Replika Meriam Lada Sicupak |
Kisah Panglima Nyak Dum sudah menjadi legenda dalam sejarah Aceh. Keberangkatannya ke negeri Rum (Turki) diabadikan oleh masyarakat Aceh dalam syair:
Dengo lon kisah Panglima Nyak Dum
U Nanggroe Rom (Turki) troh geu bungka
Meuriam lada sicupak troh geupuwoe
Geupeujaroe bak Po Meukuta
Penjelasan tentang diplomasi lada sicupak tersebut dijelaskan oleh H M Zainuddin dalam buku Singa Aceh, Biographi Seri Sulthan Iskandar Muda, terbitan Pustaka Iskandar Muda, Medan (1957). Ia menjelaskan, hubungan Kerajaan Aceh dengan Turki pertama kali dibangun oleh Suthan Ali Riayat Syah Al Qahar yang memerintah dari tahun 1557-1568 dengan Sulthan Salim Khan.
Pada masa itu, Sulthan Salim Khan mengikat perjanjian persahabatan dengan Kerajaan Aceh dan mengirim 40 orang ahli alteleri untuk melatih pasukan meriam dan pasukan berkuda di Aceh.
Perjanjian persahabatan itu kemudian dilanjutkan oleh raja Aceh selanjutnya, Sulthan Alauddin Mansur Syah yang memerintah pada tahun 1577-1586. Pada masa itu Turki menjamin dan melindungi Kerajaan Aceh dari gangguan pihak lain.
Selanjutnya ketika tahta Turki dipegang oleh Sulthan Mustafa Khan, perjanjian itu dilanjutkan lagi oleh sultah Aceh berikutnya, Sulthan Alauddin Riayat Syah Saidil Mukamil yang memerintah pada tahun 1588-1604. Pada masa itu Sulthan Mustafa Khan mengirim sebuah bintang kehormatan kepada Sulthan Aceh, serta mengizinkan kapal-kapal perang Kerajaan Aceh memakai bendera Turki.
Pada masa Aceh dipimpin Sulthan Iskandar Muda, hubungan dengan Turki agak merengang karena Iskandar Muda lebih fokus membangun dalam negeri setelah kekalahan pendahulunya dalam perang di semenanjung Malaka.
Setelah rakyat dalam negeri Aceh benar-benar makmur, Sulthan Iskandar Muda membuka kembali hubungan dengan Turki yang selama beberapa tahun sudah agak merenggang. Sulthan Iskandar Muda menyiapkan tiga buah kapal untuk berangkat ke Turki. Kapal-kapal itu berisi lada yang akan diserahkan ke raja Turki sebagai persembahan dari Aceh. Ia juga meminta kepada Mufti Kerajaan Syeikh Nuruddin Ar Raniry untuk menulis sepucuk surat dalam bahasa Arab.
Surat itu kemudian disampul dan dibalut dengan kain sutera sebagai bentuk kemuliaan. Untuk membawa surat itu ditugaskan Panglima Nyak Dum sebagai kepala rombongan. Dalam rombongan khalifah Panglima Nyak Dum juga disertakan dua orang juru bahasa yang ditunjuk oleh Syeikh Nuruddin Ar Raniry, satu ahli bahasa Arab, satu lagi Hindi.
Menurut H M Zainuddin, Panglima Nyak Dum digambarkan sebagai pemberani yang kebal terhadap senjata tajam dan peluru. Ia juga fasih berbahasa Arab, makanya ditunjuk sebagai ketua delegasi.
Dalam perjalanannya, ketiga kapal delegasi Aceh itu terbawa badai. Awalnya dari pelabuhan Aceh mereka hendak menuju ke Madras tapi terbawa angin ke Calcuta. Beberapa lama di situ, setelah menunggu angin teduh, mereka berlayar menyusuri pantai Coromondal, sepanjang Teluk Banggala hingga kemudian sampai ke Madras.
Setelah beberapa lama di Madras, delegasi Aceh melanjutkan perjalanan ke Ceylon terus ke Teluk Parsi sampai ke Bombay. Dari sana kemudian menyebrang ke laut Sikatra menuju Madagaskar terus ke tanjung harapan Afrika Selatan. Selanjutnya rombongan Panglima Nyak Dum menuju laut Atlantik sampai ke Istambul, Turki.
Perjalanan dari Aceh menuju Turki itu menghabiskan waktu sampai dua tahun. Bekal dalam perjalanan sudah habis. Lada yang dikirim sebagai persembahan untuk Sulthan Turki juga dijual di Bombay untuk memenuhi kebutuhan selama perjalanan panjang tersebut.
Ketika kapal masuk ke pelabuhan di Konstatinopel, timbul keresahan dari delegasi Aceh itu karena barang persembahan Sulthan Iskandar Muda untuk raja Turki sudah dijual selama perjalanan, yang tersisa hanya sepuluh goni lada.
Panglima Nyak Dum kemudian mengambil secupak lada dari salah satu goni itu dan membungkuskan dalam kain kuning, sebagai isyarat bahwa bingkisan itu dipersembahkan kepada sulthan Turki dari sultan Aceh.
Rombongan Panglima Nyak Dum disambut oleh syahbandar dan diantar ke istana. Sampai di sana Panglima Nyak Dum menyerahkan surat dari Sulthan Iskandar Muda beserta bingkisan secupak lada kepada raja Turki. Ia juga menjelaskan bahwa bingkisan dari Aceh yang dibawanya telah banyak habis dijual untuk bekal selama perjalanan karena kapal mereka terbawa badai pada rute yang salah. Sulthan Turki memaklumi hal itu.
Usai jamuan, Panglima Nyak Dum menceritakan kepada Sulthan Turki tentang tindakan Portugis di Selat Malaka yang telah mengganggu perairan Aceh. Pihak Turki menegaskan bahwa akan terus menjaga hubungan baik dengan Kerajaan Aceh, termasuk membantu Sulthan Aceh dalam menghalau gangguan Portugis di Selat Malaka.
Setelah sekitar tiga bulan delegasi Aceh itu berada di Turki, Panglima Nyak Dum dan rombongannya kembali ke Aceh. Sebagai balasan tanda memperkuat persahabatan, Sulthan Turki mengirim sebuah meriam dan alat-lata perang untuk Sulthan Aceh.
Meriam itulah yang kemudian dikenal sebagai meriam lada sicupak. Dalam rombongan Panglima Nyak Dum juga diikutserakan 12 orang Turki ahli militer dan pelayaran untuk mendampingi mereka sampai ke Aceh.
Tentang Panglima Nyak Dum juga disinggung Drs Anas Mahmud dalam makalahnya Turun Naiknya Peranan Kerajaan Aceh Darussalam di Pesisir Timur Pulau Sumatera. Makalah ini disampaika pada seminar Masuk dan Berkembannya Islam di Nusantara di Rantau Kuala Simpang tahun 1980.
Menurutnya, dengan bantuan Turki, Aceh membangun angkatan perangnya dengan baik. Senjata-senjata yang dirampas dari Portugis saat penyerangan di Pidie dan Pasai ditambah dengan bantuan Turki membuat militer Aceh menjadi kekuatan yang tangguh.
Hal yang sama juga diungkapkan Muhammad Said dalam buku Aceh Sepanjang Abad. Pada halaman 100 buku itu ia menulis:
�...Dimasa Al Kahar (Sulthan Alauddin Riayat Syah), Aceh segera membangun armada dan angkatan perang besar. Dia telah memperluas hubungan luar negeri. Politik mengikat persahabatan erat dengan Arab dan Turki dipergiatkan. Para ahli tehnik terutama untuk keperluan zeni dan ilmu perang didatangkan dari negeri tersebut..�
Bantuan Turki itu oleh Muhammad Said dihubungkan dengan kisah meriam lada sicupak. Pemberian Turki berupa meriam dan bendera kepada Kerajaan Aceh merupakan bentuk pengakuan Turki bahwa Kerajaan Aceh berada di bawah perlindungan khalifah Islam. Bantuan Turki kepada Aceh itu bukan saja sebagai bantuan militer belaka, tapi memiliki arti politik yang menjelaskan tentang kedudukan Aceh dalam kesatuan kekhalifahan Islam.
Tentang hubungan Aceh dengan Turki juga ditulis dalam buku Aceh, Nusantara dan Khilafah Islamiyah, terbitan Huzbut Tahrit Indonesia (2005). Buku itu merujuk pada buku Protecting the Routhers to Mecca, karangan Farooqi.
Dalam buku itu dijelaskan bawa Farooqi menemukan sebuah arsip dari Khalifah Utsmani yang berisi sebuah petisi dari raja Aceh, Sulthan Alauddin Riayat kepada penguasa Turki, Sulthan Sulayman Al-Qanuni. Farooqi menyebutkan surat itu dibawa oleh seorang utusan bernama Huseyn Effendi, mungkin yang dimaksud Farooqi ini adalah Panglima Nyak Dum.
Dalam surat itu dijelaskan bahwa, Kerajaan Aceh mengakui penguasa Utsmani sebagai Khalifah Islam. Surat itu juga berisi laporan tentang aktivitas militer Portugis yang menimbulkan masalah besar terhadap para pedagang muslim dan jamaah haji dalam perjalanan ke Mekkah. Karena itu, Aceh meminta bantuan Turki untuk menghalau Portugis di Selat Malaka.
Meski Sulthan Sulayman Al-Qanuny wafat pada tahun 1566 Masehi, akan tetapi petisi Aceh mendapat dukungan dari penggantinya, Sulthan Selim II (1566-1574). Ia mengeluarkan perintah untuk melakukan ekspedisi besar militer ke Aceh.
Sekitar September 1567, Laksamana Turki di Suez, Kurtoglu Hizir Reis diperintahkan berlayar menuju Aceh dengan sejumah ahli senjata api, tentara dan alteleri. Pasukan ini diperintahkan tetap berada di Aceh selama dibutuhkan oleh kerajaan Aceh.
Menurut Ayumardi Azra dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII, dalam perjalanannya armada besar itu hanya sebagian yang sampai ke Aceh karena dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman yang berakhir pada tahun 1571.
Kehadiran Kurtoglu Hizir Reis bersama armada dan tentaranya disambut dengan upacara besar oleh raja Aceh. Kurtoglu Hizir Reis kemudian diberi gelar Gubernur Turki di Aceh yang merupakan utusan resmi Khalifah Utsmani yang ditempatkan di Kerajaan Aceh.
Catatan lainnya, dalam buku karangan Marwati Djuned Pusponegoro, Sejarah Nasional Indonesia, jilid III, pasukan Turki yang tiba di Aceh antara tahun 1566 sampai 1577 sebanyak 500 orang, termasuk ahli senjata api, penembak dan ahli peperangan. Dengan bantuan itu Kerajaan Aceh menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1568. [Iskandar Norman]
loading...
Post a Comment