Halloween Costume ideas 2015
July 2014

Replika Meriam Lada Sicupak
Panglima Nyak Dum diutus Sulthan Iskandar Muda sebagai duta ke Turki. Menjalin kerjasama pertahanan dan mendapat bantuan militer untuk memerangi Portugis di Selat Malaka.
Kisah Panglima Nyak Dum sudah menjadi legenda dalam sejarah Aceh. Keberangkatannya ke negeri Rum (Turki) diabadikan oleh masyarakat Aceh dalam syair:

Dengo lon kisah Panglima Nyak Dum
U Nanggroe Rom (Turki) troh geu bungka
Meuriam lada sicupak troh geupuwoe
Geupeujaroe bak Po Meukuta

Penjelasan tentang diplomasi lada sicupak tersebut dijelaskan oleh H M Zainuddin dalam buku Singa Aceh, Biographi Seri Sulthan Iskandar Muda, terbitan Pustaka Iskandar Muda, Medan (1957). Ia menjelaskan, hubungan Kerajaan Aceh dengan Turki pertama kali dibangun oleh Suthan Ali Riayat Syah Al Qahar yang memerintah dari tahun 1557-1568 dengan Sulthan Salim Khan.

Pada masa itu, Sulthan Salim Khan mengikat perjanjian persahabatan dengan Kerajaan Aceh dan mengirim 40 orang ahli alteleri untuk melatih pasukan meriam dan pasukan berkuda di Aceh.

Perjanjian persahabatan itu kemudian dilanjutkan oleh raja Aceh selanjutnya, Sulthan Alauddin Mansur Syah yang memerintah pada tahun 1577-1586. Pada masa itu Turki menjamin dan melindungi Kerajaan Aceh dari gangguan pihak lain.

Selanjutnya ketika tahta Turki dipegang oleh Sulthan Mustafa Khan, perjanjian itu dilanjutkan lagi oleh sultah Aceh berikutnya, Sulthan Alauddin Riayat Syah Saidil Mukamil yang memerintah pada tahun 1588-1604. Pada masa itu Sulthan Mustafa Khan mengirim sebuah bintang kehormatan kepada Sulthan Aceh, serta mengizinkan kapal-kapal perang Kerajaan Aceh memakai bendera Turki.

Pada masa Aceh dipimpin Sulthan Iskandar Muda, hubungan dengan Turki agak merengang karena Iskandar Muda lebih fokus membangun dalam negeri setelah kekalahan pendahulunya dalam perang di semenanjung Malaka.

Setelah rakyat dalam negeri Aceh benar-benar makmur, Sulthan Iskandar Muda membuka kembali hubungan dengan Turki yang selama beberapa tahun sudah agak merenggang. Sulthan Iskandar Muda menyiapkan tiga buah kapal untuk berangkat ke Turki. Kapal-kapal itu berisi lada yang akan diserahkan ke raja Turki sebagai persembahan dari Aceh. Ia juga meminta kepada Mufti Kerajaan Syeikh Nuruddin Ar Raniry untuk menulis sepucuk surat dalam bahasa Arab.

Surat itu kemudian disampul dan dibalut dengan kain sutera sebagai bentuk kemuliaan. Untuk membawa surat itu ditugaskan Panglima Nyak Dum sebagai kepala rombongan. Dalam rombongan khalifah Panglima Nyak Dum juga disertakan dua orang juru bahasa yang ditunjuk oleh Syeikh Nuruddin Ar Raniry, satu ahli bahasa Arab, satu lagi Hindi.

Menurut H M Zainuddin, Panglima Nyak Dum digambarkan sebagai pemberani yang kebal terhadap senjata tajam dan peluru. Ia juga fasih berbahasa Arab, makanya ditunjuk sebagai ketua delegasi.

Dalam perjalanannya, ketiga kapal delegasi Aceh itu terbawa badai. Awalnya dari pelabuhan Aceh mereka hendak menuju ke Madras tapi terbawa angin ke Calcuta. Beberapa lama di situ, setelah menunggu angin teduh, mereka berlayar menyusuri pantai Coromondal, sepanjang Teluk Banggala hingga kemudian sampai ke Madras.

Setelah beberapa lama di Madras, delegasi Aceh melanjutkan perjalanan ke Ceylon terus ke Teluk Parsi sampai ke Bombay. Dari sana kemudian menyebrang ke laut Sikatra menuju Madagaskar terus ke tanjung harapan Afrika Selatan. Selanjutnya rombongan Panglima Nyak Dum menuju laut Atlantik sampai ke Istambul, Turki.

Perjalanan dari Aceh menuju Turki itu menghabiskan waktu sampai dua tahun. Bekal dalam perjalanan sudah habis. Lada yang dikirim sebagai persembahan untuk Sulthan Turki juga dijual di Bombay untuk memenuhi kebutuhan selama perjalanan panjang tersebut.

Ketika kapal masuk ke pelabuhan di Konstatinopel, timbul keresahan dari delegasi Aceh itu karena barang persembahan Sulthan Iskandar Muda untuk raja Turki sudah dijual selama perjalanan, yang tersisa hanya sepuluh goni lada.

Panglima Nyak Dum kemudian mengambil secupak lada dari salah satu goni itu dan membungkuskan dalam kain kuning, sebagai isyarat bahwa bingkisan itu dipersembahkan kepada sulthan Turki dari sultan Aceh.

Rombongan Panglima Nyak Dum disambut oleh syahbandar dan diantar ke istana. Sampai di sana Panglima Nyak Dum menyerahkan surat dari Sulthan Iskandar Muda beserta bingkisan secupak lada kepada raja Turki. Ia juga menjelaskan bahwa bingkisan dari Aceh yang dibawanya telah banyak habis dijual untuk bekal selama perjalanan karena kapal mereka terbawa badai pada rute yang salah. Sulthan Turki memaklumi hal itu.

Usai jamuan, Panglima Nyak Dum menceritakan kepada Sulthan Turki tentang tindakan Portugis di Selat Malaka yang telah mengganggu perairan Aceh. Pihak Turki menegaskan bahwa akan terus menjaga hubungan baik dengan Kerajaan Aceh, termasuk membantu Sulthan Aceh dalam menghalau gangguan Portugis di Selat Malaka.

Setelah sekitar tiga bulan delegasi Aceh itu berada di Turki, Panglima Nyak Dum dan rombongannya kembali ke Aceh. Sebagai balasan tanda memperkuat persahabatan, Sulthan Turki mengirim sebuah meriam dan alat-lata perang untuk Sulthan Aceh.

Meriam itulah yang kemudian dikenal sebagai meriam lada sicupak. Dalam rombongan Panglima Nyak Dum juga diikutserakan 12 orang Turki ahli militer dan pelayaran untuk mendampingi mereka sampai ke Aceh.

Tentang Panglima Nyak Dum juga disinggung Drs Anas Mahmud dalam makalahnya Turun Naiknya Peranan Kerajaan Aceh Darussalam di Pesisir Timur Pulau Sumatera. Makalah ini disampaika pada seminar Masuk dan Berkembannya Islam di Nusantara di Rantau Kuala Simpang tahun 1980.

Menurutnya, dengan bantuan Turki, Aceh membangun angkatan perangnya dengan baik. Senjata-senjata yang dirampas dari Portugis saat penyerangan di Pidie dan Pasai ditambah dengan bantuan Turki membuat militer Aceh menjadi kekuatan yang tangguh.

Hal yang sama juga diungkapkan Muhammad Said dalam buku Aceh Sepanjang Abad. Pada halaman 100 buku itu ia menulis:

�...Dimasa Al Kahar (Sulthan Alauddin Riayat Syah), Aceh segera membangun armada dan angkatan perang besar. Dia telah memperluas hubungan luar negeri. Politik mengikat persahabatan erat dengan Arab dan Turki dipergiatkan. Para ahli tehnik terutama untuk keperluan zeni dan ilmu perang didatangkan dari negeri tersebut..�

Bantuan Turki itu oleh Muhammad Said dihubungkan dengan kisah meriam lada sicupak. Pemberian Turki berupa meriam dan bendera kepada Kerajaan Aceh merupakan bentuk pengakuan Turki bahwa Kerajaan Aceh berada di bawah perlindungan khalifah Islam. Bantuan Turki kepada Aceh itu bukan saja sebagai bantuan militer belaka, tapi memiliki arti politik yang menjelaskan tentang kedudukan Aceh dalam kesatuan kekhalifahan Islam.

Tentang hubungan Aceh dengan Turki juga ditulis dalam buku Aceh, Nusantara dan Khilafah Islamiyah, terbitan Huzbut Tahrit Indonesia (2005). Buku itu merujuk pada buku Protecting the Routhers to Mecca, karangan Farooqi.

Dalam buku itu dijelaskan bawa Farooqi menemukan sebuah arsip dari Khalifah Utsmani yang berisi sebuah petisi dari raja Aceh, Sulthan Alauddin Riayat kepada penguasa Turki, Sulthan Sulayman Al-Qanuni. Farooqi menyebutkan surat itu dibawa oleh seorang utusan bernama Huseyn Effendi, mungkin yang dimaksud Farooqi ini adalah Panglima Nyak Dum.

Dalam surat itu dijelaskan bahwa, Kerajaan Aceh mengakui penguasa Utsmani sebagai Khalifah Islam. Surat itu juga berisi laporan tentang aktivitas militer Portugis yang menimbulkan masalah besar terhadap para pedagang muslim dan jamaah haji dalam perjalanan ke Mekkah. Karena itu, Aceh meminta bantuan Turki untuk menghalau Portugis di Selat Malaka.

Meski Sulthan Sulayman Al-Qanuny wafat pada tahun 1566 Masehi, akan tetapi petisi Aceh mendapat dukungan dari penggantinya, Sulthan Selim II (1566-1574). Ia mengeluarkan perintah untuk melakukan ekspedisi besar militer ke Aceh.

Sekitar September 1567, Laksamana Turki di Suez, Kurtoglu Hizir Reis diperintahkan berlayar menuju Aceh dengan sejumah ahli senjata api, tentara dan alteleri. Pasukan ini diperintahkan tetap berada di Aceh selama dibutuhkan oleh kerajaan Aceh.

Menurut Ayumardi Azra dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII, dalam perjalanannya armada besar itu hanya sebagian yang sampai ke Aceh karena dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman yang berakhir pada tahun 1571.

Kehadiran Kurtoglu Hizir Reis bersama armada dan tentaranya disambut dengan upacara besar oleh raja Aceh. Kurtoglu Hizir Reis kemudian diberi gelar Gubernur Turki di Aceh yang merupakan utusan resmi Khalifah Utsmani yang ditempatkan di Kerajaan Aceh.

Catatan lainnya, dalam buku karangan Marwati Djuned Pusponegoro, Sejarah Nasional Indonesia, jilid III, pasukan Turki yang tiba di Aceh antara tahun 1566 sampai 1577 sebanyak 500 orang, termasuk ahli senjata api, penembak dan ahli peperangan. Dengan bantuan itu Kerajaan Aceh menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1568. [Iskandar Norman]


Kita dituntut untuk memahami Palestina masa mendatang, melalui tindakan hari ini untuk tujuan hari esok.
Memahami Palestina tidak cukup hanya dengan keprihatinan. Kita harus berkaca pada sejarah bagaimaa Palestina pernah memahami kita. Memahami masa lalu perlu dilakukan sebagai permulaan memahami diri kita sendiri dan Palestina hari esok.

Tindakan kita hari ini harus mampu membantu merancang hari esok Palestina yang lebih baik. Apa yang dilakukan Pemerintah Aceh dengan membuka rekening donasi bagi Palestina patut diapresiasi. Konon, Aceh merupakan satu-satunya pemerintah daerah yang melakukan hal itu.

Kita berharap Pemerintah Aceh tidak hanya sekadar membuka rekening donasi Palestina. Tapi lebih dari itu Gubernur Zaini Abdullah harus mampu mengarahkan Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) untuk benar-benar menerjemahkan tindakan itu dengan baik. Bila semua perangkat daerah bisa digerakkan secara baik, maka donasi yang terhimpun juga akan maksimal.

Sekali lagi, membantu Palestina tidak cukup hanya dengan keprihatinan, tapi tindakan. Mengutip sebuah judul buku Timbor Mende, ini disebut sebagai a glance at tomorrow�s history. Naif terasa bila kita hanya berkata prihatin, tapi tidak bisa melakukan sesuatu untuk mengubah sejarah hari esok Palestina. Prihatin saja tidak membuat perang itu berakhir. Tapi lebih di atas prihatin adalah tindakan, meski hanya melalui sekian rupiah yang kita sumbangan, yang dengan itu mungkin bisa membantu perban pembalut luka perang bagi anak-anak Palestina.

Kita harus menembus waktu, melihat masa lalu bagaimana Palestina membalut luka kita, ketika Indonesia belumlah ada. Palestina bersama Mesir yang pertama kali menyuarakan kemerdekaan Indonesia. Mufti Besar Palestina Syekh Muhammad Amin Al Husaini pada 6 September 1944 dengan tegas menyatakan dukungan untuk Indonesia merdeka. Pernyataannya disiarkan di Radio Berlin berbahasa Arab. Ia juga yang menyambut kedatangan delegasi Panitia Pusat Kemerdekaan Indonesia.

Masa itu Palestina bukan hanya sekadar mendukung usaha memerdekakan Indonesia dari jajahan Belanda, tapi saudagar kaya Palestina Muhammad Ali Taher menghibahkan seluruh uangnya di rekening bank Arabia untuk mendanai perjuangan rakyat Indonesia. Hebatnya lagi, donasi yang diberiakannya itu tanpa meminta tanda bukti. Ia hanya meminta semua kekayaannya itu diterima untuk memenangkan perjuangan Indonesia.

Muhammad Ali Taher masa lalu telah bertindak untuk menulis sejarah masa depan Indonesia. Saatnya kita untuk menghargai itu dengan tindakan yang sama terhadap Palestina. Tentang ini bisa dibaca dalam buku Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri.

Masa depan Palestina bukan hanya di tangan pejuang rakyat Palestina semata, tapi juga muslim seluruh dunia, karena kita memang muslim yang satu. Sejarah telah membuktikan bagaimana Aceh mendapat perlindungan dari khalifah Islam dalam menghadapi agresi Portugis di Selat Malaka.

Atas nama Islam, penguasa Utsmani di Turki membantu Aceh memerangi Portugis. Farooqi dalam buku Protecting the Routhers to Mecca mengungkapkan hal itu. Ketua delegasi Aceh Panglima Nyak Dum yang disebut Farooqi sebagai Huseyn Effendi membawa surat sulthan Aceh sebagai laporan tentang aktivitas militer Portugis yang menimbulkan masalah besar terhadap para pedagang muslim dan jamaah haji dalam perjalanan ke Mekkah. Karena itu, Aceh meminta bantuan Turki untuk menghalau Portugis di Selat Malaka.

Hal yang sama juga diungkapkan Ayumardi Azra dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII, Turki mengirim armada besar ke Aceh untuk memerangi Portugis, meski dalam perjalanannya armada besar itu hanya sebagian yang sampai ke Aceh karena dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman yang berakhir pada tahun 1571.

Ketika pimpinan armada Turki Kurtoglu Hizir Reis sampai ke Aceh bersama armadanya, mereka disambut dengan upacara besar oleh raja Aceh. Kurtoglu Hizir Reis kemudian diberi gelar Gubernur Turki di Aceh yang merupakan utusan resmi Khalifah Utsmani yang ditempatkan di Kerajaan Aceh.

Marwati Djuned Pusponegoro dalam buku Sejarah Nasional Indonesia, jilid III mengungkapkan, pasukan Turki yang tiba di Aceh antara tahun 1566 sampai 1577 sebanyak 500 orang, termasuk ahli senjata api, penembak dan ahli peperangan. Dengan bantuan itu Kerajaan Aceh menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1568. Perlindungan Khalifah Utsmani terhadap kerajaan-kerajaan muslim saat itu sangat kuat. Lalu bagaimana sikap Islam yang satu sekarang terhadap Palestina?

Aceh khususnya dan Indonesia umumnya, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia harus mampu berbuat lebih untuk mendukung secara nyata kemedekaan Palestina. Mengutip apa yang pernah disampaikan Presiden Soekarno dalam diplomasi luar negerinya; we are not sitting on the fence. Soekarno menambahkan, kita harus bekerja untuk retooling for the future untuk menyelenggarakan hari depan yang lebih baik. [Iskandar Norman]

Menggantikan nama Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) bukanlah tindakan hebat. Tapi upaya membelakangi sejarah, hanya karena ucapannya yang lebih dekat ke �syiah� meski sesungguhnya sunni. Lebih baik membangun kualitas tinimbang mempersoalkan nama.
Tentang Syiah pada nama Abdurrauf sudah banyak dibahas orang. Ia berupa gelar bagi ulama besar, bukan aliran syiah yang karap ditentang sunni. Mengganti nama Syiah karena serupa penulisannya dengan syiah juga tindakan yang gagal pahan akan makna.

Tulisan ini bukan ingin menambah kontroversi wacana pergantian nama universitas jantong hate rakyat Aceh itu. Lebih kepada mengajak kembali semua pihak bercermin pada sejarah pembentukannya.

Mari kita buka lembaran sejarah itu. Saya ajak kita semua untuk membaca buku Sepuluh Tahun Darussalam dan Hari Pendidikan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Buku yang memuat secara detil upaya dan rintangan pembentukan Unsyiah ini diterbitkan pada 1969 oleh Yajasan Pembina Darussalam.

Penerbitan buku ini dilakukan sebagai bentuk dokumentasi perjalanan Unsyiah, ditambah dengan asbab kunjungan Presiden Soeharto ke Kopelma Darussalam pada 31 Agustus 1968. Ali Hasymi selaku Ketua Yajasan Pembina Darussalam menjelaskan, awalnya yayasan yang membangun Komplek Pelajar dan Mahasiswa (Kopelma) Darussalam bernama Yayasan Dana Kesejahteraan Aceh (YDKA).

YDKA inilah yang menangani pelaksanaan pembangunan Kopelma, hingga diresmikan pada 2 September 1959. Hari yang hingga kini diperingati sebagai Hari Pendidikan Provinsi Aceh dan hari jadi Unsyiah.

Yayasan ini bertugas memelihara dan melanjutkan pembangunan Kopelma Darussalam. Politik pembangunannya didasarkan pada kekuatan rakyat dan untuk kesejahteraan rakyat. Di sinilah terjadi perpaduan antara tenaga rakyat dengan kekuatan pemerintah.

Kopelma mencakup beberapa perguruan tinggi di dalamnya, yakni Unsyiah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jamiah Ar Raniry, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Akademi Pemerintahan Dalam Negeri, serta Dayah Tinggi Syik Pante Kulu. Dua lembaga terakhir kini tidak ada lagi.

Pada saat pembukaan pertama Unsyiah empat fakultas, yakni Fakultas Ekonomi, Fakultas Kedokteran Hewan dan Ilmu Peternakan, Fakultas Tekhnik dan Fakultas Pertanian. Sementara di IAIN Jamiah Ar Raniry pertama dibuka; Fakultas Tarbiyah, Fakultas Syariah, Fakultas Usuluddin/Filsafat, dan Fakultas Dakwah/Publisistik.

Sementara di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan dibuka Fakultas Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan Pengetahuan Eksasta, dan Fakultas Keguruan Sastra Seni.

Panglima Daerah Angkatan Kepolisian I/Atjeh, Komisaris Besar Polisi Drs Hadji Soehadi, pada 26 Mei 1969 menyebutkan Unsyiah dan IAIN sebagai dua sejoli (dwitunggal) yang dipersembahkan untuk rakyat Aceh.

Drs Marzuki Nyakman merupakan sarjana pertama yang pulang ke Aceh untuk mengajar di Kopelma. Ia kemudian menjabat sebagai Wakil Gubernur Aceh. Mari kita telusuri sejenak bagaimana kegigihan Marzuki Nyakman dalam membangun Unsyiah dan IAIN. Semoga menjadi renungan bagi siapa saja yang berhasrat mengganti nama Syiah pada Unsyiah.

Setahun sebelum Unsyiah didirikan (1958), Pemerintah Daerah Istimewa Aceh mengutus angota Dewan Pemerintah Daerah Aceh, Ismail Abduh dan Nyak Yusda ke Yogjakarta. Keduanya ditugaskan untuk mengumpulkan bahan-bahan, serta melakukan penelitian sejauh mana kemungkinan dapat dibangunnya universitas di Aceh.

Pada waktu itu Marzuki Nyakman masih menjadi mahasiswa tingkat akhir di Yogjakarta. Ia bersama Ismuha menjabat sebagai Ketua Biro Asisten Provinsi Aceh di kota gudeg tersebut. Ismail Abduh dan Nyak Yusda menyampaikan maksud tersebut kepada mereka. Hasilnya, saat itu belum memungkinkan membangun universitas di Aceh, selain karena persoalan biaya juga karena tidak adanya tenaga pengajar.

Marzuki Nyakman dan Ismuha menyarakan agar tidak tergesa-gesa, lebih baik membuka akademi dulu atau kursus B1 untuk menciptakan guru-guru sekolah lanjutan. Lebih baik memberi beasiswa kepada putra-putri terbaik Aceh untuk kuliah ke luar daerah, dari pada membangun universitas.

Namun di Aceh tekat itu sudah bulat, universitas harus segera dibuka. Untuk mendukung hal itu, Biro Asisten Provinsi Aceh Yogjakarta mengirim tenaga-tenaga guru SMA ke Aceh dalam rangka Pengerahan Tenaga Mahasiwa (PGM) sehingga dalam waktu singkat bisa dibuka SMA di seluruh Aceh. Biro Asisten Provinsi Aceh Yogjakarta juga mengirim mahasiswa-mahasiwa Aceh untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri di berbagai jurusan.

Setelah menamatkan pendidikan di Universitas Gajah Mada (UGM), Marzuki Nyakman meninggalkan Yogjakarta sekitar tahun 1959 dan bekerja pada Departeman Dalam Negeri di Jakarta. Saat itu keadaan di Aceh masih bergolak akibat meletusnya �Peristiwa Atjeh� sejak tahun 1953.

Setahun bekerja di Departemen Dalam Negeri Marzuki Nyakman kembali ke Aceh, meskipun pada waktu itu sarjana-sarjana Aceh lebih memilih bekerja di luar dari pada kembali ke Aceh karena situasi belum memungkinkan, mereka lebih memimilih berkarir di luar Aceh.

Marzuki Nyakman bekerja di kantor gubernur, ia memimpin bagian desentralisasi/koordinasi. Ia juga ditugaskan memimpin Kursus B1 Ekonomi dengan tugas-tugas kemasyarakatan lainnya seperti Sekretaris Komisi Perencanaan Penciptaan Kopelma Darussalam.

Komisi ini sering mengadakan rapat dan diskusi-diskusi yang melahirkan konsep-konsep untuk merealisasi cita-cita pembangunan sebuah universitas di Aceh. Anggota komisi ini terdiri dari Dr T Iskandar, Dr R Sugianto, dan T Hadji Usman Jahja Tiba, dan kemudian menyusul Ibrahim Husin MA, komisi ini sering mengadakan rapat-rapat hingga larut malam.

Setelah diadakan persiapan seperlunya dan atas usul pemerintah daerah bersama penguasa perang, keluarlah Surat keputusan Menteri Pendidikan dan kebudayaan, tanggal 17 November 1960, nomor 96450/UU tentang pengangkatan panitia persiapan Universitas Syiah Kuala dan FKIP yang terdiri dari pejabat pemerintah sipil dan militer serta tokoh masyarakat. Panitian ini diketuai Gubernur Ali Hasymi dan Sekretaris Drs Marzuki Nyakman.

Tanggal 17 Desember 1960 rapat perdana digelar. Rapat dihadiri Gubernur Ali Hasymi, Pangdam I Iskandar Muda Mayjen M. Jasin selaku wakil ketua umum panitia, dan kolonel Sjamaun Gaharu selaku penasihat panitia. Kepada Kolonel M jasin yang akan berangkat ke Jakarta dalam rangka tugas dinasnya, diminta untuk melakukan pembicaraan dengan instansi terkait untuk merealisasi pembangunan universitas di Aceh.

Pada tanggal 13 Februari 1961, digedung DPR-GR Aceh diadakan rapat panitia untuk mendengar laporan Mayjen M. Jasin selaku wakil ketua umum panitia mengani hasil pembicaraannya di jakarta. Ia menjelaskan bahwa dalam pembicaraannya di Jakarta bahwa universitan bukan keperluan mendesak untuk Aceh karena butuh biaya besar dan belum adanya tenaga pengajar, tapi ada yang lebih mendesak yakni pembangunan fisik seperti jalan, pelabuhan dan sebagainya.

Penjelasan M Jasin itu membuat suasan rapat terbelah menjadi dua, ada yang setuju universitas segera dibuka ada pula yang meminta ditunda dulu. Akhirnya rapat ditutup dengan penuh kelesuan. Satu-satunya keputusan rapat waktu itu adalah akan diadakan lagi rapat khusus Pimpinan Harian Panitia dua hari yang akan datang di rumah dinas Pangdam Mayjen M Jasin.

Setelah rapat ditutup, Ali Hasymi memanggil Marzuki Nyakman ke ruang kerjanya dengan penuh haru dan kecewa Ali Hasymi mengatakan �Saudara Marzuki, saudara telah mengikuti pembicaraan dalam rapat panitia tadi. Terserah sekarang kepada saudara-saudara sarjana Aceh apakah Universitas Syiah Kuala itu jadi lahir atau tidak.�

Kata-kata Ali Hasymi membuat hati nurani Marzuki Nyakman bergetar dan ia kemudian memanggil Dr T Iskandar untuk merumuskan bersama kebijakan-kebijakan yang akan ditempuh.

Muzakir Nyakman bisa memahami betapa kecewanya Ali Hasymi, karena Kopelma Darussalam merupakan cita-cita besar untuk kemajuan Aceh yang disebut sebagai �jantong hate rakyat Aceh�

Ali Hasymi berkata di hadapan Marzuki Nyakman. �Mungkin hanya dua kali saya pernah menangis, pertama sewaktu salah seorang anak saya dipanggil Tuhan berpulang ke Rahmatullah, dan kedua sewaktu Darussalam mendapat gangguang karena Peristiwa Aceh.�

Dalam kecaman kekecewaan yang amat dalam, seorang pelayan kantor gubernur mendatangi mereka dan menyerahkan sepucuk surat dari Prof Sardjito, Presiden (Rektor) Universitas Gajah Mada. Surat tersebut bertanggal Yokjakarta, 14 Januari 1961 No.28/Sn/I/61 yang ditutju kepada Ketua Panitia Persiapan Pendirian Universitas Negeri Syiahkuala.

Surat itu berisi jawaban dari surat yang pernah dikirim Marzuki Nyakman ke UGM. Isinya memberitahukan bahwa sarjana-sarjana lulusan UGM sedang menyumbang tenaga dalam gerakan pembangunan manusia bersusila yang cakap serta berguna bagi bangsa dan negara.

Dalam surat balasannya itu, Rektir UGM, Prof Sardjito menulis:
�Pada waktu Presiden dari Universitas-universitas Negeri baru-baru ini mengadakan rapat dewan antar universitas di Jakarta, telah dikemukakan persoalan agar supaya universitas-universitas yang sudah beridiri agak lama suka membantu Universitas (fakultas-fakultas) di Banda Aceh dalam hal tenaga pengajar dan lainnya. Karena Universitas Gajah Mada ingin turut pula membantu perkembangan universitas yang baru, maka kami ingin mendapat bahan-bahan dan keterangan-keterangan mengenai bantuan yang diperlukan, terutama tenaga-tenaga pengajar yang mungkin dapat kami sumbang....�

Sebagai realisasi dari surat itu, UGM kemudian banyak membantu baik dalam bentuk moril maupun pengiriman tenaga staf pengajar, antara lain yang pertama kali dikirim adalah Drs Sumarmo yang kemudian menjadi guru besar UGM.

Ali Hasymi kemudian meminta kepada Muzakir Njakman agar membaca surat itu dalam rapat khusus pimpinan harian panitia yang akan dilakukan di rumah Pangdam I Iskandar Muda Mayjen M jasin. Dalam rapat itu diminta kesan-kesan peninjauan Dr R Sugianto yang ditugaskan ke Jakarta dan Yogjakarta, dan laporan dari pejabat Dekan Fakultas Ekonomi Dr T Iskandar dan Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Dr. RM Sudjono Ronowinoto tentang suka duka pembangunan fakultas-fakultas tersebut.

Setelah itu baru Marzuki Nyakman diminta untuk membacakan surat dari Presiden UGM, Prof Sardjito. Mendengar Marzuki Nyakman membacakan surat tersebut, tak seorang pun buka bicara, sampai kemudian Kolonel M Jasin memecahkan kesunyian malam tersebut.

�Kalau begitu, kita dihadapkan pada pembukaan Universitas Syiahkuala, namun demikian saya minta supaya kita bekerja keras dan nanti pada bulan Juni yang akan datang hendaknya supaya semua persiapan benar-benar sudah rampung. Pada waktu itulah kita menentukan pembukaan Universitas Syiah Kuala.�

Pernyataan spontan Kolonel M Jasin itu mendapat sambutan hangat dari para anggota panitia lainnya. Pernyataan Kolonel M Jasin itu kemudian menjadi keputusan rapat malam tersebut.

Untuk kelengkapan persiapan panitia, Marzuki Njakman bersama Dr T Iskandar, Dr RM Sudjono dan Kapten AK Abdullah, diutus ke Medan, Jakarta, Bandung dan Yogjakarta, sambil menyampaikan laporan persiapan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan tugas-tugas lainnya menyangkut usaha memperoleh tenaga-tenaga dosen.

Perutusan itu telah membicarakan tentang persiapan-persiapan pendirian Universitas Syiahkuala dengan Kepala Biro Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Prof. Sugiono Djuned Pusponegoro beserta stafnya. Intinya, menyetujui pembukaan Universitas Syiahkuala pada 2 September 1961 hari ulang tahun Darussalam.

Selanjutnya perutusan telah berhasil melakukan kontak dan membina hubungan kerja sama dengan pihak Universitas Sumatera Utara, Universitas Indonesia, Universitas Pajajaran, dan Universitas Gajah Mada, yang pada umumnya berjanji akan membantu sepenuhnya pendirian Universitas Syiahkuala di banda Aceh.

Sekembalinya dari peninjauan tersebut, mereka menyampaikan laporan kepada rapat pleno panitia pada 8 Mei 1961. Hal ini semakin meyakinkan bahwa Universitas Syiahkuala akan segera berdiri.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kemudian mengutus tim tekhnis ke Aceh yang terdiri dari Prof Sugardo, Drs M A Gani, dan Drs Syamsuddin Ishak. Setelah meninjau, tim tersebut berkesimpulan bahwa peresmian pembukaan Universitas Syiahkuala sudah dapat dilakukan. Awalnya direncanakan akan dilakukan pada 2 September 1961, akan tetapi berhubung dengan kesibukan pemerintah pusat baru dilakukan pada 27 April 1962 oleh presiden Soekarno.

Alat kelengkapan universitas kemudian dibentuk, Kolonel M Jasin dilantik sebagai pejabat Rektor, sementara Ali Hasymi sebagai Ketua Dewan Penyantun (Curator). Selain itu Kolonel M Jasin dan Marzuki Nyakman juga diangkat sebagai wakil ketua I dan II dewan penyantun.

Di samping Unsyiah juga dibangun IAIN Djamiah Arraniry dengan beberapa fakultas, sebagai rektor pertama ditunjuk Drs H Ismuha. Selain itu juga dibangun Dayah Tinggi Tgk Chik Pantekulu, serta Akademi Pemerintahan Dalam Negeri. Ketika Kopelma Darussalam dirintis, kawasan itu masih merupakan hutan belantara. Pertama dibuka 180 hektar untuk pembangunan gedung dan segala fasilitas pendidikan lainnya.

Berkaca pada sejarah pendiriannya, rasanya tak elok mengganti nama Unsyiah. Mengganti nama juga berpotensi menggaburkan sejarah Unsyiah itu sendiri. Lalu dimana kita letakkan penghargaan kepada mereka-mereka yang telah bersusah payah mendirikan jantong hate rakyat Aceh?[iskandar Norman]




Ini hari kuwasiatkan padamu sekalian anak negeri, ihwal pentingnya menuntut ilmu. Asbab pentingnya ilmu itu adalah ianya bak pelita dalam kegelapan, dian penerang kala kelam. Aneu�k manyak tapeureuno�, b�k r�h dudo� jih cilaka, taseuleuwah geunap uro�, bak meubudho� tabri aja.

Wajib bagimu wahai sekalian orang tua memberikan pengajaran kepada kamu punya keturunan, agar anakmu tahu beda benar salah, mampu memelihara iman, kuasa pula melawan nafsunya.

Dengar wasiatku akan tamsil pengajaran itu; Peungajaran nyang th�un nafsu, hana l� hu gadoh bisa, peungajaran nibak ma-ku, mis� mutu l� hareuga. Peungajaran nyang peurintang, nafsu panyang jipeugisa. Guna teungku peungajaran, sang lam malam teubi�t cahya. Peungajaran sang keumodo, ho hajat dro� tapeugisa.

Makna pengajaran itu ialah memberikan ajar yang baik-baik akan anak-anakmu, agar ianya berilmu pengetahuan, sanggup menjalani hidup di dunia, kuasa pula menjawab persoalan akhirat. Kelak ketika ianya berilmu dari itu pengajaran, maka segala mara bisa dilalui olehnya. Dengar kataku, keu �leum�e mis�u parang ng�n tatubang kay�e raya.

Untukmu cucuku, kuwasiatkan pula akan adab menuntut ilmu itu. Hormati orang tuamu, hargai gurumu, dengan itu kamu akan selamat dunia akhirat. Ayah ng�n Poma seureuta gur�e, ureu�ng nyan man lh�e tapeumulia, meuny� na salah meuah talak�e, akhirat teunt�e meutum�e syiruga.

Dalam menuntut ilmu itu, berkongsilah kamu sekalian dengan rakan sepadan. Jangan kamu berkawan dengan mereka-mereka yang tak berpendidikan, karena itunya akan membuat kamu menanggung malu dari tabiat mereka.

Kataku akan itu; Bak i� lint�ng b�k tath�un amp�h, bak i� tir�h b�k tatheu�n bub�e, b�k tameurakan ng�n si pal�h, ar�uta hab�h geutanyo� mal�e. Maka berkawanlah kamu sekalian dengan orang-orang berilmu, bung�n r�m bung�ng rihan, bung�n peukan nyang mangat b�e, tameukaw�n nyang sipadan, tameurakan nyang t�b mal�e. Ingat olehmu wahai anak negeri akan daku punya wasiat ini. [Nyak Kaoey]

Mesjid Raya Baiturrahman bukan hanya sebagai tempat peribadatan, tapi juga pusat pendidikan. Berbagai kajian ilmu dilakukan di 17 fakultas (daar). Hal yang kemudian membuat Aceh menjadi kiblat pendidikan di Asia Tenggara. 

Kejayaan Baiturrahman sebagai pusat pendidikan terjadi pada awal abad XIV hingga abad XVII. Selain Baiturrahman, ada lembaga pendidikan tinggi di pusat Kerajaan Aceh yakni Baiturrahim dan Baitulmusyahadah.

M Junus Djamil dalam Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh (1968) menjelaskan, mesjid jami� Baiturrahman dibangun oleh Sulthan Alaiddin Mahmud Syah I pada tahun 691 hijriah (1229 M). Bangunan mesjid kemudian diperluas oleh raja-raja selanjutnya.

Dalam perkembangannya, mesjid ini menjadi pusat pendidikan dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan. Para pengajar selain dari ulama-ulama Aceh, juga didatangkan dari Turki, Arab, Persia, dan India.

Begitu juga dengan pendidikan di Mesjid Baiturrahim. Mesjid ini dibangun pada tahun 1016 hijriah (1607 M) oleh Sulthan Iskandar Muda dalam komplek istana kerajaan yang disebut Dalam Darud Dunia.

Wazir Rama Setia (Sekretaris Kerajaa) Aceh, Said Abdullah Di Meulek dalam Qanun Meukuta Alam halaman 71 menjelaskan, Mesjid Baiturrahim dijadikan sebagai pusat kajian ilmu pengetahuan di lingkungan istana. Keberadaanya ditopang oleh balai setia hukama, balai setia ulama, dan balai jamaah himpunan ulama. Di tiga lembaga ini para ulama membahas dan mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan.

Sementara Mesjid Baitul Musyahadah, sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Said dalam Aceh Sepanjang Abad (1961) dibangun oleh Sulthan Iskandar Tsani dalam komplek Kraton Kuta Alam pada tahun 1046 hijriah (1637 M). Mesjid ini dibangun sebagai pusat pendidikan ketiga di Kerajaan Aceh.

Namun, dari ketiga mesjid pusat pendidikan tersebut, Mesjid Baiturrahman yang paling banyak membuka fakultas (daar) yakni 17 Fakultas (lihat boks) dan dibuka untuk para penuntut ilmu dari manca negara.

Untuk bisa mengikuti pendidikan di Baiturrahman, terlebih dahulu harus menempuh jenjang pendidikan di bawahnya. Jenjang itu dimulai dari madrasah (meunasah) di gampong-gampong sebagai lembaga pendidikan paling rendah. Pada jenjang pendidikan ini hanya diajarkan membaca dan menulis dengan aksara Arab, ahklak, ilmu agama, dan bahasa jawi (Melayu).

Tamat di madrasah dilanjutkan ke rangkang, asrama pendidikan di mesjid kemukiman. Imum Mukim bertugas mengelola lembaga pendidikan ini. Said Abdullah di Meulek menjelaskan, dalam Qanun Meukuta Alam mewajibkan tiap-tiap mukim membangun satu mesjid. Sama halnya seperti tiap-tiap gampong harus ada satu meunasah.

Rangkang merupakan lembaga pendidikan tingkat menengah pertama. Pelajar umumnya mondok di lingkungan mesjid selama mengikuti pendidikan. Hal inilah yang membuat Imum Mukim diharuskan membangun rangkang sebagai asrama bagi pelajar. Pendidikan pada tingkat ini mulai diajarkan bahasa Arab. Sebagian kitab-kitab ajaran juga berbahasa Arab, juga mulai diajarkan ilmu umum, sejarah, ilmu bumi, dan ahklak.

Tingkat pendidikan lanjutan dari rangkang disebut dawiyah atau dayah. Sulthan Aceh mewajibkan di setiap daerah federasi uleebalang membangun satu dayah sebagai lembaga pendidikan. Ada dayah yang berpusat di mesjid-mesjid, ada juga yang berdiri sendiri di luar kepengurusan mesjid.

Kabanyakan dayah berdiri sendiri. Pimpinan dayah biasanya membangun sebuah ruang utama sebagai aula tempat kuliah umum disampaikan, sekaligus sebagai tempat santri shalat berjamaah. Pada tingkat dayah, semua materi pelajaran disampaikan dalam bahasa Arab. Ilmu yang diajarkan antara lain: fiqh (ilmu hukum), tauhid, tasawuf, ahklak, sejarah, ilmu bumi, ilmu tata negara, faraidl (ilmu pasti).

Setelah tamat di dayah, santri sudah bisa melanjutkan pendidikan ke dayah teungku chik. Disebut dayah teungku syik karena dipimpin oleh ulama. Pendidikan pada tingkat ini setara dengan perguruan tinggi sekarang. Pada tingkat ini, materi pendidikan sudah meliputi: fiqh (hukum), tafsir, hadis, tauhid, filsafat, tasauf, mantik, dan ilmu falak (astronomi). Lulusan pendidikan pada tingkat ini berhak menyandang lakab (sebutan) ulama muda.

Kemudian untuk tingkat master dan doktoral yang melahirkan sarjana bergelar Teungku Chik (ulama) ada di Jamiah Baiturrahman. Para pengajar di jenjang pendidikan tinggi ini sebagian besar merupakan ulama-ulama Aceh yang telah menempuh pendidikan di Timur Tengah yang telah berhak menyandang gelar syekh.

Mesjid Raya Baiturrahman bukan hanya sebagai jamiah (universitas), tapi juga benteng pertahahan. Ketika agresi Belanda, Maret 1973, perang sengit terjadi di mesjid ini. Di sini pula pimpinan agresi pertama Belanda Mayor JHR Kohler tewas ditembak pejuang Aceh.

Namun, pada invansi Belanda kedua, Mesjid Raya Baiturrahman berhasil direbut dan dibakar oleh Belanda. Pembakaran itu dilakukan oleh pasukan pimpinan Van Swieten pada 6 Januari 1874. Saat itu pasukan Aceh di bawah pimpinan Tuanku Hasyim Banta Muda dan Teungku Imum Lueng Bata tidak dapat mempertahankan mesjid raya.

T Ibrahim Alfian dalam Mengenal Masyarakat Aceh yang Sedang Membangun (1976) mengungkapkan, perang di Mesjid Raya Baiturrahman menewaskan 14 tentara dan 11opsir Belanda, serta 197 infantri luka-luka.

Untuk merebut hati masyarakat Aceh, Belanda kemudian membangun kembali Mesjid Raya Baiturrahman. Rancangan mesjid dibuat oleh arsitek Bruins dari Departement van Burgelijke Openbare Werken (Departemen Pekerjaan Umum) di Batavia.

Bruins bekerja sama dengan Opdizchter LP Luyks dan beberapa insinyur lainnya. Mereka dibantu oleh seorang Penghulu Besar Garut agar pola mesjid yang akan dibangun tidak bertentangan dengan aturan-aturan Islam. Semua tahap pembangunan kembali Mesjid Raya Baiturrahman diabadikan oleh J Staal dalam buku De Missigit Raija in Atjeh. Buku ini diterbitkan oleh De Indiche Gids pada tahun 1882.

Tentang pembangunan kembali Mesjid Raya Baiturrahman juga ditulis J Kremeer dalam �De Groote Moskee te Koeta Radja� yang dimuat dalam Nederlandsch Indie Ouden Nieuw, tahun 1920.

Belanda berusaha membangun mesjid raya untuk member kesan baik bagi orang Aceh, dan itu tidak mudah. Pembangunan mesjid raya terkendala minimnya tenaga kerja. Orang Aceh tidak mau bekerja pada proyek Belanda tersebut, mereka lebih memilih jalan perang. Akhirnya Belanda memakai tenaga kerja dari Cina.

Tapi masalah lain kemudian muncul, para kontraktor (pemborong) di Jawa tidak bersedia ikut proyek itu karena perang di Aceh masih berkecamuk. Hanya satu kontraktor yang memasukkan penawaran, yakni Lie A Sie, seorang Letnan Cina di Aceh. Ia memperoleh borongan untuk membangun Mesjid Raya Baiturrahman dengan anggaran f.203.000. Dengan uang sebesar itu, ia mengimpor bahan-bahan bangunan dari luar negeri

Kapur didatangkan dari Pulau Pinang, Batu bata dari Belanda, batu pualam untuk tangga dan lantai dari Tiongkok (Cina), besi untuk jendela dari Belgia, kayu dari Moulmein (Birma). Hanya kerangka besi yang berasal dari Surabaya.

Peletakan batu pertama pembangunan Mesjid Raya Baiturrahman dilakukan di hadapan Jenderan Van Der Heyden. Sementara serah terima mesjid dilakukan pada 27 Desember 1881 dengan perhelatan sebuah kenduri besar. Kunci mesjid diserahkan kepada T Kali Malikul Adil oleh Gubernur A Pruys van Der Hoeven yang diiringi dengan 13 kali tembakan meriam. Sementara pengurusan mesjid diserahkan kepada Teungku Syeh Marhaban ulama besar dari Pidie. [Iskandar Norman]



Fakultas (Daar) di Mesjid Jami� Baiturrahman
Dalam majalah Sinar Darussalam nomor 17 edisi September 1969 halaman 9 dirincikan, ada 17 fakultas yang pernah dikembangkan di Mesjid Jami� Baiturrahman, yakni:

� Darut Tafsir wal Hadis (Fakultas Ilmu Tafsir dan Hadis)
� Darut Thib (Fakultas Kedokteran)
� Darut Tarikh (Fakultas Sejarah)
� Darul Hisab (Fakultas Ilmu Pasti)
� Darus Siyasah (Fakultas Ilmu Politik)
� Darul Aqli (Fakultas Ilmu Akan/Ilmu Alam)
� Daruz Zira�ah (Fakultas Pertanian)
� Darul Ahkam (Fakultas Hukum)
� Darul Falsafah (Fakultas Filsafat)
� Darul Kalam (Fakultas Ilmu Kalam/Tauhid)
� Darul Wizarah (Fakultas Ilmu Pemerintahan)
� Darul Kimia (Fakultas Ilmu Kimia)
� Darul Khasanah Baitul Mal (Fakultas Ilmu Perbendaharaan/Keuangan Kerajaan)
� Darul Ardli (Fakultas Ilmu Pertambangan)
� Darul Nahwu (Fakultas Ilmu Nahu)
� Darul Mazahib (Fakultas Ilmu Perbandingan Agama)
� Darul Harb (Fakultas Ilmu Peperangan)





loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget