Halloween Costume ideas 2015
June 2014

Ini zaman para penjual kecap beraksi. Beruntung, Pilpres kali ini hanya ada dua golongna penjual; kecap merek Prabowo, satunya lagi merek Jokowi. Yang membuat Nyak Kaoey heran, jual kecap kok saling membusukkan?

Inilah para pedagang politik yang mengabaikan kesantunan. Jejering sosial dan dunia maya bagai lading perang pembusukan lawan. Rakyat yang bingung, setiap hari dijejali informasi yang tidak berimbang, k�n han l�n pako�, k�n han l�n hiro�, nyo� bak masalah nanggro� ka jimeuseurapa.

Celakanya lagi, para pedagang politik itu membawa-bawa nama agama. Untung belum sampai pada mengkafirkan lawan, kajipeu�k geulayang lam uro� tar�k. Tapi bagi rakyat Indonesia, khususnya Aceh, Nyak Kaoey berpesan, pilihlah presiden yang sesuai menurut hati dan nurani masing-masing, jangan pilih presiden karena bualan penjual kecap.

Salah memilih pemimpin akan rugi selama lima tahun, ibarat kata teulah sith�n ureu�ng meugo�, teulah siuro� ureu�ng meurusa. Nyang teulah lim�ng th�n nyan rakyat salah pil�h. Jadi jangan sampai salah pilih.

Karena itu Nyak Kaoey tidak mau ambil pusing, kedua pasangan calon presiden itu sama saja, ada plus ada minusnya. Siapapun yang terpilih kita lihat nanti pada hari pencoblosan, boh j�k boh beulangan, wat�e tr�k tab�h nan. []

ACEH justru diperhatikan ketika memberontak, saatnya berhenti menjadi anak baik.


Memberontak bukan berarti kembali mengangkat senjata, tapi bisa dalam bentuk lain, menolak kebiasaan, untuk sesuatu yang luar biasa, karena Jakarta masih terlalu mencurigai Aceh. Aceh perlu memberi pelajaran pada republik, bagaimana sebuah janji harus ditunaikan. Sejarah membuktikan ketika Aceh begitu manut pada Jakarta (pusat), hak-hak Aceh terkebiri. Kini sejarah sepertinya berulang, persoalan lambang dan bendera Aceh masih saja digantung oleh Jakarta. Padahal, lambang dan bendera Aceh merupakan mahar perdamaian yang harus ditunaikan republik terhadap Aceh.

Kita patut memberi apresiasi pada sikap tegas Gubernur Zaini Abdullah yang menolak perpanjangan masa cooling down jika pemerintah pusat tidak menyelesaikan tiga turunan Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA).

Ketiga turunan UUPA yang masih menggantung itu adalah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) kewenangan pemerintah yang bersifat nasional di Aceh, RPP pengelolaan bersama minyak dan gas bumi, serta Rancangan Peraturan Presiden tentang Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh dan kabupaten/kota menjadi perangkat daerah Aceh dan kabupaten/kota.

Ketiga turunan UUPA itu sudah lama selesai diharmonisasi oleh tim bersama yang dibentuk Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Namun Jakarta nampaknya belum ihklas untuk menetapkannya menjadi Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden.

Sebut saja dalam bidang pertanahan misalnya, dari 21 urusan pertanahan yang menjadi kewenangan Aceh, hanya disetujui sembilan, ditambah HGU dan HGB. Jakarta masih terlalu curiga terhadap Aceh. Pihak Badan Pertanahan Nasional berpendapat, jika semua urusan pertanahan diberikan kepada Aceh, maka syarat untuk berdirinya sebuah negara sudah terpenuhi. Bukankan ini sebuah kecurigaan yang luar biasa?

Pendapat seperti itu disampaikan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Dr Wahiduddin Adam SH MA pada rapat pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan kewenangan pemerintah yang bersifat nasional di Aceh, Selasa, 7 Januari 2014 lalu di ruang Rapat Soepomo Kementrian Hukum dan HAM.

Kecurigaan Wahiduddin ini sangat tidak beralasan, karena UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) itu merupakan produk hukum Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, bukan produk masyarakat Aceh.

Bagi Pemerintah Aceh, sesuai dengan UUPA, seluruh bidang pertanahan harus diserahkan kepada Aceh, Pemerintah Pusat hanya menetapkan kebijakan, norma, standar dan prosedur, serta melakukan pembinaan dan pengawasan.

Begitu juga dengan RPP Pengelolaan Bersama Minyak dan Gas Bumi di Aceh. Meski secara teknis sudah disetujui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, kendalanya muncul di Kementerian Keuangan. Lagi-lagi Jakarta memainkan trik lepas kepala injak ekornya. Lolos di satu kementrian, diganjal di kementrian lain.

Karena itu, agar Aceh benar-benar memiliki kewenangan eksploitasi Migas dari 12 mil hingga 200 mil dengan persentase bagi ahsil 70 persen untuk Aceh dan 30 persen untuk Pemerintah Pusat, maka Pemerintah Aceh harus tegas. Ultimatum yang disampaikan Gubernur Zaini Abdullah saya rasa sudah pada tempatnya.

Bila hak-hak Aceh itu sudah diberikan, maka kedua pihak, yakni Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat tinggal membentuk Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA) sebagai lembaga bersama yang akan mengurus hal tersebut.

Pemerintah Aceh tidak boleh lagi larut dalam permainan tarik ulur Jakarta. Cooling down sudah memadai. Apapun apologi Jakarta harus ditolak, karena memberikan hak-hak Aceh merupakan bagian dari merawat perdamaian.

Sekali lagi kita harus mendukung sikap tegas Gubernur Zaini Abdullah. Jakarta tak perlu lagi mengulur-ngulur waktu memberikan hak Aceh tanpa alasan yang jelas. Kita masih ingat pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Pekan Kebudyaan Aceh (PKA) VI, September 2013 lalu. Ia menyatakan komitmennya untuk menyelesaikan persoalan Aceh sebelum 2013 berakhir.

Kenyataannya, hingga medio 2014, janji itu belum dipenuhi. Dalam hal ini kita melihat, masalahnya bukan pada SBY, tapi jajaran di bawahnya yang mempermainkan persoalan Aceh hingga sekarang. Jadi, sudah saatnya Pemerintah Aceh berhenti menjadi anak baik, apa pun apologi Jakarta harus ditolak, demi hak-hak yang masih terkebiri. Katr�p masa kamo� pr�h, b�k tapeukab�h wat�e tr�k teuka.[Iskandar Norman]


Tgk Fakinah merupakan seorang ulama perempuan Aceh. Masa mudanya ia habiskan dalam peperangan melawan penjajah Belanda. Ia memimpin empat benteng pertahanan (kuta). Sementara masa tuanya dihabiskan untuk mengajar dan membangun pendidikan.

H. M. Zainuddin dalam buku Srikandi Aceh menjelaskan, Tgk Fakinah berasal dari keluarga ulama dan bangsawan. Ia lahir pada tahun 1856 M di Gampong Lamkrak. Ayahnya bernama Datu Muhammad seorang pejabat pemerintahan di Kerjaan Aceh pada masa pemerintahan Sulthan Alaiddin Iskandar Syah. Sementara ibunya bernama Cut Fatimah putri dari ulama besar Tgk Muhammad Saad yang dikenal sebagai Tgk Chik Lam Pucok pendiri Dayah Lam Pucok.

Saat perang dengan Belanda berkecamuk di Aceh, Tgk Fakinah dipercayakan memimpin satu resimen pasukan yang prajuritnya terdiri dari pria dan wanita. Ia memiliki beberapa panglima yang menjadi komando pasukan, diantaranya, suaminya sendiri Tgk Nyak Badai, Habib Lhong (Habib Kabul), Tgk Ahmad (Tgk Leupueng), Tgk Saleh dan Tgk Daud.
Tgk Fakinah

Bersama para panglimanya itu, Tgk Fakinah memimpin empat benteng pertahanan (Kuta) yakni, Kuta Lam Sayun dipimpin oleh Tgk Saleh, Kuta Cot Bak Garot dipimpin oleh Tgk Pang Amat, Kuta Bak Balee dipimpin oleh Habib Lhong, dan Kuta Cot Weue yang dipimpin langsung olehnya. Komando pertahanan empat benteng itu dipusatkan di Lam Diran yang setelah perang reda dibangun menjadi Dayah Lam Diran di Lamkrak.

Dalam berperang dan membangun pendidikan di Lamkrak, Tgk Fakinah dibantu oleh suaminya. Suami pertamanya Tgk Abdullah syahid dalam perang, ia kemudian menikah dengan Tgk Nyak Badai salah seorang panglima pasukannya, tapi suami keduanya itu juga syahid dalam perang melawan Belanda. Ia kemudian menikah dengan Tgk Haji Ibrahim. Dari ketiga suaminya itu, Tgk Fakinah tidak memiliki anak.

Menurut Ali Hasjmy dalam buku Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, usai perang, pada bulan Juli tahun 1915 M, Tgk Fakinah bersama suami (Tgk Haji Ibrahim) berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana selama beberapa tahun untuk memperdalam ilmu agama.

Ketika kembali ke Aceh, Tgk Fakinah bersama suaminya membangun Dayah Lam Diran yang dibantu oleh beberapa ulama di sana. Pada tahun 1925 M, Tgk Fakinah kembali k Mekkah dan bermukim di sana selama satu tahun. Ketika kembali lagi ke Aceh ia melakukan reformasi di Dayah Lam Diran yang dipimpinnya, ia membolehkan pria dan wanita sama-sama menuntut ilmu di dayah itu tapi dengan asrama yang terpisah.

Tgk Fakinah juga membolehkan pria dan wanita bergaul dalam dayah dalam batas-batas yang wajar, hal yang tidak lazim dilakukan di dayah waktu itu. Di dayah yang dipimpimnya juga diajarkan ilmu umum dan kerajinan tangan, tidak hanya fokus pada pendidikan agama saja. Karena itu ia bisa disebut sebagai peletak dasar pendidikan dayah terpadu di Aceh.

Selain itu Tgk Fakinah dikenal sebagai pemimpin yang sanggup memimpin pria dan wanita secara bersamaan, seperti saat ia menggelar gotong royong massal membangun jalan Ateung Seunabat. Tgk Fakinah wafat pada 3 Oktober 1893 bertepatan dengan 8 Ramadhan 1359 H dan dimakamkan di komplek dayah yang dipimpinnya.

Diantara murid-muridnya yang kemudian menjadi ulama perempuan terkenal di adalah Tgk Fatimah Batee Linteueng, Tgk Saidah Lamjamee, Tgk Fatimah Ulee Tutue, dan Tgk Hawa Lam Dilip.[iskandar norman]






loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget