Halloween Costume ideas 2015
2014

AMP - Anggota Polsek Wates, Jember, Bripka Edi Purwanto sempat membuat heboh masyarakat sekitar ketika aksinya melanggar rambu lalu lintas diberitakan media lokal dan menjadi pergunjingan di media sosial. Bahkan, fotonya yang memutar balik mobil dinas pada tanda larangan, dijadikan Display Picture (DP) Blackberry Messenger (BBM) oleh sebagian masyarakat sebagai bentuk protes.

Namun belakangan, Bripka Edi justru diberi penghargaan atas tindakannya itu. Sebab, berdasarkan hasil konfirmasi Polres Jember, Bripka Edi melanggar rambu lalu lintas karena mendapati kecelakaan tunggal.

Melihat kejadian tersebut, Bripka Edi segera menolong korban yang mengalami luka berat tersebut. Dalam perjalanannya ke rumah sakit, dengan mempertimbangkan keselamatan nyawa seseorang yang mengalami luka berat, Bripka Edi mau tidak mau harus memutar balik mobil dinas pada tanda larangan.

Berdasarkan siaran pers Divisi Humas Mabes Polri lewat fan page Facebook, Senin (29/12), Bripka Edi dinyatakan sedang melaksanakan tindakan diskresi kepolisian, yakni anggota tersebut membelokkan mobil dinas pada tanda larang dikarenakan dalam kondisi darurat membawa korban kecelakaan lalu lintas tunggal di Jalan Gajah Mada yang mengalami luka berat dan harus segera mendapatkan pertolongan medis untuk menyelamatkan nyawanya.

Atas dasar tindakan tersebut, Bripka Edi justru diberi penghargaan oleh Kapolres Jember AKBP Sabilul Alif. Pemberian penghargaan dilakukan di Mapolsek Kaliwates pada 26 Desember lalu dan dihadiri oleh Kapolsek Kaliwates Kompol Nurmala Rambe.

Untuk diketahui, Tindakan Diskresi Kepolisian telah diatur pasal 18 UU RI No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI yang menyatakan bahwa: 1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri; 2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Atas kejadian ini, Polri menyampaikan terima kasih kepada seluruh masyarakat yang ikut berperan aktif mengawasi kinerja anggota Polri di lapangan. "Kejadian ini membuktikan bahwa Polri sangat dicintai oleh masyarakat," demikian disampaikan Divisi Humas Mabes Polri.[MDK]

Prang ngon taki, khanduri ngon doa, pameo dalam masyarakat Aceh ini yang dikenal sebagai hadihmaja menjadi filosofi perang di Aceh, beberapa peristiwa besar pernah terjadi. Ya, perang itu dengan tipu muslihat, yang akhirnya kesuksesan akan selalu diakhiri dengan kenduri dan doa.

Adalah peristiwa penyerangan kapal Nicero dan Hoc Canton sebagai dua dari sekian banyak peristiwa suksesnya tipu muslihat perang yang dimainkan pejuang Aceh. Bermula ketika Nicero, sebuah kapal berbendera Inggris terdampar di Teunom.

Raja Teunom yang sedang gencarnya berperang dengan Belanda merampas kapal tersebut, awak kapalnya juga disandera. Sebuah tuntutan diajukan kepada Inggris, kapal dan sanera akan dibebaskan jika Inggris membayar tebusan 10.000 dolar.

Teuku Umar yang saat itu sudah memihak kepada Belanda melalui taktik perang tipu Aceh, ditugaskan untuk melakukan pembebasan kapal dan sandera. Teuku Umar meyakinkan Belanda bahwa Raja Teunom memiliki pasukan yang kuat, karena itu Inggris tidak berani menghadapi pasukan Raja Teunom, maka meminta bantuan Belanda.

Dalam uapayanya meyakinkan Belanda, sebenarnya Teuku Umar sedang membuat skenario besar. Ia menyatakan untuk merebut kembali kapal dan membebaskan sandera diperlukan pasukan pilihan dan persenjatan lengkap hingga mampu berperang salam waktu lama. Belanda mengiyakannya.

Teuku Umar bersama 32 tentara Belanda dan beberapa orang panglima, berangkat dari Kutaraja ke Aceh Barat dengan kapal Bengkulen. Di tengah pelayaran, semua tentara Belanda yang menyertainya dibunuh di atas kapal. Seluruh senjata dan amunisi dirampas. Dengan senjata rampasannya itu Teuku Umar dan pengikutnya memperkuat dan bergabung kembali dengan pejuang Aceh. Ia juga meminta kepada Raja Tunom untuk tidak menurunkan nilai tuntutannya kepada Inggris dan Belanda.




[Teuku Umar bersama panglimanya ]

Sejarawan Aceh H M Zainuddin (1972 : 5) mengungkapkan, Belanda sangat tercuncang dengan peristiwa itu. Pemerintah Kolonial Belanda di Kutaraja mengumumkan akan memberi hadiah 25.000 dolar bagi siapa saja yang sanggup menangkap Teuku Umar hidup atau mati.

Sejarawan lainnya Moehammad Said (1985 : 228) menulis bahwa tidak ada efek apapun dari pengumuman Belanda tersebut. Tidak ada di kalangan rakyat Aceh yang berani menghadapi Teuku Umar dan pasukannya, sebaliknya rakyat Aceh menyambut Teuku Umar sebagai pahlawan yang telah berhasil mengelabui Belanda dengan taktik tipu Aceh yang diterapkannya.

Akhirnya, Belanda terpaksa membayar tuntutan Raja Teunom. Pada 10 September 1884, kapal Nicero dan 18 orang awak kapal dibebaskan dengan uang tebusan 10.000 dolar. Raja Teunom berbesar hati atas peristiwa itu, karena kasus Nicero telah menggegerkan negara-negara Eropa.

Dua tahun setelah peristiwa Nicero, peristiwa serupa kembali terjadi. Kali ini menerpa kapal Hoc Canton, kapal dengan kapten Hansen, warga negara Denmark yang mendapat izin berlayar di perairan Aceh dari pemerintah Kolonial Belanda.

Muhammad Said menyebut Hansen sebagai pisau bermata dua. Ia memanfaatkan izin pelayaran untuk menyeludupkan sejata kepada pejuang Aceh di samping bisnis membeli rempah-rempah. Ia sangat lihai berlayar, bahkan untuk mengelabui patroli Belanda, ia mampu berlayar dalam gelap tanpa menghidupkan satu pun lampu di kapalnya.

Namun, pada sisi lain Hansen juga tertarik dengan tawaran imbalan dari Belanda yang masih berlaku, yakni 25.000 dolar untuk menangkap Teuku Umar hidup atau mati. Pada 12 Juni 1886, Hansen bersama Roaura berangkat ke Reugaih dengan kapal Hoc Canton. Alasannya, mereka ingin mengambil kapal The Eagle yang berlabuh di Reugaih, tapi sebenarnya Hasen dan Roaura ingin menjebak Teuku Umar.

Setelah berlayar selama tiga hari, pada 15 Juni 1886, Hoc Canton melepar jangkar di perairan Reugaih. Mula-mula mereka membeli lada dari kelompok Teuku Umar. Setelah semua lada dimuat ke kapal, Hansen memberi syarat bahwa pembayaran akan dilakukan di atas kapal.

E Roaura yang sudah sangat dikenal di kalangan pejuang Aceh sebagai penyeludup senjata menjumpai Teuku Umar di darat. Ia mengatakan Hansen meminta Teuku Umar harus naik ke kapal Hoc Canton untuk menyelesaikan transaksi dagang tersebut. Syarat itu ditolak Teuku Umar, tapi Hansen tetap bersikeras, tiga kali utusan Teuku Umar datang ke kapal ditolak Hansen.

Kesabaran Teuku Umar habis, sebuah tak-tik dirancang, bagaimana pun harga lada yang sudah dimuat ke kapal Hoc Canton harus dibayar. Teuku Umar sendiri akan naik ke kapal itu untuk mengambil uang dengan segala resiko. Baginya uang itu sangat penting untuk kebutuhan logistik perang.

Teuku Umar meminjam kapal The Eagle pada Raoura, kapal yang sudah lama berlabuh di Reugaih untuk merapat dan naik ke Hoc Canton. Tapi ketika Teuku Umar naik, Hansen memerintahkan anak buahnya untuk menangkapnya. Suami Cut Nyak Dhien itu akan dibawa ke Kutaraja untuk diserahkan kepada Belanda. Imbalan 25.000 dolar sudah terbayang di matanya.

Namun, yang terjadi malah sebaliknya, semua anak buah kapal sudah lebih dulu disergap oleh 40 pejuang Aceh. Sebelum Teuku Umar naik ke kapal, ia telah menyusun skenario penyergapan kapal Hoc Canton, 40 pejuang Aceh sudah menyelinap ke sana pada malam hari. Hansen yang mencoba melarikan diri akhirnya ditembak. Kepala juru mudi Lanbker yang berkebangsaan Jerman juga tewas bersama masinis kepala Robert Mc Gulloch.

Sementara istri Hansen bersama masiis kedua John Fay dan enam awak kapal Hoc Canton disandera. Keenam awal kapal itu merupakan pria Melayu dan Tionghoa. Teuku Umar kemudian memerintahkan beberapa orang untuk menjaga kapal itu. Semua isi kapal disita, diantaranya: dua meriam, enam bedil model snider, lima pistol, serta uang tunai 5.000 dolar.


[Belanda membakar rumah Teuku Umar di Lampisang ]

Peristiwa Nicero dan Hoc Canton selain membuat pukulan telak bagi Belanda, juga menjadikan pemerintah kolonial itu di Aceh hilang wibawa di mata internasional. Apa lagi ketika dua peristiwa itu dimuat di koran Penang Gazatte. Asosiasi dagang Penang Association mengadakan rapat khusus dan mengeluarkan dua resolusi bagi Belanda di Aceh, yakni mengambil langkah cepat untuk membebaskan Jhon Fay, dan mendesak pemerintah Inggris untuk menyelesaikan kasus Kapten Hansen. Keputusan itu diambil setelah rapat asosiasi tersebut berkesimpilan bahwa Belanda tidak mampu menguasai keadaan di Aceh.

Belanda makin berang. Gubernur Militer Hindia Belanda di Kutaraja Jenderal Van Teijn memimpin langsung beberapa kapal dan ratusan pasukan menuju Aceh Barat. Reugaih akan dibumihanguskan. Namu n Teuku Umar tidak gentar. Ia balik mengultimatum Belanda, bila Reugaih diserang maka para tawanan akan dihukum mati.

Jenderal Van Teinj benar-benar gentar dengan ancaman itu. Ia memerintahkan semua kapal perang kembali ke Uleelheu. Belanda akan mengupayakan jalan diplomasi untuk menyelesaikan persoalan Hoc Canton.

Rakyat Reugaih bersorak ketika militer Belanda dan kapal-kapal perang itu kembali ke Kutaraja. Sementara Teuku Umar membawa tawanannya ke pedalaman. Nyonya Hansen diminta untuk menulis surat kepada Belanda, bahwa mereka akan dibebaskan jika Belanda bersedia membayar uang tebusan 40.000 dolar.

Sampai dua bulan lebih kemudian persoalan itu bekum juga selesai. Belanda yang mulanya akan menghadiahi 25.000 dolar bagi siapa saja yang mampu menangkap Teuku Umar hidup atau mati, kini dipaksa untuk membayar 40.000 dolar kepada Teuku Umar. Namun Belanda hanya menyanggupi 25.000 dolar saja. Teuku Umar benar-benar mendapat �hadiah� atas kepalanya sendiri.

Uang tebusan itu diserahkan kepada Teuku Umar pada September 1886 dan para sandera dibebaskan. Teuku Umar mempercayakan Nyak Priang tokoh yang masyarakat setempat sebagai perantara dengan Belanda untuk menjumpai Nyonya Hansen yang ditawan dalam rumah Teungku H Darwis Reugaih. Di rumah itu para tawanan diawasi dengan ketat. Nyoya Hansen mengakui dia diperlukan dengan sangat baik selama dalam tawanan, ia hanya mengalami luka kecil saat insiden di atas kapal Hoc Canton. Meski demikian ia mengaku sangat pilu dengan kematian suaminya.

Nyoya Hansen dan Fay bersama anak buah kapal Hoc Canton tiba di Kutaraja pada 6 Oktober 1886. Kepada Belanda Nyonya Hansen yang sudah lancar berbahasa Aceh mengakui bahwa ia diperlakukan dengan sangat baik oleh Teuku Umar.

Nyonya Hansen mengungkapkan semuanya kepada temannta sesama orang Denmark, Chirstiaansen. Ia menulis panjang lebar tentang sifat dan pribadi Teuku Umar beserta Cut Nyak Dhien yang dianggapnya sebagai ksatria. Seorang Mayor Belanda LWA Kessier juga mengakui hal itu. Ia menyebut Teuku Umar sebagai intellegente en zeer baschaafde Atjeher yakni orang Aceh yang paling cerdas dan sopan. [Iskandar Norman]




Perang Aceh melahirkan perempuan-perempuan perkasa, tidak hanya diakui oleh bangsanya, tapi juga musuhnya. Belanda menyebutnya sebagai Grandes Dames, wanita-wanita besar yang perannya melebihi kaum pria.


[Cristine Hakim memerankan sosok Cut Nyak Dhien dalam film Tjoet Nja' Dhien ]

Cut Nyak Dhien merupakan satu di antara sederetan nama-nama besar itu. Mereka muncul silih berganti menjadi panglima perang selama 60 tahun perlawanan terhadap penjajahan Belanda, mulai Maret 1973 ketika perang dimaklumatkan, sampai Belanda meninggalkan Aceh dengan kekalahannya pada tahun 1942.

H C Zentgraff, penulis Belanda dalam buku �Atjeh� menyebut perempuan-perempuan perkasa itu sebagai de leidster van het verzet, para pemimpin perlawanan yang memegang peranan besar dalam perpolitikan dan peperangan. Zentgraaf menulis.

�Keberanian wanita Aceh dalam mempertahankan cita-cita bangsa dan agamanya. Ia rela hidup dalam kancah perang dan melahirkan putranya di situ. Ia berperang bersama suaminya, kadang-kadang di samping, di hadapan, atau di tangannya yang kecil dan halus itu, kelewang dan rencong dapat menjadi senjata yang berbahaya.�

Salah satu perempuan Aceh yang sangat disegani Zentgraaff dalam bukunya itu adalah Cut Nyak Dhien, yang tampil memimpin peperangan melawan Belanda pada 1896 setelah Teuku Umar, suami keduanya meninggal. Ia lebih memilih melanjutkan perjuangan dalam rimba secara bergerilya dari pada tunduk pada Belanda. Cut Nyak Dhien terus melanjutkan perjuangan meski ia sudah tua, matanya sudah rabun, tapi semangatnya tidak terpatahkan.

Sebagaimana ditulis oleh Rusdi Sufi dalam buku �Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah� keperkasaan Cut Nyak Dhien juga diungkapkan oleh sejarawan Belanda lainnya, M H Szkely Lulafs dalam buku �Tjoet Nja� Dhien� Ia menilai jiwa kepahlawanan yang menggerakkan semangat juang dalam dada Teuku Umar adalah dorongan halus Cut Nyak Dhien. Sifat kepahlawanan Cut Nyak Dhien diwarisi dari ayahnya yang merupakan salah seorang pejuang penentang kolonialis Belanda.

Cut Nyak Dhien lahir pada tahun 1848, ayahnya Teuku Nanta Setia merupakan uleebalang VI Mukim bagian dari wilayah Sagi XXV Mukim. Mereka tinggal di Gampong Lampadang Peukan Bada, Aceh Besar. Ayah Cut Nyak Dhien merupakan keturunan seorang perantau asal Minangkabau Sumatera Barat, yang bernama Machoedoem Sati. Ia diperkirakan datang ke Aceh pada abad XVIII ketika Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sulthan Jamalul Alam Badrul Munir (1711 � 1733).

Sementara ibunya Cut Nyak Dhien merupakan putri uleebalang terkemuka di Kemukiman Lampageu yang juga wilayah Sagi XXV Mukim. Sebagai putri bangsawan, sejak kecil Cut Nyak Dhien sudah memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama dari ulama-ulama di wilayah kekuasaan ayahnya.

Sebagai putri uleebalang, kehidupan Cut Nyak Dhien dipengaruhi oleh gaya hidup bangsawan, tapi pendidikan agama yang didapatkannya membuatnya tumbuh menjadi gadis yang memiliki sifat-sifat yang tabah, lembut dan tawakal. Cut Nyak Dhien kemudian dijodohkan dengan anak saudara laki-laki dari ibunya. Pria muda itu bernama Teuku Ibrahim, putra dari Teuku Po Amat, uleebalang Lam Nga XIII Mukim Teungkop di Sagi XXVI Mukim.

Menurut Rusdi Sufi, pada saat Belanda menyerang Aceh dalam bulan Maret 1873, suami Cut Nyak Dhien yang dipanggil dengan sebutan Teuku Nyak Him dan bergelar Teuku Di Bitai, telah ikut berperang melawan agresi Belanda bersama pejuang Aceh lainnya. Meski baru berumahtangga, Cut Nyak Dhien merelakan suaminya untuk terjun ke medan juang. Ia memberi dorongan bagi suaminya dalam setiap peperangan.



[Lukisan perjuangan Cut Nyak Dhien ]

Namun, ketika Mesjid Raya Baiturrahman dibakar Belanda, Cut Nyak Dien tidak lagi menjadi perempuan yang hanya menyemangti suaminya untuk berperang, tapi ia sendiri yang turun ke garis depan setiap peperangan mendampingi suaminya. Cut Nyak Dhien sangat marah ketika Belanda membakar Mesjid Raya Baiturrahman.

Kemarahan Cut Nyak Dhien itu digambarkan oleh sejarawan Belanda M H Szkely Lulafs dalam buku �Tjoet Nja� Dhien� sebagai berikut:

�Cut Nyak Dhien meninggalkan rumah, lalu turun tanah. Dengan rambut tergerai-gerai, kedua tinjunya mengepal dan mengacung-acung, sampailah ia ke halamannya. Kepada sekalian orang kampung yang datang berkerumum melihat apa yang mengolak-olak itu dari jauh, berserulah ia dengan gemas dan mata terbelalak, katanya: Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu, mesjid kita dibakarnya. Mereka menentang Allah subhanahuwata�ala, tempatmu beribadah dibinasakannya, nama Allah dicemarkannya, camkanlah itu! Jangan kita melupa-lupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang mengampuni dosa si kafir itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?�

Perang dengan Belanda terus berkecamuk, karena Belanda lebih unggul dalam persenjataan, Cut Nyak Dhien dan suaminya terdesak hingga kemudian berpindah ke wilayah Leupeung. Dari sana perang terus digelorakan. Tapi pada 29 Juni 1878, Teuku Ibrahim Lam Nga, suami Cut Nyak Dhien tewas bersama beberapa pengikutnya dalam sebuah pertempuran di lembah Beuradeun Gle Tarom, Kemukiman Montasik, Sagi XXII Mukim.

Menurut Szekely Lulofs, penyebab peristiwa tersebut adalah pengkhianatan yang dilakukan oleh Habib Abdurrahman yang telah menyerah dan menerima kompensasi dari Belanda. Kematian suaminya itu membuat kebencian Cut Nyak Dhien terhadap Belanda semakin memuncak. Ia tampil di depan menggantikan suaminya dalam berperang melawan Belanda.

Sejarawan lainnya, Hazil dalam buku �Teuku Umar dan Tjut Nyak Dhien Sepasang Pahlawan Perang Aceh� mengungkapkan, sangking bencinya Cut Nyak Dhien kepada Belanda, suatu ketika antara sadar dan tidak, Cut Nyak Dhien pernah berucap dan berjanji akan bersedia menikah dengan laki-laki yang dapat membantunya untuk menuntut belas atas kematian suaminya.

Dengan gelora batinnya yang dibaluti kebencian terhadap Belanda itu, Cut Nyak Dhien terus memimpin pelawanan. Pada saat yang sama juga terkenal Teuku Umar yang memimpin peperangan melawan Belanda di wilayah barat Aceh. Meski antara Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar sudah saling mengenal nama, keduanya belum pernah bertemu. Hingga kemudian Teuku Umar dalam suatu peperangan mampun mengalahkan pasukan Belanda yang sebelumnya menewaskan Teuku Ibrahim Lam Nga, suaminya Cut Nyak Dhien.

Pada tahun 1878 beberapa bulan setelah kematian suaminya, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar di Montasik. Perkawinan mereka itu dibicarakan banyak orang, karena keduanya sudah dikenal sebagai pemimpin perjuangan melawan penjajah Belanda. Pasangan ini dinilai sangat cocok untuk memimpin kelanjutan peperangan.

Cut Nyak Dhien merupakan istri ketiga Teuku Umar. Sebelumnya Teuku Umar telah menikah dengan dua wanita lain yakni Cut Nyak Asiah putri Uleebalang Geulumpang, dan Cut Nyak Meuligoe putri Panglima Sagi XXV Mukim. Namun, diantara ketiga istrinya itu, Cut Nyak Dhien yang sangat memberi pengaruh padanya.

Dari perkawinannya mereka dikaruniai seorang anak perempuan yan diberi nama Cut Gambang, yang ketika dewasa kelak dinikahkan dengan Teungku Mayed Di Tiro alias Teungku Di Buket, putra Teungku Chiek Di Tiro.

Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien bersama pasukannya terus menjelajahi belantara, dari satu rimba ke rimba lain, dari satu jurang ke jurang lain. Cut Nyak Dhien kadang-kadang ditempatkan di tempat aman di tengah belantara ketika Teuku Umar dan pasukannya turun untuk menyerang patroli marsose yang terus memburu mereka.

Seperti pata tanggal 10 menjelang 11 Februari 1899, Teuku Umar dan pasukannya mencoba mencoba turun ke Meulaboh untuk menyerang sebuah pusat pertahanan Belanda. Esok harinya dalam sebuah pertempuran di Suak Ujong Kala Meulaboh, Teuku Umar tewas tertembak militer Belanda. Sesuai dengan pesannya kepada pasukannya, Teuku Umar dimakamkan di tempat yang tidak diketahui Belanda, yakni di Mon Tulang Pucok Meuhon Kendik Meulaboh.

Berita meniggalnya Teuku Umar diterima dengan tabah oleh Cut Nyak Dhien. Ia mengambil alih pimpinan pasukan yang ditingalkan suaminya itu. Ia melanjutkan perjuangannuya bersama Pang Laot Ali dan bertekat melawan penjajahan Belanda sampai akhir hayatnya.

Cut Nyak Dhien terus memimpin perjuangan melawan Belanda. Ia mengkoordinir pasukannya di belantara antara Kruen Woyla dan Meulaboh. Perang gerilya itu dilakukannya hingga enam tahun. Tapi dalam masa enam tahun itu, pasukan Cut Nyak Dhien mengalami kekurangan makanan. Cut Nyak Dhien juga sudah mulai sakit-sakitan dan rabun. Semua hartanya telah habis untuk membiayai perang melawan Belanda.

Dalam keadaan seperti itu Pang Laot Ali merasa kasihan dengannya. Wanita perkasa itu tidak lagi memiliki apa-apa selain semangatnya yang terus bergelora melawan Belanda. Kehidupannya sudah serba terpencil di rimba raya. Pang Laot Ali benar-benar tak kuasa melihat keadaan Cut Nyak Dhien yang seperti itu. Ia menawarkan kepada Cut Nyak Dhien untuk menyerah kepada Belanda agar ia bisa dirawat oleh rakyatnya di kampung.

Mendengar tawaran seperti itu, Cut Nyak Dhien yang sudah rabun dan mengalami encok, murka. Ia meludah dan berkata dengan lantang kepada Pang Laot Ali. �Takluk kepada kaphe, cis najis, semoga Allah Subhanahuwataala menjauhkan perbuatan yang sehina itu dari diriku.�



[Cut Nyak Dhien setelah ditangkap Belanda akibat pengkhuanatan Pang Laot ]

Namun Pang Laot Ali tetap tidak sampai hati melihat kondisi Cut Nyak Dhien seperti itu. Akhirnya ia mengkhianati Cut Nyak Dhien, ia mengirim seorang kurir untuk melaporkan tempat persembunyian mereka kepada Belanda di Meulaboh. Bagaimanapun ia ingin Cut Nyak Dhien bisa dirawat, tidak terlantar di dalam hutan.

Pada tanggal 4 November 1905, Letnan Van Vuuren bersama pasukannya berangkat ke tempat persembunyian Cut Nyak Dhien. Dalam perjalanan, ketika hampir sampai ke tempat Cut Nyak Dhien, tanpa sengaja seorang tentara Belanda melakukan tembakan. Suara tembakan itu terdengar hingga ke tempat persembunyian Cut Nyak Dhien.

Cut Nyak Dhien kemudian digendong dan dibawa lari dari tempat itu. Tapi beberapa saat kemudian ia ditemukan dan ditangkap. Cut Nyak Dhien yang sudah buta dan tak berdaya menengadah kedua tangannya, kesepuluh jarinya dikembangkan. Ia sangat emosi dan ingin terus melawan, tapi wanita perkasa itu kini sudah renta dan tak berdaya, meski sikapnya sangat menentang, ia kemudian berkata, �Ya Allah ya Tuhanku inikah nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir.�

Pang Laot Ali kemudian mendekati Cut Nyak Dhien dan berkata padanya agar Cut Nyak Dhien tidak takut, karena Belanda tidak akan menyakitinya, sebaliknya akan memperlakukannya dengan sopan. Akan tetapi ketika Pang Laot Ali henda meraba tangan Cut Nyak Dhien dan membujuknya, Cut Nyak Dhien dengan lantang berkara. �Cis, jangan menyinggung kulitku, pengkhianat engkau, tidak kusangka, lebih baik kau menunjukkan budi baikmu kepadaku dengan jalan menikamku.�

Cut Nyak Dhien kemudian dianikkan ke sebuah tandu, lalu digotong ke sebuah pos penjagaan Belanda. Bersama Cut Nyak Dhien juga ditangkap seorang kemenakannya yang bernama Teuku Nana. Dari sana Cut Nyak Dhien kemudian dipindahkan ke Kutaraja.

Paul Van� Veer menulis, meski Cut Nyak Dhien telah ditawan, pengaruhnya terhadap fanatisme rakyat Aceh dalam menentang Belanda di Aceh, khususnya Aceh Besar tidak lenyap. Perang terus saja berlanjut. Untuk menghilangkan pengaruhnya itu, Cut Nyak Dhien kemudian dipindahkan ke Pulau Jawa yakni ke Suimedang, Jawa Barat, melalui surat keputusan Pemerintah Hindia Belanda nomor 23 tanggal 11 Desember 1906.

Setelah sekitar dua tahun berada di pengasingan, pada 6 November 1908 Cut Nyak Dhien wafat dan dikuburkan di sana. Pemerintah Republik Indonesia kemudian mengangkatnya sebagai pahlawan kemerdekaan nasional melalui Surat keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 106, tanggal 2 Mei 1964.[Iskandar Norman]


Tanbeh 17 merupakan nama lain dari kitab Munirul Qulub, ditulis dengan bahasa Aceh bersajak. Berisi 17 anjuran bagi pencari surga dan penghapus dosa. Tuntunan bagi umat dalam hakikat hidupnya.

Kitab aslinya bertulis tangan dengan aksara Arab Jawi berbahasa Aceh. Ditulis di atas kertas ukuran 22 x 16 cm setebal 138 halaman. Setiap halaman berisi 19 baris yang ditulis dalam dua lajur. Kitab ini pernah dialih aksarakan oleh tim dari Museum Provinsi Daerah Istimewa Aceh pada tahun 1993.

Dalam pengantar alih akasara dijelaskan, isi Tanbeh 17 berupa 17 pokok bahasan tentang anjuran bagi siapa saja yang hendak mencari surga, serta tuntunan bagi penebus dosa. Penulisnya membuka kitab dengan keterangan, ulon teusurat bahsa droe, Arab Jawoe kupeu bahsa, lon boh lagu ban hikayat, makna kitab simeumata, nama kitab Munirul Qulub, Dawauz Zunub ubat desya.

Penulisan kitab ini disandarkan pada ayat-ayat Alquran, hadis Nabi dan ijmak para ulama. Penjelasan dan argumentasi yang disampaikan selalu begitu mengalir. Dalil dan perumpamaan atas kajian yang disampaikan sangat mengena. Dalil-dalil yang dikemukakan selalu sertakan dengan penjelasan yang begitu dekat dengan realita kehidupan.

Menariknya lagi, penjelasan dalam tanbeh disertai dengan ulasan-ulasan sejarah pada masa nabi. Ini membuat kitab Tanbeh 17 menjadi lebih enak dibaca dan lebih membekas dalam ingatan.

17 tanbeh yang dijelaskan dalam kitab ini berupa: kepercayaan, takwa, makna penting kewajiban agama, martabat ulama dalam masyarakat Islam, kewajiban terhadap orang tua, sopan santun kepada guru, kewajiban istri terhadap suami. Pada bagian kewajiban istri terhadap suami memuat tentang kisah ajaran Nabi Muhammad kepada putrinya Fatimah.

Tanbeh lainnya adalah: kewajiban mandi junub, kewajiban terhadap tetangga, kemuliaan berderma, kejahatan riba, kerugian meninggalkan sembahyang, kepuraan dalam beribadah dan kerugiaannya, bahaya sakaratul maut.

Pada bagian bahaya sekaratul maut ini memuat kisah Jadid bin Ata yang karena kesamaan namanya dicomot oleh malaikat maut sebagai orang kafir bernama Jaded bin Farek. Kemudian ia dihidupkan kembali sehingga dapat menceritakan pengalamannya tetang kesengsaraan kaum kafir setelah mati.

Dua tanbeh terakhir berupa azab yang dilaksanakan dalam kubur dan kerugian meninggalkan shalat Jumat. Pada bagian ini dipaparkan kejadian-kejadian nyata di beberapa tempat pada masa itu yang kerap dilanda kekeringan dan gagal panen akibat masyarakatnya tidak melaksanakan kewajiban shalat Jumat.

Penulis kitab ini juga menyinggung tentang tradisi �Jumat bersih� dalam masyarakat Aceh, yakni bergotong royong bersama setiap pagi Jumat hingga jelang dhuhur. Usai gotong royong para pria akan melakukan shalat Jumat bersama di mesjid. Kerifan lokal ini kini sudah jarang terlihat dalam masyarakat Aceh.

Membaca kitab ini kita diajarkan untuk menjalani hidup seutuhnya sebagai hamba Allah dalam bermasyarakat yang berpedoman pada konsep hablun minallah wa hablun minannas.

Kitab ini tamat ditulis pada tahun 1254 Hijriah bertepatan dengan 1875 masehi. Penulis menyebut namanya sebagai Teuku Muda. Pada bagian akhir kitab Tanbeh 17 ini, ia menjelaskan bahwa Aceh sering dilanda malapetaka karena masyarakatnya banyak melanggar hukum agama.

Teuku Muda menutupnya dengan: bak nanggroe nyoe hana beureukat, le nyang bangsat taat kureung, Aceh pih kayem keunong bala, hana reuda lam teuka khueng, La ila haillallah habeh kisah, han peun bileueng wallahu aklam, tamat surat malam Jumat, khamis watee Insya. Nyang empunya Teuku Muda.

Menarik untuk mengkaji kembali Tambeh 17 ini, semoga kita bisa terhindar dari segara mara bahaya, dan memperoleh ampunan dosa, karena kitab ini merupakan ajaran untuk obat segala dosa. [Iskandar Norman]







Nanggroe Aceh - Ulee Balang atau Hulu Balang dalam kerajaan Melayu merupakan struktur paling penting pada kerajaan Aceh. Ulee Balang merupakan pemimpin yang memimpin kenegerian atau nanggroe (setingkat dengan kabupaten) dalam struktur pemerintahan Aceh. Bangsawan Aceh ini digelari dengan gelar Teuku untuk laki-laki dan Cut untuk perempuan. Kerajaan Aceh menganut sistem monarki absoulut yang





Nanggroe Aceh - Lagu paling popular di Aceh dan semua kalangan di Aceh tahu lagu
ini. Bahkan lagu ini telah menjadi lagu wajib di Aceh serta menjadi lagu yang
wajib diajarkan kepada anak-anak Aceh mulai dari taman kanak-kanak hingga
sekolah menengah. Penggalan lagu Tanoh Lon Sayang yang berada dibawah ini berjudul asli Atjeh Lon Sayang. Lagu itu
dipercaya diciptakan oleh Teuku Djohan, namun

Agustus adalah bulan penuh momentum bagi rakyat Aceh, fragmen penuh sejarah. Jadikan semangat Agustus untuk merawat perdamaian dan menguburkan kenangan kelam.
Kemarin, 17 Agustus kita memperingati ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-69, tiga hari yang lalu, 15 Agustus ulang tahun ke-9 perdamaian Aceh. Bukan hanya dua momentum itu saja yang terpatri dalam bulan Agustus di Aceh, rentetan sejarah Agustus jauh sebelumnya sudah menyelimuti Aceh.

Ketika Republik Indonesia ini baru berdiri, Hasan Tiro juga ikut ambil bagian dalam perayaannya. Hasan Tiro muda yang aktif dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI) disebut-sebut pernah menjadi salah seorang penggerek bendera merah putih. Hasan Tiro pada tahun 1945 juga menjabat sebagai Ketua Muda PRI di Pidie.
Baca Yamaha R15 dan Yamaha R25 Motor Sport Racing dan Kencang
Nasionalisme yang diusungnya saat itu masih �merah putih� sebelum kemudian Jakarta dinilainya ingkar terhadap Aceh, hingga sang wali membangung nasionalisme sendiri, yakni nasionalisme keacehan melalui sebuah pemberontakan yang dinamainya Aceh Merdeka.

Fanatisme Aceh telah banyak mengisi lembaran sejarah republik, bukan hanya romantisme tapi juga militansi. Simaklah beberapa fragmen sejarah Aceh. Pada bulan Agustus 1850 dulu Provinsi Aceh dileburkan ke dalam bagian Provinsi Sumatera Utara melalu Perpu nomor 5/1950. Hal yang kemudian Aceh bergolak. Beberapa hari setelah Perpu itu itu keluar, pada 21 September 1950 Tgk Muhammad Daud Beureueh memukul beduk perang dengan pemerintah pusat. Ia memproklamirkan DI/TII Aceh.

Daud Beureueh menilai Pemerintah Pusat ingkar janji kepada rakyat Aceh. Setelah tujuh tahun perang bergolak di Aceh, baru pada 1 Januari 1957 pemerintah pusat membentuk kembali Provinsi Aceh yang terpisah dari Sumetera Utara. Pembentukan kembali Provinsi Aceh kala itu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengeluarkan Undang-undang nomor 24/1956.

Meski demikian konflik Aceh-Jakarta belum sepenuhnya reda. Lagi-lagi dalam bulan Agustus, tepatnya pada 29 Agustus 1951, razia senjata besar-besaran dilakukan di Aceh oleh Brigade AA. Alasannya, rakyat Aceh diduga masih menyimpan banyak senjata sisa-sisa perang. Padahal, beberapa bulan sebelumnya razia senjata sudah dilakukan, dan Pemerintah Republik Indonesia telah memerintahkan Kepala Koordinator Kepolisian di Aceh untuk menarik seluruh senjata api, baik yang memiliki surat izin maupun tidak.

Fragmentaria sejarah Agustus lainnya di Aceh adalah, 12 Agustus 1998, Rumoh Geudong yang digunakan sebagai Pos Sattis Kopassu di Gampong Billie Aroen, Geulumpang Tiga Pidie dibakar. Rumah yang dijadikan sebagai pos penyiksaan itu dibakar massa hanya 30 menit setelah Tim Komnas HAM yang dipimpin Baharuddin Lopa meninggalkan lokasi tersebut. Selanjutnya 7 Agustus 1999, Panglima ABRI Jenderal Wiranto mencabut status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh.

