“Seorang pemikir barat yang membuat Hasan Tiro jatuh hati adalah Nietzsche. Ini adalah fase penting bagi pandangan dunia Tiro dalam rancang bangun epistemologi perlawanan untuk konstruksi Aceh masa depan.”
AMP - Petikan itu disampaikan oleh penulis muda yang juga mengaku sebagai pengagum Nietzsche, Teuku Muhammad Jafar Sulaiman. Dan, terus terang saya juga mengagumi anak muda asal Sabang ini. Sayangnya, ia tidak pernah goyah oleh ajakan saya. Sampai saat ini ia belum sudi berbagi pemikiran melalui aceHTrend hehe.
“Bagi saya, mendalami Nietzsche adalah berenang di samudera raya, bebas, menggelora, lepas dari sungai-sungai kecil yang sempit, dangkal, bahkan kadang kotor dan penuh sampah.”
Demikian ia menegaskan dirinya yang juga sama, jatuh hati dengan Friedrich Nietzsche. Apakah itu bermakna ia juga jatuh hati pada Tiroisme? Hanya anak muda itu yang tahu.
Yang saya tahu, salah satu pemikiran Nietzshe yang amat populer adalah “Kehendak untuk Berkuasa” (The will to power). Dengan modal inilah, Nietzshe berkata bahwa manusia bisa menciptakan dan menata dunia.
Jadi, jujur sajalah, semua manusia, merujuk Nietzshe, memiliki kehendak untuk berkuasa. Apakah ia yang ingin Aceh Merdeka, atau yang tidak ingin Aceh merdeka. Mereka yang ingin Aceh tetap satu, atau yang ingin mekar. Semua punya kehendak untuk berkuasa, guna mencipta dan menata dunia.
Salahkah kehendak untuk berkuasa? Jelas tidak salah, jika merujuk ke Nietzshe. Jadi, untuk apa menuntut dan berjuang untuk merdeka? Untuk apa menuntut pemekaran Aceh? Ya, di dalamnya ada ekpresi bahkan kehendak untuk berkuasa guna mencipta dan menata dunia.
Dengan merdeka, kita yakin dunia Aceh bisa tertata lebih baik dari Indonesia. Tanpa keyakinan ini maka untuk apa berjuang merdeka? Dan, mereka di Alabas juga yakin, dengan pemekaran upaya mempercepat pembangunan di daerahnya bisa lebih cepat dan lebih baik.
Menjadi masalah, dalam pandangan Islam, manakala kekuasaan itu digunakan untuk merusak bumi, menjadi soal bila kekuasaan itu berada di tangan orang yang lemah, menjadi kacau jika kekuasaan itu tidak membawa manfaat lebih baik bagi manusia, dan menjadi problem jika kekuasaan itu hanya menjadi kapital untuk kesenangan diri, kelompok belaka. Menjadi gawat bila “buat tak sesuai cakap.”
Jadi, problem utama Aceh bukan soal rebutan ingin berkuasa sebab berkuasa adalah kehendak yang ada pada setiap diri manusia. Problem kita adalah bagaimana menghadirkan standar tata kelola hidup terbaik melebihi standar yang pernah kita tentang.
Misalnya, jika dahulu Hasan Tiro mengkritik partai politik yang terpusat pada pemimpinnya maka partai di Aceh mesti lebih bagus lagi, keputusan tertinggi terpusat pada musyawarah anggotanya.
Bila dahulu Hasan Tiro mengecam arogansi Indonesia dan mengecam ketidakadilan maka jangan pula mempraktekkannya untuk masa sekarang di Aceh. Sebab, meninggalkan pandangan Hasan Tiro setelah dijadikan panduan perlawanan untuk mewujudkan cita-cita kesejahteraan jauh lebih fatal ketimbang mereka yang menyuarakan pemekaran tanpa mengorbankan jiwa dan raga di jalan kekerasan. [acehtrend.co]
loading...
Post a Comment