Foto: AMP |
AMP - Gubernur Aceh periode 2007-2012, Irwandi Yusuf mengaku tidak anti pemekaran Provinsi Aceh. Namun dirinya sangat anti dengan tokoh-tokoh Alabas yang terus menerus membohongi rakyat, terkait pembentukan provinsi itu. Apalagi, wacana pemekaran itu selalu dihembuskan oleh pihak tertentu di momen tertentu seperti menjelang Pilkada.
”Jika memang pembentukan Provinsi Alabas keinginan seluruh rakyat, maka saya siap mendukungnya. Namun yang jadi persoalan sekarang rencana pemekaran itu jelas-jelas bertentangan dengan MoU Helsinki dan UU Pemerintah Aceh. Konkritnya, jika ingin pemekaran maka ubah dulu MoU Helsinki dan UUPA,” kata Irwandi Yusuf menjawab pertanyaan wartawan seusai menghadiri Maulid Akbar Nabi Muhammad SAW tingkat Kabupaten Aceh Selatan yang diselenggarakan di Kecamatan Bakongan, Senin (15/2).
Menurut Irwandi, tokoh-tokoh yang getol memperjuangkan pembentukan Provinsi Alabas selama ini tidak pernah menjelaskan kepada masyarakat terkait butir-butir yang tertuang dalam MoU Helsinki dan pasal-pasal dalam UUPA yang di antaranya jelas menetapkan batas-batas wilayah Provinsi Aceh dan keputusan politik terkait Aceh harus dikonsultasikan terlebih dulu dengan Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh.
Irwandi menjelaskan, dalam butir MoU Helsinki terkait kewajiban konsultasi dengan Pemerintah Aceh dan DPRA mengenai keputusan politik terhadap Aceh yang telah dijabarkan secara jelas dalam UUPA, mengharuskan segala keputusan politik menyangkut Aceh yang salah satunya terkait dengan pemekaran provinsi harus mendapat persetujuan bersama antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Aceh dan DPRA.
“Yang jadi pertanyaan kita sekarang adalah, apakah Pemerintah Pusat bersedia mengambil resiko mengabaikan MoU Helsinki dan UU PA yang sifatnya telah mengikat? Jika pun MoU Helsinki diubah, apakah pihak CMI bersedia memfasilitasi kembali Pemerintah Pusat dengan GAM untuk duduk satu meja di luar negeri dengan disaksikan langsung oleh negara-negara Uni Eropa untuk melakukan perubahan butir-butir MoU tersebut?” tuturnya.
Karena itu, menurut Irwandi, tidak logis jika disebutkan pembentukan Provinsi Alabas untuk kepentingan strategis Pemerintah Pusat, sebab pihak GAM yang saat ini bernaung di bawah Komite Peralihan Aceh (KPA) tidak terbesit niat lagi menuntut kemerdekaan. “Fokus kita saat ini adalah bagaimana menyejahterakan rakyat Aceh dan memajukan pembangunan di Provinsi Aceh lebih maju lagi ke depannya,” papar mantan juru propaganda GAM ini.
Kandidat calon Gubernur Aceh yang telah memastikan diri akan maju pada Pilkada 2017 ini menilai, isu pembentukan Provinsi Alabas yang didengung-dengungkan selama ini dengan alasan tidak ada pemerataan pembangunan oleh Pemerintah Aceh sudah tidak tepat lagi, karena hal itu merupakan alasan yang sangat keliru.
“Untuk membenarkan alasan pembentukan Provinsi Alabas, pihak tertentu mengangkat isu ketidakadilan pembangunan yang dilakukan Pemerintah Aceh. Padahal fakta yang terjadi sekarang ini, Kabupaten Aceh Utara merupakan daerah yang sangat dirugikan selama ini sebab Aceh Utara yang dulunya dikenal sebagai daerah petro dolar di Provinsi Aceh karena satu-satunya daerah yang menghasilkan Gas dan minyak, tapi kondisi pembangunan di daerah tersebut masih jauh tertinggal dengan daerah lain di Aceh,” katanya.
Hasil amatan dirinya di lapangan, sebut Irwandi, kondisi jalan dalam pelosok kecamatan dan desa di pantai Barat Selatan dan Tengah Tenggara Provinsi Aceh jauh lebih bagus dibandingkan pelosok ecamatan dan desa di Kabupaten Aceh Utara. “Begitu juga jumlah masyarakat miskin jauh lebih banyak Aceh Utara dibandingkan daerah lainnya, jadi atas dasar apa dikatakan ketidakadilan pembangunan itu,” papar Irwandi.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa, sambung Irwandi, tingkat pertumbuhan ekonomi antara wilayah Barat Selatan dan Tengah Tenggara dengan pesisir timur dan utara Aceh lebih maju pesisir timur dan utara Aceh. Hal itu, kata Irwandi, tidak bisa disalahkan Pemerintah Aceh sebab kondisi itu tercipta di samping karena jumlah penduduk di wilayah tersebut lebih banyak dibandingkan Pantai Barat Selatan dan Tengah Tenggara, juga didukung dengan letak tofografi wilayah pesisir timur dan utara Aceh yang berbatasan langsung dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Thailand.
“Dengan letak tofografi wilayah berbatasan langsung dengan negara tetangga, maka secara otomatis tingkat pertumbuhan dan perputaran ekonomi wilayah pesisir timur dan utara lebih maju dibandingkan dengan daerah lain di Aceh. Sebab, di wilayah tersebut kegiatan ekspor dan impor bisa dilakukan langsung dengan negara tetangga,” sebutnya.
Melihat kondisi seperti itu, ujarnya, maka langkah yang harus dilakukan oleh masyarakat pantai Barat Selatan dan Tengah Tenggara Aceh adalah mewujudkan kemandirian ekonomi dengan cara mengolah sumber daya alam yang terkandung di daerah masing-masing.
“Di wilayah Pantai Barat Selatan dan Tengah Tenggara Provinsi Aceh sebenarnya mengandung sumber daya alam yang melimpah, seperti sektor pertanian, perkebunan, kelautan dan perikanan, pertambangan serta jasa. Ke depannya langkah ini yang perlu didorong oleh Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota. Sudah tidak relevan atau tidak ada waktu lagi kita saling menuding ketidakadilan, sebab tudingan yang tanpa bersudahan serta tidak ada titik temu itu terus membuat rakyat Aceh semakin menderita dan pembangunan terus merosot,” pungkasnya.[pikiranmerdeka.com]
”Jika memang pembentukan Provinsi Alabas keinginan seluruh rakyat, maka saya siap mendukungnya. Namun yang jadi persoalan sekarang rencana pemekaran itu jelas-jelas bertentangan dengan MoU Helsinki dan UU Pemerintah Aceh. Konkritnya, jika ingin pemekaran maka ubah dulu MoU Helsinki dan UUPA,” kata Irwandi Yusuf menjawab pertanyaan wartawan seusai menghadiri Maulid Akbar Nabi Muhammad SAW tingkat Kabupaten Aceh Selatan yang diselenggarakan di Kecamatan Bakongan, Senin (15/2).
Menurut Irwandi, tokoh-tokoh yang getol memperjuangkan pembentukan Provinsi Alabas selama ini tidak pernah menjelaskan kepada masyarakat terkait butir-butir yang tertuang dalam MoU Helsinki dan pasal-pasal dalam UUPA yang di antaranya jelas menetapkan batas-batas wilayah Provinsi Aceh dan keputusan politik terkait Aceh harus dikonsultasikan terlebih dulu dengan Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh.
Irwandi menjelaskan, dalam butir MoU Helsinki terkait kewajiban konsultasi dengan Pemerintah Aceh dan DPRA mengenai keputusan politik terhadap Aceh yang telah dijabarkan secara jelas dalam UUPA, mengharuskan segala keputusan politik menyangkut Aceh yang salah satunya terkait dengan pemekaran provinsi harus mendapat persetujuan bersama antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Aceh dan DPRA.
“Yang jadi pertanyaan kita sekarang adalah, apakah Pemerintah Pusat bersedia mengambil resiko mengabaikan MoU Helsinki dan UU PA yang sifatnya telah mengikat? Jika pun MoU Helsinki diubah, apakah pihak CMI bersedia memfasilitasi kembali Pemerintah Pusat dengan GAM untuk duduk satu meja di luar negeri dengan disaksikan langsung oleh negara-negara Uni Eropa untuk melakukan perubahan butir-butir MoU tersebut?” tuturnya.
Karena itu, menurut Irwandi, tidak logis jika disebutkan pembentukan Provinsi Alabas untuk kepentingan strategis Pemerintah Pusat, sebab pihak GAM yang saat ini bernaung di bawah Komite Peralihan Aceh (KPA) tidak terbesit niat lagi menuntut kemerdekaan. “Fokus kita saat ini adalah bagaimana menyejahterakan rakyat Aceh dan memajukan pembangunan di Provinsi Aceh lebih maju lagi ke depannya,” papar mantan juru propaganda GAM ini.
Kandidat calon Gubernur Aceh yang telah memastikan diri akan maju pada Pilkada 2017 ini menilai, isu pembentukan Provinsi Alabas yang didengung-dengungkan selama ini dengan alasan tidak ada pemerataan pembangunan oleh Pemerintah Aceh sudah tidak tepat lagi, karena hal itu merupakan alasan yang sangat keliru.
“Untuk membenarkan alasan pembentukan Provinsi Alabas, pihak tertentu mengangkat isu ketidakadilan pembangunan yang dilakukan Pemerintah Aceh. Padahal fakta yang terjadi sekarang ini, Kabupaten Aceh Utara merupakan daerah yang sangat dirugikan selama ini sebab Aceh Utara yang dulunya dikenal sebagai daerah petro dolar di Provinsi Aceh karena satu-satunya daerah yang menghasilkan Gas dan minyak, tapi kondisi pembangunan di daerah tersebut masih jauh tertinggal dengan daerah lain di Aceh,” katanya.
Hasil amatan dirinya di lapangan, sebut Irwandi, kondisi jalan dalam pelosok kecamatan dan desa di pantai Barat Selatan dan Tengah Tenggara Provinsi Aceh jauh lebih bagus dibandingkan pelosok ecamatan dan desa di Kabupaten Aceh Utara. “Begitu juga jumlah masyarakat miskin jauh lebih banyak Aceh Utara dibandingkan daerah lainnya, jadi atas dasar apa dikatakan ketidakadilan pembangunan itu,” papar Irwandi.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa, sambung Irwandi, tingkat pertumbuhan ekonomi antara wilayah Barat Selatan dan Tengah Tenggara dengan pesisir timur dan utara Aceh lebih maju pesisir timur dan utara Aceh. Hal itu, kata Irwandi, tidak bisa disalahkan Pemerintah Aceh sebab kondisi itu tercipta di samping karena jumlah penduduk di wilayah tersebut lebih banyak dibandingkan Pantai Barat Selatan dan Tengah Tenggara, juga didukung dengan letak tofografi wilayah pesisir timur dan utara Aceh yang berbatasan langsung dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Thailand.
“Dengan letak tofografi wilayah berbatasan langsung dengan negara tetangga, maka secara otomatis tingkat pertumbuhan dan perputaran ekonomi wilayah pesisir timur dan utara lebih maju dibandingkan dengan daerah lain di Aceh. Sebab, di wilayah tersebut kegiatan ekspor dan impor bisa dilakukan langsung dengan negara tetangga,” sebutnya.
Melihat kondisi seperti itu, ujarnya, maka langkah yang harus dilakukan oleh masyarakat pantai Barat Selatan dan Tengah Tenggara Aceh adalah mewujudkan kemandirian ekonomi dengan cara mengolah sumber daya alam yang terkandung di daerah masing-masing.
“Di wilayah Pantai Barat Selatan dan Tengah Tenggara Provinsi Aceh sebenarnya mengandung sumber daya alam yang melimpah, seperti sektor pertanian, perkebunan, kelautan dan perikanan, pertambangan serta jasa. Ke depannya langkah ini yang perlu didorong oleh Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota. Sudah tidak relevan atau tidak ada waktu lagi kita saling menuding ketidakadilan, sebab tudingan yang tanpa bersudahan serta tidak ada titik temu itu terus membuat rakyat Aceh semakin menderita dan pembangunan terus merosot,” pungkasnya.[pikiranmerdeka.com]
loading...
Post a Comment