AMP - Tulisan ini ditulis oleh Tim Santri Dayah pada awal November 2012. Tak kurang dalam dua hari perjalanan tim mendapatkan tantangan demi tantangan ketika melewati terjal dan curamnya jalan Meulaboh hingga akhirnya sampai ke tujuan, tekad kami, ingin melihat secara jelas sekelumit persoalan aqidah yang menjadi buah bibir masyarakat Aceh saat itu.
Singkil, sebuah kabupaten yang terbentuk pada tanggal 20 April 1999 hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Selatan merupakan daerah yang memliki beragam corak dan gaya hidup serta sempat tercatat dalam sejarah sebagai salah-satu kota peradaban Islam dibawah kekuasaan Aceh Darussalam. Abad 16, sewaktu kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda, Syaikh Abdurrauf Assingkili, seorang Ulama dari Singkil sempat didudukkan dan di angkat sebagai tempat rujukan agama atau hukum syara’. Tidak diragukan lagi, Islam menjadi satu acuan penting dalam membentuk kehidupan masyarakat Singkil yang kompleks.
Kristen Mulai Masuk
Lima belas tahun sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, agama Kristen sudah menapaki daratan Aceh Singkil yang saat ini diketahui sebagai daerah terdekat dengan perbatasan. Kristen pertama sekali masuk ke wilayah Aceh Singkil pada tahun 1930 melalui seorang penginjil yang berasal dari Salak, Pakpak Bharat, pendeta itu bernama I.W Banurea.
Hingga pada tahun 1932 si pendeta Evangelist tersebut bekerjasama dengan perkebunan Socfindo untuk mendirikan gereja, kemudian satu demi satu desa-desa itu dikunjungi dan terbentuklah gereja-gereja. Sampai dengan saat ini, sudah ada 15 ribu jiwa yang memeluk agama Kristen. Mencengangkan, karena pemeluk-pemeluk Kristen ini bukanlah warga Singkil, melainkan pendatang dari luar yang dimasukkan ke daerah ini.
Tahun 1968, Daud Beureuh yang sempat menjabat sebagai gubernur militer Aceh sekaligus seorang ulama dan pejuang kemerdekaan Indonesia sempat mendatangi kecamatan Lipat Kajang dan desa Rimo, dalam pidatonya mengatakan “supaya gereja dan ditutup dan kegiatan agama Kristen dihentikan. Alasannya karena Aceh adalah daerah istimewa yang penduduknya mayoritas Islam. Daud Beureuh sepertinya tidak mau jika suatu saat nanti para pemeluk Kristen dari berbagai daerah didatangkan dari luar. Ini bisa menghancurkan syari’at Islam di Aceh.
Tidak berhenti sampai di situ saja, tahun 1979 Singkil kembali didatangi oleh seorang penginjil dari Gereja Tuhan Indonesia (GTI) Sumatera Utara untuk mendirikan gerejanya di Gunung Meriah. Kejadian ini, sempat menimbulkan kemarahan dari umat Islam dan memicu insiden dengan umat Kristiani.
Ikrar Bersama Menjaga Kerukunan Umat Beragama
Tanggal 11 Juli 1979 di Lipat Kajang, melalui sepucuk surat perjanjian yang ditandatangani secara bersama-sama oleh 8 Ulama perwakilan ummat Islam dan 8 pengurus gereja perwakilan umat Kristiani sepakat untuk tidak melaksanakan pendirian/rehab gereja sebelum mendapat izin dari pemerintah daerah tingkat II.
Hingga kemudian pada tanggal 13 Oktober 1979 dibuatlah ikrar bersama untuk menjaga kerukunan umat beragama dan mentaati perjanjian yang telah dibuat pertama kali (11/07/1979) tersebut. Ikrar bersama ini ditandatangani oleh 11 pemuka agama Kristen dan 11 pemuka agama Islam disaksikan serta ditandatangani oleh muspida Kab. Aceh Selatan (saat itu belum dimekarkan menjadi kabupaten Aceh Singkil –red), Kabupaten Dairi-Sumut dan juga disaksikan oleh unsur muspika Simpang Kanan.
Mereka Ingkar Janji
Walau perjanjian demi perjanjian terus dilakukan, namun pihak Kristiani tidak pernah mau memegang janjinya, hingga pada oktober 2011 kembali dibuat surat perjanjian terkait pembakaran salah satu gereja di kecamatan Suro yang sempat terjadi sebelumnya. Dengan difasilitasi oleh Muspika dan Muspida, maka dibuatlah dialog melalui hasil perjanjian, diantaranya, gereja di Aceh Singkil hanya boleh 1 unit, yaitu gereja Kuta Kerangan dengan ukuran 12×24 meter dan tidak bertingkat, undung-undung hanya boleh 4 unit, yaitu 1 unit di Gampong Keras, 1 unit di Gampong Napagaluh, 1 unit di Gampong Suka Makmur dan 1 lagi di Gampong Lae Gecih. Apabila terdapat gereja atau undung-undung selain yang tersebut diatas, harus dibongkar.
Kenyataannya, gereja dan undung-undung yang masuk daftar perjanjian itu tidak dibongkar, jangankan dibongkar malah diperbanyak (dibangun lagi yang baru) dan direhab. Saat ini, sudah hadir lebih dari 20 gereja di Singkil.
Pembangunan gereja ini dilakukan secara sadar dan melanggar hukum dengan tidak melengkapi syarat, terang-terangan melawan pemerintah dan melanggar aturan yang berlaku, serta melecehkan ummat Islam dengan melanggar perjanjian yang telah dibuat bersama. Malah tidak mentaati peraturan yang sudah tertuang dalam Pergub nomor 25 tahun 2007, SKB 2 Menteri nomor 9/8 tahun 2006, Qanun Aceh Singkil nomor 7 tahun 2002, perjanjian lama 1979 serta perjanjian yang dibuat pada tahun 2001 dengan penuh perdamaian oleh tokoh-tokoh agama di Singkil.
Pengurus gereja Petabas dicurigai telah melakukan aksi-aksi yang memancing kemarahan Muslim, satu-persatu jemaat gereja didatangkan dari luar (bukan penduduk asli –red). Artinya, keberadaan gereja tidak memenuhi kebutuhan masyarakat setempat, melainkan lebih kepada provokasi. Padahal pemerintah dan tokoh agama telah bersusah payah menjaga kerukunan umat beragama di Aceh Singkil.
Kronologis Awal Penyegelan Gereja Aceh Singkil
Pada hari Selasa tanggal 20 september 2011 beberapa ormas Islam di Singkil mendatangi pemerintah Kabupaten Aceh Singkil melalui Asisten Pemerintahan (Asisten I), Drs. Azmi guna merekomendasikan agar gereja dan undung-undung (sejenis gereja kecil –red) yang sekarang semakin banyak berdiri dengan status illegal serta yang tidak memiliki IMB (izin mendirikan bangunan) supaya ditertibkan, guna mengantisipasi kejadian tahun 33 tahun silam (1979).
Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil melalui Asisten I, Drs. Azmi merespon apa yang telah disampaikan dan direkomendaskan sehingga pada hari selasa, 27 september 2011 diadakan rapat Muspida Plus, Ormas, tokoh masyarakat, agama dan LSM yang ada di Kabupaten Aceh Singkil. Melalui hasil rapat tersebut dibuat satu kesimpulan.
Kesimpulan tersebut antara lain, pemerintah Kabupaten Aceh Singkil akan meng-inventarisir jumlah sesungguhnya gereja dan undung-undung, bagi gereja/undung-undung yang dibangun dan tidak sesuai SKB 2 Menteri nomor 9/8 tahun 2006 dan Pergub Aceh nomor 25 tahun 2007 serta Qanun Aceh Singkil nomor 7 tahun 2002 merupakan suatu perbuatan melanggar hukum. Pemerintah akan melakukan tindakan penertiban terhadap keberadaan bangunan gereja dan undung-undung yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Tgk. Hambalisyah Sinaga, S.PdI yang merupakan ketua Front Pembela Islam (FPI) Aceh Singkil kepada SantriDayah menjelaskan bahwa hasil rapat tersebut tidak menghasilkan tindakan apapun dari Pemda Aceh Singkil dilapangan sehingga berjalan lima bulan kemudian dari hasil rapat Muspida Plus serta para ormas, tokoh agama, masyarakat, LSM tepat pada hari rabu (29/03/12) panitia pembangunan gereja di Gampong Pertabas Simpang Kanan masih tetap melanjutkan pembangunan gereja.
