Halloween Costume ideas 2015
loading...

Doda Idi, Komunikasi Ibu dan Anak di Aceh yang terancam

Oleh Dharminta Soeryana, S.Sn, M.Sn.

Kegiatan bersenandung sebagai pengantar tidur anak merupakan salah satu aktifitas budaya yang menghiasi kehidupan masyarakat Melayu. Aktifitas yang menjadi warisan turun-temurun tersebut dianggap penting karena mampu menjalin interaksi sosial pertama antara ibu dengan anak serta membangun perkembangan otak anak sejak dalam buaian, diantaranya pengenalan terhadap bahasa ibu, melodi, irama, tangga nada, dan tatanan nilai dalam budaya yang berisi petuah (tunjuk ajar) dan prinsip hidup.

Tidak dapat dipungkiri, kegiatan bersenandung untuk menemani tidur anak di kalangan masyarakat Melayu selayaknya “tetap diasah, dijaga dan dipergunakan” karena diyakini memiliki pengaruh pada perkembangan prilaku anak selanjutnya.

Interaksi sosial pertama antara ibu dengan anak melalui senandung dapat dikatakan sebagai bentuk “komunikasi unik” karena memiliki potensi besar kepada si anak. Keunikan komunikasi terletak pada sistem kode bahasa (verbal dan non verbal) yang hanya dimengerti antara ibu dengan anak. Hal ini tentu berbeda dengan pengertian komunikasi secara umum yang dipahami bahwa bahasa merupakan kolaborasi sejumlah simbol dengan aturan-aturan yang digunakan dan dipahami oleh suatu komunitas dalam menyatakan ide, gagasan, perasaan keinginan dan seterusnya.

Bersenandung merupakan motif terjadinya komunikasi antara ibu dengan anak. Motif komunikasi secara “sengaja” diciptakan oleh ibu sebagai pihak pertama kepada si anak sebagai pihak kedua yang merespon motif tersebut agar segera tidur, hanya saja ukuran kesengajaan memang sulit untuk diukur disebabkan kemampuan anak baru pada taraf mendengar dan memahami bahwa senandung yang didengar memintanya untuk tidur. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, dendang merupakan motif dan unsur kesegajaan sebagai titik awal lahirnya komunikasi yang memiliki potensi aksi dan transaksi pertama ibu dengan si anak.

Di Aceh, kebiasaan para ibu menidurkan anak-anaknya sambil bersenandung Doda idi dikenal dengan istilah Peulale aneuk eh (perentang waktu anak tidur). Senandung Doda idi merupakan kesusastraan lisan berisi ungkapan-ungkapan yang tersusun dalam bentuk karangan pantun berbahasa Aceh. Keunikan proses penerusan senandung Doda idi dari satu generasi ke generasi berikutnya terletak pada isi syair senandung yang selalu mengalami perubahan sesuai kebutuhan dan selera jaman, perubahan tersebut disebabkan orang Aceh akan dianggap bodoh bila hanya mampu menyalin saja dan dianggap sebagai orang yang tidak mengerti sastra.

Keindahan syair senandung Doda idi pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari sifat kefanatikan masyarakat Aceh terhadap “leluhur mereka, yakni kebanggaan Ureung Aceh (Orang Aceh) sebagai keturunan pejuang yang melegenda dan telah menjadi kekayaan makna kehidupan bagi mereka. Pemaknaan dan pemahaman terhadap nilai-nilai semangat kepahlawanan begitu dalam dan sulit dipisahkan dari diri masyarakat Aceh tersebut ternyata telah diberikan sejak si anak dalam buaian, yakni isi syair yang mengandung pernyataan kompleksitas pikiran, pengalaman, harapan dan keinginan para ibu di Aceh agar si anak tidak takut pergi ke medan perang untuk membela tanah tumpah darahnya.

