Oleh Muhibuddin Hanafiah
TAK dapat disangkal, tidak sedikit dari orang Aceh yang tak perduli lagi pada aurat. Mendadah aurat di ruang umum dan di media sosial, seolah telah menjadi kelaziman yang tidak dipermasalahkan lagi. Banyak orang kaya baru di Aceh terlihat tanpa merasa janggal memamerkan auratnya di khalayak ramai, tetapi banyak orang cukup diam saja. Kini banyak orang mulai rebut perihal aurat, saat seorang putri kecantikan yang mengatasnamakan dirinya mewakili Aceh mempertontonkan auratnya dalam kontes.
Kita bertanya mengapa orang biasa yang membuka aurat tidak banyak yang merasa terusik. Tetapi ketika kontestan putri kecantikan menyibak aurat, banyak orang mempermasalahkannya. Apa yang menjadi penyebabnya? Apakah karena ia perempuan, atau apakah lantaran ia membawa-bawa embel Aceh, atau karena ia orang penting (public figure) yang mampu memberi pengaruh besar kepada banyak orang?
Lihat saja baru-baru ini seorang perempuan muda dan berparas cantik, Flavia Celly Jatmiko, yang disebut-sebut sebagai “Miss Aceh asal Surabaya” mengikuti ajang Miss Indonesia 2016. Banyak orang kemudian berkicau di media sosial dan media massa, mereka pada umumnya mengecam tindakan si gadis jelita itu. Uniknya, dari sekian pandangan publik itu yang mereka sesali adalah terhadap pencatutan nama Aceh sebagai daerah perwakilan kontestan. Hanya sebagian orang saja yang mengkritik perilaku gadis itu yang membuka aurat.
Mungkin banyak orang juga tahu bahwa yang namanya kontes kecantikan, memamerkan lekuk tubuh adalah suatu keharusan. Sejatinya, kita bisa melihat secara lebih menyeluruh bahwa mengatasnamakan Aceh adalah satu kesalahan, dan membuka aurat di depan khalayak adalah kesalahan yang lain. Menyoal ajang kontes kecantikan juga merupakan perlombaan yang diperdebatkan. Kendati hingga saat ini belum ada kontes kecantikan atau kontes ratu-ratuan yang tidak menyibak aurat.
Kita bisa memaklumi dan mengapresiasi ketika ada pihak yang memandang kurang setuju bila ada seseorang yang bukan orang Aceh mengaku-ngaku sebagai orang Aceh, atau mengatasnamakan dirinya mewakili Aceh. Hal ini bukanlah masalah egoisme kesukuan belaka, dimana hanya orang yang lahir atau tinggal atau keturunannya Aceh yang boleh mengakui dirinya Aceh, sementara yang lain bukan Aceh. Tetapi masalahnya adalah manakala seseorang yang mengklaim dirinya Aceh, tidak mampu mencitrakan keacehannya dengan benar.
Sebagaimana telah mafhum bahwa identitas Aceh itu adalah Islam. Satu karakteristik lahiriah Islam itu adalah berbusana atau berpakaian yang menutup dan melindungi aurat. Nah, ketika ada orang Aceh atau orang yang mengklaim dirinya Aceh sementara ia membuka aurat, maka amat wajar bila ke-Aceh-annya itu dipertanyakan, atau malah digugat. Ini perilaku orang Aceh yang tidak lazim.
Merasa malu
Fadiatur Rahmi dalam blognya menulis: “Gadis Aceh pamer dada, pemerintah diam saja”. Sebagai perempuan Aceh ia merasa malu oleh ulah Flavia itu. Ia malu pada Cut Nyak Dhien yang telah berjuang membebaskan Aceh dari penjajahan politik dan budaya Barat. Cut Nyak Dhien berjuang dengan darah dan nyawanya untuk mengangkat harkat dan martabat orang Aceh. Sebagai perempuan Aceh, dengan kasus ini Fadia merasa telah mengkhianati perjuangan Cut Nyak Dhien yang tetap menolak melepas kerudungnya meski dalam pengasingan dan pengawasan kolonial Belanda kala itu. Lalu siapa yang harus disalahkan dalam kasus ini?
Fadia sebenarnya tidak menyalahkan siapapun, hanya saja sangat disayangkan mengapa Pemerintah Aceh bungkam begitu saja seolah-olah beranggapan bahwa masalah ini sebagai masalah biasa. Sudah sepatutnya pemerintah Aceh sebagai umara adalah pihak yang paling bertanggungjawab terhadap masyarakat Aceh. Konon lagi dengan peristiwa ini telah melanggar hukum normatif yang berlaku di Aceh, yaitu syari‘at Islam. Pun juga telah merendahkan harga diri orang Aceh yang menjunjung tinggi norma, adat, etika dan budaya islami yang menggap membuka aurat itu sebagai aib (perbuatan yang tidak senonoh dan memalukan).
Lantas siapa sebenarnya Flavia? Nama lengkapnya adalah Flavia Celly Jatmiko. Dari namanya saja sudah kelihatan bukan nama yang familiar bagi gadis Aceh, konon lagi karakteristik kepribadiannya. Flavia disebut-sebut peserta finalis Miss Indonesia 2016 wakil dari Provinsi Aceh. Belum diketahui mengapa atau atas dasar alasan apa yang mengakui sebagai wakil Aceh. Tetapi menurut catatan sejumlah pengamat media, kejadian pencatutan nama daerah tertentu dalam ajang Miss Indonesia sudah sering terjadi, sehingga dianggap lumrah. Sebenarnya gadis 21 tahun ini adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Ia pernah menjadi finalis Cak (agam) dan Ning (inong) Kota Surabaya pada 2014 di Surabaya.
Menjawab sejumlah pertanyaan yang ditujukan untuk dirinya, Flavia mengatakan bahwa orang tuanya berasal dari Jawa Timur. Ibunya berasal dari Surabaya dan ayahnya dari Kediri dan ia merupakan alumnus SMA 4 Surabaya. Nama Flavia Celly Jatmiko mendadak banyak dibicarakan di media sosial akibat kiprahnya di ajang Miss Indonesia 2016. Hal ini terutama karena Flavia Celly Jatmiko dipandang tidak memiliki latar belakang berasal dari Aceh, baik asal daerah maupun riwayatnya tidak pernah tinggal di Aceh. Hasil penelusuran Aktualita.Co di laman resmi Miss Indonesia, Flavia Celly Jatmiko merupakan dara kelahiran Surabaya, 10 Agustus 1994.
Menegur keras
Lalu bagaimana tanggapan wakil rakyat Aceh di parlemen? Anggota DPD RI asal Aceh, H Sudirman menegur keras pengelenggaraan kontes Miss Indonesia dan Putri Indonesia 2016. Pasalnya, seorang kontestan Miss Indonesia 2016, Flavia Celly Jatmiko mengatakan bahwa ia mewakili Aceh. “Ini jelas-jelas merugikan dan merendahkan martabat orang Aceh yang menjunjung tinggi asas serta nilai syariat Islam. Oleh karena itu, saya menegur keras penyelenggaraan ajang pemilihan Miss Indonesia 2016, atas pencatutan Flavelia Celly Jatmiko atas nama utusan Aceh,” katanya kepada mediaaceh.co.
Menurutnya, teguran berupa surat akan dilayangkan kepada tim manajemen dan pantia ajang pemilihan Miss Indonesia 2016. Senator Aceh yang akrab disapa Haji Uma ini sebelumnya juga sudah membicarakan masalah pencatutan ini dengan Anggota DPD Komite III asal Jawa Timur, Hj Emilia Contessa saat melakukan kunjungan ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan. “Kemarin, waktu di Banjarmasin saya sudah membicarakan masalah ini. Alhamdulillah beliau (Hj Emilia Contessa) merespons baik usulan saya dan menyesalkan pencatutan nama Aceh tersebut,” kata Sudirman.
Sebenarnya persoalan substansial bukan saja pada pencatutan nama suatu daerah oleh pihak yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan daerah tersebut seperti dalam kasus pemilihan Miss Indonesia 2016 ini. Kegiatan Miss Indonesia itu sendiri sejak awal terselenggara juga menimbulkan masalah, terutama dengan tata susila, norma dan ajaran agama yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia. Ajang pemilihan semacam ini tidak relevan dengan budaya Indonesia, konon lagi dari segi nilai-nilai keagamaan.
Seorang putri Indonesia sejatinya bukan dilihat pada kesempurnaan tubuhnya semata, melainkan pada kepribadiannya yang menjunjung tinggi harkat dan martabat dirinya sebagai seorang perempuan Indonesia sejati. Perempuan Indonesia adalah perempuan yang dengan kiprahnya memberikan sesuatu yang positif bagi bangsanya, dimana dengan kapasitas keilmuan dan ketrampilan yang dimilikinya dimanfaatkan untuk mengabdikan diri dan membangun Indonesia menjadi lebih bermartabat, berdasarkan ajaran agama dan budaya Indonesia yang memuliakan perempuan. Semoga!
* Muhibuddin Hanafiah, Dosen Fakultas Terbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Email: ibnu_hanafi70@yahoo.com
loading...
Post a Comment