AMP - Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) kembali menyurati Presiden Jokowi terkait persoalan di Aceh Singkil. Dalam surat tertanggal 22 Oktober 2015 ini, PGI menyampaikan keprihatinan atas abainya Negara dalam menjamin penegakkan hak-hak masyarakat dalam menjalankan ibadahnya.
“Melanjutkan Surat kami nomor 825/PGI-XVI/2015 tertanggal 15 Oktober 2015, yang memohon perhatian Bapak akan terjadinya pembakaran gereja di Aceh Singkil dan arus pengungsi yang mengikutinya, kami mempertanyakan komitmen Pemerintah RI terhadap mandat Konstitusi untuk melindungi segenap masyarakat (Pembukaan UUD 1945) dan untuk menjamin kebebasan beragama (Pasal 29 UUD 1945),” demikian surat PGI yang ditandatangani oleh Pendeta Dr. Henriette Hutabarat-Lebang Ketua Umum PGI dan Pendeta Gomar Gultom, MTh Sekretaris Umum PGI, sebagaimana dilansir dari website PGI, Jumat (22/10/2015).
Menurut PGI, muncul pertanyaan karena hanya tiga hari berselang surat yang pertama dikirim, aparat Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil membongkar paksa beberapa gereja yang ada di Aceh Singkil.
Terhadap rangkaian pertiwa itu, PGI menegaskan beberapa hal, pertama, masyarakat Pakpak sudah hadir di Aceh Singkil jauh sebelum Kemerdekaan RI, dan wilayah ini adalah daerah ulayat masyarakat adat Pakpak. Lebih kurang setengah dari masyarakat Pakpak adalah penganut agama Kristen dan olehnya mestinya mereka dilindungi oleh Negara dalam menjalankan bebebasannya beragama, termasuk untuk memiliki rumah ibadah atau gereja.
Kedua, jikalaupun Gereja-gereja di Aceh Singkil belum mempunyai Ijin Mendirikan Rumah Ibadah, sangatlah tidak layak masyarakat, apalagi aparat pemerintah, membongkar paksa rumah ibadah tersebut. Adalah tugas Negara untuk mempelajari mengapa mereka belum memiliki ijin mendirikan rumah ibadah, dan adalah tugas Negara, mestinya, untuk memfasilitasi mereka agar memiliki rumah ibadah dan bukan sebaliknya (Pasal 14 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 3 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan 8 Tahun 2006).
Ketiga, beragam cara dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Singkil untuk melahirkan “Kesepakatan” bersama organisasi masyarakat dan perwakilan gereja untuk melegitimasi pembakaran dan pembongkaran rumah ibadah tersebut. Tetapi fakta menunjukkan perwakilan gereja yang ikut menanda-tangani kesepakatan tersebut berada dalam ancaman dan suasana ketakutan. Apalagi ternyata, “Kesepakatan” tersebut berisikan pembatasan jumlah gereja yang diperkenankan ada di Kabupaten Aceh Singkil, suatu pembatasan yang sama sekali tak berdasar. Kondisi sedemikian ini telah membuat umat Kristen trauma untuk memenuhi undangan Pemerintah Kabupaten Singkil untuk berdialog kembali. Bagi gereja-gereja di Singkil, ruang dialog nampaknya hanya nyaman dilakukan di luar Aceh di bawah perhatian Pemerintah Pusat.
“Melanjutkan Surat kami nomor 825/PGI-XVI/2015 tertanggal 15 Oktober 2015, yang memohon perhatian Bapak akan terjadinya pembakaran gereja di Aceh Singkil dan arus pengungsi yang mengikutinya, kami mempertanyakan komitmen Pemerintah RI terhadap mandat Konstitusi untuk melindungi segenap masyarakat (Pembukaan UUD 1945) dan untuk menjamin kebebasan beragama (Pasal 29 UUD 1945),” demikian surat PGI yang ditandatangani oleh Pendeta Dr. Henriette Hutabarat-Lebang Ketua Umum PGI dan Pendeta Gomar Gultom, MTh Sekretaris Umum PGI, sebagaimana dilansir dari website PGI, Jumat (22/10/2015).
Menurut PGI, muncul pertanyaan karena hanya tiga hari berselang surat yang pertama dikirim, aparat Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil membongkar paksa beberapa gereja yang ada di Aceh Singkil.
Terhadap rangkaian pertiwa itu, PGI menegaskan beberapa hal, pertama, masyarakat Pakpak sudah hadir di Aceh Singkil jauh sebelum Kemerdekaan RI, dan wilayah ini adalah daerah ulayat masyarakat adat Pakpak. Lebih kurang setengah dari masyarakat Pakpak adalah penganut agama Kristen dan olehnya mestinya mereka dilindungi oleh Negara dalam menjalankan bebebasannya beragama, termasuk untuk memiliki rumah ibadah atau gereja.
Kedua, jikalaupun Gereja-gereja di Aceh Singkil belum mempunyai Ijin Mendirikan Rumah Ibadah, sangatlah tidak layak masyarakat, apalagi aparat pemerintah, membongkar paksa rumah ibadah tersebut. Adalah tugas Negara untuk mempelajari mengapa mereka belum memiliki ijin mendirikan rumah ibadah, dan adalah tugas Negara, mestinya, untuk memfasilitasi mereka agar memiliki rumah ibadah dan bukan sebaliknya (Pasal 14 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 3 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan 8 Tahun 2006).
Ketiga, beragam cara dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Singkil untuk melahirkan “Kesepakatan” bersama organisasi masyarakat dan perwakilan gereja untuk melegitimasi pembakaran dan pembongkaran rumah ibadah tersebut. Tetapi fakta menunjukkan perwakilan gereja yang ikut menanda-tangani kesepakatan tersebut berada dalam ancaman dan suasana ketakutan. Apalagi ternyata, “Kesepakatan” tersebut berisikan pembatasan jumlah gereja yang diperkenankan ada di Kabupaten Aceh Singkil, suatu pembatasan yang sama sekali tak berdasar. Kondisi sedemikian ini telah membuat umat Kristen trauma untuk memenuhi undangan Pemerintah Kabupaten Singkil untuk berdialog kembali. Bagi gereja-gereja di Singkil, ruang dialog nampaknya hanya nyaman dilakukan di luar Aceh di bawah perhatian Pemerintah Pusat.
Keempat, saat ini Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil masih merencanakan untuk meneruskan membongkar paksa beberapa rumah ibadah lainnya. Pada saat yang sama, suasana kehidupan umat Kristen di Aceh Singkil kini berada dalam suasana yang sangat memprihatinkan paska pemulangan dari pengungsian karena perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap mereka. Para korban yang seharusnya mendapat rehabilitasi, justru diperhadapkan pada suasana keamanan yang sangat tidak bisa diperkirakan.
PGI menilai, beberapa hal di atas sungguh-sungguh telah menciderai rasa keadilan dan kemanusiaan di bumi Indonesia. Oleh karena itu, PGI memohon perhatian Presiden Jokowi yang lebih serius dan sesegera mungkin atas permasahalah yang terjadi di Aceh Singkil, dengan harapan agar Pemerintah sungguh-sungguh memedomani Konstitusi yang berlaku di Negara kita dan tidak tunduk pada tekanan kelompok intoleran yang tidak siap dan sedia hidup bersama di tengah masyarakat majemuk, Presiden memerintahkan aparat TNI dan Polri bertindak adil dan benar serta dapat menjamin rasa aman dari masyarakat. Segala tindak anaksisme mesti mendapat penanganan yang tepat.
Selain itu, Presiden dapat memerintahkan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil mencabut berbagai “Kesepakatan” yang mencederai Konstitusi RI dan hukum yang berlaku, dan memerintahkan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil untuk membangun kembali rumah-rumah ibadah yang dibakar oleh massa dan yang sempat dibongkar paksa oleh aparat Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil, sebagaimana hal baik yang telah Pemerintah lakukan dalam menyikapi Peristiwa Tolikara.
Dalam surat tersebut PGI juga melampirkan Legal Opinion yang disusun oleh Direktur LBH Jakarta, beberapa waktu lalu, terkait dengan peristiwa yang terjadi di Aceh Singkil, sebagai masukan bagi Presiden Jokowi dalam memahami seluruh peristiwa yang terjadi di Aceh Singkil dan dalam rangka mempertimbangkan hal-hal yang telah PGI sampaikan di atas.(EraMuslim)
PGI menilai, beberapa hal di atas sungguh-sungguh telah menciderai rasa keadilan dan kemanusiaan di bumi Indonesia. Oleh karena itu, PGI memohon perhatian Presiden Jokowi yang lebih serius dan sesegera mungkin atas permasahalah yang terjadi di Aceh Singkil, dengan harapan agar Pemerintah sungguh-sungguh memedomani Konstitusi yang berlaku di Negara kita dan tidak tunduk pada tekanan kelompok intoleran yang tidak siap dan sedia hidup bersama di tengah masyarakat majemuk, Presiden memerintahkan aparat TNI dan Polri bertindak adil dan benar serta dapat menjamin rasa aman dari masyarakat. Segala tindak anaksisme mesti mendapat penanganan yang tepat.
Selain itu, Presiden dapat memerintahkan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil mencabut berbagai “Kesepakatan” yang mencederai Konstitusi RI dan hukum yang berlaku, dan memerintahkan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil untuk membangun kembali rumah-rumah ibadah yang dibakar oleh massa dan yang sempat dibongkar paksa oleh aparat Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil, sebagaimana hal baik yang telah Pemerintah lakukan dalam menyikapi Peristiwa Tolikara.
Dalam surat tersebut PGI juga melampirkan Legal Opinion yang disusun oleh Direktur LBH Jakarta, beberapa waktu lalu, terkait dengan peristiwa yang terjadi di Aceh Singkil, sebagai masukan bagi Presiden Jokowi dalam memahami seluruh peristiwa yang terjadi di Aceh Singkil dan dalam rangka mempertimbangkan hal-hal yang telah PGI sampaikan di atas.(EraMuslim)
loading...
Post a Comment