Doda idi berasal dari dua kata dalam bahasa Aceh, yaitu doda dan idi. Kata Doda yang sering disebut peudoda berarti bergoyang sedangkan kata idi atau dodi berarti berayun. Senandung Doda idi merupakan karya sastra lisan Aceh berisikan pengalaman hidup masyarakat menyangkut sosial budaya yang diseleksi secara kreatif baik isi maupun bentuk penyampaiannya. Seleksi kreatif tersebut menyangkut bentuk dan isi yang dipilih agar tercapai bentuk estetis. M. Atar Semi menyatakan bahwa: “Karya sastra itu dalam wujudnya mempunyai dua aspek penting, yaitu isi dan bentuknya: isi adalah tentang pengalaman hidup manusia, sedangkan bentuknya adalah segi-segi yang menyangkut cara penyampaian, yaitu cara sastrawan memamfaatkan bahasa yang indah untuk mewadahi isinya”

Kemampuan dan pemahaman ibu-ibu di Aceh terhadap karya sastra lisan berkaitan dengan bentuk dan isi senandung memang tidak perlu diragukan lagi. Artinya, pemamfaatan irama, rima, ragam bunyi, ungkapan, bahasa, simbol dan tema merupakan serangkaian eksplorasi interaksi ibu dengan anak sejak dalam buaian. Hanus dan Mechtild dalam Djohan menyatakan bahwa: “Bayi menunjukkan serangkaian perilaku “proto-musikal” dalam interaksi mereka dengan pengasuhnya, dengan menggunakan irama dan pitch melalui cara-cara seperti dalam musik. Perilaku proto-musikal ini tidak hanya berupa mendengarkan suara tetapi juga memproduksi dan merespon secara aktif”

Syair dalam Doda Idi

Syair senandung Doda idi memiliki ciri formal yang dimulai dengan kata Allah hai do doda idi sebagai pengantar senandung, baru dilanjutkan dengan pantun menggunakan bahasa Aceh dengan satu metrum (ukuran irama yang ditentukan oleh jumlah dan panjang tekanan suku kata dalam setiap baris). Bahasa Aceh juga tidak ada kuantitas silabel (suku kata) yang tetap akan tetapi hakikat metrum terletak pada bobot aksen dan ini selalu pada kedua dari setiap pasang irama. Bentuk syair adalah pantun yang terdiri dari empat baris pantun, dua baris sampiran, dua baris isi yang berdiri sendiri dengan 4-5 kata, satu baris dan rima a/a/a/a atau rima a/b/a/b seperti syair senandung Doda idi berikut ini:
Dodaidi
Allah hai do doda idi
Boh gadong bie boh kayee uteun
(Buah gadung buah-buahan dari hutan)
Raye'k sinyak hana peu ma brie
(Besar si ananda entah apa Ibunda beri)
aeb ngen keji ureung donya kheun
(aib dan keji semua orang katakan)

Allah hai do doda idang
Seulayang blang ka putoh talo

(layang-layang di sawah sudah putus talinya)
Beurijang raye'k muda seudang
(cepatlah besar Anakku sayang (remaja))
Tajak bantu prang ta bela Nanggroe
(Pergi berperang membela Negeri)
Wahe aneuk bek ta duek le
(Wahai anakku, janganlah duduk berdiam diri lagi)
Beudoh sare ta bela bangsa
(bangkit bersama membela bangsa)
Bek ta takot keu darah ile
(janganlah takut kepada darah mengalir)
Adak pih mate po ma ka rela
(walaupun engkau mati, ibunda telah rela)
Jak lon tateh, meujak lon tateh
(Mari Ibunda tuntun, kemarilah Ibunda tuntun)
Beudeh hai aneuk ta jak u Aceh
(bangunlah wahai anakku kita ke Aceh)
Meubee bak o'n ka meubee timphan
(Baunya daun telah berbau timphan)
Meubee badan bak sinyak Aceh
(Bau badan si anak Aceh)

Allah hai Po illa hon hak
(Allah Sang Pencipta yang Punya Kehendak)
Gampong jarak han troh lon woe
(
Kampung jauh tiada sampai ku pulang)
Adak na bulee ulon teureubang
(andaikan punya sayap, Ibunda akan terbang)
Mangat rijang troh u nanggroe
(agar cepat sampai ke Nanggroe)
Allah hai jak lon timang preuk
(Allah hai kemarilah Ibunda timang-timang anakku sayang)
Sayang riyeuk disipreuk pante'
(sayangnya ombak memecah pantai)
O'h rayek sinyak yang puteh meupreuk
(kalau ananda yang berkulit putih besar nantinya)
Teh sinaleuk gata boh hate'
(dimanakah engkau akan berada nanti wahai buah hatiku)

(diambil dalam lirik lagu album Nyawong. Sumber: liriklaguaceh.blogspot.com)  

Ungkapan dalam Doda Idi

Ungkapan yang dimaksud di sini adalah pemilihan kata yang menentukan tenaga sebuah syair senandung agar mewakili apa yang dimaksud sehingga tidak menimbulkan pertanyaan,  ”apa tidak ada kata-kata lain yang lebih baik dan lebih mewakili”. Hal tersebut penting diperhatikan supaya ungkapan yang dipilih memiliki efek yang bisa menggerakkan tenaga, pikiran, maupun emosi pendengarnya. Perhatikan ungkapan pada bait Doda idi yang terdapat pada paragraf ke 5 berikut ini:
Alla hai Po Ilahon hak
Gampong jarak hantroh lon woe
Adak na bulee ulon teureubang
Mangat rijang trok u naggroe
Bandingkan bila kata  jarak, teureubang, rijang dirubah:
Alla hai Po Ilahon hak
Gampong
juoehhantroh lon woe
Adak na bulee ulon
pheu
Mangat
bagahtrok u naggroe


Perubahan kata jarak menjadi juoeh dan teureubang menjadi pheu serta rijang menjadi bagah di dalam bahasa Aceh sebenarnya memiliki arti sama, yakni jarak dan juoeh berarti jauh, Teureubang dan pheu berarti terbang serta rijang dan bagah berarti cepat. Hal tersebut disebabkan kata jarak, teureubang dan rijang dilihat dari sudut ilmu kesusastraan ternyata lebih bersifat emosional dan efektif menghasilkan kalimat sugestif sehingga mampu menggerakkan tenaga, pikiran, emosi anak. Selanjutnya, ungkapan-ungkapan yang dipergunakan ternyata mampu merepresentasikan persepsi dan interpretasi latar belakang sosial budaya Aceh. Artinya, meskipun unsur-unsur pembentuk senandung ada yang berangkat dari peribahasa dan pameo maupun majas namun sebagai perangkat sastra lisan tetap mampu menciptakan rasa, nada dan irama, tujuan dan tema yang merupakan koherensi antara ibu dengan anak.

Rasa dalam Doda Idi

Perkembangan anak yang sehat dapat dilihat dari keberhasilan seorang ibu mengelola rasa percaya diri dan perasaan nyaman secara fisik dan mental dengan menghapus sebagian kecil perasaan ketakutan seorang anak. Perasaan percaya dan tidak percaya diri tersebut menuntut sikap si ibu untuk menyikapi isi syair yang disenandungkan kepada si anak. Bait Bek tatakot keu darah ile (Jangan ananda takut pada darah mengalir) serta Adakpih mate poma ka rela. (Walaupun mati Bunda telah rela) selanjutnya diimplementasikan pada konsep nilai-nilai musikal senandung. Rasa percaya diri yang dimaksud di sini, pertama lahir dari perasaan-perasaan estetis dan ekspresi lingkungan musikal yang dibangun berdasarkan keterlibatan realitas sosial budaya masyarakat Aceh yang selanjutnya melahirkan suasana simbolis dimensi heroik dan patriotisme dalam senandung. Kedua, lahir dari keseimbangan kualitas sikap dan pola hidup yang kuat pada pendirian dan keyakinan yang dianut.
Nada dan Irama dalam Doda Idi

Nada dan irama senandung pengantar tidur anak di setiap daerah memiliki keunikan dan filosofinya sendiri-sendiri, hal tersebut disebabkan proses pelahiran dan pengaruh nada serta irama tidak lepas dari ke-khas-san kepemilikan  senandung itu sendiri (lokal). Artinya, masyarakat di luar kepemilikan senandung Doda idi biasanya akan mengalami kerumitan ketika akan menyenandungkan senandung tersebut karena berbagai hal, diantaranya bahasa, nada dan irama serta filosofinya.

Keberadaan nada dan irama dalam senandung sebagai unsur musikalitas memiliki peranan penting agar syair memiliki intensitas makna dan keharmonisan simbolis serta memiliki kekuatan sugestif, tanpa nada dan irama yang harmonis tidak mungkin senandung memiliki nilai estetis, etis dan logis.

Pertimbangan nada dan irama sesuai dengan jumlah suku kata yang tetap,  jelas mempengaruhi pergantian turun naik dan panjang pendek serta keras lembutnya senandung didendangkan. Begitu pula dengan cara doda idi didendangkan, yakni berdendang sambil mengayun anak dengan suara yang lirih dan mengalun hingga terkesan nada-nada yang didendangkan terdengar sendu dan miris merupakan hasil dari tekanan-tekanan pada bait-bait syair (dinamik, nada dan tempo). Pertimbangan nada dan irama ternyata menghasilkan  suatu  “perasaan spesial” antara ibu dengan anaknya, mengakibatkan seakan-akan isi dari bait-bait senandung yang didendangkan menjadi hidup.
Tujuan Doda Idi

Senandung Doda idi sebagai salah satu karya sastra lisan sangat disadari oleh masyarakat Aceh memiliki tujuan-tujuan khusus yang sengaja dititipkan oleh generasi pendahulunya untuk diteruskan kepada generasi berikutnya. Ibarat sebuah warisan metafisis, senandung Doda idi selalu bergerak mengisi ruang-ruang kehidupan dalam wujud warisan semangat heroik dan patriotik kepada tanah tumpah darahnya seperti yang terdapat pada bait-bait senandung Doda idi berikut ini: Allah hai do doda idang // Seulayang blang ka putoh taloe // Beurijang rayek muda seudang // Tajak bantu prang tabila nanggroe. (Allah hai do doda idi // Sejauh mata memandang telah putus tali // cepatlah besar Anakku sayang (remaja)// Pergi berperang membela Nanggroe).  Dapat ditafsirkan bahwa bait demi bait syair senandung Doda idi ternyata memiliki satu tujuan, yakni berguna untuk pengelolaan rasa percaya diri seorang anak yang dibangun melalui senandung pengantar tidur sejak anak dalam buaian. Melalui pengelolaan tersebut anak mendapatkan berbagai hal, diantaranya perhatian dan dorongan serta penegasan dari orang tua, kenyaman dan rasa percaya diri yang selanjutnya mengarah pada kemampuan menumbuh-kembangkan kekuatan, kepekaan dan rasa sosial pada diri anak dengan lingkungannya kelak.
Tema dalam Doda Idi

Tema merupakan pondasi seluruh isi atau syair senandung yang mempengaruhi daya pikat masyarakat terhadap pencitraan senandung yang terbentuk dari sebuah gagasan dasar yang ditopang seluruh unsur-unsur pembentuk senandung seperti diksi, imaji, gaya bahasa, irama dan syair. Seorang ibu ketika bersenandung selalu menyeleksi kata-kata yang dipakainya agar pantun-pantun yang berisi tentang ide, gagasan serta nilai-nilai dan prinsip hidup dapat dipahami dengan mudah oleh si anak. Bait-bait Allah hai do doda idang // Seulayang blang ka putoh taloe // Beurijang rayek muda seudang // Tajak bantu prang tabila nanggroe. (Allah hai do doda idi // Sejauh mata memandang telah putus tali // Cepatlah besar bujang // Pergi bantu perang membela negeri) merupakan kalimat efektif yang memiliki daya pikat dan menguasai konsentrasi, pikiran, emosi serta tenaga yang mengarah kepada daya imaji si anak. Berdasarkan tafsir teks syair diatas, maka tema yang terkandung dalam Doda idi adalah senandung pengantar tidur anak bertemakan perjuangan. Tema ini sendiri pada kenyataannya mampu memberikan sumbangan besar pada pembentukan karakter orang Aceh yang dinamis, dan heroik.
Bahasa dalam Doda Idi

Bahasa merupakan seperangkat simbol yang digunakan untuk menyatakan pikiran dan perasaan dengan berbagai fungsinya diantaranya untuk penamaan, interaksi, penghubung serta media informasi. Melalui bahasa kita dapat berbagi gagasan dan emosi melalui berbagai cara sehingga memungkinkan bahasa sebagai alat komunikasi mampu menembus ruang waktu, tempat, dan suasana dalam wujud kesinambungan budaya. Bahasa yang baik adalah bahasa yang mampu mendeskripsikan lingkungan sosial budaya, baik bahasa bangsa (bahasa Indonesia) maupun bahasa daerah.

Ibu-ibu di Aceh dalam bersenandung ternyata memiliki gaya bahasa yang khas sendiri-sendiri sesuai dengan pribadi, pengalaman dan lingkungan sosial si ibu. Kekhasan tersebut umumnya berdampak pada bagaimana menghadirkan kata menjadi makna lain dari suatu ungkapan pada gaya bahasa yang dipilihnya, salah satunya adalah kesopanan bahasa pada pemilihan kata, Seorang ibu selalu memperhatikan etika dan estetika serta logika terhadap syair. Kata-kata yang kemungkinan bukan asupan si anak selalu dipertimbangkan sesuai dengan psikologi dan umur anak agar sejak dalam buaian sudah terbiasa mendengar kata-kata yang halus dan sopan. Semakin tua seorang ibu biasanya akan semakin matang pilihan pada kata,kiasan dan metafora dalam syair serta gaya pembawaan senandung Doda idi.

Kiasan dalam syair umumnya dipakai untuk memperjelas yang tersirat dari pikiran si ibu kepada anaknya, selain menjadikan syair tersebut lebih menarik untuk didengar juga menjadikannya lebih berjiwa sehingga si anak mampu merasakan apa yang dirasakan oleh ibunya yang berguna untuk pengelolaan rasa percaya diri serta perasaan dilindungi oleh orang tuanya. Penekanan-penekanan melalui kias diperlukan agar ada kejelasan dari motivasi kata seperti asupan-asupan syair dari ibunya berikut ini yang mampu menghapus perasaan-perasaan ketakutan anak bahkan ketakutan pada kematian, Bek ta takot keu darah ile (janganlah takut kalau darah mengalir) dan Adak pih mate po ma ka rela (walaupun engkau mati, ibunda telah rela). Asupan selanjut adalah cara seorang ibu memilih suatu kebendaan dengan membandingkannya tingkah dan kebiasaan manusia dalam syair senandungnya agar yang diutarakan terasa hidup dan terasa dekat bagi yang mendengarkannya, baik bagi si anak maupun orang disekelilingnya. Seperti kutipan syair di bawah ini.
Jak lon tateh, meujak lon tateh
(Mari Ibunda tateh, kemarilah Ibunda tateh)
Beudeh hai aneuk ta jak u Aceh
(bangunlah anakku kita ke Aceh)

Meube bak o'n ka meube timphan
(Baunya daun telah berbau timphan)
Meubee badan bak sinyak Aceh
(Bau badan si anak Aceh)
Penggunaan kata-kata ironi pada senandung Doda idi terdapat pada awal senandung yakni: Raye'k sinyak hana peu ma brie (Besar si ananda entah apa Ibunda beri), aeb ngen keji ureung donya kheun (aib dan keji orang-orang katakan). Kata-kata hana peu ma brie sebenarnya memiliki maksud bahwa apa saja akan diberikan oleh si ibu kepada anaknya, terutama bimbingan dan nasehat agar anak nantinya dapat hidup dijalan yang di ridhoi oleh Allah. Jika hal ini tidak dilaksanakan, maka masyarakat akan menilai si ibu telah gagal menjadi seorang ibu. Praktis, Pesan-pesan tersebut dianggap perlu disampaikan kepada si anak agar terbentuk kualitas rasa percaya diri yang baik tanpa ada indikasi ancaman kepada anak. Sebaliknya bila kita bandingkan dengan senandung Nina Bobo yang popular sejak era 70-an, indikasi ancaman begitu kental terasa:
Nina bobo oh nina bobo
Kalau tidak bobo digigit nyamuk
Tidurlah sayang, adikku manis
Kalau tidak bobo digigit nyamuk
Kata-kata “Kalau tidak bobo digigit nyamuk” yang terdapat dalam senandung Nina Bobo jelas tidak memiliki kematangan kata berjiwa, terlalu dekoratif karena lebih mementingkan tujuan tanpa memperhitungkan efek dari kata-kata itu sendiri. Akibatnya, anak akan hidup dalam kecemasan karena selalu ditakut-takuti dengan berbagai ancaman. 
Simbol dalam Doda Idi