Pada masa selanjutnya, 5 Agustus 2000, pondasi perdamaian Aceh mulai digali dengan kesepakatan antara Pemerintah RI dengan GAM terkait perpanjangan jeda kemanusiaan di Aceh. Setahun kemudian, 9 Agustus 2001, Presiden Megawati Soekarno Putri menandatangani Undang-undang nomor 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Nanggroe Aceh Darussalam (UU NAD).

Sebelas hari kemudian, 20 Agustus 2001, Megawati juga menyetujui pembebasan enam juru runding GAM yang ditahan aparat keamanan. Namun Menkopolkam yang saat itu dijabat Susilo Bambang Yudhoyono menjelaskan bahwa Megawati memberi catatan agar para juru runding GAM tersebut tidak melakukan pelanggaran hukum setelah dibebaskan. Presiden menyarankan agar perundingan harus diproteksi dan dihormati sebagai suatu proses, karena itu pemerintah mengambil keputusan untuk membebaskan juru runding GAM setelah memenuhi ketentuan yang diminta oleh pihak kepolisian.

Damai di Aceh terus disemai, pada 5 Agustus 2002, Anthony Zinni datang ke Aceh. Pensiunan jenderal bintang empat marinir Amerika Serikat ini datang ke Aceh bersama Deputi HDC Jenewa Andrew Marshall. Ketika sampai di Aceh keduanya juga ditemani David Gorman. Anthony Zinni merupakan wiseman yang aktif dalam perundingan antara pemerintah Indonesia dan GAM.

Damai pun wujud di Aceh pada 15 Agustus 2005, kala itu Wakil Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani kesepakatan damai di Helnsiki, Firlandia. Dan mulai 1 Agustus 2006, UU Nomor 11/2006 mengani Pemerintahan Aceh (UUPA) mulai diberlakukan. Demikianlah di antara sekian banyak fragmentaria Agustus di Aceh. Mari terus merawat dan mejaga perdamaian demi Aceh yang lebih bermartabat.[]

Replika Meriam Lada Sicupak
Panglima Nyak Dum diutus Sulthan Iskandar Muda sebagai duta ke Turki. Menjalin kerjasama pertahanan dan mendapat bantuan militer untuk memerangi Portugis di Selat Malaka.
Kisah Panglima Nyak Dum sudah menjadi legenda dalam sejarah Aceh. Keberangkatannya ke negeri Rum (Turki) diabadikan oleh masyarakat Aceh dalam syair:

Dengo lon kisah Panglima Nyak Dum
U Nanggroe Rom (Turki) troh geu bungka
Meuriam lada sicupak troh geupuwoe
Geupeujaroe bak Po Meukuta

Penjelasan tentang diplomasi lada sicupak tersebut dijelaskan oleh H M Zainuddin dalam buku Singa Aceh, Biographi Seri Sulthan Iskandar Muda, terbitan Pustaka Iskandar Muda, Medan (1957). Ia menjelaskan, hubungan Kerajaan Aceh dengan Turki pertama kali dibangun oleh Suthan Ali Riayat Syah Al Qahar yang memerintah dari tahun 1557-1568 dengan Sulthan Salim Khan.

Pada masa itu, Sulthan Salim Khan mengikat perjanjian persahabatan dengan Kerajaan Aceh dan mengirim 40 orang ahli alteleri untuk melatih pasukan meriam dan pasukan berkuda di Aceh.

Perjanjian persahabatan itu kemudian dilanjutkan oleh raja Aceh selanjutnya, Sulthan Alauddin Mansur Syah yang memerintah pada tahun 1577-1586. Pada masa itu Turki menjamin dan melindungi Kerajaan Aceh dari gangguan pihak lain.

Selanjutnya ketika tahta Turki dipegang oleh Sulthan Mustafa Khan, perjanjian itu dilanjutkan lagi oleh sultah Aceh berikutnya, Sulthan Alauddin Riayat Syah Saidil Mukamil yang memerintah pada tahun 1588-1604. Pada masa itu Sulthan Mustafa Khan mengirim sebuah bintang kehormatan kepada Sulthan Aceh, serta mengizinkan kapal-kapal perang Kerajaan Aceh memakai bendera Turki.

Pada masa Aceh dipimpin Sulthan Iskandar Muda, hubungan dengan Turki agak merengang karena Iskandar Muda lebih fokus membangun dalam negeri setelah kekalahan pendahulunya dalam perang di semenanjung Malaka.

Setelah rakyat dalam negeri Aceh benar-benar makmur, Sulthan Iskandar Muda membuka kembali hubungan dengan Turki yang selama beberapa tahun sudah agak merenggang. Sulthan Iskandar Muda menyiapkan tiga buah kapal untuk berangkat ke Turki. Kapal-kapal itu berisi lada yang akan diserahkan ke raja Turki sebagai persembahan dari Aceh. Ia juga meminta kepada Mufti Kerajaan Syeikh Nuruddin Ar Raniry untuk menulis sepucuk surat dalam bahasa Arab.

Surat itu kemudian disampul dan dibalut dengan kain sutera sebagai bentuk kemuliaan. Untuk membawa surat itu ditugaskan Panglima Nyak Dum sebagai kepala rombongan. Dalam rombongan khalifah Panglima Nyak Dum juga disertakan dua orang juru bahasa yang ditunjuk oleh Syeikh Nuruddin Ar Raniry, satu ahli bahasa Arab, satu lagi Hindi.

Menurut H M Zainuddin, Panglima Nyak Dum digambarkan sebagai pemberani yang kebal terhadap senjata tajam dan peluru. Ia juga fasih berbahasa Arab, makanya ditunjuk sebagai ketua delegasi.

Dalam perjalanannya, ketiga kapal delegasi Aceh itu terbawa badai. Awalnya dari pelabuhan Aceh mereka hendak menuju ke Madras tapi terbawa angin ke Calcuta. Beberapa lama di situ, setelah menunggu angin teduh, mereka berlayar menyusuri pantai Coromondal, sepanjang Teluk Banggala hingga kemudian sampai ke Madras.

Setelah beberapa lama di Madras, delegasi Aceh melanjutkan perjalanan ke Ceylon terus ke Teluk Parsi sampai ke Bombay. Dari sana kemudian menyebrang ke laut Sikatra menuju Madagaskar terus ke tanjung harapan Afrika Selatan. Selanjutnya rombongan Panglima Nyak Dum menuju laut Atlantik sampai ke Istambul, Turki.

Perjalanan dari Aceh menuju Turki itu menghabiskan waktu sampai dua tahun. Bekal dalam perjalanan sudah habis. Lada yang dikirim sebagai persembahan untuk Sulthan Turki juga dijual di Bombay untuk memenuhi kebutuhan selama perjalanan panjang tersebut.

Ketika kapal masuk ke pelabuhan di Konstatinopel, timbul keresahan dari delegasi Aceh itu karena barang persembahan Sulthan Iskandar Muda untuk raja Turki sudah dijual selama perjalanan, yang tersisa hanya sepuluh goni lada.

Panglima Nyak Dum kemudian mengambil secupak lada dari salah satu goni itu dan membungkuskan dalam kain kuning, sebagai isyarat bahwa bingkisan itu dipersembahkan kepada sulthan Turki dari sultan Aceh.

Rombongan Panglima Nyak Dum disambut oleh syahbandar dan diantar ke istana. Sampai di sana Panglima Nyak Dum menyerahkan surat dari Sulthan Iskandar Muda beserta bingkisan secupak lada kepada raja Turki. Ia juga menjelaskan bahwa bingkisan dari Aceh yang dibawanya telah banyak habis dijual untuk bekal selama perjalanan karena kapal mereka terbawa badai pada rute yang salah. Sulthan Turki memaklumi hal itu.

Usai jamuan, Panglima Nyak Dum menceritakan kepada Sulthan Turki tentang tindakan Portugis di Selat Malaka yang telah mengganggu perairan Aceh. Pihak Turki menegaskan bahwa akan terus menjaga hubungan baik dengan Kerajaan Aceh, termasuk membantu Sulthan Aceh dalam menghalau gangguan Portugis di Selat Malaka.

Setelah sekitar tiga bulan delegasi Aceh itu berada di Turki, Panglima Nyak Dum dan rombongannya kembali ke Aceh. Sebagai balasan tanda memperkuat persahabatan, Sulthan Turki mengirim sebuah meriam dan alat-lata perang untuk Sulthan Aceh.

Meriam itulah yang kemudian dikenal sebagai meriam lada sicupak. Dalam rombongan Panglima Nyak Dum juga diikutserakan 12 orang Turki ahli militer dan pelayaran untuk mendampingi mereka sampai ke Aceh.

Tentang Panglima Nyak Dum juga disinggung Drs Anas Mahmud dalam makalahnya Turun Naiknya Peranan Kerajaan Aceh Darussalam di Pesisir Timur Pulau Sumatera. Makalah ini disampaika pada seminar Masuk dan Berkembannya Islam di Nusantara di Rantau Kuala Simpang tahun 1980.

Menurutnya, dengan bantuan Turki, Aceh membangun angkatan perangnya dengan baik. Senjata-senjata yang dirampas dari Portugis saat penyerangan di Pidie dan Pasai ditambah dengan bantuan Turki membuat militer Aceh menjadi kekuatan yang tangguh.

Hal yang sama juga diungkapkan Muhammad Said dalam buku Aceh Sepanjang Abad. Pada halaman 100 buku itu ia menulis:

�...Dimasa Al Kahar (Sulthan Alauddin Riayat Syah), Aceh segera membangun armada dan angkatan perang besar. Dia telah memperluas hubungan luar negeri. Politik mengikat persahabatan erat dengan Arab dan Turki dipergiatkan. Para ahli tehnik terutama untuk keperluan zeni dan ilmu perang didatangkan dari negeri tersebut..�

Bantuan Turki itu oleh Muhammad Said dihubungkan dengan kisah meriam lada sicupak. Pemberian Turki berupa meriam dan bendera kepada Kerajaan Aceh merupakan bentuk pengakuan Turki bahwa Kerajaan Aceh berada di bawah perlindungan khalifah Islam. Bantuan Turki kepada Aceh itu bukan saja sebagai bantuan militer belaka, tapi memiliki arti politik yang menjelaskan tentang kedudukan Aceh dalam kesatuan kekhalifahan Islam.

Tentang hubungan Aceh dengan Turki juga ditulis dalam buku Aceh, Nusantara dan Khilafah Islamiyah, terbitan Huzbut Tahrit Indonesia (2005). Buku itu merujuk pada buku Protecting the Routhers to Mecca, karangan Farooqi.

Dalam buku itu dijelaskan bawa Farooqi menemukan sebuah arsip dari Khalifah Utsmani yang berisi sebuah petisi dari raja Aceh, Sulthan Alauddin Riayat kepada penguasa Turki, Sulthan Sulayman Al-Qanuni. Farooqi menyebutkan surat itu dibawa oleh seorang utusan bernama Huseyn Effendi, mungkin yang dimaksud Farooqi ini adalah Panglima Nyak Dum.

Dalam surat itu dijelaskan bahwa, Kerajaan Aceh mengakui penguasa Utsmani sebagai Khalifah Islam. Surat itu juga berisi laporan tentang aktivitas militer Portugis yang menimbulkan masalah besar terhadap para pedagang muslim dan jamaah haji dalam perjalanan ke Mekkah. Karena itu, Aceh meminta bantuan Turki untuk menghalau Portugis di Selat Malaka.

Meski Sulthan Sulayman Al-Qanuny wafat pada tahun 1566 Masehi, akan tetapi petisi Aceh mendapat dukungan dari penggantinya, Sulthan Selim II (1566-1574). Ia mengeluarkan perintah untuk melakukan ekspedisi besar militer ke Aceh.

Sekitar September 1567, Laksamana Turki di Suez, Kurtoglu Hizir Reis diperintahkan berlayar menuju Aceh dengan sejumah ahli senjata api, tentara dan alteleri. Pasukan ini diperintahkan tetap berada di Aceh selama dibutuhkan oleh kerajaan Aceh.

Menurut Ayumardi Azra dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII, dalam perjalanannya armada besar itu hanya sebagian yang sampai ke Aceh karena dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman yang berakhir pada tahun 1571.

Kehadiran Kurtoglu Hizir Reis bersama armada dan tentaranya disambut dengan upacara besar oleh raja Aceh. Kurtoglu Hizir Reis kemudian diberi gelar Gubernur Turki di Aceh yang merupakan utusan resmi Khalifah Utsmani yang ditempatkan di Kerajaan Aceh.

Catatan lainnya, dalam buku karangan Marwati Djuned Pusponegoro, Sejarah Nasional Indonesia, jilid III, pasukan Turki yang tiba di Aceh antara tahun 1566 sampai 1577 sebanyak 500 orang, termasuk ahli senjata api, penembak dan ahli peperangan. Dengan bantuan itu Kerajaan Aceh menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1568. [Iskandar Norman]


Kita dituntut untuk memahami Palestina masa mendatang, melalui tindakan hari ini untuk tujuan hari esok.
Memahami Palestina tidak cukup hanya dengan keprihatinan. Kita harus berkaca pada sejarah bagaimaa Palestina pernah memahami kita. Memahami masa lalu perlu dilakukan sebagai permulaan memahami diri kita sendiri dan Palestina hari esok.

Tindakan kita hari ini harus mampu membantu merancang hari esok Palestina yang lebih baik. Apa yang dilakukan Pemerintah Aceh dengan membuka rekening donasi bagi Palestina patut diapresiasi. Konon, Aceh merupakan satu-satunya pemerintah daerah yang melakukan hal itu.

Kita berharap Pemerintah Aceh tidak hanya sekadar membuka rekening donasi Palestina. Tapi lebih dari itu Gubernur Zaini Abdullah harus mampu mengarahkan Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) untuk benar-benar menerjemahkan tindakan itu dengan baik. Bila semua perangkat daerah bisa digerakkan secara baik, maka donasi yang terhimpun juga akan maksimal.

Sekali lagi, membantu Palestina tidak cukup hanya dengan keprihatinan, tapi tindakan. Mengutip sebuah judul buku Timbor Mende, ini disebut sebagai a glance at tomorrow�s history. Naif terasa bila kita hanya berkata prihatin, tapi tidak bisa melakukan sesuatu untuk mengubah sejarah hari esok Palestina. Prihatin saja tidak membuat perang itu berakhir. Tapi lebih di atas prihatin adalah tindakan, meski hanya melalui sekian rupiah yang kita sumbangan, yang dengan itu mungkin bisa membantu perban pembalut luka perang bagi anak-anak Palestina.

Kita harus menembus waktu, melihat masa lalu bagaimana Palestina membalut luka kita, ketika Indonesia belumlah ada. Palestina bersama Mesir yang pertama kali menyuarakan kemerdekaan Indonesia. Mufti Besar Palestina Syekh Muhammad Amin Al Husaini pada 6 September 1944 dengan tegas menyatakan dukungan untuk Indonesia merdeka. Pernyataannya disiarkan di Radio Berlin berbahasa Arab. Ia juga yang menyambut kedatangan delegasi Panitia Pusat Kemerdekaan Indonesia.

Masa itu Palestina bukan hanya sekadar mendukung usaha memerdekakan Indonesia dari jajahan Belanda, tapi saudagar kaya Palestina Muhammad Ali Taher menghibahkan seluruh uangnya di rekening bank Arabia untuk mendanai perjuangan rakyat Indonesia. Hebatnya lagi, donasi yang diberiakannya itu tanpa meminta tanda bukti. Ia hanya meminta semua kekayaannya itu diterima untuk memenangkan perjuangan Indonesia.

Muhammad Ali Taher masa lalu telah bertindak untuk menulis sejarah masa depan Indonesia. Saatnya kita untuk menghargai itu dengan tindakan yang sama terhadap Palestina. Tentang ini bisa dibaca dalam buku Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri.

Masa depan Palestina bukan hanya di tangan pejuang rakyat Palestina semata, tapi juga muslim seluruh dunia, karena kita memang muslim yang satu. Sejarah telah membuktikan bagaimana Aceh mendapat perlindungan dari khalifah Islam dalam menghadapi agresi Portugis di Selat Malaka.

Atas nama Islam, penguasa Utsmani di Turki membantu Aceh memerangi Portugis. Farooqi dalam buku Protecting the Routhers to Mecca mengungkapkan hal itu. Ketua delegasi Aceh Panglima Nyak Dum yang disebut Farooqi sebagai Huseyn Effendi membawa surat sulthan Aceh sebagai laporan tentang aktivitas militer Portugis yang menimbulkan masalah besar terhadap para pedagang muslim dan jamaah haji dalam perjalanan ke Mekkah. Karena itu, Aceh meminta bantuan Turki untuk menghalau Portugis di Selat Malaka.

Hal yang sama juga diungkapkan Ayumardi Azra dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII, Turki mengirim armada besar ke Aceh untuk memerangi Portugis, meski dalam perjalanannya armada besar itu hanya sebagian yang sampai ke Aceh karena dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman yang berakhir pada tahun 1571.

Ketika pimpinan armada Turki Kurtoglu Hizir Reis sampai ke Aceh bersama armadanya, mereka disambut dengan upacara besar oleh raja Aceh. Kurtoglu Hizir Reis kemudian diberi gelar Gubernur Turki di Aceh yang merupakan utusan resmi Khalifah Utsmani yang ditempatkan di Kerajaan Aceh.

Marwati Djuned Pusponegoro dalam buku Sejarah Nasional Indonesia, jilid III mengungkapkan, pasukan Turki yang tiba di Aceh antara tahun 1566 sampai 1577 sebanyak 500 orang, termasuk ahli senjata api, penembak dan ahli peperangan. Dengan bantuan itu Kerajaan Aceh menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1568. Perlindungan Khalifah Utsmani terhadap kerajaan-kerajaan muslim saat itu sangat kuat. Lalu bagaimana sikap Islam yang satu sekarang terhadap Palestina?

Aceh khususnya dan Indonesia umumnya, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia harus mampu berbuat lebih untuk mendukung secara nyata kemedekaan Palestina. Mengutip apa yang pernah disampaikan Presiden Soekarno dalam diplomasi luar negerinya; we are not sitting on the fence. Soekarno menambahkan, kita harus bekerja untuk retooling for the future untuk menyelenggarakan hari depan yang lebih baik. [Iskandar Norman]

Menggantikan nama Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) bukanlah tindakan hebat. Tapi upaya membelakangi sejarah, hanya karena ucapannya yang lebih dekat ke �syiah� meski sesungguhnya sunni. Lebih baik membangun kualitas tinimbang mempersoalkan nama.
Tentang Syiah pada nama Abdurrauf sudah banyak dibahas orang. Ia berupa gelar bagi ulama besar, bukan aliran syiah yang karap ditentang sunni. Mengganti nama Syiah karena serupa penulisannya dengan syiah juga tindakan yang gagal pahan akan makna.

Tulisan ini bukan ingin menambah kontroversi wacana pergantian nama universitas jantong hate rakyat Aceh itu. Lebih kepada mengajak kembali semua pihak bercermin pada sejarah pembentukannya.

Mari kita buka lembaran sejarah itu. Saya ajak kita semua untuk membaca buku Sepuluh Tahun Darussalam dan Hari Pendidikan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Buku yang memuat secara detil upaya dan rintangan pembentukan Unsyiah ini diterbitkan pada 1969 oleh Yajasan Pembina Darussalam.

Penerbitan buku ini dilakukan sebagai bentuk dokumentasi perjalanan Unsyiah, ditambah dengan asbab kunjungan Presiden Soeharto ke Kopelma Darussalam pada 31 Agustus 1968. Ali Hasymi selaku Ketua Yajasan Pembina Darussalam menjelaskan, awalnya yayasan yang membangun Komplek Pelajar dan Mahasiswa (Kopelma) Darussalam bernama Yayasan Dana Kesejahteraan Aceh (YDKA).

YDKA inilah yang menangani pelaksanaan pembangunan Kopelma, hingga diresmikan pada 2 September 1959. Hari yang hingga kini diperingati sebagai Hari Pendidikan Provinsi Aceh dan hari jadi Unsyiah.

Yayasan ini bertugas memelihara dan melanjutkan pembangunan Kopelma Darussalam. Politik pembangunannya didasarkan pada kekuatan rakyat dan untuk kesejahteraan rakyat. Di sinilah terjadi perpaduan antara tenaga rakyat dengan kekuatan pemerintah.

Kopelma mencakup beberapa perguruan tinggi di dalamnya, yakni Unsyiah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jamiah Ar Raniry, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Akademi Pemerintahan Dalam Negeri, serta Dayah Tinggi Syik Pante Kulu. Dua lembaga terakhir kini tidak ada lagi.

Pada saat pembukaan pertama Unsyiah empat fakultas, yakni Fakultas Ekonomi, Fakultas Kedokteran Hewan dan Ilmu Peternakan, Fakultas Tekhnik dan Fakultas Pertanian. Sementara di IAIN Jamiah Ar Raniry pertama dibuka; Fakultas Tarbiyah, Fakultas Syariah, Fakultas Usuluddin/Filsafat, dan Fakultas Dakwah/Publisistik.

Sementara di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan dibuka Fakultas Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan Pengetahuan Eksasta, dan Fakultas Keguruan Sastra Seni.

Panglima Daerah Angkatan Kepolisian I/Atjeh, Komisaris Besar Polisi Drs Hadji Soehadi, pada 26 Mei 1969 menyebutkan Unsyiah dan IAIN sebagai dua sejoli (dwitunggal) yang dipersembahkan untuk rakyat Aceh.

Drs Marzuki Nyakman merupakan sarjana pertama yang pulang ke Aceh untuk mengajar di Kopelma. Ia kemudian menjabat sebagai Wakil Gubernur Aceh. Mari kita telusuri sejenak bagaimana kegigihan Marzuki Nyakman dalam membangun Unsyiah dan IAIN. Semoga menjadi renungan bagi siapa saja yang berhasrat mengganti nama Syiah pada Unsyiah.

Setahun sebelum Unsyiah didirikan (1958), Pemerintah Daerah Istimewa Aceh mengutus angota Dewan Pemerintah Daerah Aceh, Ismail Abduh dan Nyak Yusda ke Yogjakarta. Keduanya ditugaskan untuk mengumpulkan bahan-bahan, serta melakukan penelitian sejauh mana kemungkinan dapat dibangunnya universitas di Aceh.

Pada waktu itu Marzuki Nyakman masih menjadi mahasiswa tingkat akhir di Yogjakarta. Ia bersama Ismuha menjabat sebagai Ketua Biro Asisten Provinsi Aceh di kota gudeg tersebut. Ismail Abduh dan Nyak Yusda menyampaikan maksud tersebut kepada mereka. Hasilnya, saat itu belum memungkinkan membangun universitas di Aceh, selain karena persoalan biaya juga karena tidak adanya tenaga pengajar.

Marzuki Nyakman dan Ismuha menyarakan agar tidak tergesa-gesa, lebih baik membuka akademi dulu atau kursus B1 untuk menciptakan guru-guru sekolah lanjutan. Lebih baik memberi beasiswa kepada putra-putri terbaik Aceh untuk kuliah ke luar daerah, dari pada membangun universitas.

Namun di Aceh tekat itu sudah bulat, universitas harus segera dibuka. Untuk mendukung hal itu, Biro Asisten Provinsi Aceh Yogjakarta mengirim tenaga-tenaga guru SMA ke Aceh dalam rangka Pengerahan Tenaga Mahasiwa (PGM) sehingga dalam waktu singkat bisa dibuka SMA di seluruh Aceh. Biro Asisten Provinsi Aceh Yogjakarta juga mengirim mahasiswa-mahasiwa Aceh untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri di berbagai jurusan.

Setelah menamatkan pendidikan di Universitas Gajah Mada (UGM), Marzuki Nyakman meninggalkan Yogjakarta sekitar tahun 1959 dan bekerja pada Departeman Dalam Negeri di Jakarta. Saat itu keadaan di Aceh masih bergolak akibat meletusnya �Peristiwa Atjeh� sejak tahun 1953.

Setahun bekerja di Departemen Dalam Negeri Marzuki Nyakman kembali ke Aceh, meskipun pada waktu itu sarjana-sarjana Aceh lebih memilih bekerja di luar dari pada kembali ke Aceh karena situasi belum memungkinkan, mereka lebih memimilih berkarir di luar Aceh.

Marzuki Nyakman bekerja di kantor gubernur, ia memimpin bagian desentralisasi/koordinasi. Ia juga ditugaskan memimpin Kursus B1 Ekonomi dengan tugas-tugas kemasyarakatan lainnya seperti Sekretaris Komisi Perencanaan Penciptaan Kopelma Darussalam.

Komisi ini sering mengadakan rapat dan diskusi-diskusi yang melahirkan konsep-konsep untuk merealisasi cita-cita pembangunan sebuah universitas di Aceh. Anggota komisi ini terdiri dari Dr T Iskandar, Dr R Sugianto, dan T Hadji Usman Jahja Tiba, dan kemudian menyusul Ibrahim Husin MA, komisi ini sering mengadakan rapat-rapat hingga larut malam.

Setelah diadakan persiapan seperlunya dan atas usul pemerintah daerah bersama penguasa perang, keluarlah Surat keputusan Menteri Pendidikan dan kebudayaan, tanggal 17 November 1960, nomor 96450/UU tentang pengangkatan panitia persiapan Universitas Syiah Kuala dan FKIP yang terdiri dari pejabat pemerintah sipil dan militer serta tokoh masyarakat. Panitian ini diketuai Gubernur Ali Hasymi dan Sekretaris Drs Marzuki Nyakman.

Tanggal 17 Desember 1960 rapat perdana digelar. Rapat dihadiri Gubernur Ali Hasymi, Pangdam I Iskandar Muda Mayjen M. Jasin selaku wakil ketua umum panitia, dan kolonel Sjamaun Gaharu selaku penasihat panitia. Kepada Kolonel M jasin yang akan berangkat ke Jakarta dalam rangka tugas dinasnya, diminta untuk melakukan pembicaraan dengan instansi terkait untuk merealisasi pembangunan universitas di Aceh.

Pada tanggal 13 Februari 1961, digedung DPR-GR Aceh diadakan rapat panitia untuk mendengar laporan Mayjen M. Jasin selaku wakil ketua umum panitia mengani hasil pembicaraannya di jakarta. Ia menjelaskan bahwa dalam pembicaraannya di Jakarta bahwa universitan bukan keperluan mendesak untuk Aceh karena butuh biaya besar dan belum adanya tenaga pengajar, tapi ada yang lebih mendesak yakni pembangunan fisik seperti jalan, pelabuhan dan sebagainya.

Penjelasan M Jasin itu membuat suasan rapat terbelah menjadi dua, ada yang setuju universitas segera dibuka ada pula yang meminta ditunda dulu. Akhirnya rapat ditutup dengan penuh kelesuan. Satu-satunya keputusan rapat waktu itu adalah akan diadakan lagi rapat khusus Pimpinan Harian Panitia dua hari yang akan datang di rumah dinas Pangdam Mayjen M Jasin.

Setelah rapat ditutup, Ali Hasymi memanggil Marzuki Nyakman ke ruang kerjanya dengan penuh haru dan kecewa Ali Hasymi mengatakan �Saudara Marzuki, saudara telah mengikuti pembicaraan dalam rapat panitia tadi. Terserah sekarang kepada saudara-saudara sarjana Aceh apakah Universitas Syiah Kuala itu jadi lahir atau tidak.�

Kata-kata Ali Hasymi membuat hati nurani Marzuki Nyakman bergetar dan ia kemudian memanggil Dr T Iskandar untuk merumuskan bersama kebijakan-kebijakan yang akan ditempuh.

Muzakir Nyakman bisa memahami betapa kecewanya Ali Hasymi, karena Kopelma Darussalam merupakan cita-cita besar untuk kemajuan Aceh yang disebut sebagai �jantong hate rakyat Aceh�

Ali Hasymi berkata di hadapan Marzuki Nyakman. �Mungkin hanya dua kali saya pernah menangis, pertama sewaktu salah seorang anak saya dipanggil Tuhan berpulang ke Rahmatullah, dan kedua sewaktu Darussalam mendapat gangguang karena Peristiwa Aceh.�

Dalam kecaman kekecewaan yang amat dalam, seorang pelayan kantor gubernur mendatangi mereka dan menyerahkan sepucuk surat dari Prof Sardjito, Presiden (Rektor) Universitas Gajah Mada. Surat tersebut bertanggal Yokjakarta, 14 Januari 1961 No.28/Sn/I/61 yang ditutju kepada Ketua Panitia Persiapan Pendirian Universitas Negeri Syiahkuala.

Surat itu berisi jawaban dari surat yang pernah dikirim Marzuki Nyakman ke UGM. Isinya memberitahukan bahwa sarjana-sarjana lulusan UGM sedang menyumbang tenaga dalam gerakan pembangunan manusia bersusila yang cakap serta berguna bagi bangsa dan negara.

Dalam surat balasannya itu, Rektir UGM, Prof Sardjito menulis:
�Pada waktu Presiden dari Universitas-universitas Negeri baru-baru ini mengadakan rapat dewan antar universitas di Jakarta, telah dikemukakan persoalan agar supaya universitas-universitas yang sudah beridiri agak lama suka membantu Universitas (fakultas-fakultas) di Banda Aceh dalam hal tenaga pengajar dan lainnya. Karena Universitas Gajah Mada ingin turut pula membantu perkembangan universitas yang baru, maka kami ingin mendapat bahan-bahan dan keterangan-keterangan mengenai bantuan yang diperlukan, terutama tenaga-tenaga pengajar yang mungkin dapat kami sumbang....�

Sebagai realisasi dari surat itu, UGM kemudian banyak membantu baik dalam bentuk moril maupun pengiriman tenaga staf pengajar, antara lain yang pertama kali dikirim adalah Drs Sumarmo yang kemudian menjadi guru besar UGM.

Ali Hasymi kemudian meminta kepada Muzakir Njakman agar membaca surat itu dalam rapat khusus pimpinan harian panitia yang akan dilakukan di rumah Pangdam I Iskandar Muda Mayjen M jasin. Dalam rapat itu diminta kesan-kesan peninjauan Dr R Sugianto yang ditugaskan ke Jakarta dan Yogjakarta, dan laporan dari pejabat Dekan Fakultas Ekonomi Dr T Iskandar dan Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Dr. RM Sudjono Ronowinoto tentang suka duka pembangunan fakultas-fakultas tersebut.

Setelah itu baru Marzuki Nyakman diminta untuk membacakan surat dari Presiden UGM, Prof Sardjito. Mendengar Marzuki Nyakman membacakan surat tersebut, tak seorang pun buka bicara, sampai kemudian Kolonel M Jasin memecahkan kesunyian malam tersebut.

�Kalau begitu, kita dihadapkan pada pembukaan Universitas Syiahkuala, namun demikian saya minta supaya kita bekerja keras dan nanti pada bulan Juni yang akan datang hendaknya supaya semua persiapan benar-benar sudah rampung. Pada waktu itulah kita menentukan pembukaan Universitas Syiah Kuala.�

Pernyataan spontan Kolonel M Jasin itu mendapat sambutan hangat dari para anggota panitia lainnya. Pernyataan Kolonel M Jasin itu kemudian menjadi keputusan rapat malam tersebut.

Untuk kelengkapan persiapan panitia, Marzuki Njakman bersama Dr T Iskandar, Dr RM Sudjono dan Kapten AK Abdullah, diutus ke Medan, Jakarta, Bandung dan Yogjakarta, sambil menyampaikan laporan persiapan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan tugas-tugas lainnya menyangkut usaha memperoleh tenaga-tenaga dosen.

Perutusan itu telah membicarakan tentang persiapan-persiapan pendirian Universitas Syiahkuala dengan Kepala Biro Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Prof. Sugiono Djuned Pusponegoro beserta stafnya. Intinya, menyetujui pembukaan Universitas Syiahkuala pada 2 September 1961 hari ulang tahun Darussalam.

Selanjutnya perutusan telah berhasil melakukan kontak dan membina hubungan kerja sama dengan pihak Universitas Sumatera Utara, Universitas Indonesia, Universitas Pajajaran, dan Universitas Gajah Mada, yang pada umumnya berjanji akan membantu sepenuhnya pendirian Universitas Syiahkuala di banda Aceh.

Sekembalinya dari peninjauan tersebut, mereka menyampaikan laporan kepada rapat pleno panitia pada 8 Mei 1961. Hal ini semakin meyakinkan bahwa Universitas Syiahkuala akan segera berdiri.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kemudian mengutus tim tekhnis ke Aceh yang terdiri dari Prof Sugardo, Drs M A Gani, dan Drs Syamsuddin Ishak. Setelah meninjau, tim tersebut berkesimpulan bahwa peresmian pembukaan Universitas Syiahkuala sudah dapat dilakukan. Awalnya direncanakan akan dilakukan pada 2 September 1961, akan tetapi berhubung dengan kesibukan pemerintah pusat baru dilakukan pada 27 April 1962 oleh presiden Soekarno.

Alat kelengkapan universitas kemudian dibentuk, Kolonel M Jasin dilantik sebagai pejabat Rektor, sementara Ali Hasymi sebagai Ketua Dewan Penyantun (Curator). Selain itu Kolonel M Jasin dan Marzuki Nyakman juga diangkat sebagai wakil ketua I dan II dewan penyantun.

Di samping Unsyiah juga dibangun IAIN Djamiah Arraniry dengan beberapa fakultas, sebagai rektor pertama ditunjuk Drs H Ismuha. Selain itu juga dibangun Dayah Tinggi Tgk Chik Pantekulu, serta Akademi Pemerintahan Dalam Negeri. Ketika Kopelma Darussalam dirintis, kawasan itu masih merupakan hutan belantara. Pertama dibuka 180 hektar untuk pembangunan gedung dan segala fasilitas pendidikan lainnya.

Berkaca pada sejarah pendiriannya, rasanya tak elok mengganti nama Unsyiah. Mengganti nama juga berpotensi menggaburkan sejarah Unsyiah itu sendiri. Lalu dimana kita letakkan penghargaan kepada mereka-mereka yang telah bersusah payah mendirikan jantong hate rakyat Aceh?[iskandar Norman]




Ini hari kuwasiatkan padamu sekalian anak negeri, ihwal pentingnya menuntut ilmu. Asbab pentingnya ilmu itu adalah ianya bak pelita dalam kegelapan, dian penerang kala kelam. Aneu�k manyak tapeureuno�, b�k r�h dudo� jih cilaka, taseuleuwah geunap uro�, bak meubudho� tabri aja.

Wajib bagimu wahai sekalian orang tua memberikan pengajaran kepada kamu punya keturunan, agar anakmu tahu beda benar salah, mampu memelihara iman, kuasa pula melawan nafsunya.

Dengar wasiatku akan tamsil pengajaran itu; Peungajaran nyang th�un nafsu, hana l� hu gadoh bisa, peungajaran nibak ma-ku, mis� mutu l� hareuga. Peungajaran nyang peurintang, nafsu panyang jipeugisa. Guna teungku peungajaran, sang lam malam teubi�t cahya. Peungajaran sang keumodo, ho hajat dro� tapeugisa.

Makna pengajaran itu ialah memberikan ajar yang baik-baik akan anak-anakmu, agar ianya berilmu pengetahuan, sanggup menjalani hidup di dunia, kuasa pula menjawab persoalan akhirat. Kelak ketika ianya berilmu dari itu pengajaran, maka segala mara bisa dilalui olehnya. Dengar kataku, keu �leum�e mis�u parang ng�n tatubang kay�e raya.

Untukmu cucuku, kuwasiatkan pula akan adab menuntut ilmu itu. Hormati orang tuamu, hargai gurumu, dengan itu kamu akan selamat dunia akhirat. Ayah ng�n Poma seureuta gur�e, ureu�ng nyan man lh�e tapeumulia, meuny� na salah meuah talak�e, akhirat teunt�e meutum�e syiruga.

Dalam menuntut ilmu itu, berkongsilah kamu sekalian dengan rakan sepadan. Jangan kamu berkawan dengan mereka-mereka yang tak berpendidikan, karena itunya akan membuat kamu menanggung malu dari tabiat mereka.

Kataku akan itu; Bak i� lint�ng b�k tath�un amp�h, bak i� tir�h b�k tatheu�n bub�e, b�k tameurakan ng�n si pal�h, ar�uta hab�h geutanyo� mal�e. Maka berkawanlah kamu sekalian dengan orang-orang berilmu, bung�n r�m bung�ng rihan, bung�n peukan nyang mangat b�e, tameukaw�n nyang sipadan, tameurakan nyang t�b mal�e. Ingat olehmu wahai anak negeri akan daku punya wasiat ini. [Nyak Kaoey]

Mesjid Raya Baiturrahman bukan hanya sebagai tempat peribadatan, tapi juga pusat pendidikan. Berbagai kajian ilmu dilakukan di 17 fakultas (daar). Hal yang kemudian membuat Aceh menjadi kiblat pendidikan di Asia Tenggara. 

Kejayaan Baiturrahman sebagai pusat pendidikan terjadi pada awal abad XIV hingga abad XVII. Selain Baiturrahman, ada lembaga pendidikan tinggi di pusat Kerajaan Aceh yakni Baiturrahim dan Baitulmusyahadah.

M Junus Djamil dalam Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh (1968) menjelaskan, mesjid jami� Baiturrahman dibangun oleh Sulthan Alaiddin Mahmud Syah I pada tahun 691 hijriah (1229 M). Bangunan mesjid kemudian diperluas oleh raja-raja selanjutnya.

Dalam perkembangannya, mesjid ini menjadi pusat pendidikan dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan. Para pengajar selain dari ulama-ulama Aceh, juga didatangkan dari Turki, Arab, Persia, dan India.

Begitu juga dengan pendidikan di Mesjid Baiturrahim. Mesjid ini dibangun pada tahun 1016 hijriah (1607 M) oleh Sulthan Iskandar Muda dalam komplek istana kerajaan yang disebut Dalam Darud Dunia.

Wazir Rama Setia (Sekretaris Kerajaa) Aceh, Said Abdullah Di Meulek dalam Qanun Meukuta Alam halaman 71 menjelaskan, Mesjid Baiturrahim dijadikan sebagai pusat kajian ilmu pengetahuan di lingkungan istana. Keberadaanya ditopang oleh balai setia hukama, balai setia ulama, dan balai jamaah himpunan ulama. Di tiga lembaga ini para ulama membahas dan mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan.

Sementara Mesjid Baitul Musyahadah, sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Said dalam Aceh Sepanjang Abad (1961) dibangun oleh Sulthan Iskandar Tsani dalam komplek Kraton Kuta Alam pada tahun 1046 hijriah (1637 M). Mesjid ini dibangun sebagai pusat pendidikan ketiga di Kerajaan Aceh.

Namun, dari ketiga mesjid pusat pendidikan tersebut, Mesjid Baiturrahman yang paling banyak membuka fakultas (daar) yakni 17 Fakultas (lihat boks) dan dibuka untuk para penuntut ilmu dari manca negara.

Untuk bisa mengikuti pendidikan di Baiturrahman, terlebih dahulu harus menempuh jenjang pendidikan di bawahnya. Jenjang itu dimulai dari madrasah (meunasah) di gampong-gampong sebagai lembaga pendidikan paling rendah. Pada jenjang pendidikan ini hanya diajarkan membaca dan menulis dengan aksara Arab, ahklak, ilmu agama, dan bahasa jawi (Melayu).

Tamat di madrasah dilanjutkan ke rangkang, asrama pendidikan di mesjid kemukiman. Imum Mukim bertugas mengelola lembaga pendidikan ini. Said Abdullah di Meulek menjelaskan, dalam Qanun Meukuta Alam mewajibkan tiap-tiap mukim membangun satu mesjid. Sama halnya seperti tiap-tiap gampong harus ada satu meunasah.

Rangkang merupakan lembaga pendidikan tingkat menengah pertama. Pelajar umumnya mondok di lingkungan mesjid selama mengikuti pendidikan. Hal inilah yang membuat Imum Mukim diharuskan membangun rangkang sebagai asrama bagi pelajar. Pendidikan pada tingkat ini mulai diajarkan bahasa Arab. Sebagian kitab-kitab ajaran juga berbahasa Arab, juga mulai diajarkan ilmu umum, sejarah, ilmu bumi, dan ahklak.

Tingkat pendidikan lanjutan dari rangkang disebut dawiyah atau dayah. Sulthan Aceh mewajibkan di setiap daerah federasi uleebalang membangun satu dayah sebagai lembaga pendidikan. Ada dayah yang berpusat di mesjid-mesjid, ada juga yang berdiri sendiri di luar kepengurusan mesjid.

Kabanyakan dayah berdiri sendiri. Pimpinan dayah biasanya membangun sebuah ruang utama sebagai aula tempat kuliah umum disampaikan, sekaligus sebagai tempat santri shalat berjamaah. Pada tingkat dayah, semua materi pelajaran disampaikan dalam bahasa Arab. Ilmu yang diajarkan antara lain: fiqh (ilmu hukum), tauhid, tasawuf, ahklak, sejarah, ilmu bumi, ilmu tata negara, faraidl (ilmu pasti).

Setelah tamat di dayah, santri sudah bisa melanjutkan pendidikan ke dayah teungku chik. Disebut dayah teungku syik karena dipimpin oleh ulama. Pendidikan pada tingkat ini setara dengan perguruan tinggi sekarang. Pada tingkat ini, materi pendidikan sudah meliputi: fiqh (hukum), tafsir, hadis, tauhid, filsafat, tasauf, mantik, dan ilmu falak (astronomi). Lulusan pendidikan pada tingkat ini berhak menyandang lakab (sebutan) ulama muda.

Kemudian untuk tingkat master dan doktoral yang melahirkan sarjana bergelar Teungku Chik (ulama) ada di Jamiah Baiturrahman. Para pengajar di jenjang pendidikan tinggi ini sebagian besar merupakan ulama-ulama Aceh yang telah menempuh pendidikan di Timur Tengah yang telah berhak menyandang gelar syekh.

Mesjid Raya Baiturrahman bukan hanya sebagai jamiah (universitas), tapi juga benteng pertahahan. Ketika agresi Belanda, Maret 1973, perang sengit terjadi di mesjid ini. Di sini pula pimpinan agresi pertama Belanda Mayor JHR Kohler tewas ditembak pejuang Aceh.

Namun, pada invansi Belanda kedua, Mesjid Raya Baiturrahman berhasil direbut dan dibakar oleh Belanda. Pembakaran itu dilakukan oleh pasukan pimpinan Van Swieten pada 6 Januari 1874. Saat itu pasukan Aceh di bawah pimpinan Tuanku Hasyim Banta Muda dan Teungku Imum Lueng Bata tidak dapat mempertahankan mesjid raya.

T Ibrahim Alfian dalam Mengenal Masyarakat Aceh yang Sedang Membangun (1976) mengungkapkan, perang di Mesjid Raya Baiturrahman menewaskan 14 tentara dan 11opsir Belanda, serta 197 infantri luka-luka.

Untuk merebut hati masyarakat Aceh, Belanda kemudian membangun kembali Mesjid Raya Baiturrahman. Rancangan mesjid dibuat oleh arsitek Bruins dari Departement van Burgelijke Openbare Werken (Departemen Pekerjaan Umum) di Batavia.

Bruins bekerja sama dengan Opdizchter LP Luyks dan beberapa insinyur lainnya. Mereka dibantu oleh seorang Penghulu Besar Garut agar pola mesjid yang akan dibangun tidak bertentangan dengan aturan-aturan Islam. Semua tahap pembangunan kembali Mesjid Raya Baiturrahman diabadikan oleh J Staal dalam buku De Missigit Raija in Atjeh. Buku ini diterbitkan oleh De Indiche Gids pada tahun 1882.

Tentang pembangunan kembali Mesjid Raya Baiturrahman juga ditulis J Kremeer dalam �De Groote Moskee te Koeta Radja� yang dimuat dalam Nederlandsch Indie Ouden Nieuw, tahun 1920.

Belanda berusaha membangun mesjid raya untuk member kesan baik bagi orang Aceh, dan itu tidak mudah. Pembangunan mesjid raya terkendala minimnya tenaga kerja. Orang Aceh tidak mau bekerja pada proyek Belanda tersebut, mereka lebih memilih jalan perang. Akhirnya Belanda memakai tenaga kerja dari Cina.

Tapi masalah lain kemudian muncul, para kontraktor (pemborong) di Jawa tidak bersedia ikut proyek itu karena perang di Aceh masih berkecamuk. Hanya satu kontraktor yang memasukkan penawaran, yakni Lie A Sie, seorang Letnan Cina di Aceh. Ia memperoleh borongan untuk membangun Mesjid Raya Baiturrahman dengan anggaran f.203.000. Dengan uang sebesar itu, ia mengimpor bahan-bahan bangunan dari luar negeri

Kapur didatangkan dari Pulau Pinang, Batu bata dari Belanda, batu pualam untuk tangga dan lantai dari Tiongkok (Cina), besi untuk jendela dari Belgia, kayu dari Moulmein (Birma). Hanya kerangka besi yang berasal dari Surabaya.

Peletakan batu pertama pembangunan Mesjid Raya Baiturrahman dilakukan di hadapan Jenderan Van Der Heyden. Sementara serah terima mesjid dilakukan pada 27 Desember 1881 dengan perhelatan sebuah kenduri besar. Kunci mesjid diserahkan kepada T Kali Malikul Adil oleh Gubernur A Pruys van Der Hoeven yang diiringi dengan 13 kali tembakan meriam. Sementara pengurusan mesjid diserahkan kepada Teungku Syeh Marhaban ulama besar dari Pidie. [Iskandar Norman]



Fakultas (Daar) di Mesjid Jami� Baiturrahman
Dalam majalah Sinar Darussalam nomor 17 edisi September 1969 halaman 9 dirincikan, ada 17 fakultas yang pernah dikembangkan di Mesjid Jami� Baiturrahman, yakni:

� Darut Tafsir wal Hadis (Fakultas Ilmu Tafsir dan Hadis)
� Darut Thib (Fakultas Kedokteran)
� Darut Tarikh (Fakultas Sejarah)
� Darul Hisab (Fakultas Ilmu Pasti)
� Darus Siyasah (Fakultas Ilmu Politik)
� Darul Aqli (Fakultas Ilmu Akan/Ilmu Alam)
� Daruz Zira�ah (Fakultas Pertanian)
� Darul Ahkam (Fakultas Hukum)
� Darul Falsafah (Fakultas Filsafat)
� Darul Kalam (Fakultas Ilmu Kalam/Tauhid)
� Darul Wizarah (Fakultas Ilmu Pemerintahan)
� Darul Kimia (Fakultas Ilmu Kimia)
� Darul Khasanah Baitul Mal (Fakultas Ilmu Perbendaharaan/Keuangan Kerajaan)
� Darul Ardli (Fakultas Ilmu Pertambangan)
� Darul Nahwu (Fakultas Ilmu Nahu)
� Darul Mazahib (Fakultas Ilmu Perbandingan Agama)
� Darul Harb (Fakultas Ilmu Peperangan)





Ini zaman para penjual kecap beraksi. Beruntung, Pilpres kali ini hanya ada dua golongna penjual; kecap merek Prabowo, satunya lagi merek Jokowi. Yang membuat Nyak Kaoey heran, jual kecap kok saling membusukkan?

Inilah para pedagang politik yang mengabaikan kesantunan. Jejering sosial dan dunia maya bagai lading perang pembusukan lawan. Rakyat yang bingung, setiap hari dijejali informasi yang tidak berimbang, k�n han l�n pako�, k�n han l�n hiro�, nyo� bak masalah nanggro� ka jimeuseurapa.

Celakanya lagi, para pedagang politik itu membawa-bawa nama agama. Untung belum sampai pada mengkafirkan lawan, kajipeu�k geulayang lam uro� tar�k. Tapi bagi rakyat Indonesia, khususnya Aceh, Nyak Kaoey berpesan, pilihlah presiden yang sesuai menurut hati dan nurani masing-masing, jangan pilih presiden karena bualan penjual kecap.

Salah memilih pemimpin akan rugi selama lima tahun, ibarat kata teulah sith�n ureu�ng meugo�, teulah siuro� ureu�ng meurusa. Nyang teulah lim�ng th�n nyan rakyat salah pil�h. Jadi jangan sampai salah pilih.

Karena itu Nyak Kaoey tidak mau ambil pusing, kedua pasangan calon presiden itu sama saja, ada plus ada minusnya. Siapapun yang terpilih kita lihat nanti pada hari pencoblosan, boh j�k boh beulangan, wat�e tr�k tab�h nan. []

ACEH justru diperhatikan ketika memberontak, saatnya berhenti menjadi anak baik.


Memberontak bukan berarti kembali mengangkat senjata, tapi bisa dalam bentuk lain, menolak kebiasaan, untuk sesuatu yang luar biasa, karena Jakarta masih terlalu mencurigai Aceh. Aceh perlu memberi pelajaran pada republik, bagaimana sebuah janji harus ditunaikan. Sejarah membuktikan ketika Aceh begitu manut pada Jakarta (pusat), hak-hak Aceh terkebiri. Kini sejarah sepertinya berulang, persoalan lambang dan bendera Aceh masih saja digantung oleh Jakarta. Padahal, lambang dan bendera Aceh merupakan mahar perdamaian yang harus ditunaikan republik terhadap Aceh.

Kita patut memberi apresiasi pada sikap tegas Gubernur Zaini Abdullah yang menolak perpanjangan masa cooling down jika pemerintah pusat tidak menyelesaikan tiga turunan Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA).

Ketiga turunan UUPA yang masih menggantung itu adalah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) kewenangan pemerintah yang bersifat nasional di Aceh, RPP pengelolaan bersama minyak dan gas bumi, serta Rancangan Peraturan Presiden tentang Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh dan kabupaten/kota menjadi perangkat daerah Aceh dan kabupaten/kota.

Ketiga turunan UUPA itu sudah lama selesai diharmonisasi oleh tim bersama yang dibentuk Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Namun Jakarta nampaknya belum ihklas untuk menetapkannya menjadi Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden.

Sebut saja dalam bidang pertanahan misalnya, dari 21 urusan pertanahan yang menjadi kewenangan Aceh, hanya disetujui sembilan, ditambah HGU dan HGB. Jakarta masih terlalu curiga terhadap Aceh. Pihak Badan Pertanahan Nasional berpendapat, jika semua urusan pertanahan diberikan kepada Aceh, maka syarat untuk berdirinya sebuah negara sudah terpenuhi. Bukankan ini sebuah kecurigaan yang luar biasa?

Pendapat seperti itu disampaikan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Dr Wahiduddin Adam SH MA pada rapat pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan kewenangan pemerintah yang bersifat nasional di Aceh, Selasa, 7 Januari 2014 lalu di ruang Rapat Soepomo Kementrian Hukum dan HAM.

Kecurigaan Wahiduddin ini sangat tidak beralasan, karena UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) itu merupakan produk hukum Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, bukan produk masyarakat Aceh.

Bagi Pemerintah Aceh, sesuai dengan UUPA, seluruh bidang pertanahan harus diserahkan kepada Aceh, Pemerintah Pusat hanya menetapkan kebijakan, norma, standar dan prosedur, serta melakukan pembinaan dan pengawasan.

Begitu juga dengan RPP Pengelolaan Bersama Minyak dan Gas Bumi di Aceh. Meski secara teknis sudah disetujui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, kendalanya muncul di Kementerian Keuangan. Lagi-lagi Jakarta memainkan trik lepas kepala injak ekornya. Lolos di satu kementrian, diganjal di kementrian lain.

Karena itu, agar Aceh benar-benar memiliki kewenangan eksploitasi Migas dari 12 mil hingga 200 mil dengan persentase bagi ahsil 70 persen untuk Aceh dan 30 persen untuk Pemerintah Pusat, maka Pemerintah Aceh harus tegas. Ultimatum yang disampaikan Gubernur Zaini Abdullah saya rasa sudah pada tempatnya.

Bila hak-hak Aceh itu sudah diberikan, maka kedua pihak, yakni Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat tinggal membentuk Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA) sebagai lembaga bersama yang akan mengurus hal tersebut.

Pemerintah Aceh tidak boleh lagi larut dalam permainan tarik ulur Jakarta. Cooling down sudah memadai. Apapun apologi Jakarta harus ditolak, karena memberikan hak-hak Aceh merupakan bagian dari merawat perdamaian.

Sekali lagi kita harus mendukung sikap tegas Gubernur Zaini Abdullah. Jakarta tak perlu lagi mengulur-ngulur waktu memberikan hak Aceh tanpa alasan yang jelas. Kita masih ingat pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Pekan Kebudyaan Aceh (PKA) VI, September 2013 lalu. Ia menyatakan komitmennya untuk menyelesaikan persoalan Aceh sebelum 2013 berakhir.

Kenyataannya, hingga medio 2014, janji itu belum dipenuhi. Dalam hal ini kita melihat, masalahnya bukan pada SBY, tapi jajaran di bawahnya yang mempermainkan persoalan Aceh hingga sekarang. Jadi, sudah saatnya Pemerintah Aceh berhenti menjadi anak baik, apa pun apologi Jakarta harus ditolak, demi hak-hak yang masih terkebiri. Katr�p masa kamo� pr�h, b�k tapeukab�h wat�e tr�k teuka.[Iskandar Norman]


Tgk Fakinah merupakan seorang ulama perempuan Aceh. Masa mudanya ia habiskan dalam peperangan melawan penjajah Belanda. Ia memimpin empat benteng pertahanan (kuta). Sementara masa tuanya dihabiskan untuk mengajar dan membangun pendidikan.

H. M. Zainuddin dalam buku Srikandi Aceh menjelaskan, Tgk Fakinah berasal dari keluarga ulama dan bangsawan. Ia lahir pada tahun 1856 M di Gampong Lamkrak. Ayahnya bernama Datu Muhammad seorang pejabat pemerintahan di Kerjaan Aceh pada masa pemerintahan Sulthan Alaiddin Iskandar Syah. Sementara ibunya bernama Cut Fatimah putri dari ulama besar Tgk Muhammad Saad yang dikenal sebagai Tgk Chik Lam Pucok pendiri Dayah Lam Pucok.

Saat perang dengan Belanda berkecamuk di Aceh, Tgk Fakinah dipercayakan memimpin satu resimen pasukan yang prajuritnya terdiri dari pria dan wanita. Ia memiliki beberapa panglima yang menjadi komando pasukan, diantaranya, suaminya sendiri Tgk Nyak Badai, Habib Lhong (Habib Kabul), Tgk Ahmad (Tgk Leupueng), Tgk Saleh dan Tgk Daud.
Tgk Fakinah

Bersama para panglimanya itu, Tgk Fakinah memimpin empat benteng pertahanan (Kuta) yakni, Kuta Lam Sayun dipimpin oleh Tgk Saleh, Kuta Cot Bak Garot dipimpin oleh Tgk Pang Amat, Kuta Bak Balee dipimpin oleh Habib Lhong, dan Kuta Cot Weue yang dipimpin langsung olehnya. Komando pertahanan empat benteng itu dipusatkan di Lam Diran yang setelah perang reda dibangun menjadi Dayah Lam Diran di Lamkrak.

Dalam berperang dan membangun pendidikan di Lamkrak, Tgk Fakinah dibantu oleh suaminya. Suami pertamanya Tgk Abdullah syahid dalam perang, ia kemudian menikah dengan Tgk Nyak Badai salah seorang panglima pasukannya, tapi suami keduanya itu juga syahid dalam perang melawan Belanda. Ia kemudian menikah dengan Tgk Haji Ibrahim. Dari ketiga suaminya itu, Tgk Fakinah tidak memiliki anak.

Menurut Ali Hasjmy dalam buku Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, usai perang, pada bulan Juli tahun 1915 M, Tgk Fakinah bersama suami (Tgk Haji Ibrahim) berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana selama beberapa tahun untuk memperdalam ilmu agama.

Ketika kembali ke Aceh, Tgk Fakinah bersama suaminya membangun Dayah Lam Diran yang dibantu oleh beberapa ulama di sana. Pada tahun 1925 M, Tgk Fakinah kembali k Mekkah dan bermukim di sana selama satu tahun. Ketika kembali lagi ke Aceh ia melakukan reformasi di Dayah Lam Diran yang dipimpinnya, ia membolehkan pria dan wanita sama-sama menuntut ilmu di dayah itu tapi dengan asrama yang terpisah.

Tgk Fakinah juga membolehkan pria dan wanita bergaul dalam dayah dalam batas-batas yang wajar, hal yang tidak lazim dilakukan di dayah waktu itu. Di dayah yang dipimpimnya juga diajarkan ilmu umum dan kerajinan tangan, tidak hanya fokus pada pendidikan agama saja. Karena itu ia bisa disebut sebagai peletak dasar pendidikan dayah terpadu di Aceh.

Selain itu Tgk Fakinah dikenal sebagai pemimpin yang sanggup memimpin pria dan wanita secara bersamaan, seperti saat ia menggelar gotong royong massal membangun jalan Ateung Seunabat. Tgk Fakinah wafat pada 3 Oktober 1893 bertepatan dengan 8 Ramadhan 1359 H dan dimakamkan di komplek dayah yang dipimpinnya.

Diantara murid-muridnya yang kemudian menjadi ulama perempuan terkenal di adalah Tgk Fatimah Batee Linteueng, Tgk Saidah Lamjamee, Tgk Fatimah Ulee Tutue, dan Tgk Hawa Lam Dilip.[iskandar norman]









Nanggroe Aceh - Rapai telah ratusan tahun menjadi alat musik tradisional khas Aceh. Rapai ini merupakan sejenis instrumen musik pukul (perkusi) yang berfungsi pengiring kesenian tradisional. Bentuknya seperti rebana dengan warna dasar hitam dan kuning muda. Rapai terbuat dari bahan dasar berupa kayu dan kulit binatang. Kulit yang dipakai pada rapai biasanya kambing, ada juga yang memakai kulit




Nanggroe Aceh - Jika kita menapaki masa lalu Aceh, maka kita akan menemukan salah satu sosok pahlawan Aceh yaitu Pocut Baren pahlawan wanita Aceh pembasmi kolonialisme Belanda. Di daerah lain peranan wanitanya belum begitu menonjol, maka Aceh justru muncul banyak tokoh-tokoh wanita yang menjadi pemimpin, baik pemimpin militer maupun kepala pemerintahan. Hal ini membuktikan bahwa dalam gerakan




Nanggroe Aceh - Kari Aceh adalah makanan khas Aceh yang paling digemari oleh masyarakat Aceh. Kari Aceh ini biasanya diolah dalam sebuiah belanga besar sehingga orang Aceh sering menyebutnya dengan kuah beulangong atau kuah belanga dalam bahasa Indonesia. Hampir disetiap penjuru Aceh makanan khas ini selalu tersedia, baik direstoran Aceh maupun pada peringatan hari-hari besar dalam masyarakat




Nanggroe Aceh - Problematika penerapan syariat Islam di Aceh dipicu oleh kurangnya sosialisasi pemerintah terhadap pentingnya penerapan syariat Islam di Aceh. Pemerintah Aceh memang ada melakukan sosialisasi, namun hanya pada baliho-baliho atau pamflet-pamflet di pinggir jalan. Kampanye semacam ini, tentu tidak terlalu diperhatikan oleh masyarakat karena hanya sebatas imbauan saja. terlebih




Nanggroe Aceh - Siapa yang tidak mengenal sosok D. Kemalawati yang merupakan salah seorang penggiat sastra di negeri serambi mekkah. Selain menggeluti dunia sastra beliau juga seorang budayawati yang sering mengangkat tema-tema budaya dalam kesusasteraan dirinya. Dek Nong, begitu nama kecilnya juga menjadi seorang deklarator Hari Puisi Indonesia di Pekanbaru, Riau. Tidak hanya sukses di dunia
loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget