Halloween Costume ideas 2015
Latest Post



Belanda sudah tiga abad menguasai nusantara, kecuali Aceh yang berlindung di bawah traktat London. Sebuah perjanjian bilateral yang menghormati Aceh sebagai sebuah kerajaan.  

Kerajaan Aceh menyadari bahwa sewaktu waktu Belanda bisa saja memerangi Aceh dengan mengabaikan Inggris. Apalagi sejak 1870-an Belanda sudah melancarkan berbagai provokasi di daerah luar Aceh.

T. Ibrahim Alfian dalam tulisannya �Banda Aceh Sebagai Pusat Awal Perang di Jalan Allah�  menjelaskan, dalam rangka menghadapi kemungkinan agresi belanda, Kerajaan Aceh mengimpor 5000 peti mesiu dan 1.349 peti senapan dari Pulau Pinang sejak Agustus 1872 hingga Maret 1873.

Tentang perdagangan senjata itu T Ibrahim Alfian merujuk pada keterangan E.B Kiestra dalam Eschrijving van den Atjeh oorlog, 1883.  Dana untuk pembelian senjata secara besar-besaran itu berasal dari  dana-dana yang dihimpun dari masyarakat. Malah, anak cucu keluarga Sulthan Alauddin Jamalul Alam Badrulmunir al Jamalullail memberikan sumbangan 12 kilogram emas.

Jauh sebelumnya, pada 1824 disepakati sebuah perjanjian di Inggris yang dikenal dengan Traktat London. Isinya, Belanda dan Inggris tidak melakukan tindakan permusuhan terhadap kerajaan Aceh.
 
Pelabuhan Sabang, daerah pertama diduduki Belanda
Belanda kemudian mengingkari perjanjian itu dan mulai mengangu kerajaan Aceh. Mula-mula pada 1829 Belanda menyerang Barus yang berada di bawah kekuasaan Aceh. Serangan Belanda ini dapat dipatahkan malah benteng Belanda di Pulau Poncang di Teluk Tapanuli diserang oleh pasukan Aceh.

Kemudian pada 1834 dan 1835 Belanda melakukan provokasi lagi di sekitar pulau Poncang dengan menahan beberapa perahu Aceh. Padahal perahu-perahu itu memiliki pas atau surat keterangan berlayar  yang sah dari Kerajaan Aceh.  G.B Hoyer dalam De Krijgsgeschiedenir van Nederlandsch, indie van 1911-1894 jilif III mengungkapkan bahwa sebagian awak perahunya ditangkan dan sebagian lainnya dibunuh.

Setahun kemudian, pada 1836, awak kapal Dolphijn, milik maskapai Belanda, berontak dan membunuh nahkodanya. Merek melarikan diri ke Aceh dan menyerahkan kapal itu kepada Sulthan Aceh. Lalu kapal perang Belanda masuk perairan Aceh meminta agar kapal Dolphijn itu dikembalikan, tetapi sulthah Aceh keberatan mengembalikannya karena mereka tidak membawa surat kuasa dari Gubernur Hindia Belanda untuk mengambil kapal itu.

Namun, ketika surat kuasa yang diminta itu dibawakan, kapan Dolphijn tidak dapat digunakan lagi untuk berlayar karena sudah dibakar di Pidie. Untuk menghadapi kemungkinan invansi Belanda, Kerajaan Aceh membangun sebuah benteng di Barus, serta memperkuat kedudukan pasukan Aceh di Singkil.

Belanda juga tidak tinggal diam, Kolonel H.V M Michiels diperintahkan untuk menyerang pasukan Aceh pada 1840 di sana. Kolonel ini berhasil mengalahkan pasukan Aceh di Barus. Mulai saat itu kapal-kapal Eropa tidak lagi memdapat sambutan yang baik ketika merapat ke pelabuhan Aceh.

Belanda khawatir akan ada negara lain yang mencari pengaruh di Aceh, karena itu Belanda mencoba merintis hubungan dengan Sulthan Aceh. E.B Kielstra dalam Eschrijving van den Atjeh Oorlog, 1883 mengungkapkan, akhir tahun 1957 Mayor Jenderan Van Swieten berhasil menandatangani perjanjian persahabatan dan perdamaian dengan Sulthan Ibrahim Mansur Syah.

Isi pokok perjanjian itu antara lain: Membolehkan kawula kedua pihak, dengan mengindahkan undang-undang yang berlaku, untuk melawat, bertempat tinggal dan menjalankan perdagangan dan pelayaran di daerah kedua belah pihak. Kedua belah pihak juga melepaskan tuntutan masing-masing mengenai segala pertikaian yang timbul sebelum perjanjian ini.

Selain itu kedua pihak juga semufakat untuk mencegah dengan sekuat-kuatnya perompakan dan penangkapan manusia untuk dijual dan pembajakan di daerah masing-masing. Kemudian Sulthan Aceh mengakui Bahwa Gubernur Jenderal Hindia Belanda diwakili oleh Gubernur Belanda di Sumatera Barat dalam hal urusan dengan Sulthan Aceh. Segala salah paham yang mungkin timbul akan diselesaikan secara damai.

Meski demikian, Aceh menyadari bahwa Belanda sewaktu-waktu bisa saja ingkar, sebagaimana mereka mengingkari Traktat London. Dalam tahun 1872 Kerajaan Aceh
mengadakan perundingan rahasia dengan Konsul Jenderal Amerika dan Italia di Singapura. Dalam pertemuan itu, Konsul jenderal Amerika di Singapura, Mayor A.G Studer memberikan perhatian khusus terhadap pertikaan Aceh dengan Belanda.

Studer mengatakan ingin terlibat membantu Aceh. Untuk itu ia mengirim kawat kepada Panglima skadron angkatan laut Amerika yang sedang melakukan patroli di Laut Cina. Ia menginginkan agar kapal tersebut terus melaju ke Singapura untuk membantu Aceh.

Sambil menunggu angkatan laut Amerika tersebut, Studer merancang konsep perjanjian persahabatan antara Aceh dengan Amerika [tentang ini akan dibahas dalam tulisan lain]. Tapi usaha Studer itu gagal, karena Menteri Luar Negeri Amerika saat itu, Hamilton Fish, menolak untuk memberikan perhatian khusus pada persoalan Aceh dengan Belanda.

Bahkan dalam suratnya kepada Duta Besar Amerika di Denhaag Belanda, Hamilton menyebut Stuger sebagai konsul yang tolol. �Orang itu benar-benar tolol,� tulis Hamilton dalam suratnya. Diplomasi Aceh untuk bekerja sama dengan Amerika pun gagal. Padahal Studer dan utusan Aceh di Singapura, saat itu telah membuat konsep perjanjian  dalam bahasa Inggris dan Melayu.

Ternyata dalam pertemuan utusan Aceh dengan konsul Amerika dan Italia di Singapura waktu itu, juga hadir seorang mata-mata Belanda yang kemudian membocorkan rencana kerja sama Aceh dengan Amerika tersebut. Belanda pun memaikan peran baru, memaklumatkan perang dengan Aceh, karena tak ingin Aceh menjalin kerja sama dengan negara lainnya untuk menghadapi Belanda.

Sejarah Aceh pun terus bergerak dari satu perang ke perang lainya. Belanda mencatat sebagai perang terlama dan paling banyak menguras kas negara, plus darah dan nyawa. Andai konsep perjanjian Aceh dengan Amerika ditandatangani, mungkin simpul sejarah Aceh akan bergerak ke arah lain.[Iskandar Norman]

AMP - Anggota Polsek Wates, Jember, Bripka Edi Purwanto sempat membuat heboh masyarakat sekitar ketika aksinya melanggar rambu lalu lintas diberitakan media lokal dan menjadi pergunjingan di media sosial. Bahkan, fotonya yang memutar balik mobil dinas pada tanda larangan, dijadikan Display Picture (DP) Blackberry Messenger (BBM) oleh sebagian masyarakat sebagai bentuk protes.

Namun belakangan, Bripka Edi justru diberi penghargaan atas tindakannya itu. Sebab, berdasarkan hasil konfirmasi Polres Jember, Bripka Edi melanggar rambu lalu lintas karena mendapati kecelakaan tunggal.

Melihat kejadian tersebut, Bripka Edi segera menolong korban yang mengalami luka berat tersebut. Dalam perjalanannya ke rumah sakit, dengan mempertimbangkan keselamatan nyawa seseorang yang mengalami luka berat, Bripka Edi mau tidak mau harus memutar balik mobil dinas pada tanda larangan.

Berdasarkan siaran pers Divisi Humas Mabes Polri lewat fan page Facebook, Senin (29/12), Bripka Edi dinyatakan sedang melaksanakan tindakan diskresi kepolisian, yakni anggota tersebut membelokkan mobil dinas pada tanda larang dikarenakan dalam kondisi darurat membawa korban kecelakaan lalu lintas tunggal di Jalan Gajah Mada yang mengalami luka berat dan harus segera mendapatkan pertolongan medis untuk menyelamatkan nyawanya.

Atas dasar tindakan tersebut, Bripka Edi justru diberi penghargaan oleh Kapolres Jember AKBP Sabilul Alif. Pemberian penghargaan dilakukan di Mapolsek Kaliwates pada 26 Desember lalu dan dihadiri oleh Kapolsek Kaliwates Kompol Nurmala Rambe.

Untuk diketahui, Tindakan Diskresi Kepolisian telah diatur pasal 18 UU RI No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI yang menyatakan bahwa: 1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri; 2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Atas kejadian ini, Polri menyampaikan terima kasih kepada seluruh masyarakat yang ikut berperan aktif mengawasi kinerja anggota Polri di lapangan. "Kejadian ini membuktikan bahwa Polri sangat dicintai oleh masyarakat," demikian disampaikan Divisi Humas Mabes Polri.[MDK]

Prang ngon taki, khanduri ngon doa, pameo dalam masyarakat Aceh ini yang dikenal sebagai hadihmaja menjadi filosofi perang di Aceh, beberapa peristiwa besar pernah terjadi. Ya, perang itu dengan tipu muslihat, yang akhirnya kesuksesan akan selalu diakhiri dengan kenduri dan doa.

Adalah peristiwa penyerangan kapal Nicero dan Hoc Canton sebagai dua dari sekian banyak peristiwa suksesnya tipu muslihat perang yang dimainkan pejuang Aceh. Bermula ketika Nicero, sebuah kapal berbendera Inggris terdampar di Teunom.

Raja Teunom yang sedang gencarnya berperang dengan Belanda merampas kapal tersebut, awak kapalnya juga disandera. Sebuah tuntutan diajukan kepada Inggris, kapal dan sanera akan dibebaskan jika Inggris membayar tebusan 10.000 dolar.

Teuku Umar yang saat itu sudah memihak kepada Belanda melalui taktik perang tipu Aceh, ditugaskan untuk melakukan pembebasan kapal dan sandera. Teuku Umar meyakinkan Belanda bahwa Raja Teunom memiliki pasukan yang kuat, karena itu Inggris tidak berani menghadapi pasukan Raja Teunom, maka meminta bantuan Belanda.

Dalam uapayanya meyakinkan Belanda, sebenarnya Teuku Umar sedang membuat skenario besar. Ia menyatakan untuk merebut kembali kapal dan membebaskan sandera diperlukan pasukan pilihan dan persenjatan lengkap hingga mampu berperang salam waktu lama. Belanda mengiyakannya.

Teuku Umar bersama 32 tentara Belanda dan beberapa orang panglima, berangkat dari Kutaraja ke Aceh Barat dengan kapal Bengkulen. Di tengah pelayaran, semua tentara Belanda yang menyertainya dibunuh di atas kapal. Seluruh senjata dan amunisi dirampas. Dengan senjata rampasannya itu Teuku Umar dan pengikutnya memperkuat dan bergabung kembali dengan pejuang Aceh. Ia juga meminta kepada Raja Tunom untuk tidak menurunkan nilai tuntutannya kepada Inggris dan Belanda.




[Teuku Umar bersama panglimanya ]

Sejarawan Aceh H M Zainuddin (1972 : 5) mengungkapkan, Belanda sangat tercuncang dengan peristiwa itu. Pemerintah Kolonial Belanda di Kutaraja mengumumkan akan memberi hadiah 25.000 dolar bagi siapa saja yang sanggup menangkap Teuku Umar hidup atau mati.

Sejarawan lainnya Moehammad Said (1985 : 228) menulis bahwa tidak ada efek apapun dari pengumuman Belanda tersebut. Tidak ada di kalangan rakyat Aceh yang berani menghadapi Teuku Umar dan pasukannya, sebaliknya rakyat Aceh menyambut Teuku Umar sebagai pahlawan yang telah berhasil mengelabui Belanda dengan taktik tipu Aceh yang diterapkannya.

Akhirnya, Belanda terpaksa membayar tuntutan Raja Teunom. Pada 10 September 1884, kapal Nicero dan 18 orang awak kapal dibebaskan dengan uang tebusan 10.000 dolar. Raja Teunom berbesar hati atas peristiwa itu, karena kasus Nicero telah menggegerkan negara-negara Eropa.

Dua tahun setelah peristiwa Nicero, peristiwa serupa kembali terjadi. Kali ini menerpa kapal Hoc Canton, kapal dengan kapten Hansen, warga negara Denmark yang mendapat izin berlayar di perairan Aceh dari pemerintah Kolonial Belanda.

Muhammad Said menyebut Hansen sebagai pisau bermata dua. Ia memanfaatkan izin pelayaran untuk menyeludupkan sejata kepada pejuang Aceh di samping bisnis membeli rempah-rempah. Ia sangat lihai berlayar, bahkan untuk mengelabui patroli Belanda, ia mampu berlayar dalam gelap tanpa menghidupkan satu pun lampu di kapalnya.

Namun, pada sisi lain Hansen juga tertarik dengan tawaran imbalan dari Belanda yang masih berlaku, yakni 25.000 dolar untuk menangkap Teuku Umar hidup atau mati. Pada 12 Juni 1886, Hansen bersama Roaura berangkat ke Reugaih dengan kapal Hoc Canton. Alasannya, mereka ingin mengambil kapal The Eagle yang berlabuh di Reugaih, tapi sebenarnya Hasen dan Roaura ingin menjebak Teuku Umar.

Setelah berlayar selama tiga hari, pada 15 Juni 1886, Hoc Canton melepar jangkar di perairan Reugaih. Mula-mula mereka membeli lada dari kelompok Teuku Umar. Setelah semua lada dimuat ke kapal, Hansen memberi syarat bahwa pembayaran akan dilakukan di atas kapal.

E Roaura yang sudah sangat dikenal di kalangan pejuang Aceh sebagai penyeludup senjata menjumpai Teuku Umar di darat. Ia mengatakan Hansen meminta Teuku Umar harus naik ke kapal Hoc Canton untuk menyelesaikan transaksi dagang tersebut. Syarat itu ditolak Teuku Umar, tapi Hansen tetap bersikeras, tiga kali utusan Teuku Umar datang ke kapal ditolak Hansen.

Kesabaran Teuku Umar habis, sebuah tak-tik dirancang, bagaimana pun harga lada yang sudah dimuat ke kapal Hoc Canton harus dibayar. Teuku Umar sendiri akan naik ke kapal itu untuk mengambil uang dengan segala resiko. Baginya uang itu sangat penting untuk kebutuhan logistik perang.

Teuku Umar meminjam kapal The Eagle pada Raoura, kapal yang sudah lama berlabuh di Reugaih untuk merapat dan naik ke Hoc Canton. Tapi ketika Teuku Umar naik, Hansen memerintahkan anak buahnya untuk menangkapnya. Suami Cut Nyak Dhien itu akan dibawa ke Kutaraja untuk diserahkan kepada Belanda. Imbalan 25.000 dolar sudah terbayang di matanya.

Namun, yang terjadi malah sebaliknya, semua anak buah kapal sudah lebih dulu disergap oleh 40 pejuang Aceh. Sebelum Teuku Umar naik ke kapal, ia telah menyusun skenario penyergapan kapal Hoc Canton, 40 pejuang Aceh sudah menyelinap ke sana pada malam hari. Hansen yang mencoba melarikan diri akhirnya ditembak. Kepala juru mudi Lanbker yang berkebangsaan Jerman juga tewas bersama masinis kepala Robert Mc Gulloch.

Sementara istri Hansen bersama masiis kedua John Fay dan enam awak kapal Hoc Canton disandera. Keenam awal kapal itu merupakan pria Melayu dan Tionghoa. Teuku Umar kemudian memerintahkan beberapa orang untuk menjaga kapal itu. Semua isi kapal disita, diantaranya: dua meriam, enam bedil model snider, lima pistol, serta uang tunai 5.000 dolar.


[Belanda membakar rumah Teuku Umar di Lampisang ]

Peristiwa Nicero dan Hoc Canton selain membuat pukulan telak bagi Belanda, juga menjadikan pemerintah kolonial itu di Aceh hilang wibawa di mata internasional. Apa lagi ketika dua peristiwa itu dimuat di koran Penang Gazatte. Asosiasi dagang Penang Association mengadakan rapat khusus dan mengeluarkan dua resolusi bagi Belanda di Aceh, yakni mengambil langkah cepat untuk membebaskan Jhon Fay, dan mendesak pemerintah Inggris untuk menyelesaikan kasus Kapten Hansen. Keputusan itu diambil setelah rapat asosiasi tersebut berkesimpilan bahwa Belanda tidak mampu menguasai keadaan di Aceh.

Belanda makin berang. Gubernur Militer Hindia Belanda di Kutaraja Jenderal Van Teijn memimpin langsung beberapa kapal dan ratusan pasukan menuju Aceh Barat. Reugaih akan dibumihanguskan. Namu n Teuku Umar tidak gentar. Ia balik mengultimatum Belanda, bila Reugaih diserang maka para tawanan akan dihukum mati.

Jenderal Van Teinj benar-benar gentar dengan ancaman itu. Ia memerintahkan semua kapal perang kembali ke Uleelheu. Belanda akan mengupayakan jalan diplomasi untuk menyelesaikan persoalan Hoc Canton.

Rakyat Reugaih bersorak ketika militer Belanda dan kapal-kapal perang itu kembali ke Kutaraja. Sementara Teuku Umar membawa tawanannya ke pedalaman. Nyonya Hansen diminta untuk menulis surat kepada Belanda, bahwa mereka akan dibebaskan jika Belanda bersedia membayar uang tebusan 40.000 dolar.

Sampai dua bulan lebih kemudian persoalan itu bekum juga selesai. Belanda yang mulanya akan menghadiahi 25.000 dolar bagi siapa saja yang mampu menangkap Teuku Umar hidup atau mati, kini dipaksa untuk membayar 40.000 dolar kepada Teuku Umar. Namun Belanda hanya menyanggupi 25.000 dolar saja. Teuku Umar benar-benar mendapat �hadiah� atas kepalanya sendiri.

Uang tebusan itu diserahkan kepada Teuku Umar pada September 1886 dan para sandera dibebaskan. Teuku Umar mempercayakan Nyak Priang tokoh yang masyarakat setempat sebagai perantara dengan Belanda untuk menjumpai Nyonya Hansen yang ditawan dalam rumah Teungku H Darwis Reugaih. Di rumah itu para tawanan diawasi dengan ketat. Nyoya Hansen mengakui dia diperlukan dengan sangat baik selama dalam tawanan, ia hanya mengalami luka kecil saat insiden di atas kapal Hoc Canton. Meski demikian ia mengaku sangat pilu dengan kematian suaminya.

Nyoya Hansen dan Fay bersama anak buah kapal Hoc Canton tiba di Kutaraja pada 6 Oktober 1886. Kepada Belanda Nyonya Hansen yang sudah lancar berbahasa Aceh mengakui bahwa ia diperlakukan dengan sangat baik oleh Teuku Umar.

Nyonya Hansen mengungkapkan semuanya kepada temannta sesama orang Denmark, Chirstiaansen. Ia menulis panjang lebar tentang sifat dan pribadi Teuku Umar beserta Cut Nyak Dhien yang dianggapnya sebagai ksatria. Seorang Mayor Belanda LWA Kessier juga mengakui hal itu. Ia menyebut Teuku Umar sebagai intellegente en zeer baschaafde Atjeher yakni orang Aceh yang paling cerdas dan sopan. [Iskandar Norman]




Perang Aceh melahirkan perempuan-perempuan perkasa, tidak hanya diakui oleh bangsanya, tapi juga musuhnya. Belanda menyebutnya sebagai Grandes Dames, wanita-wanita besar yang perannya melebihi kaum pria.


[Cristine Hakim memerankan sosok Cut Nyak Dhien dalam film Tjoet Nja' Dhien ]

Cut Nyak Dhien merupakan satu di antara sederetan nama-nama besar itu. Mereka muncul silih berganti menjadi panglima perang selama 60 tahun perlawanan terhadap penjajahan Belanda, mulai Maret 1973 ketika perang dimaklumatkan, sampai Belanda meninggalkan Aceh dengan kekalahannya pada tahun 1942.

H C Zentgraff, penulis Belanda dalam buku �Atjeh� menyebut perempuan-perempuan perkasa itu sebagai de leidster van het verzet, para pemimpin perlawanan yang memegang peranan besar dalam perpolitikan dan peperangan. Zentgraaf menulis.

�Keberanian wanita Aceh dalam mempertahankan cita-cita bangsa dan agamanya. Ia rela hidup dalam kancah perang dan melahirkan putranya di situ. Ia berperang bersama suaminya, kadang-kadang di samping, di hadapan, atau di tangannya yang kecil dan halus itu, kelewang dan rencong dapat menjadi senjata yang berbahaya.�

Salah satu perempuan Aceh yang sangat disegani Zentgraaff dalam bukunya itu adalah Cut Nyak Dhien, yang tampil memimpin peperangan melawan Belanda pada 1896 setelah Teuku Umar, suami keduanya meninggal. Ia lebih memilih melanjutkan perjuangan dalam rimba secara bergerilya dari pada tunduk pada Belanda. Cut Nyak Dhien terus melanjutkan perjuangan meski ia sudah tua, matanya sudah rabun, tapi semangatnya tidak terpatahkan.

Sebagaimana ditulis oleh Rusdi Sufi dalam buku �Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah� keperkasaan Cut Nyak Dhien juga diungkapkan oleh sejarawan Belanda lainnya, M H Szkely Lulafs dalam buku �Tjoet Nja� Dhien� Ia menilai jiwa kepahlawanan yang menggerakkan semangat juang dalam dada Teuku Umar adalah dorongan halus Cut Nyak Dhien. Sifat kepahlawanan Cut Nyak Dhien diwarisi dari ayahnya yang merupakan salah seorang pejuang penentang kolonialis Belanda.

Cut Nyak Dhien lahir pada tahun 1848, ayahnya Teuku Nanta Setia merupakan uleebalang VI Mukim bagian dari wilayah Sagi XXV Mukim. Mereka tinggal di Gampong Lampadang Peukan Bada, Aceh Besar. Ayah Cut Nyak Dhien merupakan keturunan seorang perantau asal Minangkabau Sumatera Barat, yang bernama Machoedoem Sati. Ia diperkirakan datang ke Aceh pada abad XVIII ketika Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sulthan Jamalul Alam Badrul Munir (1711 � 1733).

Sementara ibunya Cut Nyak Dhien merupakan putri uleebalang terkemuka di Kemukiman Lampageu yang juga wilayah Sagi XXV Mukim. Sebagai putri bangsawan, sejak kecil Cut Nyak Dhien sudah memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama dari ulama-ulama di wilayah kekuasaan ayahnya.

Sebagai putri uleebalang, kehidupan Cut Nyak Dhien dipengaruhi oleh gaya hidup bangsawan, tapi pendidikan agama yang didapatkannya membuatnya tumbuh menjadi gadis yang memiliki sifat-sifat yang tabah, lembut dan tawakal. Cut Nyak Dhien kemudian dijodohkan dengan anak saudara laki-laki dari ibunya. Pria muda itu bernama Teuku Ibrahim, putra dari Teuku Po Amat, uleebalang Lam Nga XIII Mukim Teungkop di Sagi XXVI Mukim.

Menurut Rusdi Sufi, pada saat Belanda menyerang Aceh dalam bulan Maret 1873, suami Cut Nyak Dhien yang dipanggil dengan sebutan Teuku Nyak Him dan bergelar Teuku Di Bitai, telah ikut berperang melawan agresi Belanda bersama pejuang Aceh lainnya. Meski baru berumahtangga, Cut Nyak Dhien merelakan suaminya untuk terjun ke medan juang. Ia memberi dorongan bagi suaminya dalam setiap peperangan.



[Lukisan perjuangan Cut Nyak Dhien ]

Namun, ketika Mesjid Raya Baiturrahman dibakar Belanda, Cut Nyak Dien tidak lagi menjadi perempuan yang hanya menyemangti suaminya untuk berperang, tapi ia sendiri yang turun ke garis depan setiap peperangan mendampingi suaminya. Cut Nyak Dhien sangat marah ketika Belanda membakar Mesjid Raya Baiturrahman.

Kemarahan Cut Nyak Dhien itu digambarkan oleh sejarawan Belanda M H Szkely Lulafs dalam buku �Tjoet Nja� Dhien� sebagai berikut:

�Cut Nyak Dhien meninggalkan rumah, lalu turun tanah. Dengan rambut tergerai-gerai, kedua tinjunya mengepal dan mengacung-acung, sampailah ia ke halamannya. Kepada sekalian orang kampung yang datang berkerumum melihat apa yang mengolak-olak itu dari jauh, berserulah ia dengan gemas dan mata terbelalak, katanya: Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu, mesjid kita dibakarnya. Mereka menentang Allah subhanahuwata�ala, tempatmu beribadah dibinasakannya, nama Allah dicemarkannya, camkanlah itu! Jangan kita melupa-lupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang mengampuni dosa si kafir itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?�

Perang dengan Belanda terus berkecamuk, karena Belanda lebih unggul dalam persenjataan, Cut Nyak Dhien dan suaminya terdesak hingga kemudian berpindah ke wilayah Leupeung. Dari sana perang terus digelorakan. Tapi pada 29 Juni 1878, Teuku Ibrahim Lam Nga, suami Cut Nyak Dhien tewas bersama beberapa pengikutnya dalam sebuah pertempuran di lembah Beuradeun Gle Tarom, Kemukiman Montasik, Sagi XXII Mukim.

Menurut Szekely Lulofs, penyebab peristiwa tersebut adalah pengkhianatan yang dilakukan oleh Habib Abdurrahman yang telah menyerah dan menerima kompensasi dari Belanda. Kematian suaminya itu membuat kebencian Cut Nyak Dhien terhadap Belanda semakin memuncak. Ia tampil di depan menggantikan suaminya dalam berperang melawan Belanda.

Sejarawan lainnya, Hazil dalam buku �Teuku Umar dan Tjut Nyak Dhien Sepasang Pahlawan Perang Aceh� mengungkapkan, sangking bencinya Cut Nyak Dhien kepada Belanda, suatu ketika antara sadar dan tidak, Cut Nyak Dhien pernah berucap dan berjanji akan bersedia menikah dengan laki-laki yang dapat membantunya untuk menuntut belas atas kematian suaminya.

Dengan gelora batinnya yang dibaluti kebencian terhadap Belanda itu, Cut Nyak Dhien terus memimpin pelawanan. Pada saat yang sama juga terkenal Teuku Umar yang memimpin peperangan melawan Belanda di wilayah barat Aceh. Meski antara Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar sudah saling mengenal nama, keduanya belum pernah bertemu. Hingga kemudian Teuku Umar dalam suatu peperangan mampun mengalahkan pasukan Belanda yang sebelumnya menewaskan Teuku Ibrahim Lam Nga, suaminya Cut Nyak Dhien.

Pada tahun 1878 beberapa bulan setelah kematian suaminya, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar di Montasik. Perkawinan mereka itu dibicarakan banyak orang, karena keduanya sudah dikenal sebagai pemimpin perjuangan melawan penjajah Belanda. Pasangan ini dinilai sangat cocok untuk memimpin kelanjutan peperangan.

Cut Nyak Dhien merupakan istri ketiga Teuku Umar. Sebelumnya Teuku Umar telah menikah dengan dua wanita lain yakni Cut Nyak Asiah putri Uleebalang Geulumpang, dan Cut Nyak Meuligoe putri Panglima Sagi XXV Mukim. Namun, diantara ketiga istrinya itu, Cut Nyak Dhien yang sangat memberi pengaruh padanya.

Dari perkawinannya mereka dikaruniai seorang anak perempuan yan diberi nama Cut Gambang, yang ketika dewasa kelak dinikahkan dengan Teungku Mayed Di Tiro alias Teungku Di Buket, putra Teungku Chiek Di Tiro.

Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien bersama pasukannya terus menjelajahi belantara, dari satu rimba ke rimba lain, dari satu jurang ke jurang lain. Cut Nyak Dhien kadang-kadang ditempatkan di tempat aman di tengah belantara ketika Teuku Umar dan pasukannya turun untuk menyerang patroli marsose yang terus memburu mereka.

Seperti pata tanggal 10 menjelang 11 Februari 1899, Teuku Umar dan pasukannya mencoba mencoba turun ke Meulaboh untuk menyerang sebuah pusat pertahanan Belanda. Esok harinya dalam sebuah pertempuran di Suak Ujong Kala Meulaboh, Teuku Umar tewas tertembak militer Belanda. Sesuai dengan pesannya kepada pasukannya, Teuku Umar dimakamkan di tempat yang tidak diketahui Belanda, yakni di Mon Tulang Pucok Meuhon Kendik Meulaboh.

Berita meniggalnya Teuku Umar diterima dengan tabah oleh Cut Nyak Dhien. Ia mengambil alih pimpinan pasukan yang ditingalkan suaminya itu. Ia melanjutkan perjuangannuya bersama Pang Laot Ali dan bertekat melawan penjajahan Belanda sampai akhir hayatnya.

Cut Nyak Dhien terus memimpin perjuangan melawan Belanda. Ia mengkoordinir pasukannya di belantara antara Kruen Woyla dan Meulaboh. Perang gerilya itu dilakukannya hingga enam tahun. Tapi dalam masa enam tahun itu, pasukan Cut Nyak Dhien mengalami kekurangan makanan. Cut Nyak Dhien juga sudah mulai sakit-sakitan dan rabun. Semua hartanya telah habis untuk membiayai perang melawan Belanda.

Dalam keadaan seperti itu Pang Laot Ali merasa kasihan dengannya. Wanita perkasa itu tidak lagi memiliki apa-apa selain semangatnya yang terus bergelora melawan Belanda. Kehidupannya sudah serba terpencil di rimba raya. Pang Laot Ali benar-benar tak kuasa melihat keadaan Cut Nyak Dhien yang seperti itu. Ia menawarkan kepada Cut Nyak Dhien untuk menyerah kepada Belanda agar ia bisa dirawat oleh rakyatnya di kampung.

Mendengar tawaran seperti itu, Cut Nyak Dhien yang sudah rabun dan mengalami encok, murka. Ia meludah dan berkata dengan lantang kepada Pang Laot Ali. �Takluk kepada kaphe, cis najis, semoga Allah Subhanahuwataala menjauhkan perbuatan yang sehina itu dari diriku.�



[Cut Nyak Dhien setelah ditangkap Belanda akibat pengkhuanatan Pang Laot ]

Namun Pang Laot Ali tetap tidak sampai hati melihat kondisi Cut Nyak Dhien seperti itu. Akhirnya ia mengkhianati Cut Nyak Dhien, ia mengirim seorang kurir untuk melaporkan tempat persembunyian mereka kepada Belanda di Meulaboh. Bagaimanapun ia ingin Cut Nyak Dhien bisa dirawat, tidak terlantar di dalam hutan.

Pada tanggal 4 November 1905, Letnan Van Vuuren bersama pasukannya berangkat ke tempat persembunyian Cut Nyak Dhien. Dalam perjalanan, ketika hampir sampai ke tempat Cut Nyak Dhien, tanpa sengaja seorang tentara Belanda melakukan tembakan. Suara tembakan itu terdengar hingga ke tempat persembunyian Cut Nyak Dhien.

Cut Nyak Dhien kemudian digendong dan dibawa lari dari tempat itu. Tapi beberapa saat kemudian ia ditemukan dan ditangkap. Cut Nyak Dhien yang sudah buta dan tak berdaya menengadah kedua tangannya, kesepuluh jarinya dikembangkan. Ia sangat emosi dan ingin terus melawan, tapi wanita perkasa itu kini sudah renta dan tak berdaya, meski sikapnya sangat menentang, ia kemudian berkata, �Ya Allah ya Tuhanku inikah nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir.�

Pang Laot Ali kemudian mendekati Cut Nyak Dhien dan berkata padanya agar Cut Nyak Dhien tidak takut, karena Belanda tidak akan menyakitinya, sebaliknya akan memperlakukannya dengan sopan. Akan tetapi ketika Pang Laot Ali henda meraba tangan Cut Nyak Dhien dan membujuknya, Cut Nyak Dhien dengan lantang berkara. �Cis, jangan menyinggung kulitku, pengkhianat engkau, tidak kusangka, lebih baik kau menunjukkan budi baikmu kepadaku dengan jalan menikamku.�

Cut Nyak Dhien kemudian dianikkan ke sebuah tandu, lalu digotong ke sebuah pos penjagaan Belanda. Bersama Cut Nyak Dhien juga ditangkap seorang kemenakannya yang bernama Teuku Nana. Dari sana Cut Nyak Dhien kemudian dipindahkan ke Kutaraja.

Paul Van� Veer menulis, meski Cut Nyak Dhien telah ditawan, pengaruhnya terhadap fanatisme rakyat Aceh dalam menentang Belanda di Aceh, khususnya Aceh Besar tidak lenyap. Perang terus saja berlanjut. Untuk menghilangkan pengaruhnya itu, Cut Nyak Dhien kemudian dipindahkan ke Pulau Jawa yakni ke Suimedang, Jawa Barat, melalui surat keputusan Pemerintah Hindia Belanda nomor 23 tanggal 11 Desember 1906.

Setelah sekitar dua tahun berada di pengasingan, pada 6 November 1908 Cut Nyak Dhien wafat dan dikuburkan di sana. Pemerintah Republik Indonesia kemudian mengangkatnya sebagai pahlawan kemerdekaan nasional melalui Surat keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 106, tanggal 2 Mei 1964.[Iskandar Norman]


Tanbeh 17 merupakan nama lain dari kitab Munirul Qulub, ditulis dengan bahasa Aceh bersajak. Berisi 17 anjuran bagi pencari surga dan penghapus dosa. Tuntunan bagi umat dalam hakikat hidupnya.

Kitab aslinya bertulis tangan dengan aksara Arab Jawi berbahasa Aceh. Ditulis di atas kertas ukuran 22 x 16 cm setebal 138 halaman. Setiap halaman berisi 19 baris yang ditulis dalam dua lajur. Kitab ini pernah dialih aksarakan oleh tim dari Museum Provinsi Daerah Istimewa Aceh pada tahun 1993.

Dalam pengantar alih akasara dijelaskan, isi Tanbeh 17 berupa 17 pokok bahasan tentang anjuran bagi siapa saja yang hendak mencari surga, serta tuntunan bagi penebus dosa. Penulisnya membuka kitab dengan keterangan, ulon teusurat bahsa droe, Arab Jawoe kupeu bahsa, lon boh lagu ban hikayat, makna kitab simeumata, nama kitab Munirul Qulub, Dawauz Zunub ubat desya.

Penulisan kitab ini disandarkan pada ayat-ayat Alquran, hadis Nabi dan ijmak para ulama. Penjelasan dan argumentasi yang disampaikan selalu begitu mengalir. Dalil dan perumpamaan atas kajian yang disampaikan sangat mengena. Dalil-dalil yang dikemukakan selalu sertakan dengan penjelasan yang begitu dekat dengan realita kehidupan.

Menariknya lagi, penjelasan dalam tanbeh disertai dengan ulasan-ulasan sejarah pada masa nabi. Ini membuat kitab Tanbeh 17 menjadi lebih enak dibaca dan lebih membekas dalam ingatan.

17 tanbeh yang dijelaskan dalam kitab ini berupa: kepercayaan, takwa, makna penting kewajiban agama, martabat ulama dalam masyarakat Islam, kewajiban terhadap orang tua, sopan santun kepada guru, kewajiban istri terhadap suami. Pada bagian kewajiban istri terhadap suami memuat tentang kisah ajaran Nabi Muhammad kepada putrinya Fatimah.

Tanbeh lainnya adalah: kewajiban mandi junub, kewajiban terhadap tetangga, kemuliaan berderma, kejahatan riba, kerugian meninggalkan sembahyang, kepuraan dalam beribadah dan kerugiaannya, bahaya sakaratul maut.

Pada bagian bahaya sekaratul maut ini memuat kisah Jadid bin Ata yang karena kesamaan namanya dicomot oleh malaikat maut sebagai orang kafir bernama Jaded bin Farek. Kemudian ia dihidupkan kembali sehingga dapat menceritakan pengalamannya tetang kesengsaraan kaum kafir setelah mati.

Dua tanbeh terakhir berupa azab yang dilaksanakan dalam kubur dan kerugian meninggalkan shalat Jumat. Pada bagian ini dipaparkan kejadian-kejadian nyata di beberapa tempat pada masa itu yang kerap dilanda kekeringan dan gagal panen akibat masyarakatnya tidak melaksanakan kewajiban shalat Jumat.

Penulis kitab ini juga menyinggung tentang tradisi �Jumat bersih� dalam masyarakat Aceh, yakni bergotong royong bersama setiap pagi Jumat hingga jelang dhuhur. Usai gotong royong para pria akan melakukan shalat Jumat bersama di mesjid. Kerifan lokal ini kini sudah jarang terlihat dalam masyarakat Aceh.

Membaca kitab ini kita diajarkan untuk menjalani hidup seutuhnya sebagai hamba Allah dalam bermasyarakat yang berpedoman pada konsep hablun minallah wa hablun minannas.

Kitab ini tamat ditulis pada tahun 1254 Hijriah bertepatan dengan 1875 masehi. Penulis menyebut namanya sebagai Teuku Muda. Pada bagian akhir kitab Tanbeh 17 ini, ia menjelaskan bahwa Aceh sering dilanda malapetaka karena masyarakatnya banyak melanggar hukum agama.

Teuku Muda menutupnya dengan: bak nanggroe nyoe hana beureukat, le nyang bangsat taat kureung, Aceh pih kayem keunong bala, hana reuda lam teuka khueng, La ila haillallah habeh kisah, han peun bileueng wallahu aklam, tamat surat malam Jumat, khamis watee Insya. Nyang empunya Teuku Muda.

Menarik untuk mengkaji kembali Tambeh 17 ini, semoga kita bisa terhindar dari segara mara bahaya, dan memperoleh ampunan dosa, karena kitab ini merupakan ajaran untuk obat segala dosa. [Iskandar Norman]







Nanggroe Aceh - Ulee Balang atau Hulu Balang dalam kerajaan Melayu merupakan struktur paling penting pada kerajaan Aceh. Ulee Balang merupakan pemimpin yang memimpin kenegerian atau nanggroe (setingkat dengan kabupaten) dalam struktur pemerintahan Aceh. Bangsawan Aceh ini digelari dengan gelar Teuku untuk laki-laki dan Cut untuk perempuan. Kerajaan Aceh menganut sistem monarki absoulut yang





Nanggroe Aceh - Lagu paling popular di Aceh dan semua kalangan di Aceh tahu lagu
ini. Bahkan lagu ini telah menjadi lagu wajib di Aceh serta menjadi lagu yang
wajib diajarkan kepada anak-anak Aceh mulai dari taman kanak-kanak hingga
sekolah menengah. Penggalan lagu Tanoh Lon Sayang yang berada dibawah ini berjudul asli Atjeh Lon Sayang. Lagu itu
dipercaya diciptakan oleh Teuku Djohan, namun

Agustus adalah bulan penuh momentum bagi rakyat Aceh, fragmen penuh sejarah. Jadikan semangat Agustus untuk merawat perdamaian dan menguburkan kenangan kelam.
Kemarin, 17 Agustus kita memperingati ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-69, tiga hari yang lalu, 15 Agustus ulang tahun ke-9 perdamaian Aceh. Bukan hanya dua momentum itu saja yang terpatri dalam bulan Agustus di Aceh, rentetan sejarah Agustus jauh sebelumnya sudah menyelimuti Aceh.

Ketika Republik Indonesia ini baru berdiri, Hasan Tiro juga ikut ambil bagian dalam perayaannya. Hasan Tiro muda yang aktif dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI) disebut-sebut pernah menjadi salah seorang penggerek bendera merah putih. Hasan Tiro pada tahun 1945 juga menjabat sebagai Ketua Muda PRI di Pidie.
Baca Yamaha R15 dan Yamaha R25 Motor Sport Racing dan Kencang
Nasionalisme yang diusungnya saat itu masih �merah putih� sebelum kemudian Jakarta dinilainya ingkar terhadap Aceh, hingga sang wali membangung nasionalisme sendiri, yakni nasionalisme keacehan melalui sebuah pemberontakan yang dinamainya Aceh Merdeka.

Fanatisme Aceh telah banyak mengisi lembaran sejarah republik, bukan hanya romantisme tapi juga militansi. Simaklah beberapa fragmen sejarah Aceh. Pada bulan Agustus 1850 dulu Provinsi Aceh dileburkan ke dalam bagian Provinsi Sumatera Utara melalu Perpu nomor 5/1950. Hal yang kemudian Aceh bergolak. Beberapa hari setelah Perpu itu itu keluar, pada 21 September 1950 Tgk Muhammad Daud Beureueh memukul beduk perang dengan pemerintah pusat. Ia memproklamirkan DI/TII Aceh.

Daud Beureueh menilai Pemerintah Pusat ingkar janji kepada rakyat Aceh. Setelah tujuh tahun perang bergolak di Aceh, baru pada 1 Januari 1957 pemerintah pusat membentuk kembali Provinsi Aceh yang terpisah dari Sumetera Utara. Pembentukan kembali Provinsi Aceh kala itu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengeluarkan Undang-undang nomor 24/1956.

Meski demikian konflik Aceh-Jakarta belum sepenuhnya reda. Lagi-lagi dalam bulan Agustus, tepatnya pada 29 Agustus 1951, razia senjata besar-besaran dilakukan di Aceh oleh Brigade AA. Alasannya, rakyat Aceh diduga masih menyimpan banyak senjata sisa-sisa perang. Padahal, beberapa bulan sebelumnya razia senjata sudah dilakukan, dan Pemerintah Republik Indonesia telah memerintahkan Kepala Koordinator Kepolisian di Aceh untuk menarik seluruh senjata api, baik yang memiliki surat izin maupun tidak.

Fragmentaria sejarah Agustus lainnya di Aceh adalah, 12 Agustus 1998, Rumoh Geudong yang digunakan sebagai Pos Sattis Kopassu di Gampong Billie Aroen, Geulumpang Tiga Pidie dibakar. Rumah yang dijadikan sebagai pos penyiksaan itu dibakar massa hanya 30 menit setelah Tim Komnas HAM yang dipimpin Baharuddin Lopa meninggalkan lokasi tersebut. Selanjutnya 7 Agustus 1999, Panglima ABRI Jenderal Wiranto mencabut status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh.

Pada masa selanjutnya, 5 Agustus 2000, pondasi perdamaian Aceh mulai digali dengan kesepakatan antara Pemerintah RI dengan GAM terkait perpanjangan jeda kemanusiaan di Aceh. Setahun kemudian, 9 Agustus 2001, Presiden Megawati Soekarno Putri menandatangani Undang-undang nomor 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Nanggroe Aceh Darussalam (UU NAD).

Sebelas hari kemudian, 20 Agustus 2001, Megawati juga menyetujui pembebasan enam juru runding GAM yang ditahan aparat keamanan. Namun Menkopolkam yang saat itu dijabat Susilo Bambang Yudhoyono menjelaskan bahwa Megawati memberi catatan agar para juru runding GAM tersebut tidak melakukan pelanggaran hukum setelah dibebaskan. Presiden menyarankan agar perundingan harus diproteksi dan dihormati sebagai suatu proses, karena itu pemerintah mengambil keputusan untuk membebaskan juru runding GAM setelah memenuhi ketentuan yang diminta oleh pihak kepolisian.

Damai di Aceh terus disemai, pada 5 Agustus 2002, Anthony Zinni datang ke Aceh. Pensiunan jenderal bintang empat marinir Amerika Serikat ini datang ke Aceh bersama Deputi HDC Jenewa Andrew Marshall. Ketika sampai di Aceh keduanya juga ditemani David Gorman. Anthony Zinni merupakan wiseman yang aktif dalam perundingan antara pemerintah Indonesia dan GAM.

Damai pun wujud di Aceh pada 15 Agustus 2005, kala itu Wakil Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani kesepakatan damai di Helnsiki, Firlandia. Dan mulai 1 Agustus 2006, UU Nomor 11/2006 mengani Pemerintahan Aceh (UUPA) mulai diberlakukan. Demikianlah di antara sekian banyak fragmentaria Agustus di Aceh. Mari terus merawat dan mejaga perdamaian demi Aceh yang lebih bermartabat.[]
loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget