AMP - Konflik dan damai satu kesatuan tak terpisahkan, ibarat dua sisi koin yang berbeda namun berhubungan. Dalam konteks pengalaman di Aceh perdamaian diraih tidak mudah, karena memerlukan proses perjuangan dalam seluruh pihak internasional, nasional, dan lokal sendiri.
Kini, sudah masuk satu dekade jalannya perdamaian di Aceh, tetapi masih memiliki “PR” di berbagai sisi, Salah satunya adalah belum terpenuhinya hak-hak perempuan yang termarginalkan atas dampak yang dirasakan ketika konflik berlangsung saat itu.
Kalangan Inong Bale (perempuan eks-kombatan), salah satu komponen yang berpengaruh di masa konflik,kurang tersentuh dan kurang diperhatikan oleh Pemerintah Aceh. Padahal mereka salah satu bagian dari konflik yang segala hak-haknya wajib dipenuhi oleh pemerintah.
Banyak hal yang mereka butuhkan. Misal bantuan pemverdayaan ekonomi dan sosial.Karena paska reintegrasi ke masyarakat mereka kembali ke titik nol.
Menarik melihat kondisi ataupun keberadaan Inong Bale Gerakan Aceh Merdeka paska konflik. Sehingga membuat saya menelusuri lebih dalam kondisinya, selanjutnya di kongkritkan melalui sebuah produk paper yang diseminarkan bertaraf internasional pada 8 Januari 2016. Judul di presentasikan yaitu Inong Bale: the Forgotten Story in Aceh Peace Agreement” / Inong Bale: Sejarah Terlupakan Dalam Perjanjian Damai Aceh.
Paper tersebut merupakan bagian dari riset saya sebelumnya dengan fokus meneliti tentang peran gerakan perempuan dalam proses reintegrasi perempuan eks-kombatan pasca konflik di Aceh.
Kini, sudah masuk satu dekade jalannya perdamaian di Aceh, tetapi masih memiliki “PR” di berbagai sisi, Salah satunya adalah belum terpenuhinya hak-hak perempuan yang termarginalkan atas dampak yang dirasakan ketika konflik berlangsung saat itu.
Kalangan Inong Bale (perempuan eks-kombatan), salah satu komponen yang berpengaruh di masa konflik,kurang tersentuh dan kurang diperhatikan oleh Pemerintah Aceh. Padahal mereka salah satu bagian dari konflik yang segala hak-haknya wajib dipenuhi oleh pemerintah.
Banyak hal yang mereka butuhkan. Misal bantuan pemverdayaan ekonomi dan sosial.Karena paska reintegrasi ke masyarakat mereka kembali ke titik nol.
Menarik melihat kondisi ataupun keberadaan Inong Bale Gerakan Aceh Merdeka paska konflik. Sehingga membuat saya menelusuri lebih dalam kondisinya, selanjutnya di kongkritkan melalui sebuah produk paper yang diseminarkan bertaraf internasional pada 8 Januari 2016. Judul di presentasikan yaitu Inong Bale: the Forgotten Story in Aceh Peace Agreement” / Inong Bale: Sejarah Terlupakan Dalam Perjanjian Damai Aceh.
Paper tersebut merupakan bagian dari riset saya sebelumnya dengan fokus meneliti tentang peran gerakan perempuan dalam proses reintegrasi perempuan eks-kombatan pasca konflik di Aceh.
Adapun seminar tersebut di atas merupakan bagian dari serangkaian program yakni The 9th Ewha Global Empowerment Program (EGEP) yang diadakan oleh Ewha Womans University pada 5-19 Januari 2016 di Seoul-Korea Selatan.
Terpilih 16 perempuan dari 14 negara yang dianggap komit dan fokus dalam isu-isu memperjuangkan hak perempuan dari berbagai bidang. Dari Indonesia terpilih dua orang, saya sendiri dan Cut Dian Trisniasih mewakili Leuser International Foundation Indonesia. Program yang sudah diadakan sejak 2012 ini sangat terorganisir dalam memerdayakan aktivis perempuan, baik dari segi pengetahuan maupun aksi nyata di kemudian hari.
Beragamnya asal Negara peserta, membuat EGEP menjadi forum yang sangat efektif untuk saling belajar dan berbagai pengalaman serta pelajaran dari berbagai realitas dan probematika sosial yang dihadapi kaum perempuan.
Sebelum memutuskan mengirimkan paper ini, sentimen-sentimen negatif sempat menghampiri saya, tentang stigma “jualan narasi kesedihan” dari kisah Inong Bale. Namun respon yang berbanding terbalik justru saya terima ketika di negara lain, setelah saya presentasikan kisah Inong Bale terbukti mendapatkan respon positif karena dinilai banyak memberikan “lesson learn” dalam konteks keterlibatan perempuan di daerah konflik.
Di Negara lain yang mengalami konflik bersenjata dan keberadaan tentara perempuannya eksis (Afganistan misalnya), persoalan melibatkan perempuan dalam proses perdamain juga masih menjadi isu hangat.
Jelas dipastikan bahwasanya penting untuk membuka ruang-ruang partisipasi guna terlibat aktif mewujudkan hak-hak yang dibutuhkan perempuan paska mengangkat senjata ketika konflik.
Dalam buku program EGEP edisi musim dingin 2016 yang diterbitkan oleh Asian Women Center for Women’s Studies, kisah Inong Bale dikategorikan dalam kelompok “perempuan dan perdamaian”.
Dalam buku ini mengulas bagaimana perempuan menjadi aktor prospektif dalam melahirkan sekaligus menjaga perdamaian (peacemaking & peacebuilding). Kisah Inong Bale dinilai memiliki kontribusi penting dalam berbagi pengalaman tentang aktifisme perempuan pada masa konflik maupun pasca konflik dari Asia.
Perempuan sejatinya memiliki hak sama atas perdamaian, namun acap kali skema kebijakan yang tak ramah gender sering mendiskriminasi posisi perempuan. Belum lagi kondisi budaya patriarki menambah beban ganda bagi perempuan yang mempersempit ruang gerak mereka, baik dalam berfikir maupun berkarya.
Melibatkan perempuan dalam proses perjanjian perdamaian dan mengakomodasi aspirasinya mutlak dijamin dalam United Nations Security Council Resolution 1325. Hal tersebut amat krusial mengingat perempuan sering kali memikul beban sekaligus memerankan peran ganda dalam realita konflik.
Inong Bale membuktikan, sebagian besar dari mereka bukan hanya sebagai bagian dari aktor namun juga sebagai korban konflik. Pengalaman perempuan dalam konflik nyata merupakan suatu yang unik dan perlu pendekatan yang spesifik dalam masa transisional dari perang ke damai.
Kondisi Inong Balee Aceh
Belum maksimalnya pelibatan perempuan dalam tataran proses pengambilan keputusan -perjanjian perdamain misalnya-, praktis membawa dampak jangka panjang pada kehidupan perempuan pada masa damai. Dari konteks perdamaian Aceh, daftar penerima manfaat program reintegrasi ditemukan tidak menyebutkan “perempuan eks-kombatan” secara jelas.
Selain diskriminasi finansial, hal ini juga menunjukkan minimnya pengakuan terhadap eksistensi kaum perempuan. Perdamaian yang dituliskan “bermartabat bagi semua” dalam preambul MoU Helsinki agaknya masih perlu dipertanyakan. Makna perdamaian positif ala Galtung yang mensyaratkan bebasnya masyarakat dari berbagai bentuk kekerasan baik langsung, kultural, maupun struktural masih membutuhkan kerja keras untuk mewujudkannya di Aceh.
Beruntung bahwa perempuan Aceh tak mudah patah arang, cengkraman dan arogansi patriarki yang membelenggu (kadang terselubung) tidak lantas membuat perempuan Aceh meratap menyerah. Salah satu upaya resistensi yang mereka lakukan adalah melalui gerakan perempuan. Perempuan Aceh dengan berbagai keterbatasan realitas sosial tersebut pernah mampu melahirkan forum akbar perkumpulan perempuan terbesar kedua setelah NKRI merdeka yakni Duet Pakat Inong Aceh I dan II.
Model perjuangan gerakan perempuan ala gerakan sosial pada umumnya melalui pola bottom-up yang merangkul suara dari kalangan akar rumput untuk menyuarakan tujuannya hingga ke level atas. Menurut Alberto Melucci gerakan sosial merupakan gerakan yang memiliki tiga unsur yakni konflik / persoalan, membangun formasi aksi kolektif yang memerlukan solidaritas untuk memanifestasi konflik tersebut, kemudian bertujuan mengubah atau merombak sistem yang lama.
Dari kelompok perempuan eks-kombatan, Aceh pernah memiliki Liga Inong Aceh (LINA) sebagai (mungkin) satu-satunya gerakan perempuan pasca konflik yang memperdulikan nasib perempuan eks-kombatan. Berbeda dengan organisasi lainnya, LINA lebih memilih fokus terhadap program yang berefek jangka panjang. Pendidikan dan pelatihan menjadi andalan mereka dalam upaya mengedukasi dan mendampingi perempuan eks-kombatan dalam masa transisi dari perang ke damai.
Selain LINA ada pula Flower Aceh yang hingga kini masih eksis memperjuangkan hak-hak perempuan Aceh dalam segi pemberdayaan dan kesejahteraan perempuan.
Harapan Perubahan
Dari program dan kisah perjuangan gerakan perempuan Aceh, saya menyakini bahwa parsialitas perjuangan perempuan memiliki nilai dan pelajaran yang unik. Seperti yang disampaikan oleh Prof. CHANG Pilwha saat saya mendiskusikan mengenai cara agak eksistensi gerakan perempuan dapat terus terjaga, menurut beliau “mulailah memahami parsialitas dengan mengkombinasikannya dengan pandangan kedepan yang bersifat global”, dengan demikian akan membuka ruang dan jaringan-jaringan positif baru dalam gerakan itu. Unsur pengakuan juga mutlak menjadi hal dasar dalam perjuangan perempuan. Pelajaran yang juga bisa dipetik dari Aceh adalah diharapkan gerakan perempuan Aceh mampu berkonsolidasi menyeragamkan langkah dalam perjuangan mereka untuk kekuatan yang lebih solid.
Aceh, konflik, Inong Bale dan kisah perjuangan perempuannya memang masih banyak menyisakan retorika dan teka-teki. Akan tetapi, jika lambat laun semakin sedikit mata yang mengarahkan pandangan terhadapnya, maka bukan mustahil kisah mereka akan terlupakan, terkubur usang tertutupi oleh berbagai dalih dan isu lain yang dianggap lebih trending.
Mungkin “perhatian dan upaya” seperti yang saya lakukan ini belum memberi kontribusi manfaat secara langsung kepada saudari-saudari eks-kombatan di Aceh. Namun, saya meyakini, dengan tetap menyuarakan keberadaan mereka hingga ke mata dunia, adalah langkah kecil yang bisa saya abdikan sebagai wujud “perjuangan melawan lupa”.
Oleh: Anna C. Suwardi
DEEP (Dialogue, Emphatic Engagement and Peacebuilding) _ Yogyakarta
Dikutip dari : acehtrend.co
loading...
Post a Comment