BELAKANGAN ini, wacana pemekaran Aceh semakin kencang bergulir. Seolah, sibak rukok theuk—mengutip istilah paling populer masa konflik—, Aceh akan terbelah menjadi dua provinsi. Pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara Barat Selatan (Alabas) akan terwujud dalam tahun ini.
Setidaknya, nyanyian tersebut makin santer disuarakan para elit politik asal lintas Tengah dan Barat Selatan Aceh. Di antaranya, anggota DPRA Abdullah Saleh (Partai Aceh), anggota DPR-RI Tagore Abubakar (PDI Perjuangan) dan Muslim Aiyub (PAN) yang kini giat memperjuangkan pembentukan Provinsi Alabas sebagai daerah otonomi baru pecahan dari Provinsi Aceh.
Komite Percepatan Pemekaran Provinsi (KP3) Alabas Pusat yang diketuai Armen Desky juga terus meyakinkan masyarakat, bahwa perjuangan mereka hampir rampung dibahas di tingkat Pemerintah Pusat. Bahkan, mereka telah menyiapkan Kota Subulussalam sebagai ibukota Provinsi Alabas nanti.
Alasan klasik masih menjadi dasar tuntutan pembentukan Alabas. Menurut mereka, selama ini pembangunan di 12 kabupaten/kota yang tergabung dalam Alabas jauh tertinggal dibandingkan daerah lain di Aceh. Dipastikan, tidak ada opsi lain yang bisa mengantisipasi persoalan itu. Kerenanya, pembentukan Provinsi Alabas menjadi urgent demi terciptanya pemerataan pembangunan yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah itu.
Yang menjadi pertanyaan, benarkah alasan klasik itu menjadi motif utama menguatnya tuntutan pemekaran Provinsi Aceh belakangan ini? Tentu tidak semuanya benar. Sebab, cukup banyak tuntutan pemekaran kabupaten/kota dan provinsi justru tidak menggambaran kebutuhan nyata untuk peningkatan pelayanan dan kesejahteraan daerah.
Dari catatan kita, lebih 30 persen daerah otonomi baru yang lahir pasca reformasi tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Bahkan sebaliknya, tidak sedikit daerah yang layu setelah dimekarkan.
Apalagi aspirasi pemekaran dilatarbelakangi agenda personal segelintir elit politik. Dengan harapan, bila tuntutan itu terwujud maka akan berpeluang menikmati sumber-sumber kekuasaan dan ekonomi baru yang dilahirkan daerah otonomi baru tersebut. Dampak dari agenda sempit di balik tuntutan pemekaran daerah seperti itu, tentu lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya.
Meski begitu, kita berharap tidak demikian dengan tuntutan pemekaran Aceh yang digaungkan belakangan ini. Semoga wacana pembentukan Provinsi Alabas bukan sebatas kepentingan politik segelintir elit Aceh, melainkan sepenuhnya demi pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di kawasan itu.
Andai Alabas memang sudah memenuhi syarat menjadi sebuah provinsi, pun masih perlu dilakukan audit independen yang komprehensif dan harus ada masa transisi yang diawasi oleh Aceh induk. Kalau memang sudah bisa berdiri di kaki sendiri, baru di-UU-kan sebagai daerah otonomi baru. Dengan demikian, pemekaran itu benar-benar dapat menyejahterakan masyarakat Aceh secara keseluruhan, baik yang dinaungi Pemerintah Aceh induk maupun masyarakat di wilayah Pemerintah Alabas.[]
Setidaknya, nyanyian tersebut makin santer disuarakan para elit politik asal lintas Tengah dan Barat Selatan Aceh. Di antaranya, anggota DPRA Abdullah Saleh (Partai Aceh), anggota DPR-RI Tagore Abubakar (PDI Perjuangan) dan Muslim Aiyub (PAN) yang kini giat memperjuangkan pembentukan Provinsi Alabas sebagai daerah otonomi baru pecahan dari Provinsi Aceh.
Ilustrasi Alabas [Pikiran Merdeka] |
Komite Percepatan Pemekaran Provinsi (KP3) Alabas Pusat yang diketuai Armen Desky juga terus meyakinkan masyarakat, bahwa perjuangan mereka hampir rampung dibahas di tingkat Pemerintah Pusat. Bahkan, mereka telah menyiapkan Kota Subulussalam sebagai ibukota Provinsi Alabas nanti.
Alasan klasik masih menjadi dasar tuntutan pembentukan Alabas. Menurut mereka, selama ini pembangunan di 12 kabupaten/kota yang tergabung dalam Alabas jauh tertinggal dibandingkan daerah lain di Aceh. Dipastikan, tidak ada opsi lain yang bisa mengantisipasi persoalan itu. Kerenanya, pembentukan Provinsi Alabas menjadi urgent demi terciptanya pemerataan pembangunan yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah itu.
Yang menjadi pertanyaan, benarkah alasan klasik itu menjadi motif utama menguatnya tuntutan pemekaran Provinsi Aceh belakangan ini? Tentu tidak semuanya benar. Sebab, cukup banyak tuntutan pemekaran kabupaten/kota dan provinsi justru tidak menggambaran kebutuhan nyata untuk peningkatan pelayanan dan kesejahteraan daerah.
Dari catatan kita, lebih 30 persen daerah otonomi baru yang lahir pasca reformasi tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Bahkan sebaliknya, tidak sedikit daerah yang layu setelah dimekarkan.
Apalagi aspirasi pemekaran dilatarbelakangi agenda personal segelintir elit politik. Dengan harapan, bila tuntutan itu terwujud maka akan berpeluang menikmati sumber-sumber kekuasaan dan ekonomi baru yang dilahirkan daerah otonomi baru tersebut. Dampak dari agenda sempit di balik tuntutan pemekaran daerah seperti itu, tentu lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya.
Meski begitu, kita berharap tidak demikian dengan tuntutan pemekaran Aceh yang digaungkan belakangan ini. Semoga wacana pembentukan Provinsi Alabas bukan sebatas kepentingan politik segelintir elit Aceh, melainkan sepenuhnya demi pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di kawasan itu.
Andai Alabas memang sudah memenuhi syarat menjadi sebuah provinsi, pun masih perlu dilakukan audit independen yang komprehensif dan harus ada masa transisi yang diawasi oleh Aceh induk. Kalau memang sudah bisa berdiri di kaki sendiri, baru di-UU-kan sebagai daerah otonomi baru. Dengan demikian, pemekaran itu benar-benar dapat menyejahterakan masyarakat Aceh secara keseluruhan, baik yang dinaungi Pemerintah Aceh induk maupun masyarakat di wilayah Pemerintah Alabas.[]
loading...
Post a Comment