Ormas yang sudah siap dan muspida langsung melakukan investigasi ke lapangan. Apa yang terlihat, para pekerja pembangunan gereja Pertabas tidak sedikit pun menghiraukan kedatangan Muspida Aceh Singkil, pada hari tersebut pembangunan gereja masih saja terus dilanjutkan, terjadilah dialog yang dimulai dari Waka Polres Aceh Singkil dilanjutkan dengan pembacaan hasil kesepakatan oleh Tgk. Hambalisyah Sinaga, S.PdI dan terjadilah debat panjang tanpa membuahkan hasil.
“Kami menilai kedatangan pemda Aceh Singkil kelapangan sekedar melepas kebosanannya di ruang kerja dan refreshing,” ujar Tgk. Hambalisyah Sinaga, S.PdI yang biasanya akrab disapa Ustad Hambali.
Aksi Damai Tanpa Anarkis
Waktu terus berjalan, hingga pada 30 April 2012 atas nama Forum Umat Islam Aceh Singkil mendatangi kantor Bupati mengadakan aksi damai tanpa anarkis guna menyampaikan kepada Pemda setempat tentang banyaknya bangunan gereja liar tanpa adanya IMB dengan jumlah 27 unit dan tersebar di 7 kecamatan dalam Kabupaten Aceh Singkil, setelah kurang lebih satu jam melakukan orasi maka peserta aksi damai diminta untuk berkumpul di kantor bupati mengadakan dialog agar bisa mewakili peserta aksi damai.
Dari hasil pertemuan itu kapolres yang langsung memimpin rapat menegaskan supaya persoalan ini segera diselesaikan dan intisari rapat menghasilkan sebuah kesepakatan bahwa seluruh gereja yang tidak memiliki izin diminta untuk dibongkar oleh umat Kristen itu sendiri.
Gayung Bersambut
Pada tanggal 1 Mei 2012 tim penertiban yang dibentuk oleh Pemda Aceh Singkil turun kelokasi untuk menyegel lima unit gereja, hari kedua tim penertiban tidak turun karena ada acara Hardiknas, hanya saja pada hari tersebut beberapa pendeta datang ke kantor bupati dan diadakan pertemuan dengan unsur muspida/plus, Kapolres dan Kasdim Aceh Singkil serta MPU. Dalam pertemuan tersebut disampaikanlah tanggapan dari pendeta-pendeta antara lain mengenai perjanjian 1979 dan 2001 yang diakui, akan tetapi pendeta tersebut meminta dari umat Islam untuk toleransi lagi tentang penambahan pembangunan gereja di Singkil, padahal pada tahun 2001 sudah diberikan toleransi 4 buah undung-undung.
Di samping itu, pendeta yang ikut hadir dalam pertemuan itu menilai bahwa perjanjian tahun 2001 bersifat dibawah tekanan, tidak murni hasil musyawarah, GKPPD (Gereja Protestan Pakpak Dairi) adalah gereja yang berbasis budaya dan tersebar di Sumatera, Aceh bahkan Jawa, dalam artian telah menyebar ke seluruh Indonesia, kalau diadakan pemaksaan dan dan peruntuhan ini bisa berakibat lain, bukan menyelesaikan masalah melainkan menambah masalah.
Jika jemaat Kristen bertahan, dan aparat datang merobohkan gereja, ini bukanlah seperti di Ambon, tolong dipikirkan baik-baik kalau memang ini harga mati, ujar salah-satu tokoh masyarakat Aceh Singkil menanggapi alasan pendeta yang menilai miring perjanjian tahun 2001 tersebut. Pada tanggal 03 Mei 2012 tim penertiban kembali bergerak, hingga kemudian berhasil menyegel 13 gereja. Selanjutnya 08 Mei 2012 juga turun ke lapangan dan berhasil menyegel 2 gereja. Proses ini sudah berjalan 2 bulan 10 hari, belum ada hasil yang didapat tentang bangunan gereja liar, segel yang dipasang oleh tim penertiban bentukan Bupati Aceh Singkil sebagian besar bahkan dicabut dan gereja/undung-undung kembali ditempati seperti semula.
Masalahnya semakin kompleks, hingga ummat Islam di bumi Abdurrauf Assingkili tidak bisa berbuat apa-apa. Berbagai upaya telah dicoba guna menjaga aqidah Islam secara utuh, bahkan beberapa informasi yang berhasil diperoleh SantriDayah saat itu menyebutkan bahwa ada beberapa Muallaf yang sudah merasakan kedamaian dengan memilih Islam sebagai jalan hidup murtad kembali, karena tidak adanya perlindungan dan pengajaran yang memadai. Pemerintah Aceh Singkil seharusnya berpikir panjang, mendirikan berbagai benteng pertahanan terhadap aqidah Islam rakyatnya, bukan malah membuka jalan bagi Kristen untuk memurtadkan satu-persatu Muslim di daerahnya.
Meluasnya Wahana Perpecahan
Bak bara dalam sekam, Umat Islam di seluruh Aceh menganggap Aceh Singkil aman-aman saja, padahal kejadian demi kejadian terus terjadi.
Pertengahan juni 2012 Bumi Syekh Abdurrauf digemparkan oleh tersebarnya buku-buku yang menghina umat Islam, buku-buku yang berjumlah ribuan eksemplar itu diletakkan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab ke rumah ibadah kaum Muslim seperti masjid-masjid, mushalla-mushalla dan di jalan-jalan, buku itu memuat pelecehan terhadap tatacara Islam melakukan ibadah, termasuk menghina ajaran Rasulullah SAW dan mengatakan bahwa beliau bukanlah seorang Rasul Allah. Tidak hanya buku, selebaran-selebaran yang menebarkan kebencian dan memancing konflik horizontal antar umat beragama pun ditemukan. Diduga dalang dibalik kejadian ini dibuat oleh Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi, Sidikalang.
Informasi yang diperoleh SantriDayah dari ketua FPI Aceh Singkil Tgk. Hambalisyah Sinaga, S.PdI menguatkan dugaan bahwa benar dibalik kejadian ini GKPPD lah yang harus bertanggungjawab. Sehubungan dengan surat pengaduan dengan nomor 99/PD/DPW-FPI/SY/1433 yang pernah dilayangkan kepada Kapolres Aceh Singkil tentang adanya selebaran dari GKPPD Sidikalang dan buku tanpa penerbit yang memuat penodaan terhadap agama Islam. Umat Islam di Singkil ditakutkan akan mengalami nasib yang sama dengan yang pernah terjadi di Bengkulu, dimana setiap bulan haji, mereka selalu mendapatkan buku panduan manasik haji palsu yang dibuat oleh kaum Kristiani dan disebarkan ke kaum muslimin.
Kristen Dilindung, Islam Dibendung
Selang satu hari setelah surat itu dikirimkan, Tgk. Hambalisyah Sinaga, S.PdI yang merupakan ketua FPI Aceh Singkil dipanggil oleh Kapolres Aceh Singkil melalui Kasat Reskrim AKP. Ibrahim, SH untuk dimintai keterangan klarifikasi selebaran copyan pemberitahuan yang di duga dari gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi. Pada tanggal 16 Juli 2012 di rumah makan Embun Pagi, Gampong Lae Butar Gunung Meriah Kapolda Aceh mengadakan pertemuan dengan masyarakat Aceh Singkil, lebih kurang dari pertemuan itu didominasi oleh umat Kristiani Aceh Singkil. Ketika dari pengurus FPI datang ketempat itu, satu hal yang aneh terjadi, pihak Islam diawasi dengan ketat, sampai ditanya siapa yang mengundang mereka. Mukaribin Pohan (wakil ketua bagian jihad FPI) juga sempat mendapat teguran dari Polsek Gunung Meriah, dengan pernyataan yang lebih kurang “kamu jangan macam-macam, nanti kutangkap dan kumasukkan ke penjara, kamu tidak ada undangan”. Ketika tanya jawab dimulai, beberapa peserta dari ummat Kristiani tampil memaparkan pembicaraan, namun disaat tokoh agama Islam, wakil ketua DPRK dan MAA Aceh Singkil mengajukan pertanyaan kepada Kapolda, kesempatan itu tak pernah diberikan.
Penulis: Mawardi Ismail Al-Asyi
Sumber: http://aneukmulieng.blogspot.co.id/
Singkil, sebuah kabupaten yang terbentuk pada tanggal 20 April 1999 hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Selatan merupakan daerah yang memliki beragam corak dan gaya hidup serta sempat tercatat dalam sejarah sebagai salah-satu kota peradaban Islam dibawah kekuasaan Aceh Darussalam. Abad 16, sewaktu kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda, Syaikh Abdurrauf Assingkili, seorang Ulama dari Singkil sempat didudukkan dan di angkat sebagai tempat rujukan agama atau hukum syara’. Tidak diragukan lagi, Islam menjadi satu acuan penting dalam membentuk kehidupan masyarakat Singkil yang kompleks.
Kristen Mulai Masuk
Lima belas tahun sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, agama Kristen sudah menapaki daratan Aceh Singkil yang saat ini diketahui sebagai daerah terdekat dengan perbatasan. Kristen pertama sekali masuk ke wilayah Aceh Singkil pada tahun 1930 melalui seorang penginjil yang berasal dari Salak, Pakpak Bharat, pendeta itu bernama I.W Banurea.
Hingga pada tahun 1932 si pendeta Evangelist tersebut bekerjasama dengan perkebunan Socfindo untuk mendirikan gereja, kemudian satu demi satu desa-desa itu dikunjungi dan terbentuklah gereja-gereja. Sampai dengan saat ini, sudah ada 15 ribu jiwa yang memeluk agama Kristen. Mencengangkan, karena pemeluk-pemeluk Kristen ini bukanlah warga Singkil, melainkan pendatang dari luar yang dimasukkan ke daerah ini.
Tahun 1968, Daud Beureuh yang sempat menjabat sebagai gubernur militer Aceh sekaligus seorang ulama dan pejuang kemerdekaan Indonesia sempat mendatangi kecamatan Lipat Kajang dan desa Rimo, dalam pidatonya mengatakan “supaya gereja dan ditutup dan kegiatan agama Kristen dihentikan. Alasannya karena Aceh adalah daerah istimewa yang penduduknya mayoritas Islam. Daud Beureuh sepertinya tidak mau jika suatu saat nanti para pemeluk Kristen dari berbagai daerah didatangkan dari luar. Ini bisa menghancurkan syari’at Islam di Aceh.
Tidak berhenti sampai di situ saja, tahun 1979 Singkil kembali didatangi oleh seorang penginjil dari Gereja Tuhan Indonesia (GTI) Sumatera Utara untuk mendirikan gerejanya di Gunung Meriah. Kejadian ini, sempat menimbulkan kemarahan dari umat Islam dan memicu insiden dengan umat Kristiani.
Ikrar Bersama Menjaga Kerukunan Umat Beragama
Tanggal 11 Juli 1979 di Lipat Kajang, melalui sepucuk surat perjanjian yang ditandatangani secara bersama-sama oleh 8 Ulama perwakilan ummat Islam dan 8 pengurus gereja perwakilan umat Kristiani sepakat untuk tidak melaksanakan pendirian/rehab gereja sebelum mendapat izin dari pemerintah daerah tingkat II.
Hingga kemudian pada tanggal 13 Oktober 1979 dibuatlah ikrar bersama untuk menjaga kerukunan umat beragama dan mentaati perjanjian yang telah dibuat pertama kali (11/07/1979) tersebut. Ikrar bersama ini ditandatangani oleh 11 pemuka agama Kristen dan 11 pemuka agama Islam disaksikan serta ditandatangani oleh muspida Kab. Aceh Selatan (saat itu belum dimekarkan menjadi kabupaten Aceh Singkil –red), Kabupaten Dairi-Sumut dan juga disaksikan oleh unsur muspika Simpang Kanan.
Mereka Ingkar Janji
Walau perjanjian demi perjanjian terus dilakukan, namun pihak Kristiani tidak pernah mau memegang janjinya, hingga pada oktober 2011 kembali dibuat surat perjanjian terkait pembakaran salah satu gereja di kecamatan Suro yang sempat terjadi sebelumnya. Dengan difasilitasi oleh Muspika dan Muspida, maka dibuatlah dialog melalui hasil perjanjian, diantaranya, gereja di Aceh Singkil hanya boleh 1 unit, yaitu gereja Kuta Kerangan dengan ukuran 12×24 meter dan tidak bertingkat, undung-undung hanya boleh 4 unit, yaitu 1 unit di Gampong Keras, 1 unit di Gampong Napagaluh, 1 unit di Gampong Suka Makmur dan 1 lagi di Gampong Lae Gecih. Apabila terdapat gereja atau undung-undung selain yang tersebut diatas, harus dibongkar.
Kenyataannya, gereja dan undung-undung yang masuk daftar perjanjian itu tidak dibongkar, jangankan dibongkar malah diperbanyak (dibangun lagi yang baru) dan direhab. Saat ini, sudah hadir lebih dari 20 gereja di Singkil.
Pembangunan gereja ini dilakukan secara sadar dan melanggar hukum dengan tidak melengkapi syarat, terang-terangan melawan pemerintah dan melanggar aturan yang berlaku, serta melecehkan ummat Islam dengan melanggar perjanjian yang telah dibuat bersama. Malah tidak mentaati peraturan yang sudah tertuang dalam Pergub nomor 25 tahun 2007, SKB 2 Menteri nomor 9/8 tahun 2006, Qanun Aceh Singkil nomor 7 tahun 2002, perjanjian lama 1979 serta perjanjian yang dibuat pada tahun 2001 dengan penuh perdamaian oleh tokoh-tokoh agama di Singkil.
Pengurus gereja Petabas dicurigai telah melakukan aksi-aksi yang memancing kemarahan Muslim, satu-persatu jemaat gereja didatangkan dari luar (bukan penduduk asli –red). Artinya, keberadaan gereja tidak memenuhi kebutuhan masyarakat setempat, melainkan lebih kepada provokasi. Padahal pemerintah dan tokoh agama telah bersusah payah menjaga kerukunan umat beragama di Aceh Singkil.
Kronologis Awal Penyegelan Gereja Aceh Singkil
Pada hari Selasa tanggal 20 september 2011 beberapa ormas Islam di Singkil mendatangi pemerintah Kabupaten Aceh Singkil melalui Asisten Pemerintahan (Asisten I), Drs. Azmi guna merekomendasikan agar gereja dan undung-undung (sejenis gereja kecil –red) yang sekarang semakin banyak berdiri dengan status illegal serta yang tidak memiliki IMB (izin mendirikan bangunan) supaya ditertibkan, guna mengantisipasi kejadian tahun 33 tahun silam (1979).
Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil melalui Asisten I, Drs. Azmi merespon apa yang telah disampaikan dan direkomendaskan sehingga pada hari selasa, 27 september 2011 diadakan rapat Muspida Plus, Ormas, tokoh masyarakat, agama dan LSM yang ada di Kabupaten Aceh Singkil. Melalui hasil rapat tersebut dibuat satu kesimpulan.
Kesimpulan tersebut antara lain, pemerintah Kabupaten Aceh Singkil akan meng-inventarisir jumlah sesungguhnya gereja dan undung-undung, bagi gereja/undung-undung yang dibangun dan tidak sesuai SKB 2 Menteri nomor 9/8 tahun 2006 dan Pergub Aceh nomor 25 tahun 2007 serta Qanun Aceh Singkil nomor 7 tahun 2002 merupakan suatu perbuatan melanggar hukum. Pemerintah akan melakukan tindakan penertiban terhadap keberadaan bangunan gereja dan undung-undung yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Tgk. Hambalisyah Sinaga, S.PdI yang merupakan ketua Front Pembela Islam (FPI) Aceh Singkil kepada SantriDayah menjelaskan bahwa hasil rapat tersebut tidak menghasilkan tindakan apapun dari Pemda Aceh Singkil dilapangan sehingga berjalan lima bulan kemudian dari hasil rapat Muspida Plus serta para ormas, tokoh agama, masyarakat, LSM tepat pada hari rabu (29/03/12) panitia pembangunan gereja di Gampong Pertabas Simpang Kanan masih tetap melanjutkan pembangunan gereja.
Ormas yang sudah siap dan muspida langsung melakukan investigasi ke lapangan. Apa yang terlihat, para pekerja pembangunan gereja Pertabas tidak sedikit pun menghiraukan kedatangan Muspida Aceh Singkil, pada hari tersebut pembangunan gereja masih saja terus dilanjutkan, terjadilah dialog yang dimulai dari Waka Polres Aceh Singkil dilanjutkan dengan pembacaan hasil kesepakatan oleh Tgk. Hambalisyah Sinaga, S.PdI dan terjadilah debat panjang tanpa membuahkan hasil.
“Kami menilai kedatangan pemda Aceh Singkil kelapangan sekedar melepas kebosanannya di ruang kerja dan refreshing,” ujar Tgk. Hambalisyah Sinaga, S.PdI yang biasanya akrab disapa Ustad Hambali.
Aksi Damai Tanpa Anarkis
Waktu terus berjalan, hingga pada 30 April 2012 atas nama Forum Umat Islam Aceh Singkil mendatangi kantor Bupati mengadakan aksi damai tanpa anarkis guna menyampaikan kepada Pemda setempat tentang banyaknya bangunan gereja liar tanpa adanya IMB dengan jumlah 27 unit dan tersebar di 7 kecamatan dalam Kabupaten Aceh Singkil, setelah kurang lebih satu jam melakukan orasi maka peserta aksi damai diminta untuk berkumpul di kantor bupati mengadakan dialog agar bisa mewakili peserta aksi damai.
Dari hasil pertemuan itu kapolres yang langsung memimpin rapat menegaskan supaya persoalan ini segera diselesaikan dan intisari rapat menghasilkan sebuah kesepakatan bahwa seluruh gereja yang tidak memiliki izin diminta untuk dibongkar oleh umat Kristen itu sendiri.
Gayung Bersambut
Pada tanggal 1 Mei 2012 tim penertiban yang dibentuk oleh Pemda Aceh Singkil turun kelokasi untuk menyegel lima unit gereja, hari kedua tim penertiban tidak turun karena ada acara Hardiknas, hanya saja pada hari tersebut beberapa pendeta datang ke kantor bupati dan diadakan pertemuan dengan unsur muspida/plus, Kapolres dan Kasdim Aceh Singkil serta MPU. Dalam pertemuan tersebut disampaikanlah tanggapan dari pendeta-pendeta antara lain mengenai perjanjian 1979 dan 2001 yang diakui, akan tetapi pendeta tersebut meminta dari umat Islam untuk toleransi lagi tentang penambahan pembangunan gereja di Singkil, padahal pada tahun 2001 sudah diberikan toleransi 4 buah undung-undung.
Di samping itu, pendeta yang ikut hadir dalam pertemuan itu menilai bahwa perjanjian tahun 2001 bersifat dibawah tekanan, tidak murni hasil musyawarah, GKPPD (Gereja Protestan Pakpak Dairi) adalah gereja yang berbasis budaya dan tersebar di Sumatera, Aceh bahkan Jawa, dalam artian telah menyebar ke seluruh Indonesia, kalau diadakan pemaksaan dan dan peruntuhan ini bisa berakibat lain, bukan menyelesaikan masalah melainkan menambah masalah.
Jika jemaat Kristen bertahan, dan aparat datang merobohkan gereja, ini bukanlah seperti di Ambon, tolong dipikirkan baik-baik kalau memang ini harga mati, ujar salah-satu tokoh masyarakat Aceh Singkil menanggapi alasan pendeta yang menilai miring perjanjian tahun 2001 tersebut. Pada tanggal 03 Mei 2012 tim penertiban kembali bergerak, hingga kemudian berhasil menyegel 13 gereja. Selanjutnya 08 Mei 2012 juga turun ke lapangan dan berhasil menyegel 2 gereja. Proses ini sudah berjalan 2 bulan 10 hari, belum ada hasil yang didapat tentang bangunan gereja liar, segel yang dipasang oleh tim penertiban bentukan Bupati Aceh Singkil sebagian besar bahkan dicabut dan gereja/undung-undung kembali ditempati seperti semula.
Masalahnya semakin kompleks, hingga ummat Islam di bumi Abdurrauf Assingkili tidak bisa berbuat apa-apa. Berbagai upaya telah dicoba guna menjaga aqidah Islam secara utuh, bahkan beberapa informasi yang berhasil diperoleh SantriDayah saat itu menyebutkan bahwa ada beberapa Muallaf yang sudah merasakan kedamaian dengan memilih Islam sebagai jalan hidup murtad kembali, karena tidak adanya perlindungan dan pengajaran yang memadai. Pemerintah Aceh Singkil seharusnya berpikir panjang, mendirikan berbagai benteng pertahanan terhadap aqidah Islam rakyatnya, bukan malah membuka jalan bagi Kristen untuk memurtadkan satu-persatu Muslim di daerahnya.
Meluasnya Wahana Perpecahan
Bak bara dalam sekam, Umat Islam di seluruh Aceh menganggap Aceh Singkil aman-aman saja, padahal kejadian demi kejadian terus terjadi.
Pertengahan juni 2012 Bumi Syekh Abdurrauf digemparkan oleh tersebarnya buku-buku yang menghina umat Islam, buku-buku yang berjumlah ribuan eksemplar itu diletakkan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab ke rumah ibadah kaum Muslim seperti masjid-masjid, mushalla-mushalla dan di jalan-jalan, buku itu memuat pelecehan terhadap tatacara Islam melakukan ibadah, termasuk menghina ajaran Rasulullah SAW dan mengatakan bahwa beliau bukanlah seorang Rasul Allah. Tidak hanya buku, selebaran-selebaran yang menebarkan kebencian dan memancing konflik horizontal antar umat beragama pun ditemukan. Diduga dalang dibalik kejadian ini dibuat oleh Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi, Sidikalang.
Informasi yang diperoleh SantriDayah dari ketua FPI Aceh Singkil Tgk. Hambalisyah Sinaga, S.PdI menguatkan dugaan bahwa benar dibalik kejadian ini GKPPD lah yang harus bertanggungjawab. Sehubungan dengan surat pengaduan dengan nomor 99/PD/DPW-FPI/SY/1433 yang pernah dilayangkan kepada Kapolres Aceh Singkil tentang adanya selebaran dari GKPPD Sidikalang dan buku tanpa penerbit yang memuat penodaan terhadap agama Islam. Umat Islam di Singkil ditakutkan akan mengalami nasib yang sama dengan yang pernah terjadi di Bengkulu, dimana setiap bulan haji, mereka selalu mendapatkan buku panduan manasik haji palsu yang dibuat oleh kaum Kristiani dan disebarkan ke kaum muslimin.
Kristen Dilindung, Islam Dibendung
Selang satu hari setelah surat itu dikirimkan, Tgk. Hambalisyah Sinaga, S.PdI yang merupakan ketua FPI Aceh Singkil dipanggil oleh Kapolres Aceh Singkil melalui Kasat Reskrim AKP. Ibrahim, SH untuk dimintai keterangan klarifikasi selebaran copyan pemberitahuan yang di duga dari gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi. Pada tanggal 16 Juli 2012 di rumah makan Embun Pagi, Gampong Lae Butar Gunung Meriah Kapolda Aceh mengadakan pertemuan dengan masyarakat Aceh Singkil, lebih kurang dari pertemuan itu didominasi oleh umat Kristiani Aceh Singkil. Ketika dari pengurus FPI datang ketempat itu, satu hal yang aneh terjadi, pihak Islam diawasi dengan ketat, sampai ditanya siapa yang mengundang mereka. Mukaribin Pohan (wakil ketua bagian jihad FPI) juga sempat mendapat teguran dari Polsek Gunung Meriah, dengan pernyataan yang lebih kurang “kamu jangan macam-macam, nanti kutangkap dan kumasukkan ke penjara, kamu tidak ada undangan”. Ketika tanya jawab dimulai, beberapa peserta dari ummat Kristiani tampil memaparkan pembicaraan, namun disaat tokoh agama Islam, wakil ketua DPRK dan MAA Aceh Singkil mengajukan pertanyaan kepada Kapolda, kesempatan itu tak pernah diberikan.
Penulis: Mawardi Ismail Al-Asyi
Sumber: http://aneukmulieng.blogspot.co.id/
loading...
Post a Comment