Dalam konteks senandung Doda idi yang mengusung tema perjuangan, senandung juga merupakan sebuah simbol perwujudan atas ide, pencitraan, dan konfigurasi atau wujut gagasan dan persamaan sudut pandang sosial budaya masyarakat Aceh. Artinya, kegiatan senandung pengantar tidur anak ternyata mampu membentuk kualitas karakter anak-anak Aceh untuk lebih mencintai negerinya (Aceh). Wujud “kata” juga merupakan tanda yang digunakan untuk mempertegas eksistensi suatu objek atas kondisi pikiran dan keinginan yang direpresentasikan dalam syair, seperti bait pertama dan kedua di bawah ini.
Allah hai do doda idi
Boh gadung bie boh kayee uteun
(Buah gadung buah-buahan dari hutan)
Raye'k sinyak hana peu ma brie
(Besar si anak entah apa Ibunda beri )
aeb ngen keji ureung donya kheun
(aib dan keji orang-orang katakan)

Allah hai do doda idang
Seulayang blang ka putoh talo

(Sejauh mata memandang telah putus tali)
Beurijang raye'k muda seudang
(cepatlah besar Anakku sayang (remaja))
Tajak bantu prang ta bela Nanggroe
(Pergi berperang membela Nanggroe)
Bait-bait yang memiliki makna filosofis; Beurijang raye'k muda seudang
Tajak bantu prang ta bela Nanggroe,
lahir dari proses simbolisasi atas ide, pencitraan, dan gagasan pemikiran yang dicetuskan oleh para leluhur Aceh berkaitan dengan Adat Bak Po Teumeureuhum, Hukom bak Syiah Kuala. Kanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana. (Adat kepada Po Teumeurehom hukum kepada Syiah Kuala, undang-undang kepada Putroe Pahang, hubungan diplomatik dan protokuler kepada panglima).
Fungsi Senandung Do da idi

Pada dasarnya seni vokal khususnya senandung pengantar tidur anak yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai etnik akan tetap hidup apabila masih dibutuhkan oleh masyarakat pendukungnya. Artinya, senandung pengantar tidur anak akan mengalami kepunahannya apabila tidak dibutuhkan lagi oleh masyarakat. Pentingnya dukungan masyarakat untuk perkembangan senandung pengantar tidur anak dapat dilihat pada berbagai eksistensinya masa sekarang, perannya pada pertumbuhan dan perkembangan anak terletak pada bagaimana senandung hadir memberikan konstribusi penting sehingga anak mampu mengembangkan imajinasi dan rasa percaya diri anak.

Anak merupakan amanah dari Allah SWT, maka selayaknya wujud kasih sayang orang tua kepada anak dibesarkannya berdasarkan “Kasih karena sayang, sayang karena amanah”. Artinya, wujud kasih sayang dibuktikan dengan merawat, membekalinya dengan ilmu pengetahuan serta menanamkan nilai-nilai luhur yang bersumber dari pengetahuan agama agar kelak menjadi anak yang berbakti kepada orangtua dan bertakwa kepada Allah SWTserta berguna bagi nusa bangsa.

Telah diuraikan di atas bahwa salah satu bentuk penyampaian rasa kasih sayang kepada anak adalah melalui senandung pengantar tidur anak. Meski tidak menafikan keberadaan seorang bapak pada perkembangan usia anak, ibu tetap merupakan sosok sentral bagi seorang anak karena proses pendidikan telah dimulai sejak anak dalam kandungan hingga sampai dewasa. Begitu juga dengan fungsi dari senandung, meski syair yang didendangkan si ibu tidak satupun dimengerti oleh anak namun diyakini mampu membangkitkan makna dalam pikiran anak.

Senandung pengantar tidur anak sebenarnya bukan hanya sekedar kecerdasan dan ketrampilan seorang ibu dalam bersenandung, secara hakikat fungsi senandung lebih pada kemampuan untuk mengolah kecerdasan emosi dan sosial anak. Dengan demikian, penggunaan senandung pengantar tidur anak sebagai suatu kegiatan budaya mempunyai dampak terhadap gejala-gejala fungsional dalam kehidupan masyarakat. Gejala fungsional yang terjadi akibat penggunaan senandung Doda idi akan menghasilkan gejala fungsional yang sama; misalnya sebagai wujud kasih sayang, interaksi sosial pertama, wadah potensial pemaknaan dialektikal, nilai estetis, dan mampu membangkitkan nilai-nilai kepahlawanan dan rasa-nasionalisme bagi ibu, anak maupun anggota masyarakat yang mendengar senandung Doda idi.
Dimensi Heroik dan Patriotisme dalam Doda Idi

Pengertian kata dimensi di sini digunakan untuk menganalisis ukuran atau persentase heroik dan patriotik yang tercermin dalam senandung Doda idi, yakni berkaitan dengan nilai-nilai moral dan politik, perasaan sosial berisikan cinta tanah air sehingga menumbuhkan rasa kebanggaan akan masa lampau dan sekarang atas nama kebaktian kepada tanah air. Begitu juga dengan pengertian dimensi heroik dan patriotisme bagi Ureung Aceh (orang Aceh), tidak lepas dari pasang surut perkembangan sosial budaya Aceh yang sarat dengan berbagai peristiwa sosial politik dalam perjalanan sejarahnya. Setidaknya ada empat sebab yang mempengaruhi pasang surut perkembangan kebudayaan Aceh yakni; pertama, perang kerajaan Samudra Pasai dengan Majapahit. Kedua, perang Aceh merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, ketiga adalah pemberontakan DI/TII pasca kemerdekaan yang berimplikasi secara nasional dan keempat pemberontakan GAM dengan pemberlakuan DOM oleh pemerintah. Pasang surut perkembangan peristiwa sosial politik di Aceh tersebut diduga menjadi alasan kuat keberadaan dan fungsi senandung Doda idi tidak pudar.

Dimensi heroik dan patriotik yang terdapat dalam senandung Doda idi merupakan salah satu wujud prilaku musikal yang mampu mempengaruhi si anak. Artinya, sebagai sebuah media ungkap fungsi senandung Doda idi ternyata mampu menstimulus kebutuhan pertumbuhan otak, sistem sensorik dan motorik yang selanjutnya memberikan dampak pada rangsangan penghayatan estetis, ekspresif, dan simbolis bagi si anak, seperti pada bagian awal syair berikut ini:
Allah hai do doda idang
Seulayang blang ka putoh talo

(Sejauh mata memandang telah putus tali)
Beurijang raye'k muda seudang
(cepatlah besar Anakku sayang (remaja))
Tajak bantu prang ta bela Nanggroe
(Pergi berperang membela Nanggroe)
Wahe aneuk bek ta duek le
(Wahai anakku, janganlah duduk berdiam diri lagi)
Beudoh sare ta bela bangsa
(bangkit bersama membela bangsa)
Bek ta takot keu darah ile
(janganlah takut kalau darah mengalir)
Adak pih mate po ma ka rela
(walaupun engkau mati, ibunda telah rela)
Syair senandung di atas mengisyaratkan bahwa nilai-nilai heroik dan patriotik memiliki efek yang mampu mempengaruhi syaraf dan jiwa anak, yakni; psikologis, dan instrumental. Senandung Doda idi seperti yang telah dibahas di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa, syair Doda idi yang disenandungkan selanjutnya secara otomatis terekam dalam ingatan anak. Rekaman inilah menurut dugaan penulis memiliki efek psikologis yang mampu mempengaruhi dan menggugah kesadaran akan kebanggaan masa lampau dan sekarang serta selalu siap membela kepentingannya.

Kemampuan ingatan (memori) anak-anak Aceh yang terus diasah oleh ibu-ibu Aceh dari generasi ke generasi melalui senandung Doda idi ternyata melahirkan dua bentuk kesadaran; pertama, kesadaran masa lampau Ureung Aceh yang tertanam subur hingga hari berupa “kebanggaan masa lampau belaka” (kebanggaan yang berlebihan bahwa ureung Aceh adalah keturunan pejuang yang melegenda). Kesadaran ini melahirkan keseimbangan pada kualitas sikap dan pola hidup kuat ureung Aceh akibat dari pasang surut perkembangan kebudayaan Aceh dalam perjalanan sejarahnya dan pendirian serta keyakinan yang dianut atas dasar pertimbangan kepentingan dan kebutuhan serta keinginan dari jaringan relasi antar sosial masyarakat Aceh ini diduga sebagai salah satu faktor pembentukan kualitas sikap dan pola hidup ureung Aceh. Selanjutnya kualitas sikap dan pola hidup yang kuat ternyata membentuk kebersamaan yang mampu menggugah rasa nasionalisme masyarakat Aceh untuk siap membela kepentingan dan haknya meski harus berperang.

Kedua; senandung Doda idi selain mampu menggugah rasa nasionalisme ternyata ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam senandung Doda idi dapat mengarah anak pada potensi konflik. Dalam konteks senandung Doda idi berkaitan dengan teori konflik. Kebanggaan berlebihan sebagai keturunan pejuang yang melegenda pada sebagian anak akhirnya mengarah pada kualitas pemikiran “benar atau salah, iya atau tidak” secara ekstrim yang digeneralisir secara berlebihan. Dengan demikian senandung Doda idi dapat dikatagorikan sebagai senandung kepahlawanan (heroik dan patriotik Ureung Aceh) karena dianggap mampu memberikan efek ideologi dan eksploitasi anak-anak Aceh pada sosial-politik.
Dari semua uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa senandung pengantar tidur adalah fenomena ekspresi manusia yang memiliki aspek langue (bahasa) dan parole (tuturan) sebagai jembatan komunikasi awal ibu dengan anak.Senandung Doda idi merupakan, gagasan, pikiran berisi “dogma-dogma” kultural yang tidak sekedar mempresentasikan kenyataan dan penyampaiannya namun mampu mempengaruhi psikologi anak lewat bahasa ibunya. Hal Ini membuktikan bahwa senandung Doda idi tidak dapat dikatakan sebagai seni vokal yang sepenuhnya obyektif karena diduga proses penciptaannya tidak netral, berisi dengan dogma-dogma kultural, politik dan tujuan-tujuan tertentu yang lahir atas fenomena-fenomena sosial budaya Aceh.

Berhadapan dengan kebudayaan baru yang lebih progresif serta didukung oleh kekuatan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi yang agresif, membuat apresiasi masyarakat terhadap senandung pengantar tidur anak khususnya senandung Doda idi hari ini mulai terdesak. Produksi musik popular dalam frekuensi tinggi didukung berbagai strategi pasar musik, seperti penyajian musik secara live-show baik panggung maupun melalui televisi, serta majalah-majalah musik yang memuat pengetahuan musik sebagai penunjang wawasan musik popular membuat keberadaan senandung Doda idi di tengah masyarakat di Aceh patut dipertanyakan.

Senandung Doda idi sebenarnya adalah bentuk dari perasaan estetis sebagai produk perkembangan sejarah manusia. Perasaan merupakan refleksi tingkat kesadaran estetis masyarakat, yakni kesadaran mengevaluasi nilai-nilai dari kegiatan musikal dan bentuk interaksi sosial pertama antara ibu dengan anak. Survey yang penulis jalankan baik melalui questioner maupun tanya jawab langsung kebeberapa narasumber membuktikan, hanya segelintir saja yang masih mampu mengingat syair senandung Doda idi selebihnya hanya alasan klise seperti; lupa lirik, terlalu rumit bahkan dianggap tidak mampu menjadi simbol gengsi sosial.

Tentunya apa yang penulis paparkan di atas belum mampu menjangkau keseluruhan fungsi dan keberadaan senandung Doda idi, masih jauh dari sempurna. Walaupun demikian, setidaknya menjadi masukan untuk kita bersama agar memikirkan perkembangan senandung pengantar tidur anak khususnya di Aceh dan Indonesia pada umumnya.


Penulis adalah mahasiswa program doktoral Institut Seni Indonesia Surakarta dan dosen jurusan teater di Institut Seni Indonesia Padangpanjang.

(Materi ini telah disajikan dalam seminar bertema "Lokalitas Sebagai Ujung Tombak Globalisasi" pada Tanggal 3 Desember Tahun 2014 di P4TK Seni dan Budaya, Yogyakarta)
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget