Note : Penulis bukan bagian dari partai politik, bukan pegawai pemerintahan daerah, bukan anggota LSM dan tidak memiliki kepentingan dan keuntungan atas terwujud atau tidak pemekaran ALABAS. Penulis hanya warga aceh yang memiliki saudara dan ratusan kenalan diwilayah ALABAS dan sudah muak yang strategi politik yang hanya mengejar kekuasaan dengan dalih kesejahteraan dengan melibatkan dan mengatasnamakan MASYARAKAT. (community.dec@gmail.com)
Ditengah keterpurukan ekonomi yang masih dalam status siaga 1, Pemerintah Indonesia kembali harus dipusingkan dengan isu pemekaran provinsi Aceh yang secara otomatis jika hal tersebut terjadi, pemerintah harus menambahkan anggaran kepada provinsi yang baru terbentuk dibeberapa sektor seperti infrastruktur pemerintahan daerah.
Pemekaran yang diperjuangkan dengan sangat ambisius oleh beberapa “tokoh” masyarakat diwilayah Barat Selatan provinsi aceh ini memiliki alasan demi kesejahteraan masyarakat. Alasan tersebut hampir senada dengan orasi-orasi yang dikeluarkan kebanyakan elit politik saat kampanye pemilihan eksekutif dan legislatif di tiap Pemilu. Khayalan dan buaian janji kesejahteraan yang hanya dijadikan ‘Backing’ untuk mendapatkan animo masyarakat.
Pertanyaannya, apakah pemekeran Aceh dapat mensejahterakan masyarakat yang ada didaerah pemekaran yang bersangkutan, khususnya dibidang kesejahteraan ekonomi ?
Perlu diingat bahwa yang menjadi tokoh utama dari ‘perjuangan’ mensejahterakan masyarakat ALABAS lewat pemekaran merupakan para elit politik, bahkan sebagian diantara mereka merupakan ‘Mantan’ pejabat didaerah yang bersangkutan. Parahnya lagi ada yang pernah tersandung kasus korupsi.
Menurut Pakar Otonomi Daerah Eko Prasojo (2007) Pemekaran memang tidak boleh diharamkan, tetapi pemekaran yang tidak tepat menyebabkan inefisiensi penggunaan keuangan negara. Sebab bagaimanapun, kekuatan keuangan negara untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah memiliki keterbatasan. Problem pemekaran terjadi karena kepentingan politik elite lebih menonjol daripada kepentingan kesejahteraan masyarakat. Secara politis, pemekaran juga diartikan sebagai “pembukaan” lapangan pekerjaan politik menjadi anggota DPRD dan lapangan jabatan baru lain yang muncul sebagai konsekuensi terbentuknya daerah otonom.
Pemekaran wilayah menjadi alat tawar menawar antara masyarakat dengan tokoh yang ingin menjadi pemimpin di wilayah baru itu.
Mantan Mendagri Mardiyanto ditahun 2009 pernah mengingatkan bahwa sebagian besar daerah pemekaran tingkat kesejahteraannya cenderung menurun. “Sungguh disayangkan terberituknya daerah baru itu tidak berbanding lurus dengan peningkatan dan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Bahkan sebaliknya, di hampir sebagian besar daerah otonom baru itu, pertumbuhan kesejahteraan cenderung menurun, pelayanan publik cenderung stagnan, dan daya saing daerah pun belum mengemuka,”
Bagaimana jika pemekaran terjadi saat ini, disaat Pemerintahan pusat sedang mengalami keterpurukan ekonomi yang luar biasa dengan hutang luar negeri yang telah menembus rekor?
Sampai saat ini pemerintahan daerah di wilayah barat selatan masih tergantung pada pendanaan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah Aceh. Tidak banyak yang dihasilkan dari pendapatan ekonomi daerah. Lalu, Apa jadinya masyarakat ALABAS jika terjadinya pemekaran dengan kondisi potensi sektor perekonomian daerah seperti saat ini?
Mantan Menteri Keuangan Sri MuIyani merasa prihatin jika lahirnya provinsi, kabupaten serta kota yang baru mengakibatkan ratusan miliar rupiah habis untuk membangun kantor bupati, gubernur serta wali kota yang baru disertai kantor DPRD yang baru hingga pembuatan baju seragam yang baru. “Saya sering diminta oleh bupati dan wali kota baru untuk membantu membangun kantor perbendaharaan negara yang baru dan kemudian kantor jaksa, polisi yang baru,akibat pemekaran itu. Pada hal seharusnya dana itu dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta memperbaiki pelayanan publik,” kata Sri Mulyani.
Jika pemekaran ALABAS terwujud, akan ada kantor Gubernur baru beserta seluruh Dinas-dinas yang bersangkutan. Berapa banyak kantor Bupati/Walikota beserta dinas-dinas baru yang harus dibangun? berapa banyak perlengkapan dan peralatan kerja yang harus dibeli, berapa banyak kendaraan dan rumah dinas yang harus disediakan? Seperti yang kita ketahui bahwa pembangunan infrastruktur pemerintahaan memakan waktu lebih dari 1 tahun dengan anggatan yang luar biasa dan rawan korupsi.
Seluruh anggaran tersebut otomatis berasal dari pemerintahan Pusat yang punya kriteria dan kuota dalam hal berapa jumlah yang harus dianggarkan setiap tahunnya. Berapa Ratus Miliar anggaran yang harus disediakan pemerintah Indonesia? Haruskah Indonesia Menambah Hutangnya lagi ?
Kemudian sebuah pertanyaan sederhana, jika setiap tahunnya anggaran tersebut untuk pembangunan infrastruktur dan operasional pemerintahaan daerah, Masyarakat dapat apa? Terwujudkah kesejahteraan Masyarakat.
Kenapa harus repot-repot dengan pemekaran yang menghabiskan anggaran dan tenaga dalam pengurusannya. menghabiskan berbagai energi dan sumber daya dalam pembentukannya? Dengan semua kekuatan yang sekarang telah terhimpun, kenapa tidak dikerahkan untuk mendapatkan hak perbaikan ekonomi bagi masyarakat? kenapa tidak langsungn saja melobi atau bahkan menuntut hak pembangunan dan pemberdayaan masyarakat?
loading...
Post a Comment