Oleh Dharminta Soeryana, S.Sn, M.Sn.
Kegiatan
bersenandung sebagai pengantar tidur anak merupakan salah satu aktifitas budaya
yang menghiasi kehidupan masyarakat Melayu. Aktifitas yang menjadi warisan
turun-temurun tersebut dianggap penting karena mampu menjalin interaksi sosial pertama
antara ibu dengan anak serta membangun perkembangan otak anak sejak dalam
buaian, diantaranya pengenalan terhadap bahasa ibu, melodi, irama, tangga nada,
dan tatanan nilai dalam budaya yang berisi petuah (tunjuk ajar) dan prinsip
hidup.
Tidak
dapat dipungkiri, kegiatan bersenandung untuk menemani tidur anak di kalangan
masyarakat Melayu selayaknya “tetap
diasah, dijaga dan dipergunakan” karena diyakini memiliki pengaruh pada
perkembangan prilaku anak selanjutnya.
Interaksi
sosial pertama antara ibu dengan anak melalui senandung dapat dikatakan sebagai
bentuk “komunikasi unik” karena memiliki potensi besar kepada si anak. Keunikan
komunikasi terletak pada sistem kode bahasa (verbal dan non
verbal) yang hanya dimengerti antara ibu dengan anak. Hal ini tentu berbeda
dengan pengertian komunikasi secara umum yang dipahami bahwa bahasa merupakan kolaborasi
sejumlah simbol dengan aturan-aturan yang digunakan dan dipahami oleh suatu
komunitas dalam menyatakan ide, gagasan, perasaan keinginan dan seterusnya.
Bersenandung merupakan motif terjadinya komunikasi antara ibu dengan anak. Motif komunikasi
secara “sengaja” diciptakan oleh ibu sebagai pihak pertama kepada si anak
sebagai pihak kedua yang merespon motif tersebut agar segera tidur, hanya saja ukuran
kesengajaan memang sulit untuk diukur disebabkan kemampuan anak baru pada taraf
mendengar dan memahami bahwa senandung yang didengar memintanya untuk tidur.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, dendang merupakan motif dan unsur
kesegajaan sebagai titik awal lahirnya komunikasi yang memiliki potensi aksi
dan transaksi pertama ibu dengan si anak.
Di
Aceh, kebiasaan para ibu menidurkan anak-anaknya sambil bersenandung Doda idi dikenal
dengan istilah Peulale aneuk eh (perentang
waktu anak tidur).
Senandung Doda idi merupakan kesusastraan lisan berisi ungkapan-ungkapan yang
tersusun dalam bentuk karangan pantun berbahasa Aceh. Keunikan proses penerusan
senandung Doda idi dari satu generasi ke generasi berikutnya terletak pada isi
syair senandung yang selalu mengalami perubahan sesuai kebutuhan dan selera
jaman, perubahan tersebut disebabkan orang Aceh akan dianggap bodoh bila hanya
mampu menyalin saja dan dianggap sebagai orang yang tidak mengerti sastra.
Keindahan
syair senandung Doda idi pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari sifat
kefanatikan masyarakat Aceh terhadap “leluhur mereka, yakni kebanggaan Ureung Aceh (Orang Aceh) sebagai
keturunan pejuang yang melegenda dan telah menjadi kekayaan makna kehidupan
bagi mereka. Pemaknaan dan pemahaman terhadap nilai-nilai semangat kepahlawanan
begitu dalam dan sulit dipisahkan dari diri masyarakat Aceh tersebut ternyata telah
diberikan sejak si anak dalam buaian, yakni isi syair yang mengandung
pernyataan kompleksitas pikiran, pengalaman, harapan dan keinginan para ibu di
Aceh agar si anak tidak takut pergi ke medan perang untuk membela tanah tumpah
darahnya.
Doda
idi berasal dari dua kata dalam bahasa Aceh, yaitu doda dan idi. Kata
Doda yang sering disebut peudoda berarti bergoyang sedangkan kata idi
atau dodi berarti berayun. Senandung Doda idi merupakan karya sastra
lisan Aceh berisikan pengalaman hidup masyarakat menyangkut sosial
budaya yang diseleksi secara kreatif baik isi maupun bentuk
penyampaiannya. Seleksi kreatif tersebut menyangkut bentuk dan isi yang
dipilih agar tercapai bentuk estetis. M. Atar Semi menyatakan bahwa:
“Karya sastra itu dalam wujudnya mempunyai dua aspek penting, yaitu isi
dan bentuknya: isi adalah tentang pengalaman hidup manusia, sedangkan
bentuknya adalah segi-segi yang menyangkut cara penyampaian, yaitu cara
sastrawan memamfaatkan bahasa yang indah untuk mewadahi isinya”
Kemampuan
dan pemahaman ibu-ibu di Aceh terhadap karya sastra lisan berkaitan dengan
bentuk dan isi senandung memang tidak perlu diragukan lagi. Artinya, pemamfaatan
irama, rima, ragam bunyi, ungkapan, bahasa, simbol dan tema merupakan serangkaian
eksplorasi interaksi ibu dengan anak sejak dalam buaian. Hanus dan Mechtild
dalam Djohan menyatakan bahwa: “Bayi menunjukkan serangkaian perilaku
“proto-musikal” dalam interaksi mereka dengan pengasuhnya, dengan menggunakan
irama dan pitch melalui cara-cara
seperti dalam musik. Perilaku proto-musikal ini tidak hanya berupa mendengarkan
suara tetapi juga memproduksi dan merespon secara aktif”
Syair dalam Doda Idi
Syair
senandung Doda idi memiliki ciri formal yang dimulai dengan kata Allah hai do doda idi sebagai pengantar
senandung, baru dilanjutkan dengan pantun menggunakan bahasa Aceh dengan satu
metrum (ukuran irama yang ditentukan oleh jumlah dan panjang tekanan suku kata dalam
setiap baris). Bahasa Aceh juga tidak ada kuantitas silabel (suku kata) yang
tetap akan tetapi hakikat metrum terletak pada bobot aksen dan ini selalu pada
kedua dari setiap pasang irama. Bentuk syair adalah pantun yang terdiri dari
empat baris pantun, dua baris sampiran, dua baris isi yang
berdiri sendiri dengan 4-5 kata, satu baris dan rima a/a/a/a atau rima a/b/a/b seperti
syair senandung Doda idi berikut ini:
Dodaidi
Allah hai do doda idi
Boh gadong bie boh kayee uteun
(Buah gadung buah-buahan dari hutan)
Raye'k sinyak hana peu ma brie
(Besar si ananda entah apa Ibunda beri)
aeb ngen keji ureung donya kheun
(aib dan keji semua orang katakan)
Boh gadong bie boh kayee uteun
(Buah gadung buah-buahan dari hutan)
Raye'k sinyak hana peu ma brie
(Besar si ananda entah apa Ibunda beri)
aeb ngen keji ureung donya kheun
(aib dan keji semua orang katakan)
Allah hai do doda idang
Seulayang blang ka putoh talo
(layang-layang di sawah sudah putus talinya)
Beurijang raye'k muda seudang
(cepatlah besar Anakku sayang (remaja))
Tajak bantu prang ta bela Nanggroe
(Pergi berperang membela Negeri)
Wahe aneuk bek ta duek le
(Wahai anakku, janganlah duduk berdiam diri lagi)
Beudoh sare ta bela bangsa
(bangkit bersama membela bangsa)
Bek ta takot keu darah ile
(janganlah takut kepada darah mengalir)
Adak pih mate po ma ka rela
(walaupun engkau mati, ibunda telah rela)
(Wahai anakku, janganlah duduk berdiam diri lagi)
Beudoh sare ta bela bangsa
(bangkit bersama membela bangsa)
Bek ta takot keu darah ile
(janganlah takut kepada darah mengalir)
Adak pih mate po ma ka rela
(walaupun engkau mati, ibunda telah rela)
Jak lon tateh, meujak lon tateh
(Mari Ibunda tuntun, kemarilah Ibunda tuntun)
Beudeh hai aneuk ta jak u Aceh
(bangunlah wahai anakku kita ke Aceh)
Meubee bak o'n ka meubee timphan
(Baunya daun telah berbau timphan)
Meubee badan bak sinyak Aceh
(Bau badan si anak Aceh)
(Mari Ibunda tuntun, kemarilah Ibunda tuntun)
Beudeh hai aneuk ta jak u Aceh
(bangunlah wahai anakku kita ke Aceh)
Meubee bak o'n ka meubee timphan
(Baunya daun telah berbau timphan)
Meubee badan bak sinyak Aceh
(Bau badan si anak Aceh)
Allah hai Po illa hon hak
(Allah Sang Pencipta yang Punya Kehendak)
Gampong jarak han troh lon woe
(Kampung jauh tiada sampai ku pulang)
Adak na bulee ulon teureubang
(andaikan punya sayap, Ibunda akan terbang)
Mangat rijang troh u nanggroe
(agar cepat sampai ke Nanggroe)
Allah hai jak lon timang preuk
(Allah hai kemarilah Ibunda timang-timang anakku sayang)
Sayang riyeuk disipreuk pante'
(sayangnya ombak memecah pantai)
O'h rayek sinyak yang puteh meupreuk
(kalau ananda yang berkulit putih besar nantinya)
Teh sinaleuk gata boh hate'
(dimanakah engkau akan berada nanti wahai buah hatiku)
(Allah hai kemarilah Ibunda timang-timang anakku sayang)
Sayang riyeuk disipreuk pante'
(sayangnya ombak memecah pantai)
O'h rayek sinyak yang puteh meupreuk
(kalau ananda yang berkulit putih besar nantinya)
Teh sinaleuk gata boh hate'
(dimanakah engkau akan berada nanti wahai buah hatiku)
(diambil dalam lirik lagu album Nyawong. Sumber: liriklaguaceh.blogspot.com)
Ungkapan dalam Doda Idi
Ungkapan yang dimaksud di sini adalah pemilihan kata yang menentukan tenaga sebuah syair senandung agar mewakili
apa yang dimaksud sehingga tidak menimbulkan pertanyaan, ”apa tidak ada kata-kata lain yang lebih baik
dan lebih mewakili”. Hal tersebut penting diperhatikan supaya ungkapan yang
dipilih memiliki efek yang bisa menggerakkan tenaga, pikiran, maupun emosi pendengarnya.
Perhatikan ungkapan pada bait Doda idi yang terdapat pada paragraf ke 5 berikut ini:
Alla hai Po Ilahon hak
Gampong jarak hantroh lon woe
Adak na bulee ulon teureubang
Mangat rijang trok u naggroe
Gampong jarak hantroh lon woe
Adak na bulee ulon teureubang
Mangat rijang trok u naggroe
Bandingkan bila kata jarak, teureubang,
rijang dirubah:
Alla hai Po Ilahon hak
Gampong juoehhantroh lon woe
Adak na bulee ulon pheu
Mangat bagahtrok u naggroe
Gampong juoehhantroh lon woe
Adak na bulee ulon pheu
Mangat bagahtrok u naggroe
Perubahan kata jarak menjadi juoeh dan teureubang
menjadi
pheu serta rijang menjadi bagah di dalam bahasa
Aceh sebenarnya memiliki arti sama, yakni jarak dan juoeh berarti jauh, Teureubang
dan pheu berarti terbang
serta
rijang dan
bagah
berarti cepat. Hal tersebut disebabkan kata jarak, teureubang dan rijang dilihat dari sudut ilmu kesusastraan ternyata lebih
bersifat emosional dan efektif menghasilkan kalimat sugestif sehingga
mampu menggerakkan tenaga, pikiran, emosi anak. Selanjutnya,
ungkapan-ungkapan yang dipergunakan ternyata mampu merepresentasikan persepsi
dan interpretasi latar belakang sosial budaya Aceh. Artinya, meskipun unsur-unsur
pembentuk senandung ada yang
berangkat dari peribahasa dan pameo maupun majas namun sebagai perangkat sastra
lisan tetap mampu menciptakan rasa, nada
dan irama, tujuan dan tema yang merupakan koherensi antara ibu dengan anak.
Rasa dalam Doda Idi
Perkembangan anak yang sehat dapat
dilihat dari keberhasilan seorang ibu mengelola rasa percaya diri dan perasaan
nyaman secara fisik dan mental dengan menghapus sebagian kecil perasaan ketakutan seorang anak. Perasaan percaya dan tidak percaya diri tersebut
menuntut sikap si ibu untuk menyikapi isi syair yang disenandungkan kepada si
anak. Bait Bek tatakot keu darah ile (Jangan
ananda takut pada darah mengalir) serta
Adakpih mate poma ka rela. (Walaupun mati Bunda telah rela) selanjutnya diimplementasikan
pada konsep nilai-nilai musikal senandung. Rasa percaya
diri yang
dimaksud di sini, pertama lahir dari perasaan-perasaan estetis dan ekspresi
lingkungan musikal yang dibangun berdasarkan keterlibatan realitas sosial
budaya masyarakat Aceh yang selanjutnya melahirkan suasana simbolis dimensi
heroik dan patriotisme dalam senandung. Kedua, lahir dari keseimbangan kualitas
sikap dan pola hidup yang kuat pada pendirian dan keyakinan yang dianut.
Nada dan Irama dalam Doda Idi
Nada dan irama senandung pengantar
tidur anak di setiap daerah memiliki keunikan dan filosofinya sendiri-sendiri,
hal tersebut disebabkan proses pelahiran dan pengaruh nada serta irama tidak
lepas dari ke-khas-san kepemilikan
senandung itu sendiri (lokal). Artinya, masyarakat di luar kepemilikan
senandung Doda
idi biasanya akan mengalami kerumitan
ketika akan menyenandungkan senandung tersebut karena berbagai hal, diantaranya
bahasa, nada dan irama serta filosofinya.
Keberadaan
nada dan irama dalam senandung sebagai unsur musikalitas memiliki peranan
penting agar syair memiliki intensitas makna dan
keharmonisan simbolis serta memiliki kekuatan sugestif, tanpa nada dan irama
yang harmonis tidak mungkin senandung memiliki nilai estetis, etis dan logis.
Pertimbangan nada dan irama sesuai
dengan jumlah suku kata yang tetap, jelas
mempengaruhi pergantian turun naik dan panjang pendek serta keras lembutnya
senandung didendangkan. Begitu pula dengan cara doda idi didendangkan, yakni berdendang
sambil mengayun anak dengan suara yang lirih dan mengalun hingga terkesan nada-nada
yang didendangkan terdengar sendu dan miris merupakan hasil dari tekanan-tekanan
pada bait-bait syair (dinamik, nada dan tempo). Pertimbangan nada dan irama ternyata menghasilkan suatu “perasaan
spesial” antara ibu dengan anaknya, mengakibatkan seakan-akan isi dari
bait-bait senandung yang didendangkan menjadi hidup.
Tujuan Doda Idi
Senandung Doda idi sebagai salah satu
karya sastra lisan sangat disadari oleh masyarakat Aceh memiliki tujuan-tujuan
khusus yang sengaja dititipkan oleh generasi pendahulunya untuk diteruskan
kepada generasi berikutnya. Ibarat sebuah warisan metafisis, senandung Doda idi
selalu bergerak mengisi ruang-ruang kehidupan dalam wujud warisan semangat
heroik dan patriotik kepada tanah tumpah darahnya seperti yang terdapat pada
bait-bait senandung Doda idi berikut ini: Allah
hai do doda idang // Seulayang blang ka putoh taloe // Beurijang rayek muda
seudang // Tajak bantu prang tabila nanggroe. (Allah hai do doda idi
//
Sejauh mata memandang telah putus tali // cepatlah besar Anakku sayang
(remaja)// Pergi berperang membela Nanggroe). Dapat ditafsirkan bahwa
bait demi bait syair senandung
Doda idi ternyata memiliki satu tujuan, yakni berguna untuk pengelolaan
rasa
percaya diri seorang anak yang dibangun melalui senandung pengantar
tidur sejak
anak dalam buaian. Melalui pengelolaan tersebut anak mendapatkan
berbagai hal,
diantaranya perhatian dan dorongan serta penegasan dari orang tua,
kenyaman dan
rasa percaya diri yang selanjutnya mengarah pada kemampuan
menumbuh-kembangkan
kekuatan, kepekaan dan rasa sosial pada diri anak dengan lingkungannya
kelak.
Tema dalam Doda Idi
Tema merupakan pondasi
seluruh isi atau syair senandung yang mempengaruhi daya pikat masyarakat terhadap
pencitraan senandung yang terbentuk dari sebuah gagasan dasar yang ditopang seluruh unsur-unsur pembentuk senandung
seperti diksi,
imaji, gaya bahasa, irama dan syair. Seorang
ibu ketika bersenandung selalu
menyeleksi kata-kata yang dipakainya agar pantun-pantun
yang berisi tentang ide, gagasan serta nilai-nilai dan prinsip hidup dapat
dipahami dengan mudah oleh si anak. Bait-bait Allah hai do doda idang //
Seulayang blang ka putoh taloe // Beurijang rayek muda seudang // Tajak bantu
prang tabila nanggroe. (Allah hai do doda idi // Sejauh mata
memandang telah putus tali // Cepatlah besar bujang // Pergi bantu perang
membela negeri) merupakan kalimat efektif yang memiliki daya pikat dan menguasai konsentrasi, pikiran, emosi
serta tenaga yang mengarah kepada daya imaji si anak. Berdasarkan tafsir teks syair diatas, maka tema yang terkandung dalam Doda idi adalah senandung
pengantar tidur anak bertemakan perjuangan. Tema ini sendiri pada kenyataannya mampu memberikan sumbangan besar pada pembentukan
karakter orang Aceh yang dinamis, dan heroik.
Bahasa dalam Doda Idi
Bahasa merupakan seperangkat simbol
yang digunakan untuk menyatakan pikiran dan perasaan dengan berbagai fungsinya diantaranya untuk
penamaan, interaksi, penghubung serta media informasi. Melalui bahasa kita dapat berbagi gagasan dan
emosi melalui berbagai cara sehingga memungkinkan bahasa sebagai alat
komunikasi mampu menembus ruang waktu, tempat, dan suasana dalam wujud
kesinambungan budaya. Bahasa yang baik adalah bahasa yang mampu mendeskripsikan
lingkungan sosial budaya, baik bahasa bangsa (bahasa Indonesia) maupun bahasa
daerah.
Ibu-ibu di Aceh dalam
bersenandung ternyata memiliki gaya
bahasa yang khas sendiri-sendiri sesuai dengan pribadi, pengalaman dan lingkungan sosial si ibu. Kekhasan tersebut umumnya
berdampak pada
bagaimana menghadirkan kata menjadi makna lain dari suatu ungkapan pada gaya
bahasa yang dipilihnya, salah satunya adalah kesopanan bahasa pada
pemilihan kata, Seorang ibu selalu memperhatikan etika dan estetika serta
logika terhadap syair. Kata-kata yang kemungkinan bukan asupan si anak selalu dipertimbangkan
sesuai dengan psikologi dan umur anak agar sejak dalam buaian sudah terbiasa
mendengar kata-kata yang halus dan sopan. Semakin tua seorang ibu biasanya akan semakin matang pilihan pada kata,kiasan dan metafora dalam
syair serta gaya pembawaan senandung Doda idi.
Kiasan dalam syair umumnya dipakai untuk memperjelas yang tersirat dari
pikiran si ibu kepada anaknya, selain menjadikan syair tersebut lebih menarik
untuk didengar juga menjadikannya lebih berjiwa sehingga si anak mampu merasakan apa yang dirasakan oleh ibunya yang berguna
untuk
pengelolaan rasa percaya
diri serta perasaan dilindungi oleh orang tuanya. Penekanan-penekanan melalui
kias diperlukan agar ada kejelasan dari motivasi kata
seperti
asupan-asupan syair dari ibunya berikut ini yang mampu menghapus perasaan-perasaan ketakutan anak
bahkan ketakutan pada kematian, Bek
ta takot keu darah ile (janganlah
takut kalau darah mengalir) dan Adak pih mate po ma ka rela (walaupun engkau mati, ibunda telah rela). Asupan selanjut adalah cara seorang
ibu memilih suatu kebendaan
dengan membandingkannya tingkah dan kebiasaan manusia dalam syair senandungnya agar yang diutarakan terasa hidup dan
terasa dekat bagi yang mendengarkannya, baik bagi si anak maupun orang
disekelilingnya. Seperti kutipan syair di bawah ini.
Jak lon tateh, meujak lon tateh
(Mari Ibunda tateh, kemarilah Ibunda tateh)
Beudeh hai aneuk ta jak u Aceh
(bangunlah anakku kita ke Aceh)
Meube bak o'n ka meube timphan
(Baunya daun telah berbau timphan)
Meubee badan bak sinyak Aceh
(Bau badan si anak Aceh)
(Mari Ibunda tateh, kemarilah Ibunda tateh)
Beudeh hai aneuk ta jak u Aceh
(bangunlah anakku kita ke Aceh)
Meube bak o'n ka meube timphan
(Baunya daun telah berbau timphan)
Meubee badan bak sinyak Aceh
(Bau badan si anak Aceh)
Penggunaan kata-kata ironi pada
senandung Doda
idi terdapat pada awal
senandung yakni: Raye'k sinyak hana
peu ma brie (Besar si ananda entah apa
Ibunda beri), aeb ngen keji ureung donya kheun (aib dan keji orang-orang katakan).
Kata-kata hana peu ma brie sebenarnya
memiliki maksud bahwa apa saja akan diberikan oleh si ibu kepada anaknya, terutama bimbingan dan nasehat agar anak nantinya dapat hidup dijalan
yang di ridhoi oleh
Allah. Jika hal ini tidak dilaksanakan, maka masyarakat akan menilai si ibu
telah gagal menjadi seorang ibu. Praktis, Pesan-pesan tersebut dianggap perlu disampaikan kepada si anak agar terbentuk
kualitas rasa percaya diri yang baik tanpa ada indikasi ancaman kepada anak. Sebaliknya bila kita
bandingkan dengan senandung Nina Bobo yang popular sejak era 70-an, indikasi ancaman begitu kental terasa:
Nina bobo oh nina bobo
Kalau tidak bobo digigit nyamuk
Kalau tidak bobo digigit nyamuk
Tidurlah sayang, adikku manis
Kalau tidak bobo digigit nyamuk
Kalau tidak bobo digigit nyamuk
Kata-kata “Kalau tidak bobo digigit nyamuk” yang terdapat dalam senandung Nina Bobo jelas
tidak memiliki kematangan kata berjiwa, terlalu dekoratif karena lebih
mementingkan tujuan tanpa memperhitungkan efek dari kata-kata itu sendiri.
Akibatnya, anak akan hidup dalam kecemasan karena selalu ditakut-takuti dengan
berbagai ancaman.
Simbol dalam Doda Idi
Dalam konteks senandung Doda idi yang mengusung tema perjuangan, senandung
juga merupakan sebuah simbol perwujudan atas ide, pencitraan, dan konfigurasi
atau wujut gagasan dan persamaan sudut pandang sosial budaya masyarakat Aceh. Artinya, kegiatan senandung pengantar tidur
anak ternyata mampu membentuk kualitas karakter anak-anak Aceh untuk lebih
mencintai negerinya (Aceh). Wujud “kata” juga merupakan tanda yang digunakan
untuk mempertegas eksistensi suatu objek atas kondisi pikiran dan keinginan
yang direpresentasikan dalam syair, seperti bait pertama dan
kedua di bawah ini.
Allah hai do doda idi
Boh gadung bie boh kayee uteun
(Buah gadung buah-buahan dari hutan)
Raye'k sinyak hana peu ma brie
(Besar si anak entah apa Ibunda beri )
aeb ngen keji ureung donya kheun
(aib dan keji orang-orang katakan)
Boh gadung bie boh kayee uteun
(Buah gadung buah-buahan dari hutan)
Raye'k sinyak hana peu ma brie
(Besar si anak entah apa Ibunda beri )
aeb ngen keji ureung donya kheun
(aib dan keji orang-orang katakan)
Allah hai do doda idang
Seulayang blang ka putoh talo
(Sejauh mata memandang telah putus tali)
Beurijang raye'k muda seudang
(cepatlah besar Anakku sayang (remaja))
Tajak bantu prang ta bela Nanggroe
(Pergi berperang membela Nanggroe)
Bait-bait
yang memiliki makna filosofis; Beurijang raye'k muda seudang
Tajak bantu prang ta bela Nanggroe, lahir dari proses simbolisasi atas ide, pencitraan, dan gagasan pemikiran yang dicetuskan oleh para leluhur Aceh berkaitan dengan Adat Bak Po Teumeureuhum, Hukom bak Syiah Kuala. Kanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana. (Adat kepada Po Teumeurehom hukum kepada Syiah Kuala, undang-undang kepada Putroe Pahang, hubungan diplomatik dan protokuler kepada panglima).
Tajak bantu prang ta bela Nanggroe, lahir dari proses simbolisasi atas ide, pencitraan, dan gagasan pemikiran yang dicetuskan oleh para leluhur Aceh berkaitan dengan Adat Bak Po Teumeureuhum, Hukom bak Syiah Kuala. Kanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana. (Adat kepada Po Teumeurehom hukum kepada Syiah Kuala, undang-undang kepada Putroe Pahang, hubungan diplomatik dan protokuler kepada panglima).
Fungsi Senandung
Do da idi
Pada
dasarnya seni vokal khususnya senandung pengantar tidur anak yang tumbuh dan
berkembang dalam berbagai etnik akan tetap hidup apabila masih dibutuhkan oleh
masyarakat pendukungnya. Artinya, senandung pengantar tidur anak akan mengalami
kepunahannya apabila tidak dibutuhkan lagi oleh masyarakat. Pentingnya dukungan
masyarakat untuk perkembangan senandung pengantar tidur anak dapat dilihat pada
berbagai eksistensinya masa sekarang, perannya pada pertumbuhan dan
perkembangan anak terletak pada bagaimana senandung hadir memberikan
konstribusi penting sehingga anak mampu mengembangkan imajinasi dan rasa
percaya diri anak.
Anak
merupakan amanah dari Allah SWT, maka selayaknya wujud kasih sayang orang
tua kepada anak dibesarkannya berdasarkan “Kasih karena sayang, sayang karena
amanah”. Artinya,
wujud kasih sayang dibuktikan dengan merawat, membekalinya dengan ilmu
pengetahuan serta menanamkan nilai-nilai luhur yang bersumber dari pengetahuan agama
agar kelak menjadi anak yang berbakti kepada orangtua dan bertakwa kepada Allah
SWTserta berguna bagi nusa bangsa.
Telah
diuraikan di atas bahwa salah satu bentuk penyampaian rasa kasih sayang kepada
anak adalah melalui senandung pengantar tidur anak. Meski tidak menafikan
keberadaan seorang bapak pada perkembangan usia anak, ibu tetap merupakan sosok
sentral bagi seorang anak karena proses pendidikan telah dimulai sejak anak
dalam kandungan hingga sampai dewasa. Begitu juga dengan fungsi dari senandung,
meski syair yang didendangkan si ibu tidak satupun dimengerti oleh anak namun
diyakini mampu membangkitkan makna dalam pikiran anak.
Senandung
pengantar tidur anak sebenarnya bukan hanya sekedar kecerdasan dan ketrampilan seorang
ibu dalam bersenandung, secara hakikat fungsi senandung lebih pada kemampuan untuk
mengolah kecerdasan emosi dan sosial anak. Dengan demikian, penggunaan senandung
pengantar tidur anak sebagai suatu kegiatan budaya mempunyai dampak terhadap
gejala-gejala fungsional dalam kehidupan masyarakat. Gejala fungsional yang
terjadi akibat penggunaan senandung Doda idi akan menghasilkan gejala
fungsional yang sama; misalnya sebagai wujud kasih sayang, interaksi sosial
pertama, wadah potensial pemaknaan dialektikal, nilai estetis, dan mampu membangkitkan
nilai-nilai kepahlawanan dan rasa-nasionalisme bagi ibu, anak maupun anggota
masyarakat yang mendengar senandung Doda idi.
Dimensi Heroik
dan Patriotisme dalam Doda Idi
Pengertian
kata dimensi di sini digunakan untuk menganalisis ukuran atau persentase heroik
dan patriotik yang tercermin dalam senandung Doda
idi, yakni berkaitan dengan nilai-nilai moral
dan politik, perasaan sosial berisikan cinta tanah air sehingga menumbuhkan
rasa kebanggaan akan masa lampau dan sekarang atas nama kebaktian kepada tanah
air. Begitu juga dengan pengertian dimensi heroik dan patriotisme bagi Ureung Aceh
(orang Aceh), tidak lepas
dari pasang surut perkembangan sosial budaya Aceh yang sarat dengan
berbagai
peristiwa sosial politik dalam perjalanan sejarahnya. Setidaknya ada
empat
sebab yang mempengaruhi pasang surut perkembangan kebudayaan Aceh yakni;
pertama, perang kerajaan Samudra Pasai dengan Majapahit. Kedua, perang
Aceh merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia,
ketiga adalah pemberontakan DI/TII pasca kemerdekaan yang berimplikasi
secara
nasional dan keempat pemberontakan GAM dengan pemberlakuan DOM oleh
pemerintah.
Pasang surut perkembangan peristiwa sosial politik di Aceh tersebut
diduga
menjadi alasan kuat keberadaan dan fungsi senandung Doda idi tidak pudar.
Dimensi
heroik dan patriotik yang terdapat dalam senandung Doda idi merupakan salah satu wujud prilaku musikal yang
mampu mempengaruhi si anak. Artinya, sebagai sebuah media ungkap fungsi senandung
Doda idi ternyata mampu menstimulus
kebutuhan pertumbuhan otak, sistem sensorik dan motorik yang selanjutnya memberikan
dampak pada rangsangan penghayatan estetis, ekspresif, dan simbolis bagi si
anak, seperti pada bagian awal syair berikut ini:
Allah hai do doda idang
Seulayang blang ka putoh talo
(Sejauh mata memandang telah putus tali)
Beurijang raye'k muda seudang
(cepatlah besar Anakku sayang (remaja))
Tajak bantu prang ta bela Nanggroe
(Pergi berperang membela Nanggroe)
Seulayang blang ka putoh talo
(Sejauh mata memandang telah putus tali)
Beurijang raye'k muda seudang
(cepatlah besar Anakku sayang (remaja))
Tajak bantu prang ta bela Nanggroe
(Pergi berperang membela Nanggroe)
Wahe aneuk bek ta duek le
(Wahai anakku, janganlah duduk berdiam diri lagi)
Beudoh sare ta bela bangsa
(bangkit bersama membela bangsa)
Bek ta takot keu darah ile
(janganlah takut kalau darah mengalir)
Adak pih mate po ma ka rela
(walaupun engkau mati, ibunda telah rela)
(Wahai anakku, janganlah duduk berdiam diri lagi)
Beudoh sare ta bela bangsa
(bangkit bersama membela bangsa)
Bek ta takot keu darah ile
(janganlah takut kalau darah mengalir)
Adak pih mate po ma ka rela
(walaupun engkau mati, ibunda telah rela)
Syair
senandung di atas mengisyaratkan bahwa nilai-nilai heroik dan patriotik memiliki
efek yang mampu mempengaruhi syaraf dan jiwa anak, yakni; psikologis, dan
instrumental. Senandung Doda idi seperti yang
telah dibahas di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa, syair Doda idi yang disenandungkan selanjutnya secara otomatis
terekam dalam ingatan anak. Rekaman inilah menurut dugaan penulis memiliki efek
psikologis yang mampu mempengaruhi dan menggugah kesadaran akan kebanggaan masa
lampau dan sekarang serta selalu siap membela kepentingannya.
Kemampuan
ingatan (memori) anak-anak Aceh yang terus diasah oleh ibu-ibu Aceh dari
generasi ke generasi melalui senandung Doda idi ternyata melahirkan dua bentuk
kesadaran; pertama, kesadaran masa lampau Ureung
Aceh yang tertanam subur hingga hari berupa “kebanggaan masa lampau belaka”
(kebanggaan yang berlebihan bahwa ureung
Aceh adalah keturunan pejuang yang melegenda). Kesadaran ini melahirkan
keseimbangan pada kualitas sikap dan pola hidup kuat ureung Aceh akibat dari pasang surut perkembangan kebudayaan Aceh
dalam perjalanan sejarahnya dan pendirian serta keyakinan yang dianut atas
dasar pertimbangan kepentingan dan kebutuhan serta keinginan dari jaringan
relasi antar sosial masyarakat Aceh ini diduga sebagai salah satu faktor
pembentukan kualitas sikap dan pola hidup
ureung Aceh. Selanjutnya kualitas sikap dan pola hidup yang kuat ternyata membentuk
kebersamaan yang mampu menggugah rasa nasionalisme masyarakat Aceh untuk siap
membela kepentingan dan haknya meski harus berperang.
Kedua;
senandung Doda idi selain mampu menggugah rasa nasionalisme ternyata
ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam senandung Doda idi dapat mengarah anak pada
potensi konflik. Dalam konteks senandung Doda idi berkaitan dengan teori konflik.
Kebanggaan berlebihan sebagai keturunan
pejuang yang melegenda pada sebagian anak akhirnya mengarah pada kualitas
pemikiran “benar atau salah, iya atau tidak” secara ekstrim yang digeneralisir
secara berlebihan. Dengan demikian senandung Doda idi dapat dikatagorikan
sebagai senandung kepahlawanan (heroik dan patriotik Ureung Aceh) karena dianggap mampu memberikan efek ideologi dan eksploitasi anak-anak Aceh pada sosial-politik.
Dari semua uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa senandung
pengantar tidur adalah fenomena ekspresi manusia yang memiliki aspek langue (bahasa) dan parole (tuturan) sebagai jembatan komunikasi awal ibu dengan anak.Senandung
Doda idi merupakan, gagasan, pikiran berisi “dogma-dogma” kultural yang tidak sekedar
mempresentasikan kenyataan dan penyampaiannya namun mampu mempengaruhi
psikologi anak lewat bahasa ibunya. Hal Ini membuktikan bahwa senandung Doda
idi tidak dapat dikatakan sebagai seni vokal yang sepenuhnya obyektif karena
diduga proses penciptaannya tidak netral, berisi dengan dogma-dogma kultural,
politik dan tujuan-tujuan tertentu yang lahir atas fenomena-fenomena sosial
budaya Aceh.
Berhadapan
dengan kebudayaan baru yang lebih progresif serta didukung oleh kekuatan
ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi yang agresif, membuat apresiasi
masyarakat terhadap senandung pengantar tidur anak khususnya senandung Doda idi
hari ini mulai terdesak. Produksi musik popular dalam frekuensi tinggi didukung
berbagai strategi pasar musik, seperti penyajian musik secara live-show baik panggung maupun melalui
televisi, serta majalah-majalah musik yang memuat pengetahuan musik sebagai
penunjang wawasan musik popular membuat keberadaan senandung Doda idi di tengah
masyarakat di Aceh patut dipertanyakan.
Senandung
Doda idi sebenarnya adalah bentuk dari perasaan estetis sebagai produk
perkembangan sejarah manusia. Perasaan merupakan refleksi tingkat kesadaran
estetis masyarakat, yakni kesadaran mengevaluasi nilai-nilai dari kegiatan
musikal dan bentuk interaksi sosial pertama antara ibu dengan anak. Survey yang penulis jalankan baik
melalui questioner maupun tanya jawab
langsung kebeberapa narasumber membuktikan, hanya segelintir saja yang masih
mampu mengingat syair senandung Doda idi selebihnya hanya alasan klise seperti;
lupa lirik, terlalu rumit bahkan dianggap tidak mampu menjadi simbol gengsi
sosial.
Tentunya
apa yang penulis paparkan di atas belum mampu menjangkau keseluruhan fungsi dan
keberadaan senandung Doda idi, masih jauh dari sempurna. Walaupun demikian,
setidaknya menjadi masukan untuk kita bersama agar memikirkan perkembangan
senandung pengantar tidur anak khususnya di Aceh dan Indonesia pada umumnya.
Penulis
adalah mahasiswa program doktoral Institut Seni Indonesia Surakarta dan
dosen jurusan teater di Institut Seni Indonesia Padangpanjang.
(Materi
ini telah disajikan dalam seminar bertema "Lokalitas Sebagai Ujung
Tombak Globalisasi" pada Tanggal 3 Desember Tahun 2014 di P4TK Seni dan
Budaya, Yogyakarta)
loading...
Post a Comment