Jakarta -- Kitab Nashihatul Muslimin ditulis dalam bahasa Arab pada 1186 H. Buku tersebut banyak mengutip pendapat-pendapat ulama terutama Imam an-Nawawi (w. 676 H/1277 M) melalui bukunya Minhj at-Thlibn (Zubair dalam Lektur, 2011: 387, Iskandar, 1996: 443).
Jihad yang dimaksud oleh Al-Palimbani adalah perang melawan orang kafir. Jihad hukumnya fardhu kifyah manakala posisi orang-orang kafir berada di wilayahnya sendiri, jaraknya jauh dari wilayah Islam dan tidak mengancam atau menyerang umat Islam. Tetapi dapat menjadi fardhu Ain manakala orang-orang kafir mengancam atau menyerang umat Islam. Hukum fardhu kifyah menjadi gugur apabila benteng pertahan yang memisahkan wilayah umat Islam dan orang-orang kafir dibangun. Jika orang-orang kafir berusaha menyerang benteng pertahanan maka umat Islam harus mempertahankan bila perlu membuat parit.
Kawajiban kifyah ini juga gugur apabila pasukan jihad umat Islam melakukan invasi ke wilayah orang kafir. Kegiatan invasi menurut beliau sekurang-kurangnya sekali dalam setahun dan tentu baik jika lebih. Wilayah orang kafir yang dianjurkan untuk dibebaskan adalah yang paling berdekatan dengan wilayah kaum Muslimin. Namun, apabila ada wilayah yang lebih jauh dan memiliki potensi mengancam wilayah umat Islam maka terlebih dahulu diperangi. Pemerintah Islam tidak dibenarkan melewatkan satu tahun tanpa jihad, kecuali terpaksa karena posisi umat Islam lemah atau orang kafir lebih banyak dan lebih kuat. Hukum fardhu kifayah berlaku bagi yang telah baligh, berakal, laki-laki merdeka (tidak terlilit utang), mampu berperang dan memiliki akomodasi serta senjata (Zubair dalam Lektur, 2011: 380-382).
Hukum fardhu ain berlaku apabila orang-orang kafir menginvasi wilayah kaum Muslimin. Seluruh penduduk berkewajiban mempertahankan wilayahnya semaksimal mungkin. Bahkan, bila terpaksa siapapun tanpa terkecuali baik anak-anak, perempuan, faqir miskin wajib ikut jihad sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Haram hukumnya bagi prajurit lari dari medan perang bila telah berjumpa dengan pasukan lawan (Zubair dalam Lektur, 2011: 382-384).
Berkenaan dengan ketuamaan jihad dan mati syahid, Al-Palimbani banyak mengutip hadits dan ayat Quran di dalam Nashihatul Muslimin seperti QS. Al-Hujurat: 15, QS. Ash-Shaff: 10-11, QS. An-Nisa: 95, QS. Al-Baqarah: 154 dan QS. Ali Imran: 169 dan hadits riwayat Bukhari tentang Jihad merupakan amalan yang paling utama setelah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan sebagainya (Zubair dalam Lektur, 2011: 385).
Al-Palimbani menganggap perlu untuk membuat ribath atau pasukan pengintai gerakan musuh. Karena pentingnya hal tersebut beliau mengutip kurang lebih 15 buah hadits dari berbagai periwayat seperti, "Melakukan ribath satu hari di jalan Allah lebih baik daripada dunia dan segala isinya" (Hr. Bukhari).
Beliau berpendapat bahwa seluruh masyarakat turut andil dalam jihad sesuai kemampuannya masing-masing, seperti memberikan akomodasi ataupun menjaga harta dan keluarga mujahiddin yang ditinggal perang. Hal yang tidak kalah penting adalah strategi perang dan kemampuan perang para pasukan, beliau mengutip surat Al-Anfal ayat 60 (Zubair dalam Lektur, 2011: 385-386.
Penutup
Jihad yang dimaksud oleh Al-Palimbani adalah perang melawan orang kafir. Jihad hukumnya fardhu kifyah manakala posisi orang-orang kafir berada di wilayahnya sendiri, jaraknya jauh dari wilayah Islam dan tidak mengancam atau menyerang umat Islam. Tetapi dapat menjadi fardhu Ain manakala orang-orang kafir mengancam atau menyerang umat Islam. Hukum fardhu kifyah menjadi gugur apabila benteng pertahan yang memisahkan wilayah umat Islam dan orang-orang kafir dibangun. Jika orang-orang kafir berusaha menyerang benteng pertahanan maka umat Islam harus mempertahankan bila perlu membuat parit.
Kawajiban kifyah ini juga gugur apabila pasukan jihad umat Islam melakukan invasi ke wilayah orang kafir. Kegiatan invasi menurut beliau sekurang-kurangnya sekali dalam setahun dan tentu baik jika lebih. Wilayah orang kafir yang dianjurkan untuk dibebaskan adalah yang paling berdekatan dengan wilayah kaum Muslimin. Namun, apabila ada wilayah yang lebih jauh dan memiliki potensi mengancam wilayah umat Islam maka terlebih dahulu diperangi. Pemerintah Islam tidak dibenarkan melewatkan satu tahun tanpa jihad, kecuali terpaksa karena posisi umat Islam lemah atau orang kafir lebih banyak dan lebih kuat. Hukum fardhu kifayah berlaku bagi yang telah baligh, berakal, laki-laki merdeka (tidak terlilit utang), mampu berperang dan memiliki akomodasi serta senjata (Zubair dalam Lektur, 2011: 380-382).
Hukum fardhu ain berlaku apabila orang-orang kafir menginvasi wilayah kaum Muslimin. Seluruh penduduk berkewajiban mempertahankan wilayahnya semaksimal mungkin. Bahkan, bila terpaksa siapapun tanpa terkecuali baik anak-anak, perempuan, faqir miskin wajib ikut jihad sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Haram hukumnya bagi prajurit lari dari medan perang bila telah berjumpa dengan pasukan lawan (Zubair dalam Lektur, 2011: 382-384).
Berkenaan dengan ketuamaan jihad dan mati syahid, Al-Palimbani banyak mengutip hadits dan ayat Quran di dalam Nashihatul Muslimin seperti QS. Al-Hujurat: 15, QS. Ash-Shaff: 10-11, QS. An-Nisa: 95, QS. Al-Baqarah: 154 dan QS. Ali Imran: 169 dan hadits riwayat Bukhari tentang Jihad merupakan amalan yang paling utama setelah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan sebagainya (Zubair dalam Lektur, 2011: 385).
Al-Palimbani menganggap perlu untuk membuat ribath atau pasukan pengintai gerakan musuh. Karena pentingnya hal tersebut beliau mengutip kurang lebih 15 buah hadits dari berbagai periwayat seperti, "Melakukan ribath satu hari di jalan Allah lebih baik daripada dunia dan segala isinya" (Hr. Bukhari).
Beliau berpendapat bahwa seluruh masyarakat turut andil dalam jihad sesuai kemampuannya masing-masing, seperti memberikan akomodasi ataupun menjaga harta dan keluarga mujahiddin yang ditinggal perang. Hal yang tidak kalah penting adalah strategi perang dan kemampuan perang para pasukan, beliau mengutip surat Al-Anfal ayat 60 (Zubair dalam Lektur, 2011: 385-386.
Penutup
Dari penjelasan di atas kita dapat menarik kesimpulan pertama-tama bahwa kaum sufi tidaklah disebut sebagai anti dengan perjuangan menegakan dn. Mereka tidak menyempitkan makna jihad hanya menjadi jihd an-nafs yakni memerangi hawa nafsu. Baik jihad fisik melawan penjajah dan jihad melawan hawa nafsu keduanya adalah perintah agama. Seorang sufi kemudian tidak selalu diidentikan sebagai para penafi syariat, fatalis, dan menarik diri dari urusan duniawi.
Sebaliknya mereka adalah para penempu dan pemegang syariat yang teguh, yang menuntut kepatuhan secara penuh lahir dan batin, dan penghimbau kaum Muslim agar aktif; bagi mereka pemenuhan kewajiban duniawi kaum Muslim merupakan bagian integral dari kemajuan spiritual dalam perjalanan ruhani. Para sufi pun bersepakat amat mustahil mencapai tujuan spiritual tanpa mematuhi doktirn ortodoks Islam. Bertasawuf tidak lain adalah beribadah di maqam ihsan.
Ajaran tasawuf seharunya menjadi kekuatan tersendiri yang muncul dari dalam diri seorang mujahid. Sebab ajaran tasawuf sebenarnya bentuk penyerahan total (tawakal) diri kepada Allah. Keberanian akan muncul dari dalam diri sebab tidak ada yang perlu ditakuti selain Allah. Tidak ada yang perlu ditakuti dari kematian, sebab kematian bukanlah akhir dari segalanya tetapi awal memasuki pintu perjumpa dengan Allah Taala. Hal yang amat diidam-idamkan para sufi.
Syeikh Abd al-Shamad al-Palimbani mengajarkan hal demikian. Di samping sebagai seorang mursyid penempu jalan suluk-tasawuf, beliau juga seorang arsitek jihad, dan inspirator di balik karangan Hikayat Perang Sabil yang mempu membakar semangat rakyat Aceh dalam membela tanahnya. Sehingga ada yang mengatakan bahwa mereka berperang memang mencari mati. Syahid adalah sebuah kematian terindah. Karya Nashihatul Muslimin beliau merupakan salah satu bukti upaya menggelorakan semangat perang suci untuk mengusir penjajah dari bumi Nusantara. Selain itu, surat-surat yang ditujukan kepada raja-raja Jawa turut menguatkan bukti ini.[ ]
Sumber : jejakislam
Rujukan Buku:
Azra, Azyumardi. 2004. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia.Jakarta: Kencana.
Braginksy, V. I. 1998. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS
Chambert-Loir, Henri. 2013. Naik Haji di Masa Silam Kisah-Kisah Orang Indonesia Naik Haji 1482-1964. Jakarta: KPG
Dahlan, Ahmad. 2014. Sejarah Melayu. Jakarta: PT. Gramedia
Iskandar, Teuku. 1996. Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad. Jakarta: Penerbit LIBRA
Mahmoud, A. Halim. Tt. Hal Ihwal Tasauf Analisa Tentang Al-Munqidz Minadhdhalal (Penyelamat dari Kesesatan). Tk: Darul Ihya
Mustafa, Mustari. 2011. Agama dan Bayang-bayang Etis, Syeikh Yusuf Al-Makassari. Yogyakarta: LKiS
Vehide, Sukran. 2007. Biografi Intelektual Badiuzzaman Said Nursi, Transformasi Dinasti Usmani Menjadi Republik Turki. Jakarta: Anatolia
Zubair. 2011. Jihad dan Kemerdekaan: Studi atas Naskah Nasihatul Muslimin wa Tazkiratul Muminin dalam Jurnal Lektur Keagamaan Vol. 9. No.2 November 2011. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI
Sebaliknya mereka adalah para penempu dan pemegang syariat yang teguh, yang menuntut kepatuhan secara penuh lahir dan batin, dan penghimbau kaum Muslim agar aktif; bagi mereka pemenuhan kewajiban duniawi kaum Muslim merupakan bagian integral dari kemajuan spiritual dalam perjalanan ruhani. Para sufi pun bersepakat amat mustahil mencapai tujuan spiritual tanpa mematuhi doktirn ortodoks Islam. Bertasawuf tidak lain adalah beribadah di maqam ihsan.
Ajaran tasawuf seharunya menjadi kekuatan tersendiri yang muncul dari dalam diri seorang mujahid. Sebab ajaran tasawuf sebenarnya bentuk penyerahan total (tawakal) diri kepada Allah. Keberanian akan muncul dari dalam diri sebab tidak ada yang perlu ditakuti selain Allah. Tidak ada yang perlu ditakuti dari kematian, sebab kematian bukanlah akhir dari segalanya tetapi awal memasuki pintu perjumpa dengan Allah Taala. Hal yang amat diidam-idamkan para sufi.
Syeikh Abd al-Shamad al-Palimbani mengajarkan hal demikian. Di samping sebagai seorang mursyid penempu jalan suluk-tasawuf, beliau juga seorang arsitek jihad, dan inspirator di balik karangan Hikayat Perang Sabil yang mempu membakar semangat rakyat Aceh dalam membela tanahnya. Sehingga ada yang mengatakan bahwa mereka berperang memang mencari mati. Syahid adalah sebuah kematian terindah. Karya Nashihatul Muslimin beliau merupakan salah satu bukti upaya menggelorakan semangat perang suci untuk mengusir penjajah dari bumi Nusantara. Selain itu, surat-surat yang ditujukan kepada raja-raja Jawa turut menguatkan bukti ini.[ ]
Sumber : jejakislam
Rujukan Buku:
Azra, Azyumardi. 2004. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia.Jakarta: Kencana.
Braginksy, V. I. 1998. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS
Chambert-Loir, Henri. 2013. Naik Haji di Masa Silam Kisah-Kisah Orang Indonesia Naik Haji 1482-1964. Jakarta: KPG
Dahlan, Ahmad. 2014. Sejarah Melayu. Jakarta: PT. Gramedia
Iskandar, Teuku. 1996. Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad. Jakarta: Penerbit LIBRA
Mahmoud, A. Halim. Tt. Hal Ihwal Tasauf Analisa Tentang Al-Munqidz Minadhdhalal (Penyelamat dari Kesesatan). Tk: Darul Ihya
Mustafa, Mustari. 2011. Agama dan Bayang-bayang Etis, Syeikh Yusuf Al-Makassari. Yogyakarta: LKiS
Vehide, Sukran. 2007. Biografi Intelektual Badiuzzaman Said Nursi, Transformasi Dinasti Usmani Menjadi Republik Turki. Jakarta: Anatolia
Zubair. 2011. Jihad dan Kemerdekaan: Studi atas Naskah Nasihatul Muslimin wa Tazkiratul Muminin dalam Jurnal Lektur Keagamaan Vol. 9. No.2 November 2011. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI
loading...
Post a Comment