AMP - Seorang saksi mata yang mengaku mantan algojo Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengatakan setiap hari membunuh orang dengan cara sadis di Davao. Bahkan menurut dia, pembunuhan juga dilakukan sendiri oleh Duterte.
Edgar Matobato, 57, berbicara di bawah sumpah mengaku pernah membunuh sedikitnya 1.000 orang bersama dengan polisi dan bekas pemberontak komunis antara 1988-2013. Secara pribadi dia sendiri mengklaim menghabisi nyawa 50 orang, semua atas perintah Duterte saat dia menjabat walikota Davao.
"Saya tidak akan membunuh seseorang kecuali atas perintah Charlie Mike," kata dia pada pengadilan Senat dalam penyelidikan pembunuhan di luar hukum atas Duterte, Kamis (15/9), dikutip AFP. Charlie Mike adalah nama sandi untuk Duterte di kalangan pembunuh bayaran.
Orang-orang yang mereka bunuh adalah para penjahat, mulai dari kejahatan besar seperti penculikan, perampokan dan perkosaan, hingga kejahatan kecil.
Polisi, kata Matobato, memerintahkan pembunuhan dilakukan tidak dengan cara biasa karena para penjahat itu tidak layak mati cepat. "Kemudian kami membuka baju mereka, membakar mayat mereka dan memotong-motong mereka," ujar
Matobato.
Beberapa korban lain dikosongkan terlebih dahulu isi perutnya sebelum jasadnya dibuang ke laut untuk dimakan ikan. Sejumlah lainnya dibiarkan tergeletak di jalan Davao dan tangannya diatur agar terlihat seperti memegang pistol.
Salah satu pelaku penculikan, kata Matobato, tewas setelah dijadikan santapan buaya.
Dibantai seperti ayam
Matobato mengaku melakukan pembunuhan setiap hari. "Rakyat Davao dibantai seperti ayam," kata dia.
Pria ini sempat berbohong saat istrinya melihat percikan darah di bajunya. Saat itu dia mengatakan habis memotong ayam, sehingga darahnya terciprat ke pakaian.
Duterte, lanjut dia, pernah membunuh dengan tangannya sendiri.
Matobato mengatakan bahwa pada 1993, ia dan anggota regu tembak lainnya sedang menjalankan satu misi. Ketika mereka mendekati lokasi, kendaraan agen Badan Investigasi Nasional dari Kementerian Kehakiman menghalangi jalan.
Konfrontasi pun tak terhindarkan hingga terjadi baku tembak. Duterte, yang saat itu menjabat sebagai Wali Kota Davao, tiba di lokasi kejadian di saat para algojo kehabisan peluru dan terluka.
"Walikota Duterte sendiri yang menghabisinya, dia mengosongkan dua magasin peluru uzi terhadap orang itu," kata Matobato.
Pengakuan Matobato itu dibantah oleh pemerintah Filipina. Menteri Kehakiman Vitaliano Aguirre menyebut tudingan itu "bohong dan palsu", mengatakan Matobato "jelas-jelas tidak berbicara benar."
Sementara putra Duterte, Paolo Duterte, mengatakan Matobato adalah "orang gila".
"Saya tidak akan memberi jawaban atas tuduhan orang gila," kata Paolo.
Matobato mengaku "disiksa" saat dia memutuskan untuk keluar dari tim pembunuh Duterte pada 2013. Saat itu dia mengatakan kepada atasannya bahwa dia terlalu tua untuk tugas itu dan ingin mencari pekerjaan lain.
Matobato sendiri sekarang sedang berada dalam program perlindungan saksi. Menurut Kepala Komisi HAM Filipina, Leila de Lima, Matobato menyerahkan diri pada 2009.
Ditanya alasan sebenarnya dia meninggalkan pekerjaan itu, dia menjawab, "hati nurani saya terganggu." (CNN)
Edgar Matobato, 57, berbicara di bawah sumpah mengaku pernah membunuh sedikitnya 1.000 orang bersama dengan polisi dan bekas pemberontak komunis antara 1988-2013. Secara pribadi dia sendiri mengklaim menghabisi nyawa 50 orang, semua atas perintah Duterte saat dia menjabat walikota Davao.
"Saya tidak akan membunuh seseorang kecuali atas perintah Charlie Mike," kata dia pada pengadilan Senat dalam penyelidikan pembunuhan di luar hukum atas Duterte, Kamis (15/9), dikutip AFP. Charlie Mike adalah nama sandi untuk Duterte di kalangan pembunuh bayaran.
Orang-orang yang mereka bunuh adalah para penjahat, mulai dari kejahatan besar seperti penculikan, perampokan dan perkosaan, hingga kejahatan kecil.
Polisi, kata Matobato, memerintahkan pembunuhan dilakukan tidak dengan cara biasa karena para penjahat itu tidak layak mati cepat. "Kemudian kami membuka baju mereka, membakar mayat mereka dan memotong-motong mereka," ujar
Matobato.
Beberapa korban lain dikosongkan terlebih dahulu isi perutnya sebelum jasadnya dibuang ke laut untuk dimakan ikan. Sejumlah lainnya dibiarkan tergeletak di jalan Davao dan tangannya diatur agar terlihat seperti memegang pistol.
Salah satu pelaku penculikan, kata Matobato, tewas setelah dijadikan santapan buaya.
Dibantai seperti ayam
Matobato mengaku melakukan pembunuhan setiap hari. "Rakyat Davao dibantai seperti ayam," kata dia.
Pria ini sempat berbohong saat istrinya melihat percikan darah di bajunya. Saat itu dia mengatakan habis memotong ayam, sehingga darahnya terciprat ke pakaian.
Duterte, lanjut dia, pernah membunuh dengan tangannya sendiri.
Matobato mengatakan bahwa pada 1993, ia dan anggota regu tembak lainnya sedang menjalankan satu misi. Ketika mereka mendekati lokasi, kendaraan agen Badan Investigasi Nasional dari Kementerian Kehakiman menghalangi jalan.
Konfrontasi pun tak terhindarkan hingga terjadi baku tembak. Duterte, yang saat itu menjabat sebagai Wali Kota Davao, tiba di lokasi kejadian di saat para algojo kehabisan peluru dan terluka.
"Walikota Duterte sendiri yang menghabisinya, dia mengosongkan dua magasin peluru uzi terhadap orang itu," kata Matobato.
Pengakuan Matobato itu dibantah oleh pemerintah Filipina. Menteri Kehakiman Vitaliano Aguirre menyebut tudingan itu "bohong dan palsu", mengatakan Matobato "jelas-jelas tidak berbicara benar."
Sementara putra Duterte, Paolo Duterte, mengatakan Matobato adalah "orang gila".
"Saya tidak akan memberi jawaban atas tuduhan orang gila," kata Paolo.
Matobato mengaku "disiksa" saat dia memutuskan untuk keluar dari tim pembunuh Duterte pada 2013. Saat itu dia mengatakan kepada atasannya bahwa dia terlalu tua untuk tugas itu dan ingin mencari pekerjaan lain.
Matobato sendiri sekarang sedang berada dalam program perlindungan saksi. Menurut Kepala Komisi HAM Filipina, Leila de Lima, Matobato menyerahkan diri pada 2009.
Ditanya alasan sebenarnya dia meninggalkan pekerjaan itu, dia menjawab, "hati nurani saya terganggu." (CNN)
loading...
Post a Comment