Halloween Costume ideas 2015
April 2015



Aceh tak pernah menyerahkan kedaulatannya kepada Belanda. Sampai kini Belanda tidak bisa menunjukkan surat penyerahan kekuasaan Sultan Aceh.

Mengenai kedaulatan Aceh dijelaskan dalam sarakata(dokumen kerajaan) yang masih tersimpan sampai sekarang. Adalah Said Abdullah Teungku Di Meulek selaku Wazir Rama Setia (Sekretaris Kerjaan) yang menyiapkan dan menyimpannya.

Sarakata tersebut diantaranya seperti sumpah dan khutbah kerajaan dalam menghadapi ancaman penyerangan Belanda. Para ulama, uleebalang dan seluruh rakyat Aceh diserukan untuk berjihat melawan agresi tersebut.

Kegigihan rakyat Aceh dalam menghadapi dan melawan angresi Belanda itu digambarkan oleh penulis Belanda HC Zentrgaaff sebagai perjuangan yang luar biasa. Ia menulis:

��De waartheid is dad de Atjehers mannen en vrouwen in het elgemeen schitteren hebben gevochten voor wat zij zaggen als hun nationaal of religieus ideal. Er is onder die strijders cen zeer groot aantal mannen an vrouwen die den trots van elk volk zouden uitmaken.�

Maksudanya kira-kira, �Rakyat Aceh, baik pria maupun wanita berjuang secara luar biasa. Mereka merasakan sebagai satu bangsa yang bertugas membela agama, bangsa dan wilayahnya dengan perjuangan suci. Mereka terdiri dari pahlawan-pahlawan, baik pria maupun wanita yang memiliki kebanggaan atas kebenaran perjuangannya.�

Hal ini diakui oleh Panglima Perang Belanda di Aceh, Jenderal Van Pel. Dalam buku ES Klerek: History of Netherland Eas Indie  ia mengakui jatuhnya mental tentara Belanda akibat perlawanan sengit dari rakyat Aceh. Ia menulis:

�The proclamation of direct rule over Acheh pi proper had been a mistaken idea; there could be not question of conquest for the time being, the standing army in Acheh beingdepleted by the heavy losses suffered and the consequent large drainage of force.� (Proklamasi tentang langsung dijajah/diperintah Aceh, sesungguhnya adalah cita-cita yang amat salah. Sebenarnya soal menang tidak ada waktu itu. keadaan serdadu di Aceh sangat menyedihkan karena menderita kekalahan hebat dan akibatnya kemusnahan kekuatan yang besar).


Keterangan Pocut Meurah
Soal perjuangan mempertahankan kedaulatan Aceh itu, pernah ditulis Ali Hasjmy dalam �Peranan Islam dalam Perang Aceh.�  Dalam buku itu pada halaman 44, mantan Gubernur Aceh tersebut menceritakan pengalamannya pada tahun 1944 ketika mengantarkan seorang pembesar Jepang menemui Pocut Meurah.

Kepada pembesar Jepang itu Pocut Meurah mengungkapkan bahwa Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah yang ditawan Belanda pada tahun 1903 tidak mau menandatangani naskah penyerahan kedaulatan Aceh kepada Belanda. Alasannya, kedaulatan Aceh telah diserahkan kembali kepada rakyat Aceh menjelang ia ditangkap/ditawan Belanda.

Meski waktu itu Belanda berjanji akan mengangkat kembali Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah sebagai raja Aceh jika mau menandatangai surat penyerahan kedaulatan Aceh kepada Belanda, sultan tetap menolak menandatanganinya.

Masih menurut Pocut Meurah, Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah juga pernah mengirimkan surat kepada Kaisar Jepang, Tenno Heika dengan perantaraan Konsul Jenderal di Singapura. Dalam surat itu ia meminta bantuan senjata dan kapal perang. Keterangan yang sama juga pernah disampaikan Tuanku Raja Keumala melalui putranya Tuanku Hasyim SH  kepada Ali Hasjmy.

Begitu juga dengan keterangan bekas Sultan Pontianak, Sultan Abdul Hamid. Ia memberikan keterangan tentang kedaulatan Aceh kepada Teuku Burdansyah sewaktu sama-sama dalam tahanan di penjara Cipinang, Jakarta. Sultan Abdul Hamid mengaku telah mempelajari semua dokumen penyerahan kedaulatan kerajaan-kerajaan di nusantara kepada Belanda, tapi ia tidak menemukan naskah penyerahan kedaulatan Aceh.

Pernyataan Putra Mahkota Kerajaan Aceh
Yang lebih kuat lagi tentang tidak diserahkannya kedaulatan Aceh kepada Belanda diungkapkan  Tuanku Raja Ibrahim Bin Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah, putra mahkota Kerajaan Aceh. Surat pernyataan itu  dibuat pada 5 Mei 1975 di Banda Aceh. bunyinya:

�Pada tanggal 20 Januari 1903 dengan tergesa-gesa ayahanda Sultan dan saya sendiri dihadapkan di hadapan pembesar-pembesar pihak Belanda di Kutaraja. Kami dihadapkan dalam satu sandiwara politik kolonialnya dengan cara 4 (empat) pasal yang dibuatnya sendiri tanpa ditandatangani oleh Ayahanda Sultan dan saya sendiri, ditonjolkannya untuk menjatuhkan martabat perjuangan Aceh, seolah-oleh mereka telah berhasil. Pernyataan (penyerahan kedaulatan) yang dibuat-buat oleh pihak musuh itu otomatis bertentangan dengan prinsip Ayahanda Sultan dan saya sendiri sebagai putranya, sedangkan perjuangan rakyat terus bergolak tidak ada hentinya melawan pihak Belanda��

Menurut Ali Hasjmy, naskah pernyataan Tuanku Raja Ibrahim tersebut saat itu disimpan dalam kumpulan dokumen-dokumen bagian museum pada Kantor Perwakilan PDK daerah istimewa Aceh, sedangkan foto kopi surat pernyataan itu tersimpan di Pustaka Ali Hasjmy, Banda Aceh.

Soal tidak pernah diserahkannya kedaulatan Aceh kepada Belanda juga ditulis oleh pengarang Belanda Dr BJ Bolland dalam bukunya, The Strunggle of Islam In Modern Indonesia.  Dalam buku itu ia menulis: ��But on Januari 10th, 1903, the Sultan was captured� However, the Sultan continued to be active in secret even in captivity, and Aceh never capitulated to the colonial power��

Penulis Belanda lainnya, Paul van�t Veer dalam buku De Atjeh Oorlog membagi babakan perang Aceh dari 1873 sampai 1942 dalam empat periode, yakni periode pertama 1873, periode kedua 1874 sampai 1880, periode ketiga 1881 sampai 1896, serta periode keempat dari tahun 1897 sampai 1942.

Dari keempat periode perang tersebut, Aceh tidak pernah menyerahkan kedaulatannya kepada Belanda. Pada periode pertama dan periode kedua merupakan periode perang total yang frontal, saat itu pemerintahan Kerajaan Aceh masih berjalan dengan baik meski pusat kerajaan (Dalam) telah dipindahkan dari Bandar Aceh Darussalam ke Indrapuri lalu dipindahkan lagi ke Keumala Dalam dan beberapa tempat lainnya.

Sementara perang pada periode ketiga merupakan perang gerilya total teratur. Saat itu pemerintahan Kerajaan Aceh sudah tidak teratur lagi karena sering berpindah-pindah tempat pusat pemerintahan. Selanjutnya pada periode keempat, merupakan periode perang gerilya kelompok/perorangan. Pada periode  terakhir ini, kelompok-kelompok rakyat atau perorangan melakukan perlawanan terhadap Belanda tanpa ada komando dari pemerintah pusat kerajaan.

Paun van�t  Veer malah berkesimpulan, perang Aceh berakhir pada tahun 1942 dengan kekalahan Belanda. Ia menulis. �Perang Aceh tidak berakhir pada tahun 1913, atau 1914, karena dari tahun 1914 masih memanjang benang merah yang tidak pernah putus sampai ke tahun 1942.�

Malah menurut paul, setelah tahun 1942 Pemerintah Belanda tidak pernah lagi bisa masuk ke Aceh. Pada buku yang sama ia menulis. �Dari tahun 1942 sampai 1945 dan sesudahnya, Pemerintah Belanda tidak pernah dapat kembali ke Aceh. Dalam masa-masa aksi militer sekitar tahun 1946 � 1947, sewaktu sebagian besar Pulau Sumatera telah dapat diduduki kembali oleh Belanda, tidak pernah tentara Belanda berniat dan berusaha untuk menembus sampai ke Aceh. Dan Aceh adalah daerah satu-satunya di Indonesia di mana sejak tahun 1945 sampai dengan 1950, kemerdekaan sudah menjadi suatu kenyataan. Aceh adalah daerah terakhir yang dapat diduduki oleh Belanda, tetapi Aceh adalah daerah yang paling pertama membebaskan diri dari pendudukan militer Belanda, yaitu sejak 1942.� [Iskandar Norman]



Wanita Aceh dalam setiap perang menolak setiap perdamaian dan lebih berwatak keras dengan berprinsip membunuh atau dibunuh �  Zentgraaff

Apa yang dikatakan HC Zentgraaff itu bukanlah tanpa alasan. Jurnalis perang itu mengalami dan melihat sendiri bagaimana perempuan Aceh mengambil perannya dalam perang melawan Belanda. Redaktur Java Bode itu kemudian membukukan pengalaman perangnya di Aceh dalam buku �Atjeh�.

Buku ini kemudian dianggap sebagai gondam yang memukul muka Belanda sendiri, menelanjangi kegagalan Belanda di Aceh. Zentgraaff tak segan-segan mencela bangsanya sendiri yang bertindak kejam dalam memerangi orang-orang Aceh. Ia juga dengan rendah hati memuji kehebatan pejuang Aceh, bukan hanya pria tapi juga wanita.

Zentrgaaff menulis, De atjehschevrouw, fier en depper, was de verpersoonlijking van den bittersten haat jegens ons, en van de uiterste onverzoenlijkheid an als zij medestreed, dan deed zij dit met een energie en doodsverachting welke veelal die der mennen overtroffen. Zij was de draagster van een haat die brandde tot den rand van het graf en nog in het aangezicht van den dood spuwde zij hem, den kaphe in het geizcht.�

Artinya, �Wanita Aceh  gagah dan berani mereka pendukung yang tidak mungkin didamaikan, terhadap kita dan bila ia turut serta bertempur, dilakukannya dengan gigih dan mengagumkan, bersikap tidak takut mati yang melebihi kaum pria. Ia mempunyai rasa benci yang menyala-nyala sampai liang kubur dan sampai saat menghadapi maut, ia masih mampu meludahi muka si kaphe.�

Menurut Zentgraaff, wanita Aceh dalam setiap perang menolak setiap perdamaian dan lebih berwatak keras dengan berprinsip membunuh atau dibunuh. Pujian Zentgraaff terhadap wanita Aceh muncul setelah ia menemui Pucut Meurah Intan yang dikenal sebagai Pocut Di Biheue, seorang wanita pemberani yang menyerang patroli Belanda seorang diri di Padang Tiji.  Ia digelar oleh Belanda sebagai heldhftig yakni perempuan yang gagah berani.

Dalam buku Prominent Women in The Glimpse of History (Wanita-wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah) peristiwa itu ditulis T Ibrahim Alfian dengan juga merujuk pada keterangan Zentgraaff dan sumber-sumber Belanda lainnya.

Suatu ketika keberadaan Pocut Di Biheue diketahui Belanda. Ia berhadapan seorang diri dengan patroli 18 marsose bersenjata lengkap. Pocut di Biheue biukannya mundur, ia mencabut rencong dari pinggangnya, menyerang patroli itu seorang diri. �Meunyoe ka lageei nyoe, bah ulon mate,� teriaknya.

Pocut Di Biheue memilih menyerang patroli itu dari pada ditangkap. Melihat itu, tentara marsose terkejut. Mereka tak menyangka, seorang perempuan paruh baya berani menyerang patroli 18 tentara Belanda lengkap dengan senjata. Ia menikam ke kiri dan ke kanan sehingga mengenai tubuh beberapa marsose. Sementara tubuhnya sendiri juga ditebas dengan sabetan pedang marsose.

Pocut Di Biheue mengalami dua luka sabetan pedang di kepalanya dan dua sabetan di bahu. Salah satu urat keningnya juga putus. Ia terbaring di tanah bersimbah darah dan lumpur. Melihat Pocur Di Biheue yang sudah tak berdaya, seorang sersan bertanya pada Veltman komandannya. Ia minta ijin untuk mengakhiri penderitaan Pocut Di Biheue, ia ingin menembaknya hingga meninggal. �Bolehkan saya melepaskan tembakan pelepas nyawa?� tanya sersan itu.

Veltman kemudian membentak sersan tersebut. �Apa kau sudah gila.� Veltman  membungkuk dan menjulurkan tangannya untuk membantu Pocut Di Biheue, tapi mukanya diludahi, �Bek kamat kei kaphe,� kata Pocut Di Biheue sambil setelah meludah wajah Veltman.

Perwira Belanda yang bisa berbahasa Aceh itu kemudian meniggalkan Pocut Di Biheue seorang diri. Veltman ingin agar Pocut Di Biheue yang sekarat itu meninggal bisa menghembus nafasnya di hadapan bangsanya sendiri.  Namun dugaan Veltman meleset. Beberapa hari setelah kejadian itu, Veltman bersama pasukannya kembali patroli ke kawasan Keude Biheue, antara Sigli dan Padang Tiji. Ia bukan saja mendengar bahwa Pocut Di Biheue masih hidup, tapi juga berencana untuk kembali menyerang patroli Belanda.

Veltman kagum dengan keberanian Pocut Di Biheue, karena itu ia membawa seorang dokter bersamanya ketika menjenguk Pocut Di Biheue dalam masa penyembuhan di kediamannya.

Ketika Veltman sampai, Pocut Di Biheue masih sangat lemah akibat banyak kehilangan darah. Tubuhnya menggigil, ia mengerang kesakitan. Meski begitu, ia tetap menolak bantuan dokter yang dibawa Veltman untuk merawatnya. �Jangan kau sentuh aku, lebih baik aku mati dari pada tubuhku dipegang kaphe,� katanya.

Veltman yang fasih berbahasa Aceh terus membujuk Pocut Di Biheue agar mau diobati. Akhirnya ia menerima juga bantuan dokter itu, tapi tentara pribumi dari pasukan marsose pimpinanVeltman yang mengobatinya. Ia tidak mau tubuhnya dipegang oleh Belanda.

Berita tentang Pocut Di Biheue akhirnya sampai kepada Scheuer, komandan militer Belanda. Ia menyatakan keinginannya untuk bertemu dengan perempan yang dinilainya sangat luar biasa itu.

Ketika Scheuer sampai ke kediaman Pocut Di Biheue, wanita gagah perkasa itu belum sembuh betul. Di hadapan Pocut Di Biheue, Scheuer, komandan militer Belanda itu mengambil sikap sebagai seorang prajurit. Ia mengangkat tabik tanda hormat dengan meletakkan ujung jari-jarinya di ujung topi petnya. �Katakan padanya, bahwa saya sangat kagum padanya,� kata Scheuer pada Veltmant.
 
Makam Pocut Di Biheu di Blora, Jawa Tengah
Veltman pun menterjemahkan apa yang dikatakan Scheuer terhadap Pocut Di Biheue itu. Pocut Di Biheue yang sudah kelihatan kurus pun tersenyum. �Kaphe ini boleh juga,� katanya. Setelah sembuh, Pocut Di Biheue kemudian diasingkan ke Blora, Jawa Tengah. Belanda takut Pocut Di Biheue kembali memimpin masyarakatnya untuk melawan Belanda.

Kemudian ada lagi kisah keuletan Pocut Baren, yang kakinya harus diamputasi. Suatu ketika pasukan Belanda yang dipimpin Letnan Hoogres menyerang benteng Gunong Macan. Mereka menggempur benteng pertahanan Pocut Baren dengan dahsyat. Pocut Baren bersama pasukannya melakukan perlawan yang sengit. Dalam pertempuran itu, kaki Pocut Baren tertembak dengan luka yang cukup parah. Karena luka itulah, ia ditawan oleh Belanda dan dibawa ke Meulaboh sebagai tawanan lalu dibawa ke Kutaraja untuk pengobatan.

Luka kakinya bertambah parah, hingga tak dapat diobati lagi. Tim dokter yang merawatnya terpaksa melakukan amputasi; kaki Pocut Baren dipotong. Selama di Kutaraja Pocut Baren diperlakukan sebagaimana layaknya tawanan perang dan seorang Uleebalang. Masa-masa di Kutaraja merupakan masa penantian yang sangat panjang, masa penantian keputusan hukuman yang akan dijatuhkan Belanda terhadapnya.

Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh, Van Daalen memutuskan hukuman buang ke Pulau Jawa terhadap wanita perkasa ini. Mendengar putusan itu,  seorang perwira penghubung Belanda, T J Veltman, menyampaikan saran kepada Van Daalen agar Pocut Baren tidak dibuang ke Pulau Jawa, melainkan dikembalikan ke daerahnya untuk melanjutkan kembali kepemimpinannya sebagai Uleebalang. Saran Veltman itu diterima oleh Van Daalen.

Doup seorang penulis Belanda dalam buku Gadenk Book va Het Korps Marechaussee mengungkapkan, Pocut Baren merupakan wanita yang diburu secara khusus oleh Belanda. Para pemimpin patroli pemburu Pocut Baren adalah tokoh-tokoh Belanda terkemuka dan terkenal amat berpengalaman dalam peperangan. �Hal ini menunjukkan bahwa wanita itu memang dianggap sebagai lawan tangguh,� tulis Doup.

Doup mencatat nama-nama perwira Belanda yang pernah pemimpin pasukan pemburu Pocut Baren, mereka antara lain adalah Kapten TJ Veltman, Kapten A Geersema Beckerrigh, Kapten F Daarlang, Letnan JHC Vastenon, Letnan OO Brewer, Letnan W Hoogers, Letnan AH Beanewitz, Letnan HJ Kniper, Letnan CA Reumpol, Letnan Wvd Vlerk, Letnan WL Kramers, Letnan H Scheurleer, Letnan Romswinkel, Sersan Duyts, Sersan De Jong, Sersan Gackenstaetter, Sersan Teutelink, Sersan van Daalen, dan Sersan Bron.
 
Pocut Baren

Veltman yang fasih berbahasa Aceh, secara berkala terus melakukan komunikasi dengan Pocut Baren, sehingga perwira Belanda itu dapat membuat laporan mengenai perubahan yang terjadi pada Pocut Baren. Ia wanita yang suka berterus terang, suatu sikap yang amat dihargai oelh Veltman. Karena itulah Pocut Baren dikenal sebagai pejuang yang dapat menghormati musuhnya karena kebaikannya.

Adalagi kisah istri Teungku Mayed Di Tiro, putra Tgk Chik Di Tiro. Dalam pertempuaran pada tahun 1910, meski sudah dikepung pasukan Belanda, Tgk Mayed Di Tiro bisa meloloskan diri atas bantuan istrinya. Sementara istrinya tertangkap dengan luka parah di tubuhnya, sewaktu komandan pasukan Belanda hendak memberikan pertolongan, ia menolaknya. �Bek ta mat kei kaphe budok (jangan sentuh aku kafir celaka),� hardiknya dengan suara lantang. Ia lebih memilih syahid dari pada mendapat pertolongan dari kafir.

Sikap ceubeh dan tungang itu hingga kini masih menjalar dalam jiwa-jiwa perempuan Aceh. Menutup tulisan ini saya kutip sepenggal puisi Vichitra, cucu Tuanku Hasyim Banta Muda, panglima besar perang Aceh yang mempertahankan mesjid raya saat agresi pertama Belanda. �Bangsa Aceh terkenal tungang, sesama bangsa sendiri sering bertikai, konon lagi dengan musuhnya.� [Iskandar Norman]




�Revenge is a kind of wild justice� Balas demdam adalah peradilan liar, kata Bacon. Wanita Aceh melakukannya tidak hanya untuk penjajah, tapi juga terhadap kaumnya.

Pada zaman perjuangan melawan penjajahan Belanda di Aceh. banyak wanita Aceh tidak mengakui suaminya, hanya karena ayah dari anaknya itu telah tunduk kepada Belanda. Memilih menjadi janda dari pada disebut istri cuak. Namun tak sedikit pula wanita Aceh yang tersiksa, hanya karena suaminya informan Belanda.

Salah satu kejadian seperti itu, terjadi di Lhong, Aceh Besar pada tahun 1933. menurut Zentgraaff, seorang penulis Belanda dalam bukunya �Atjeh� pada saat itu di sebuah desa terdapat 13 pria pejuang Aceh yang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Namun salah satu diantaranya menyerahkan diri kepada Belanda.

Mengetahui hal tersebut, istrinya marah besar. Ia tidak lagi menerima ayah dari anak-anaknya itu. Para penduduk pun mengucilkannya. Akibatnya, pria itu terpaksa tidur di sebuah gubuk di ladangnya. Tak lama kemudian, seorang kolonel Belanda bersama seorang pegawai pemerintah, datang ke desa itu untuk menginterogasi wanita yang telah mengusir suaminya itu.


Ketika ditanya Kolonel tadi, ia menjawab. �Suami saya? Saya tidak punya suami.� Jawaban itu diberikannya sambil meludah ke tanah di hadapan sang kolonel. Namum  ketika nama suaminya disebut. Ia langsung memotong dan berkata dengan suara lantang. �Dia bukan laki-laki.� Kolonel tadi pun geleng-geleng kepala. Bagi wanita itu, suaminya tak ubahnya seorang pengecut, karena menyerah, bukan mati syahid sebagaimana pejuang lainnya.

�Siapapun boleh berkompromi, tetapi pantang bagi wanita Aceh; dia memikul sahamnya dalam bencana  perang sebagai pahlawan (srikandi), dan seringkali: sebagai martelares. Kadang-kadang ia menderia lebih hebat lagi dari orang senegerinya dibandingkan dengan siksa yang dilancarkan oleh kompeuni, lebih-lebih kalau ia berdiam di zona di mana silih berganti muncul pasukan kita dan kemudian pihak pemberontak,� tulis Zentgraaff.

Kejadian yang sama juga terjadi di Desa Pulo Seunong, Tangse, Pidie. Seorang pria yang bekerja sebagai informan Belanda ditangkap pejuang Aceh. Hal itu terbongkar ketika melihat informan tersebut memiliki banyak uang, penyelidikan pun dilakukan, akhirnya diketahui uang itu didapat dari Belanda atas jasanya memberi informasi keberadaan pejuang Aceh.    Informan itu pun ditangkap dan disembelih. Dalam kurun waktu satu tahun saja, menurut Zentgraaff, tak kurang dari 20 cuak, yang dipotong lehernya. Namun keluarga yang ditinggalkan tidak pernah meratapinya. Karena dianggap telah berkhianat.

Kebengisan Keuchik Maha
Yang lebih miris adalah apa yang dialami, istri seorang cuak  yang bernama Banta di Desa Pulo Kawa. Pada suatu malam di bulan Juli 1910, pimpinan gerombolan Aceh, Keuchik Maha, bersama pengikutnya mendatangi kampung tersebut untuk mencari Banta yang diketahui sebagai informan Belanda.

Namun ketika sampai di rumah, ternyata pria yang dicari itu tidak ada ditempat. Menurut istrinya, Banta ada di rumah istri mudanya. Namun Keuchik Maha tetap memeriksa seisi rumah, kemudian ia duduk di sebuah bangku, meminta kepada istri pertama Banta tersebut untuk membersihkan kakinya yang berlumpur dengan air dalam sebuah pasu. Setelah bersih, keuchik Maha meminta agar mengeringkan dengan rambutnya.

Wanita itu pun kemudian mengurai rambutnya, mengeringkan kaki Keuchik Maha. Wanita itu pasrah, karena itu menyangkut hidup matinya. Setelah kakinya bersih dan kering, Keuchik Maha menghunus pedangnya dan menghabisi nyawa wanita itu. Setelah itu, gerombolan Keuchik Maha pun berangkat ke rumah istri muda Banta.

Ketika sampai ke rumah itu di malam buta, Kechik Maha dan gerombolannya menyeru sebagai pasukan kompeni. Ia memanggil Banta dan memintanya turun dari rumah dengan bahasa Melayu, seolah-olah yang datang adalah pasukan Kompeni Belanda.

Bantan pun kemudian turun dari rumahnya. Ketika menuruni tangga, kakinya pun dipukul oleh gerombolan Keuchik Maha, ia pun roboh ke tanah. Tangan, kaki dan kepalanya dipotong-potong. �Pun juga kepala kampung dari kampung Pulo Suenong pada malam yang sama telah disembelih seperti itu pula. Mayat isterinya pun dibuat demikian juga, sehingga kumpulan semuanya itu merupakan tontonan yang sangat memalukan, sehingga para marsose bersumpah menuntut balas terhadap Keuchik Maha,� tulis Zentgraaff.

Masih menurut Zentgraaff, di dekat cincangan mayat istri dan mata-mata kompeni itu, para pasukan marsoese bersumpah akan mengejar Keuchik Maha dan mencincang tubuhnya seperti yang dilakukannya terhadap keluarga cuak  tersebut.

Perburuan pun dimulai, namun Keuchik Maha, selalu bisa lolos. Sampai pada 24 Maret 1911, Keuchik Maha dan kelompoknya, kembali turun ke Desa Pulo Sunong, untuk menjumpai istrinya. Sekitar pukul lima sore, Keuchik Maha dan kelompoknya nampak dipinggiran kampung tersebut. Sementara pasukan moersose dibawah pimpinan Van Dongelen, seorang sersan asal Ambon, sudah menunggu dengan jebakannya. Keuchik Maha dan gerombolannya pun tewas dalam penyergapan itu.

Kejadian lainnya yang tak kalah miris terjadi di Seunangan, daerah pesisir Aceh Barat, dalam tahun 1906 dan 1907. Sebuah kelompok pejuang Aceh pimpinan Ibrahim, yang lebih dikenal dengan sebutan Pang Brahim. Ia sendiri merupakan bawahan dari kelompok pejuang yang lebih besar pimpinan Teungku Puteh. �Teungku Puteh lah biang keladi (aktor intelektual) yang pada tahun 1917 melakukan penyerangan terhadap tentara kita, dan menewaskan Gosensoe,� tulis Zentgraaff dalam bukunya tentang peristiwa tersebut.

Namun dalam suatu penyerangan Belanda dibawah komando Boreel, Pang Brahim tertangkap hidup-hidup dan ditawan Belanda. Tertangkapnya Pang Brahim tak lepas dari peran seorang cuak, yang merasa sakit hati terhadap perlakuan kasar pasukan Pang Brahim terhadap keluarganya yang juga dicap sebagai cuak. Setelah diinterogasi, ia kemudian dipenjara di Meulaboh. Meski mengalami berbagai siksaan, dalam penjara ia tetap menyatakan tekatnya secara lantang untuk membalas dendam terhadap Belanda.

Gundik Bermuka Dua
Menurut Zentgraaff, wanita Aceh, sejak pertama orang mengenalnya, merupakan suatu pencerahan (openbaring)  dari sifat-sifat pribadi maupun pengaruhnya. Sesudah Snouck Hurgronje membeberkan dalam bukunya tentang kehidupan rumah tangga Aceh, secara khas dan tajam, mulailah orang-orang mengadakan penelitian  secara sistimatis mengenai wanita Aceh.

Mengenai wanita Aceh, ada hal yang menarik para peneliti yang disebutkan Zentgraaff dan Snouck, yakni soal perkawinan dan silsilah keturunan para Ulee Balang. Diantara para keluarga dan Ulee Balang, serta kalangan ulama, lahir pulalah tokoh-tokoh perempuan, yang bahu membahu dalam segala hal, termasuk soal perang.

Seorang penelitilainnya, Van Daalen, kemudian lebih tertarik pada perkawinan wanita Aceh yang terjalin atas kepentingan politik, dengan tujuan untuk memperbesar pengaruh dan kekayaan. �Dari anak perempuan Van Daalen, saya telah menerima suatu daftar silsilah keluarga Ulee Balang-Ulee Balang yang terkemuka, yang telah dikerjakan dan disimpannya sendiri, yang semuanya telah dibuat ciri dari militer kaliber besar,� lanjut Zentgraaff.

Dalam catatan Van Daalen, menurut Zentgraaff, wanita Aceh juga sering menjadi mata-mata handal untuk para pejuang Aceh. Belanda sendiri sering terjebak. Apalagi ketika beberapa petinggi Belanda dan opsirnya, memakai wanita Aceh untuk mempelajari bahasa dan adat istiadat Aceh, agar mudah menaklukkan dan melakukan diplomasi dengan para pejuang Aceh.

Ada pula beberapa wanita Aceh yang rela menjadi concubine (gundik) opsir-opsir Belanda. �Dan tidaklah perlu dijelaskan lagi, bahwa mereka tidaklah termasuk orang-orang yang terpuji dari Bangsa Aceh. Namun demikian, dalam hubungan bermuka dua seperti itu, wanita Aceh tidaklah luntur sifatnya. Mereka tetap menjalin hubungan-hubungan rahasia yang berakhir dengan pertumpahan darah,� tulis Zentgraaff.

Bukan itu saja, menurut Zentgraaff, sebuah pengalaman aneh dan unik terjadi pada salah seorang Kapten Belanda. Namun dalam bukunya, Zentgraaff menolak menulis nama kapten itu, dengan berbagai pertimbangan.

Kapten tersebut telah mengambil seorang wanita Aceh sebagai gundiknya. Ia ingin belajar banyak tentang bahasa dan adat istiadat Aceh melalui wanita tersebut. Wanita itu pun tidak pernah menyembunyikan perasaan kurang hormat terhadap orang-orang Belanda yang dianggapnya kafir.

Suatu hari Kapten tersebut pulang ke rumah, setelah melakukan patroli. Di belakang rumahnya ia melihat beberpa pejuang Aceh sedang duduk bercengkrama dengan gundiknya. Ia menganal betul orang-orang dibelakang rumahnya itu sebagai pemberontak yang sudah berbulan-bulan dicarinya, tapi selalu lolos dari penyergapan.

Mereka bercengkrama dengan santai sambil minum limodane, menghisap cerutu cincin (cerutu nomor satu kala itu) milik kapten tersebut. Tanpa kikuk, para pejuang Aceh itu pun memberi hormat kepada Kapten tersebut.

Kapten itu tidak bisa berbuat banyak, karena kalau diumumkan dalam rumahnya ada pejuang Aceh, namanya akan tercemar, dan bisa-bisa pangkatnya akan diturunkan. Tak mau reputasinya hancur, ia pun membiarkan para pejuang Aceh itu menikmati makanan di rumahnya. �Karena itulah ia terpaksa bersikap bonne mine a mauvais jeu. Tak lama kemudian, berangkatlah para pejuang itu dari rumah kapten, sebelum berangkat tak lupa mereka membungkuk memberi hormat, seolah mengejek sang kapten. Kapten itu pun kemudian bersama pasukannya harus mengejar para pejuang itu berbulan-bulan dalam hutan belantara,� ulas Zentgraaff.[Iskandar Norman]

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget