Halloween Costume ideas 2015
loading...

Profesionalisme vs Nasionalisme: Tiga Spanyol Keroyok Rossi

SERI Malaysia di Sirkuit Sepang menyeruakkan satu cerita lain dari ajang Moto GP tahun ini. Cerita soal perkawanan yang dibalut oleh nasionalisme. Satu cerita baru tentunya, sebab dari tahun ke tahun, Moto GP adalah adu cepat antar pebalap dan adu gengsi pabrikan. Yamaha, Honda, Ducati, Kawasaki, Aprilia, dan yang kembali lagi setelah lama absen, Suzuki.

Tahun ini berbeda. Pabrikan masih sama. Pebalap-pebalap papan atas juga masih sama. Ada pemegang gelar juara dunia Marc Marquez dan rekan satu timnya Dani Pedrosa, duo Yamaha Jorge Lorenzo dan Valentino Rossi, duet Ducati Andrea Iannone dan Andrea Dovizioso, serta para kuda hitam macam Danilo Petrucci, Cal Crutchlow, Stefan Bradl, Bradley Smith, atau dua jago Suzuki, Aleix Espargaro dan Maverick Vinales

Hingga Seri Australia di Philip Island, tiga posisi teratas berturut-turut ditempati Rossi, Lorenzo, dan Marquez. Namun hanya Rossi dan Lorenzo yang berpeluang menjadi juara dunia.
Jika saja situasi ini terjadi di Formula One, maka boleh dikata kompetisi sudah selesai. Mau apa lagi. Selain satu dari dua pebalapnya bakal menjadi juara dunia, Movistar Yamaha telah dipastikan menjadi juara dunia dan Yamaha untuk kali pertama dalam tiga tahun terakhir berhasil mempecundangi Honda. Tim tinggal "memerintahkan" Lorenzo untuk "mengalah" pada Rossi yang berada di peringkat lebih baik, The Team Order Rule. Meski barangkali mendongkol setengah mati, pebalap harus mematuhinya.

Akan tetapi MotoGP berbeda dari Formula One. MotoGP tak mengenal istilah team order. Di sini, tim membebaskan pebalap-pebalapnya saling bersaing satu sama lain. Kebijakan yang di satu sisi membuat MotoGP secara keseluruhan berjalan lebih menarik, namun di lain sisi seringkali menimbulkan masalah. Bahkan masalah besar, seperti yang terjadi pada Movistar Yamaha sekarang.

Usai Philip Island, Rossi dan Lorenzo dipisahkan jarak 11 poin. Setelah Sepang, margin menyusut menjadi 7, dan tersisa satu laga. Anda tentu sudah bisa membayangkan seperti apa panasnya atmosfer di anatara mereka berdua. GP pamungkas di Valencia dipastikan menjadi pertempuran tersengit. Bukan semata karena Lorenzo akan mengerahkan segenap kemampuan untuk melesat sejauh mungkin dari Rossi, sebaliknya Rossi bakal menjara jarak. Tak perlu menang. Ia akan menjadi juara dunia apabila berhasil menyentuh garis finish satu strip di belakang Lorenzo, di posisi berapapun itu.
Persoalannya adalah, itu sungguh tak mudah. Sebab ada Marquez dan Pedrosa di antara mereka. Apa pasal? Bukankah keduanya sudah kehilangan peluang untuk bersaing memperebutkan gelar juara dunia? Bukankah Honda juga sudah digaransi finish ke dua di klasemen konstruktor? Apa lagi yang mereka buru?

Di sinilah letak persoalannya. Dalam press conference jelang sesi kualifikasi GP Malaysia, Velentino Rossi menuding adanya konspirasi untuk menghalanginya menjadi juara dunia. Rossi menyebutnya sebagai Konspirasi Spanyol. Pebalap-pebalap Spanyol, diam-diam, bekerjasama untuk melapangkan jalan bagi Jorge Lorenzo.

"Semula saya tidak mempercayainya. Ini MotoGP. Di sini kita beradu cepat dengan sportif. Tapi belakangan saya mulai menemukan pembenaran dari dugaan tersebut. Ada banyak orang Spanyol di sini, dan mereka lebih ingin Jorge jadi juara," ucap Rossi.

Sekilas pintas, ucapan Rossi terdengar kekanak-kanakan. Bahkan jika direntangkan lebih jauh, justru Rossi yang telah bertindak tak sportif dan tak profesional dengan mengemukakan dugaan yang belum tentu benar. Bahwa di Jepang dan Australia Marquez dan Pedrosa bergantian menjadi "penjegal" Rossi, hal itu tetap tak bisa dijadikan acuan.

Namun apa yang terjadi di Malaysia, pada hari balapan yang panas di Sepang, sedikit banyak menunjukkan bahwa kecurigaan Rossi tak ngawur sama sekali. Marquez membiarkan Lorenzo melewatinya dengan sangat mudah sekali. Ia tak mengejar tapi malah menunggu Rossi dan bertarung sengit dengannya. Susul-menyusul antara Marquez dan Rossi memberikan keuntungan sangat besar bagi Lorenzo untuk memperlebar jarak.

Susul-menyusul ini sendiri berlangsung dalam tensi yang sangat tinggi. Marquez, setidaknya tiga kali, memaksa menyusul Rossi. Jarak antara motornya dengan motor Rossi tidak sampai sejengkal tangan. Atas akselerasi berbahaya Marquez, Rossi sempat dua kali mengacungkan tangannya. Protes keras. Ia juga dua kali menoleh ke arah Marquez.

Sebelum akhirnya, di putaran 14, setelah dua kali susul-menyusul yang sengit, Marquez yang melebar karena terlalu memaksa mendahului, dipepet Rossi. Jarak keduanya terlalu rapat dan lutut Rossi menghantam helm Marquez yang kemudian membuatnya kehilangan kesimbangan dan terjatuh. Dalam rekaman yang diputar secara lambat, terlihat bahwa kepala Marquez lebih dahulu menekan lutut Rossi, dan Rossi kemudian mendorongnya.

Usai balapan, di podium, Lorenzo tak menyapa Rossi. Pula demikian saat ritual sampanye berlangsung, Lorenzo malah ngeloyor pergi meninggalkan Rossi dan Pedrosa. Simpati terhadap Marquez? Sinyal perang terbuka terhadap Rossi?

Mungkin saja. Dan terlepas dari apapun hasil keputusan race director (apakah menganggap tindakan Rossi ilegal atau sebaliknya), satu hal bisa dicatat dari peristiwa ini. Bahwa konflik kepentingan, sekali lagi terbukti bisa menjungkirbalikkan segala-galanya. Kali ini ia meruntuhkan profesionalisme, mengubah perkawanan jadi permusuhan dan permusuhan jadi perkawanan.

Twitter: @aguskhaidir
[Dikutip: Tribunnews.com]
loading...

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget