AMP - Doto Zaini Abdullah sudah familiar. Dia Gubernur Aceh dan mantan kombatan yang kini menjadi “bos” birokrat Aceh. Sementara Bupati Aceh Tengah Nasaruddin yang akrab disapa Pak Nas adalah birokrat yang terjun ke politik. Jabatan ketua Golkar Aceh Tengah yang dipegangnya membuktikan dia kuat disana, selain pengaruh dan namanya cukup dikenal di kawasan tengah tenggara Aceh.
Pertanyaannya, kuatkah pasangan Pidie-Gayo ini bila bersanding menuju “puncak Aceh” pada 2017 mendatang? Ada beberapa catatatan apabila pasangan ini bersatu. Pertama: ini barangkali sejarah paling berguna sepanjang peristiwa politik di Aceh dimana Pidie dan Gayo berbaur memimpin “Aceh”. Kedua: paling tepat dalam komunikasi birokrasi mengingat Pak Nas adalah sosok yang dibesarkan oleh prestasi “Birokrasi”. Sebelum menjadi bupati beliau adalah Sekretaris Daerah Aceh Tengah.
Ketiga: Apabila Gubernur Aceh nantinya tetap dipegang Zaini Abdullah, maka kecil kemungkinan terjadi perselisihan birokrasi dan program pembangunan, sebab wakilnya orang yang mampu menangani ini. Zaini dengan usia yang tidak muda lagi, butuh orang yang dapat mewakilinya membawa kesejahteraan Aceh, dan tentu, Zaini dituntut untuk menjaga stabilitas dari lawan-lawan politik, terutama tetap menjaga komunikasi secara baik dengan Parlemen Aceh.
Aura politik Pidie-Gayo tampaknya harus menjadi sejarah kuat di Aceh dimana selama ini terlihat kurang mengena, apalagi perjalanan budaya dan adat yang berbeda. Namun disini perlu menjadi kajian apabila kekuatan budaya dan adat menjadi salah satu tonggak sejarah untuk menjadikan Aceh berbeda dengan masa lalu.
Di Aceh bila kita mau jujur, maka karakter yang mengalir ke Acehan itu sangat kuat didiri Pidie dan Gayo, sama kuatnya dengan Pasee yang menjadi karakter sesungguhnya.Selain itu, Gayo yang dikenal sebagai daerah pedalaman menjadi fokus khusus, sama halnnya Pidie yang notabene masyarakatnya lebih kuat di bidang “dagang”. Bila ini berbaur, maka Gayo akan menjadi fokus pada produksi pertanian, dan Pidie pendekatan pasar dunia, karena “dagang” itu memang kekuatan yang dipunyai Pidie.
Namun begitu, ini hanya sebuah catatan kecil saja, dalam kesempatan mengkaji pilkada 2017 mendatang dimana Pidie dan Gayo berbaur sebagai kekuatan baru di Aceh, selain itu sekaligus membunuh “kebuntuan” tentang Aceh dan Gayo. Aceh adalah payung besar, dimana didalamnya terdapat berbagai gejolak dan peradaban, namun dalam politik perselisihan adalah kesempatan dan kesempatan hanya ada satu kali. Begitu kira-kira.[lintasgayo]
Pertanyaannya, kuatkah pasangan Pidie-Gayo ini bila bersanding menuju “puncak Aceh” pada 2017 mendatang? Ada beberapa catatatan apabila pasangan ini bersatu. Pertama: ini barangkali sejarah paling berguna sepanjang peristiwa politik di Aceh dimana Pidie dan Gayo berbaur memimpin “Aceh”. Kedua: paling tepat dalam komunikasi birokrasi mengingat Pak Nas adalah sosok yang dibesarkan oleh prestasi “Birokrasi”. Sebelum menjadi bupati beliau adalah Sekretaris Daerah Aceh Tengah.
Ketiga: Apabila Gubernur Aceh nantinya tetap dipegang Zaini Abdullah, maka kecil kemungkinan terjadi perselisihan birokrasi dan program pembangunan, sebab wakilnya orang yang mampu menangani ini. Zaini dengan usia yang tidak muda lagi, butuh orang yang dapat mewakilinya membawa kesejahteraan Aceh, dan tentu, Zaini dituntut untuk menjaga stabilitas dari lawan-lawan politik, terutama tetap menjaga komunikasi secara baik dengan Parlemen Aceh.
Aura politik Pidie-Gayo tampaknya harus menjadi sejarah kuat di Aceh dimana selama ini terlihat kurang mengena, apalagi perjalanan budaya dan adat yang berbeda. Namun disini perlu menjadi kajian apabila kekuatan budaya dan adat menjadi salah satu tonggak sejarah untuk menjadikan Aceh berbeda dengan masa lalu.
Di Aceh bila kita mau jujur, maka karakter yang mengalir ke Acehan itu sangat kuat didiri Pidie dan Gayo, sama kuatnya dengan Pasee yang menjadi karakter sesungguhnya.Selain itu, Gayo yang dikenal sebagai daerah pedalaman menjadi fokus khusus, sama halnnya Pidie yang notabene masyarakatnya lebih kuat di bidang “dagang”. Bila ini berbaur, maka Gayo akan menjadi fokus pada produksi pertanian, dan Pidie pendekatan pasar dunia, karena “dagang” itu memang kekuatan yang dipunyai Pidie.
Namun begitu, ini hanya sebuah catatan kecil saja, dalam kesempatan mengkaji pilkada 2017 mendatang dimana Pidie dan Gayo berbaur sebagai kekuatan baru di Aceh, selain itu sekaligus membunuh “kebuntuan” tentang Aceh dan Gayo. Aceh adalah payung besar, dimana didalamnya terdapat berbagai gejolak dan peradaban, namun dalam politik perselisihan adalah kesempatan dan kesempatan hanya ada satu kali. Begitu kira-kira.[lintasgayo]
loading...
Post a Comment