mandi muncur beer pengantari surat itu dari dalam air. Ia segera bertanya dimana kapten pasukan Panteraja. Setelah dipertemukan, ia pun mengelurkan sebuah lipatan surat dari dalam ikatan kepalanya. �Dari komandan Mardu (Meureudu-red) kepada tuan komandan Marsose,� kata beer tersebut sambil menyerahkan surat itu.

Dalam surat itu komandan Marsose di Meureudu memberitahukan bahwa dia sudah tidak tidak mempunyai opsir-opsir lagi, dan serdadu-serdadu dalam pos tersebut sudah luntur semangatnya akibat digempur pasukan Aceh.

Beer yang berhasil membawa surat itu kondisinya sangat memprihatinkan, karena keletihan setelah menyerahkan surat itu, ia jatuh pingsan. Ketika sadar kepadanya kemudian diberikan semangkuk coklat, roti dan sepotong daging tebal sebagai imbalan.

Seorang pekerja paksa maklum, bahwa dengan berhasilnya melaksanakan tugas yang berani seperti itu, sudah dapat dipastikan kebebasan penuh. �Namun beberapa banyak dari mereka itu yang tidak pernah dapat kembali dari menjalankan perintah seperti itu? Siapa yang dapat mengetahui bagaimana cara kematian mereka?� tulis Zentgraaff.

Diadu Sesama Beer
Para pekerja paksa (Beer) dari Jawa yang bekerja untuk Belanda di Aceh, kadang bersikap licik dan culas untuk sedikit mengurangi beban kerjanya. Tapi kemudian mereka diadu domba dengan mengangkat seorang mandor dari kalangan beer itu sendiri untuk mengawasi dan menghukum mereka-mereka yang licik.

Hal ini kerap terjadi pada pekerja paksa rombongan transport yang membawa perbekalan dan barang kebutuhan (logistik) marsose ke suatu wilayah. Seperti yang terjadi pada rombongan transpor pimpinan Letnan Jenae yang dikenal sebagai komandan kecil, tuan si cabe rawit.

Jenae merupakan seorang letnan yang masih muda. Pada tahun 1905, dengan kekuatan dua pasukan infantri bersenjata 40 karaben dengan bayonet, mengawasi 400 orang pekerja paksa dari Kuala Simpang ke Penampaan, Blang Kejeren. Barisan pekerja paksa yang mengagkut barang-barang tersebut panjangnya melebihi satu kilometer dan diawasi oleh 40 tentara. Jeane berpendapat sepuluh pekerja paksa diawasi oleh seorang tentara bersenjata.

Para pekerja paksa itu mengangkut jenever (minuman keras-red) untuk para marsose di medan perang, berkaleng-kaleng minyak tanah untuk pasukan di bivak-bivak. Barang bawaan itu tentu sangat memberatkan para pekerja paksa. Dengan mendaki gunung dan menuruni lembah, mereka memikul beban berat itu.  Di punggung mereka barang-barang tersebut diikatkan.

Namun para pekerja paksa yang licik dengan segala cara membuat agar muatan barang yang dibawanya itu berkurang sedikit demi sedikit. Kaleng-kaleng minyak dibuatnya menjadi bocor dengan cara menumbukkan benda keras dan tajam ke kaleng minyak itu, sehingga sedikit demi sedikit minyak itu tumpah.

Begitu juga dengan minuman keras. Poci-poci jenever dibuat berkuarang isinya sedikit demi sedikit. Sementara tenda-tenda perkemahan yang mereka angkut, yang merupakan barang bawaan yang paling dibenci para beer karena besar dan berat, sering dihanyutkan saat menyeberangi sungai. Sehingga ketika sampai ke tujuan barang bawaan mereka tinggal setengahnya saja.

Letnan Jenae kemudian membuat peraturan baru bagi para pekerja paksa penangkut logistik tersebut. Pekerja paksa yang dianggap paling brandal dan ditakuti diangkatnya sebagai mandor untuk mengawasi para pekerja paksa lainnya. Kepada para mandor itu diberi tanggungjawab menjaga agar barang bawaan tidak berkurang satu pun.

Setelah berjalan beberapa hari, pasukan Jenae yang mengawasi 400 pekerja paksa itu kemudian tiba di Brawang Tingkeum, suatu daerah yang diankap angker waktu itu. Di sana mereka harus menyebrangi sungai Wih Ni Oreng. Dari seberang sungai, mereka ditembaki oleh para pejuang Aceh.

Para pekerja paksa yang terjebak dalam sungai saling berpegangan tangan agar tidak hanyut. Sementara 40 tentara Belanda pimpinan Letnan Jenae yang mengawasi pekerja paksa tersebut membalas tembakan para pejuang Aceh yang berada di tebing sungai.

Sementara para pekerja paksa yang membawa barang yang berada paling belakang tidak mendapat pengamanan. Dari rumput alang-alang 20 orang Gayo keluar menyerang dan merampas barang bawaan para pekerja paksa itu. [Iskandar Norman]


Belanda menggiring pers untuk pembentukan opini, mencari pembenaran langkah memerangi Aceh. Inggris juga dilobi untuk mencabut Traktat London yang mengakui Aceh sebagai sebuah kerajaan merdeka.

Salah Satu Edisi Harian Java Bode

Pada pertengahan abad sembilan belas pers banyak mengkritik usaha perluasan kekuasaan Belanda di nusantara yang mengabaikan cara-cara beradab. Tinggal Aceh yang belum dikuasai.

surat kabar harian Algemeen Dagblad van Nederland Indie, yang diasuh C Busken Huet sebagai redaktur kepala juga menyorot hal itu. Intinya Aceh harus dikuasai untuk kepentingan ekonomi Belanda.

Busket Huet berangkat ke Batavia pada tahun 1866, setelah mengalami kesulitan dengan koran De Gids yang terkenal di Belanda. Meski wartawan, ia memberi keyakinan kepada pemerintah Belanda, bahwa di daerah jajahan Belanda tidak perlu sama sekali kebebasan pers.

Menteri jajahan Belanda, JJ Hanselman yang menjabat 1867 sampai 1868 menggantikan De Waal, menyetujui hal itu. Malah ia berpendapat, pers di Betawi yang saat itu hanya ada tiga koran yang terbit dua minggu sekali, sedang mengalami kebebasan yang dinilai akan menggerogoti pemerintah Hindia Belanda.
Pengurus Redaksi Java Bode Foto |COLLECTIE_TROPENMUSEUM

Atas saran mantan gubernur jenderal, Rochussen Hasselman akhirnya Busker Huet dikirim ke Jawa untuk menjadi redaktur koran Java Bode. Tugas rahasianya, mengajukan usul-usul untuk melakukan reorganisasi pers.

Tulisan Huet yang pertama di Java Bode berjudul Wenschen entegenstrijdigheden(keinginan dan pertentangan) berisi anjuran diadakannya sensus pers secara preventif. Hal ini diungkap Paul Van T Veer dalam buku Perang Belanda di Aceh. Ia menilai
sikap Huet sebagai pandangan aneh seorang wartawan. Huet juga pernah mengalami banyak kesulitan akibat tulisannya di De Gids pada tahun 1865 yang berjudul Een Avond Aan Het Hof (semalam di istana)

Ketika diketahui bahwa Huet datang ke Betawi dengan memperoleh bantuan keuangan serta perintah rahasia pemerintah konservatif Belanda, maka secara terang-terangan misi itu digagalkan kelompok pemerintah liberal. Meski demikian Huet tetap manjadi redaktur kepala koran Java Bode sampai mendirikan korannya sendiri pada tahun 1872. Dalam tulisan-tulisannya seperti Het Land van Rembrandt (negeri Rembrad) dan Het land van Rubens (negeri Ruben) jelas sikap politik Huet yang mendukung penaklukan Aceh.

Sementara Paul Van T Veer menentang hal itu. Sikap yang sama juga disampaikan Multatuli. Pada Oktober 1872 ia menulis surat terbuka berjudul Brief Aan den Koning (surat kepada raja).

Dalam suratnya Multatuli menulis, �Tuanku, Gubernur jenderal taunku dengan dalih yang dicari-cari sekurang-kurangnya dengan alasan-alasan provokasi yang dibuat-buat, kini sedang memaklumkan perang kepada Sultan Aceh dengan maksud hendak merampas kedaulatan tanah pusakanya. Tuanku, perbuatan ini bukan saja tidak tahu berterima kasih, tidak satria ataupun tidak jujur, melainkan juga tidak bijaksana.�

Multatuli menyatakan peran agen provokato yang ingin menaklukkan Aceh itu dimainkan oleh Sir Max Haveelaar yang saat itu berkuasa di Bogor.

Usaha lain juga dilakukan melalui lobi politik. Pada akhir musim panas 1869, Menteri Jajahan Belanda, De Waal berjalan di Haagsche Boch, sebuah taman di kota Den Haag. Di sana ia bertemu Duta Besar Inggris, Harris. Lobi agar Ingris membatalkan perjanjian dengan Aceh dilakukan.

Atas permintaan itu, pada 9 Desember 1869 Harris menjawab penaklukan Aceh oleh Belanda akan disetujui bila mendatangkan keuntungan bagi perniagaan Inggris di Selat Malaka.

Keinginan Belanda berkuasa di Aceh juga mendapat sorotan media di semenanjung Melayu, Penang Gazette pada 10 November 1871 menulis. �Semakin cepat suatu kekuasaan Eropa mengintervensi Aceh, semakn cepat pula daerah-daerah yang terkenal subur untuk tanaman Timur berkembang dan jaya lagi dari keruntuhannya.[iskandar norman]



Belanda sudah tiga abad menguasai nusantara, kecuali Aceh yang berlindung di bawah traktat London. Sebuah perjanjian bilateral yang menghormati Aceh sebagai sebuah kerajaan.  

Kerajaan Aceh menyadari bahwa sewaktu waktu Belanda bisa saja memerangi Aceh dengan mengabaikan Inggris. Apalagi sejak 1870-an Belanda sudah melancarkan berbagai provokasi di daerah luar Aceh.

T. Ibrahim Alfian dalam tulisannya �Banda Aceh Sebagai Pusat Awal Perang di Jalan Allah�  menjelaskan, dalam rangka menghadapi kemungkinan agresi belanda, Kerajaan Aceh mengimpor 5000 peti mesiu dan 1.349 peti senapan dari Pulau Pinang sejak Agustus 1872 hingga Maret 1873.

Tentang perdagangan senjata itu T Ibrahim Alfian merujuk pada keterangan E.B Kiestra dalam Eschrijving van den Atjeh oorlog, 1883.  Dana untuk pembelian senjata secara besar-besaran itu berasal dari  dana-dana yang dihimpun dari masyarakat. Malah, anak cucu keluarga Sulthan Alauddin Jamalul Alam Badrulmunir al Jamalullail memberikan sumbangan 12 kilogram emas.

Jauh sebelumnya, pada 1824 disepakati sebuah perjanjian di Inggris yang dikenal dengan Traktat London. Isinya, Belanda dan Inggris tidak melakukan tindakan permusuhan terhadap kerajaan Aceh.
 
Pelabuhan Sabang, daerah pertama diduduki Belanda
Belanda kemudian mengingkari perjanjian itu dan mulai mengangu kerajaan Aceh. Mula-mula pada 1829 Belanda menyerang Barus yang berada di bawah kekuasaan Aceh. Serangan Belanda ini dapat dipatahkan malah benteng Belanda di Pulau Poncang di Teluk Tapanuli diserang oleh pasukan Aceh.

Kemudian pada 1834 dan 1835 Belanda melakukan provokasi lagi di sekitar pulau Poncang dengan menahan beberapa perahu Aceh. Padahal perahu-perahu itu memiliki pas atau surat keterangan berlayar  yang sah dari Kerajaan Aceh.  G.B Hoyer dalam De Krijgsgeschiedenir van Nederlandsch, indie van 1911-1894 jilif III mengungkapkan bahwa sebagian awak perahunya ditangkan dan sebagian lainnya dibunuh.

Setahun kemudian, pada 1836, awak kapal Dolphijn, milik maskapai Belanda, berontak dan membunuh nahkodanya. Merek melarikan diri ke Aceh dan menyerahkan kapal itu kepada Sulthan Aceh. Lalu kapal perang Belanda masuk perairan Aceh meminta agar kapal Dolphijn itu dikembalikan, tetapi sulthah Aceh keberatan mengembalikannya karena mereka tidak membawa surat kuasa dari Gubernur Hindia Belanda untuk mengambil kapal itu.

Namun, ketika surat kuasa yang diminta itu dibawakan, kapan Dolphijn tidak dapat digunakan lagi untuk berlayar karena sudah dibakar di Pidie. Untuk menghadapi kemungkinan invansi Belanda, Kerajaan Aceh membangun sebuah benteng di Barus, serta memperkuat kedudukan pasukan Aceh di Singkil.

Belanda juga tidak tinggal diam, Kolonel H.V M Michiels diperintahkan untuk menyerang pasukan Aceh pada 1840 di sana. Kolonel ini berhasil mengalahkan pasukan Aceh di Barus. Mulai saat itu kapal-kapal Eropa tidak lagi memdapat sambutan yang baik ketika merapat ke pelabuhan Aceh.

Belanda khawatir akan ada negara lain yang mencari pengaruh di Aceh, karena itu Belanda mencoba merintis hubungan dengan Sulthan Aceh. E.B Kielstra dalam Eschrijving van den Atjeh Oorlog, 1883 mengungkapkan, akhir tahun 1957 Mayor Jenderan Van Swieten berhasil menandatangani perjanjian persahabatan dan perdamaian dengan Sulthan Ibrahim Mansur Syah.

Isi pokok perjanjian itu antara lain: Membolehkan kawula kedua pihak, dengan mengindahkan undang-undang yang berlaku, untuk melawat, bertempat tinggal dan menjalankan perdagangan dan pelayaran di daerah kedua belah pihak. Kedua belah pihak juga melepaskan tuntutan masing-masing mengenai segala pertikaian yang timbul sebelum perjanjian ini.

Selain itu kedua pihak juga semufakat untuk mencegah dengan sekuat-kuatnya perompakan dan penangkapan manusia untuk dijual dan pembajakan di daerah masing-masing. Kemudian Sulthan Aceh mengakui Bahwa Gubernur Jenderal Hindia Belanda diwakili oleh Gubernur Belanda di Sumatera Barat dalam hal urusan dengan Sulthan Aceh. Segala salah paham yang mungkin timbul akan diselesaikan secara damai.

Meski demikian, Aceh menyadari bahwa Belanda sewaktu-waktu bisa saja ingkar, sebagaimana mereka mengingkari Traktat London. Dalam tahun 1872 Kerajaan Aceh
mengadakan perundingan rahasia dengan Konsul Jenderal Amerika dan Italia di Singapura. Dalam pertemuan itu, Konsul jenderal Amerika di Singapura, Mayor A.G Studer memberikan perhatian khusus terhadap pertikaan Aceh dengan Belanda.

Studer mengatakan ingin terlibat membantu Aceh. Untuk itu ia mengirim kawat kepada Panglima skadron angkatan laut Amerika yang sedang melakukan patroli di Laut Cina. Ia menginginkan agar kapal tersebut terus melaju ke Singapura untuk membantu Aceh.

Sambil menunggu angkatan laut Amerika tersebut, Studer merancang konsep perjanjian persahabatan antara Aceh dengan Amerika [tentang ini akan dibahas dalam tulisan lain]. Tapi usaha Studer itu gagal, karena Menteri Luar Negeri Amerika saat itu, Hamilton Fish, menolak untuk memberikan perhatian khusus pada persoalan Aceh dengan Belanda.

Bahkan dalam suratnya kepada Duta Besar Amerika di Denhaag Belanda, Hamilton menyebut Stuger sebagai konsul yang tolol. �Orang itu benar-benar tolol,� tulis Hamilton dalam suratnya. Diplomasi Aceh untuk bekerja sama dengan Amerika pun gagal. Padahal Studer dan utusan Aceh di Singapura, saat itu telah membuat konsep perjanjian  dalam bahasa Inggris dan Melayu.

Ternyata dalam pertemuan utusan Aceh dengan konsul Amerika dan Italia di Singapura waktu itu, juga hadir seorang mata-mata Belanda yang kemudian membocorkan rencana kerja sama Aceh dengan Amerika tersebut. Belanda pun memaikan peran baru, memaklumatkan perang dengan Aceh, karena tak ingin Aceh menjalin kerja sama dengan negara lainnya untuk menghadapi Belanda.

Sejarah Aceh pun terus bergerak dari satu perang ke perang lainya. Belanda mencatat sebagai perang terlama dan paling banyak menguras kas negara, plus darah dan nyawa. Andai konsep perjanjian Aceh dengan Amerika ditandatangani, mungkin simpul sejarah Aceh akan bergerak ke arah lain.[Iskandar Norman]

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget