Halloween Costume ideas 2015
January 2020

AMNews - Ardanita (20) seorang Ibu Rumah Tangga (IRT) warga Desa Lewak, Kecamatan Alafan, Simeulue, minggat dari rumah saat suami sedang bekerja.

IRT tersebut meninggalkan suaminya dan seorang anak yang masih berumur tiga tahun dalam keadaan sakit.

Angge, suami Ardanita mengetahui istrinya itu minggat dari mertuanya.

Pada 10 Desember 2019 lalu, istrinya sempat berpamitan kepada ibunya hendak ke Sinabang.

Dia mengatakan akan mengambil uang di bank yang dikirim suaminya.

Namun hingga malam, dia tak kunjung kembali.

“Istri saya hilang pada 10 Desember 2019, saat itu saya tidak berada di rumah, saya sedang kerja di laut,” kata Angge kepada BERITAKINI.CO, Senin (6/1/2020).

Angge mengaku tidak tau apa yang menyebabkan istrinya tega meninggalkan dia dan anaknya.

Padahal dikatakannya, keluarga mereka tidak pernah cekcok.

Meski begitu, Angge sangat berharap, istrinya bisa kembali kepadanya.

“Anak sakit, kita sudah lelah mencari, saya berharap dia kembali pulang,” kata Angge, lirih.

Selama ini, Angge sudah berupaya mencari keberadaan istrinya.

Dia juga sudah membagikan foto istrinya ke warga bermaksud jika ada yang melihat supaya memberitahunya.

Ayah satu anak itu juga sudah menulis informasi kehilangan istrinya di media sosial, dan melaporkan ke pihak kepolisian setempat. Namun semua itu tidak membuahkan hasil.

“Kalau dengan cara ini (memuat di media massa) tidak berhasil, berarti memang sudah takdir saya. Saya pasrah.[
BERITAKINI.CO]

AMNews - Beberapa pihak menilai, pemerintah Indonesia hingga saat ini belum bersikap tegas terhadap China yang mengklaim Natuna berdasarkan nine dash line dan traditional fishing right. Hal ini dikait-kaitkan dengan ketergantungan Indonesia pada China, termasuk salah satunya utang luar negeri.

Insiden masuknya kapal-kapal nelayan asal China yang dikawal kapal coast guard yang masuk ke perairan Natuna secara illegal, membuat hubungan Indonesia – China beberapa hari terakhir ini panas dingin.

Terkait Masuknya kapal-kapal Negeri Tirai Bambu di Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE) Indonesia di perairan Natuna membuat berang pihak Indonesia. Melalui Kementerian Luar Negeri, pemerintah Indonesia telah mengirim nota protes resmi dan memanggil Dubes China untuk Indonesia di Jakarta.

Dikutip dari kompas.com, data statistik utang luar negeri Indonesia (SULNI) yang dirilis Bank Indonesia (BI) periode terbaru, per September 2019 menurut negara pemberi kredit, utang Indonesia yang berasal dari China tercatat sebesar 17,75 miliar dollar AS atau setara Rp 274 triliun (kurs Rp 13.940).

Utang Indonesia terhadap China posisinya meningkat tipis dibandingkan per Agustus 2019 yang mencatatkan utang sebesar Rp 17,09 miliar dollar.

Memang, China dalam beberapa tahun belakangan telah menjadi salah satu negara penyumbang terbesar untuk Indonesia atau berada di posisi keempat.

Sedangkan negara pemberi kredit terbesar Indonesia masih ditempati Singapura dengan jumlah pinjaman sebesar 66,49 miliiar dollar AS, disusul Jepang 29,42 miliar dollar AS, Amerika Serikat 22,46 juta dollar AS. Total keseluruhan utang luar negeri Indonesia per September 2019 sebesar 202,31 miliar dollar AS.

Utang Indonesia terbagi dalam utang pemerintah sebesar 194,35 miliar dollar AS dan utang yang berasal dari Bank Indonesia tercatat 2,78 miliar dollar AS. Sementara utang luar negeri yang berasal dari sektor swasta yang dicatat Bank Indonesia yakni 198,49 miliar dollar AS.

Pertumbuhan utang Indonesia dipengaruhi oleh transaksi pembayaran neto utang luar negeri. Dari data SULNI utang luar negeri adalah posisi utang yang menimbulkan kewajiban membayar kembali pokok atau bunga utang kepada pihak luar negeri atau bukan penduduk baik dalam valuta asing maupun rupiah dan tidak termasuk kontinjen.

Yang termasuk dalam pengertian utang luar negeri adalah surat berharga yang diterbitkan di dalam negeri yang menimbulkan kewajiban membayar kembali kepada pihak luar negeri atau bukan penduduk.

Mengenai konflik Natuna, sebelumnya pemerintah Indonesia melalui Kemenlu memanggil Duta Besar China di Jakarta dan menyampaikan protes kerasnya. “Kemlu telah memanggil Dubes RRT di Jakarta dan menyampaikan protes keras terhadap kejadian tersebut. Nota diplomatik protes juga telah disampaikan,” demikian Kemenlu memberikan pernyataan.

Dubes China telah mencatat protes yang dilayangkan untuk segera diteruskan ke Beijing. “Dalam pertemuan kemarin, Dubes RRT akan menyampaikannya ke Beijing,” kata Staf Ahli Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah, seperti dilansir Kompas.com.

Hal ini dinilai pun penting agar hubungan bilateral kedua negara tetap berjalan dengan baik dan saling memberikan keuntungan. Wilayah ZEE ditetapkan oleh United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).

Baik Indonesia maupun China merupakan bagian dari itu sehingga harus saling menghormati wilayah kedaulatan satu sama lain. “Menegaskan kembali bahwa Indonesia tidak memiliki overlapping jurisdiction dengan RRT (China). Indonesia tidak akan pernah mengakui 9 dash-line RRT, karena penarikan garis tersebut bertentangan dengan UNCLOS sebagaimana diputuskan melalui Ruling Tribunal UNCLOS tahun 2016,” kata Kemenlu.

Kemenlu pun akan terus melakukan koordinasi dengan berbagai pihak terkait, seperti TNI, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Badan Keamanan Laut (Bakamla). Upaya ini dilakukan untuk menegakkan hukum di ZEE Indonesia. Dugaan masuknya kapal China ke wilayah Perairan Natuna juga ramai menjadi perbincangan di media sosial.

Sumber: Kompas.com

AMNews - The assassination of Iranian general Qassem Soleimani has ushered in another turbulent decade for the Middle East. United States President Donald Trump's decision to greenlight the assassination of the head of the Quds Force, the paramilitary wing of Iran's Islamic Revolutionary Guard Corps, is for all practical purposes a "declaration of war" with far-reaching implications for the region, especially Iraq.

US attempts to portray Soleimani as a master terrorist leader, like say, the Islamic State of Iraq and the Levants's (ISIL, or ISIS) Abu Bakr al-Baghdadi is wrong and misses the big picture. Soleimani may have been controversial, even a bloody "shadow commander", but he served at the pleasure of Iran's supreme leader, Ali Hosseini Khamenei, to protect and expand the regime's interests in the Middle East. The killing of Soleimani is an attack on the Iranian state.

So why did the US resort to his assassination, why now and what is its endgame?
 
The Trump calculus

Several people in Trump's close circle like former national security advisors, Michael Flynn and John Bolton, and "unofficial advisors" like Israel's Benjamin Netanyahu and Saudi Crown Prince Mohammed Bin Salman, have all incessantly urged him to act militarily against Iran and push for regime change.

But for three years, Trump chose to ignore their advice, insisting that the US does not seek war with the Islamic republic. Instead, he slapped Tehran with tough sanctions aimed at crippling its economy, containing its regional ambitions and forcing it back to the negotiations table to sign another deal - a "Trump deal". 

So, what changed?

Well, basically, the Trump administration realised its "maximum pressure" policy has failed. It may have hurt Iran but it did not isolate or deter a bellicose Iranian leadership.

Iran's proxy attack on the US embassy in Baghdad earlier this week was a rude reminder of the humiliating 1979 takeover of the US embassy in Tehran that demoralised the Carter administration and the 2012 attack on the US diplomatic compound in Benghazi that bruised the Obama administration.

The Trump administration, which feared a repeat of this scenario in Baghdad, claims its response was meant to safeguard American lives from future attacks, not start war with Iran. Or, according to the sceptics, it was meant to safeguard the Trump presidency by deflecting attention from the impeachment during an election year.

Either way, the assassination is a clear departure from the policy of sanctions, showing Trump's readiness to use US military might as much as its economic power.

Actions speak louder than words.
 
Iran's strategy

From the outset, the Islamic republic rejected Trump's abandonment of the nuclear deal and the imposition of sanctions as unacceptable bullying, and refused to sit by idly while US sanctions blocked the country's vital oil exports, crippled its economy and bankrupted its military.

Tehran expanded its proxy attacks on US assets and allies in the area, including recent attacks on tankers in the Gulf and Saudi oil installations, leading up to this week's attack on US positions in Iraq.

Tehran has also cultivated new strategic alliances with Russia and China, joining the two for war games in the Gulf of Oman in late December.

The assassination is not going to change any of these policies; in fact, it will merely accelerate them.

If history is any guide, Iran will absorb the attack at first and avoid an all-out war with far superior US military forces. Trump may have challenged Khamenei for a duel, but the supreme leader prefers fighting in the shadows.

So, respond, he will. His options are plentiful and his timetable is open-ended. This includes assassinations, covert operations, low-intensity warfare and oil and maritime disruptions in the Gulf region.

In other words, more of the same - much more.

This will especially be the case in Iraq, where Iran has long exploited US failure and retrenchment in order to shore up its allies and clients and increase its strategic leverage against the US.

And it may well do that again.

Vying for Iraq

Contrary to conventional wisdom and apocalyptical scenarios of World War III starting, the assassination of Soleimani may well prove to be Trump's ticket out of Iraq, just as the assassination of Abu Bakr Al-Baghdadi was his ticket out of the Syrian conflict. This fits in perfectly with his desire for strategic redeployment in the Middle East to extract US troops and civilians from the local hotspots and provide the Pentagon with greater freedom to act against its enemies. This means more drone attacks, special forces operations and guided missile strikes with minimum risk for US personnel.

It is nothing new for the US, which redeployed out of Lebanon following the 1983 bombing of the US Marine barracks, and pulled out of Somalia after the 1993 attack on US troops. Similarly, it is planning a withdrawal from Afghanistan.

Of course, Iraq is different. It is a far bigger deal for the US after it invested billions of dollars and lost thousands of lives trying to keep hold of the country over the past 16 years.

But as a businessman come statesman, Donald Trump is guided by a golden business rule that says: do not throw good money after bad, regardless of pride, oil or partners.

The question is: will Iran exploit this US tendency for retrenchment, or encourage its propensity for war?

Either way, Iraq and the rest of the divided Arab world will continue to suffer as a result, in accordance with the old Swahili proverb: when elephants fight and when they play, it is the grass that gets crushed. | aljazeera.com

Foto: Kerangka gajah di Aceh (dok. BKSDA)
AMNews - Tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh kembali menemukan tiga kerangka gajah Sumatera. Gajah-gajah ini diduga mati tersetrum.

"Kemarin tim kembali melakukan pencarian terhadap adanya informasi gajah mati. Tim menemukan kembali tulang belulang pada lokasi yang lain," kata Kepala BKSDA Aceh Agus Arianto, Jumat (3/1/2020).

Tim yang melakukan pencarian terdiri dari BKSDA Aceh, Polres Aceh Jaya, Balai Gakkum Wilayah Sumatera, Polsek Teunom dan CRU Aceh. Mereka menyisir enam titik di Desa Tuwi Priya, Kecamata Pasie Raya, Kabupaten Aceh Jaya pada Kamis (2/1).

"Pada enam titik lokasi yang didatangi ditemukan adanya tiga ekor gajah mati yang sudah berupa tulang belulang. Kematian gajah tersebut diduga terkena tegangan arus listrik," jelas Agus.

Dia mengatakan ada pagar listrik yang dipasang pada perkebunan sawit masyarakat di sekitar lokasi kerangka gajah ditemukan. Total, ada lima kerangka gajah yang ditemukan selama dua hari pencarian.

"Terdiri dari empat ekor tulang belulang utuh dan 1 ekor tulang belulang hanya dengan rahang bawah tanpa tengkorak kepala utuh," ujar Agus.

BKSDA Aceh pun berkoordinasi dengan Polres Aceh Jaya untuk mengusut kasus ini. Penemuan bangkai gajah tersebut berawal dari laporan masyarakat terkait adanya satwa dilindungi mati.

"Penemuan bangkai ini berawal dari laporan yang kita terima dari masyarakat Desa Tuwi Pria, Kecamatan Pasie Raya, Kabupaten Aceh Jaya bahwa adaya gajah mati sebanyak lima ekor," tuturnya. (Detik.com)
loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget