PERBEDAAN antara pemenang dan pecundang hanya satu: sikap. Para pemenang adalah orang-orang yang berani mengambil tanggung jawab atas setiap perbuatan sesulit apapun kondisi yang dihadapi.
Namun sepertinya sikap ini tidak akan kita lihat dalam pekan-pekan terakhir ini. Sebaliknya, masyarakat malah disodori contoh perilaku “cari aman” politisi-politisi gamang yang dengan cepat mengubah sikap saat angin tak berhembus ke arahnya.
Misalnya Abdullah Saleh. Setelah dengan sikap gagah berani--dia bahkan menggenggam tangan kanan Tagore Abubakar, tokoh pemekaran ALA, dan mengepalkan dengan tangan kanannya ke udara--ikut ambil bagian dalam Duek Pakat Raya Provinsi Aceh Leuser Antara Barat Selatan. Dia dengan cepat merancang alasan lain kehadirannya di Meulaboh saat berhadapan dengan petinggi Partai Aceh
Kehadiran Abdullah Saleh di atas panggung Alabas memang membuat petinggi Partai Aceh berang. Karena partai ini jelas tak menginginkan pemekaran terjadi. Pemekaran Aceh tak sesuai dengan semangat Undang-Undang Pemerintah Aceh. Namun di atas panggung, dengan lantang Abdullah Saleh mengumbar dukungan kepada Alabas. Bahkan dia menyatakan siap dipecat dari Partai Aceh untuk bergabung bersama politisi Alabas lainnya.
Perubahan sikap Abdullah Saleh, 180 derajat, tentu tak baik bagi citra dirinya sebagai politisi kawakan dari barat selatan. Jika memang dari awal Abdullah Saleh menyatakan tak ingin Aceh mekar, harusnya dia tak datang ke acara itu. Karena hanya dengan duduk manis di atas panggung pun, publik akan menilai keberpihakannya kepada pembentukan Provinsi Alabas.
Bagi para pecundang, tekanan adalah hambatan; membatasi gerak. Pikirannya berkecamuk karena terlalu takut untuk mengambil langkah selanjutnya. Abdullah Saleh bukanlah orang itu. Sebagai politisi yang memenangkan banyak pemilihan, Abdullah Saleh tentu berhitung untung rugi, sebelum sampai ke pentas Alabas.
Namun dia juga harus benar-benar memikirkan setiap ucapan yang akan disampaikan kepada publik, sebelum kata-kata itu berubah menjadi harimau yang mencabik-cabik ambisi politiknya. Untuk kali ini, langkah politik Abdullah Saleh, salah. (AJNN)
Namun sepertinya sikap ini tidak akan kita lihat dalam pekan-pekan terakhir ini. Sebaliknya, masyarakat malah disodori contoh perilaku “cari aman” politisi-politisi gamang yang dengan cepat mengubah sikap saat angin tak berhembus ke arahnya.
Misalnya Abdullah Saleh. Setelah dengan sikap gagah berani--dia bahkan menggenggam tangan kanan Tagore Abubakar, tokoh pemekaran ALA, dan mengepalkan dengan tangan kanannya ke udara--ikut ambil bagian dalam Duek Pakat Raya Provinsi Aceh Leuser Antara Barat Selatan. Dia dengan cepat merancang alasan lain kehadirannya di Meulaboh saat berhadapan dengan petinggi Partai Aceh
Kehadiran Abdullah Saleh di atas panggung Alabas memang membuat petinggi Partai Aceh berang. Karena partai ini jelas tak menginginkan pemekaran terjadi. Pemekaran Aceh tak sesuai dengan semangat Undang-Undang Pemerintah Aceh. Namun di atas panggung, dengan lantang Abdullah Saleh mengumbar dukungan kepada Alabas. Bahkan dia menyatakan siap dipecat dari Partai Aceh untuk bergabung bersama politisi Alabas lainnya.
Perubahan sikap Abdullah Saleh, 180 derajat, tentu tak baik bagi citra dirinya sebagai politisi kawakan dari barat selatan. Jika memang dari awal Abdullah Saleh menyatakan tak ingin Aceh mekar, harusnya dia tak datang ke acara itu. Karena hanya dengan duduk manis di atas panggung pun, publik akan menilai keberpihakannya kepada pembentukan Provinsi Alabas.
Bagi para pecundang, tekanan adalah hambatan; membatasi gerak. Pikirannya berkecamuk karena terlalu takut untuk mengambil langkah selanjutnya. Abdullah Saleh bukanlah orang itu. Sebagai politisi yang memenangkan banyak pemilihan, Abdullah Saleh tentu berhitung untung rugi, sebelum sampai ke pentas Alabas.
Namun dia juga harus benar-benar memikirkan setiap ucapan yang akan disampaikan kepada publik, sebelum kata-kata itu berubah menjadi harimau yang mencabik-cabik ambisi politiknya. Untuk kali ini, langkah politik Abdullah Saleh, salah. (AJNN)
loading...
Post a Comment