AMP - Empat warga Aceh yakni Yudhistira Maulana (mahasiswa) dan Fachrurrazi (wiraswasta), keduanya warga Julok, Aceh Timur, Rifa Cinnitya SH (mahasiswa), warga Suka Makmur, Aceh Besar dan Hamdani (wiraswasta) warga Nagan Raya melakukan judicial review terhadap Pasal 205 Undang-Undang (UU) No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh yang isinya tentang penetapan Kapolda Aceh berdasarkan persetujuan dari Gubernur Aceh. Menurut para penggugat, pasal tersebut dinilai bertentangan dengan hak konstitusional para pemohon yang dijamin oleh UUD 1945, khususnya Pasal 22 ayat (5).
Judicial Review yang dilakukan empat warga itu membuat para petinggi Partai Aceh marah besar. Kemarahan itu dibuktikan dengan langsung memberi stigma kepada mereka sebagai penghianat Aceh. Menurut Partai Aceh ini merupakan sesuatu perbuatan serius yang sangat membahayakan kekhususan Aceh. Pro dan kontrapun terjadi terhadap judicial review tersebut. Ada yang mendukung dan ada yang tidak. Namun tidak semua masyarakat terpecah dalam pro dan kontra. Sebagian masyarakat juga yang mengatakan itu sebagai “ Itu mereka-mereka juga “.
Judicial Review terhadap Pasal 205 Undang-Undang (UU) No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh yang isinya tentang penetapan Kapolda Aceh berdasarkan persetujuan dari Gubernur Aceh itu hanyalah produk strategi pemenangan Partai Aceh dalam pemilu kepala daerah pada 2017 nanti. Partai Aceh sekarang semakin tidak dipercaya oleh masyarakat Aceh. Hal ini karena terlalu banyak janji mereka yang tidak dilaksanakan. Jadi mereka butuh skenario baru untuk menjadi Hero bagi rakyat Aceh.
Judicial Review salah satu skenario mereka. Mau Judicial review itu berhasil atau tidak mereka tetap untung intinya. Jika JR itu menang mereka tetap dianggap sebagai hero, jika gagalpun mereka juga akan dianggap sebagai hero. Dalam skenario itu dibuat seakan-akan Jakarta akan mulai mengkhianati Aceh dengan mulai mengotak-atik kewenangan Aceh, tujuannya dari skenario tersebut adalah untuk membangkitkan semangat ke Acehan orang Aceh yang mulai tak percaya pada mereka. Partai Aceh tahu betul masyarakat Aceh mudah terbakar api tendensius ketika bicara Aceh-Jakarta. Jadi ketika semangat ke Acehan mulai terbentuk barulah mereka masuk mengelola orang-orang tersebut. Partai Aceh akan muncul sebagai Hero lagi. Harapan mereka agar dalam Pilkada 2017 masyarakat kembali memilih mereka lagi.
Belajar dari pengalaman sebelum-sebelumnya, kita bisa lihat Partai Aceh selalu menggunakan Politik identitas untuk meraup suara. Dahulu saat Mahkamah Kontitusi melegalkan Calon Independen pada Pilkada 2012. Mereka juga mengatakan “ Jakarta mengotak-atik kewenangan Aceh”, Kemudian saat pemilu 2014 mereka kembali menggunakan Politik identitas, yakni terkait bendera Aceh, sama seperti sebelumnya Partai Aceh juga menggunakan tagline “ Jakarta kembali mengotak-atik kewenangan Aceh jika tidak mengesahkan bendera Aceh “ Nah menjelang 2017, Judicial Review itu juga bahagian dari strategi politik Partai Aceh untuk meraup suara, seperti biasa taglinenya “Jakarta kembali mengotak Atik kewenangan Aceh “
Judicial Review yang dilakukan empat warga itu membuat para petinggi Partai Aceh marah besar. Kemarahan itu dibuktikan dengan langsung memberi stigma kepada mereka sebagai penghianat Aceh. Menurut Partai Aceh ini merupakan sesuatu perbuatan serius yang sangat membahayakan kekhususan Aceh. Pro dan kontrapun terjadi terhadap judicial review tersebut. Ada yang mendukung dan ada yang tidak. Namun tidak semua masyarakat terpecah dalam pro dan kontra. Sebagian masyarakat juga yang mengatakan itu sebagai “ Itu mereka-mereka juga “.
Judicial Review terhadap Pasal 205 Undang-Undang (UU) No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh yang isinya tentang penetapan Kapolda Aceh berdasarkan persetujuan dari Gubernur Aceh itu hanyalah produk strategi pemenangan Partai Aceh dalam pemilu kepala daerah pada 2017 nanti. Partai Aceh sekarang semakin tidak dipercaya oleh masyarakat Aceh. Hal ini karena terlalu banyak janji mereka yang tidak dilaksanakan. Jadi mereka butuh skenario baru untuk menjadi Hero bagi rakyat Aceh.
Judicial Review salah satu skenario mereka. Mau Judicial review itu berhasil atau tidak mereka tetap untung intinya. Jika JR itu menang mereka tetap dianggap sebagai hero, jika gagalpun mereka juga akan dianggap sebagai hero. Dalam skenario itu dibuat seakan-akan Jakarta akan mulai mengkhianati Aceh dengan mulai mengotak-atik kewenangan Aceh, tujuannya dari skenario tersebut adalah untuk membangkitkan semangat ke Acehan orang Aceh yang mulai tak percaya pada mereka. Partai Aceh tahu betul masyarakat Aceh mudah terbakar api tendensius ketika bicara Aceh-Jakarta. Jadi ketika semangat ke Acehan mulai terbentuk barulah mereka masuk mengelola orang-orang tersebut. Partai Aceh akan muncul sebagai Hero lagi. Harapan mereka agar dalam Pilkada 2017 masyarakat kembali memilih mereka lagi.
Belajar dari pengalaman sebelum-sebelumnya, kita bisa lihat Partai Aceh selalu menggunakan Politik identitas untuk meraup suara. Dahulu saat Mahkamah Kontitusi melegalkan Calon Independen pada Pilkada 2012. Mereka juga mengatakan “ Jakarta mengotak-atik kewenangan Aceh”, Kemudian saat pemilu 2014 mereka kembali menggunakan Politik identitas, yakni terkait bendera Aceh, sama seperti sebelumnya Partai Aceh juga menggunakan tagline “ Jakarta kembali mengotak-atik kewenangan Aceh jika tidak mengesahkan bendera Aceh “ Nah menjelang 2017, Judicial Review itu juga bahagian dari strategi politik Partai Aceh untuk meraup suara, seperti biasa taglinenya “Jakarta kembali mengotak Atik kewenangan Aceh “
Jadi masyarakat Aceh jangan terjebak dengan permainan politik seperti itu. Mereka selalu begitu menjelang pemilu.[Berita3]
loading...
Post a Comment