Masjid Saksi Bisu Sejarah Perang Belanda di Aceh Barat Terabaikan
Masjid Nurul Hidayah, saksi bisu sejarah perang Belanda dan Tsunami yang terabaikan. Foto: AJNN.Net/Darmansyah Muda |
AMP - Sebuah bangunan semi permanen berukuran 12 meter persegi berbentuk masjid, dengan kondisi usang dan tak terawat dengan kondisi cat putih mulai mengelupas. Masjid itu berdiri dilahan seluas hampir satu hektare.
Banguna tersebut berdiri tepat di belakang masjid megah Desa Gunong Kleng, Kecamatan Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, tepatnya jalan lintas Meulaboh- Medan. Jika dari arah Meulaboh, bangunan tua itu berada tepat disisi kanan tau di depan Simpang Alue Peunyareng menuju kampus Universitas Teuku Umar (UTU).
Bangunan tua dengan kondisi tak terawat dengan cat warna putih mulai mengeluas itu itu berdiri menjorok ke arah barat atau tepatnya menghadap kiblat. Di atas atap masjid terdapat lima kubah, dan satu kubah menara.
Pada empat kubah bangunan didesain berbentuk limas segi empat yang mengandung makna secara syariah yakni Islam, Iman, Tauhit dan Ma’rifat. Tepat pada satu kubah limas yang segaris dengan pintu masuk bangunan tua itu di atasnya ada satu kubah bawang. Sedangkan pada kubah menara berbentuk kubah cawan.
Masyarakat sekitar menyebut istilah untuk lima kubah itu tampong limong yang bermakna hukum islam yakni Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu. Saat memasuki bangun tersebut hanya terdapat satu tiang bulat yang sangat kokoh. Tiang itu terbuat dari pohon merbau dan menjadi penyangga utama masjid selama 90 tahun lebih
Tepat diarah jalan lintas terdapat dua plank yang bertulis situs Cagar Budaya. Satu plank menerangkan tentang undang-undang perlindungan cagar budaya, satu plank lainnya tempat berada situs cagar budaya tersebut.
Norman (72), yang merupakan imum mukim desa setempat menyebutkan jika bangun tersebut merupakan masjid pertama di jalan lintas Medan Banda Aceh, yang dibangun sekitar tahun 1923 Masehi saat Belanda menjajah Aceh. Masjid Nurul Hidayah nama masjid itu
“Masjid ini digagas oleh seorang teungku gampong Gunong Kleng bernama Teungku Arsyad. Masjid ini sengaja didirikan disini, agar warga yang berpulang pergi dari Aceh Selatan hingga Singkil bisa singgah dan salat disini,” sebut Norman.
Menurur Norman, saat itu sering ada pejuang Aceh yang bergeriliya melewati daerah tersebut singgah dan menunaikan salat di masjid tua itu.
Masjid yang masih berdiri kokoh meski pernah dihantam tsunami bahkan pernah dikira oleh serdadu Belanda merupakan istana kecil, dan jarang saat serdadu Belanda melintas singgah dan bermalam di masjid tersebut. Tak hanya serdadu Belanda, serdadu Jepang juga pernah memanfaatkan masjid tersebut sebagai tempat persinggahan.
Menurut penuturan Norman, masjid tua yang masih kokoh meski tak terawat itu untuk dinding berukuran 60 centi meter dibeton dengan mencapur tanah dan putih telur.
Saat tsunami, 26 Desember 2004 lalu, tidak ada bagian masjid itu yang rusak, selain hanya tongkat khutbah dan bedug yang dibawa tsunami, sementara bangunan kokoh. Meski bukan saksi pertama berdirinya masjid itu, Norman mengaku pernah menjadi muazin di masjid itu selama 20 tahun.
“Menjadi muazin di Masjid itu dulu sangat unik, ketika mengumandangkan azan harus naik ke menara masjid, karena saat itu tidak ada micropon dan toa,” ungkapnya.
Di atas menara itu, ada corong terbuat dari seng yang digunakan untuk mengumandangkan azan. Meski hanya menggunakan corong namun warga berbondong-bondong ke masjid. Sejak berdirinya masjid megah dipekarangan masjid tersebut, kata dia, kini masjid tua ini tidak lagi digunakan warga secara rutin, paling hanya digunakan kaum perempuan sebagai tempat wirit yasin.
Dari pantauan AJNN, tidak ada petunjuk sejarah di masjid yang menjadi saksi bisu masa penjajahan Belanda dan Jepang, selain plank bertulis cagar budaya. Bahkan masjid tua ini tidak pernah dikunjungi wisatawan. [AJNN]
Banguna tersebut berdiri tepat di belakang masjid megah Desa Gunong Kleng, Kecamatan Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, tepatnya jalan lintas Meulaboh- Medan. Jika dari arah Meulaboh, bangunan tua itu berada tepat disisi kanan tau di depan Simpang Alue Peunyareng menuju kampus Universitas Teuku Umar (UTU).
Bangunan tua dengan kondisi tak terawat dengan cat warna putih mulai mengeluas itu itu berdiri menjorok ke arah barat atau tepatnya menghadap kiblat. Di atas atap masjid terdapat lima kubah, dan satu kubah menara.
Pada empat kubah bangunan didesain berbentuk limas segi empat yang mengandung makna secara syariah yakni Islam, Iman, Tauhit dan Ma’rifat. Tepat pada satu kubah limas yang segaris dengan pintu masuk bangunan tua itu di atasnya ada satu kubah bawang. Sedangkan pada kubah menara berbentuk kubah cawan.
Masyarakat sekitar menyebut istilah untuk lima kubah itu tampong limong yang bermakna hukum islam yakni Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu. Saat memasuki bangun tersebut hanya terdapat satu tiang bulat yang sangat kokoh. Tiang itu terbuat dari pohon merbau dan menjadi penyangga utama masjid selama 90 tahun lebih
Tepat diarah jalan lintas terdapat dua plank yang bertulis situs Cagar Budaya. Satu plank menerangkan tentang undang-undang perlindungan cagar budaya, satu plank lainnya tempat berada situs cagar budaya tersebut.
Norman (72), yang merupakan imum mukim desa setempat menyebutkan jika bangun tersebut merupakan masjid pertama di jalan lintas Medan Banda Aceh, yang dibangun sekitar tahun 1923 Masehi saat Belanda menjajah Aceh. Masjid Nurul Hidayah nama masjid itu
“Masjid ini digagas oleh seorang teungku gampong Gunong Kleng bernama Teungku Arsyad. Masjid ini sengaja didirikan disini, agar warga yang berpulang pergi dari Aceh Selatan hingga Singkil bisa singgah dan salat disini,” sebut Norman.
Menurur Norman, saat itu sering ada pejuang Aceh yang bergeriliya melewati daerah tersebut singgah dan menunaikan salat di masjid tua itu.
Masjid yang masih berdiri kokoh meski pernah dihantam tsunami bahkan pernah dikira oleh serdadu Belanda merupakan istana kecil, dan jarang saat serdadu Belanda melintas singgah dan bermalam di masjid tersebut. Tak hanya serdadu Belanda, serdadu Jepang juga pernah memanfaatkan masjid tersebut sebagai tempat persinggahan.
Menurut penuturan Norman, masjid tua yang masih kokoh meski tak terawat itu untuk dinding berukuran 60 centi meter dibeton dengan mencapur tanah dan putih telur.
Saat tsunami, 26 Desember 2004 lalu, tidak ada bagian masjid itu yang rusak, selain hanya tongkat khutbah dan bedug yang dibawa tsunami, sementara bangunan kokoh. Meski bukan saksi pertama berdirinya masjid itu, Norman mengaku pernah menjadi muazin di masjid itu selama 20 tahun.
“Menjadi muazin di Masjid itu dulu sangat unik, ketika mengumandangkan azan harus naik ke menara masjid, karena saat itu tidak ada micropon dan toa,” ungkapnya.
Di atas menara itu, ada corong terbuat dari seng yang digunakan untuk mengumandangkan azan. Meski hanya menggunakan corong namun warga berbondong-bondong ke masjid. Sejak berdirinya masjid megah dipekarangan masjid tersebut, kata dia, kini masjid tua ini tidak lagi digunakan warga secara rutin, paling hanya digunakan kaum perempuan sebagai tempat wirit yasin.
Dari pantauan AJNN, tidak ada petunjuk sejarah di masjid yang menjadi saksi bisu masa penjajahan Belanda dan Jepang, selain plank bertulis cagar budaya. Bahkan masjid tua ini tidak pernah dikunjungi wisatawan. [AJNN]