AMP - Perahu yang biasa digunakan untuk menjaring ikan dengan pukat harimau itu terapung miring di antara perahu-perahu nelayan di dermaga Pusong, Aceh Utara, Provinsi Aceh.
Hanya saja perahu bercat biru dan bergambar naga tersebut belum pernah digunakan melaut sejak ditambatkan di sana pada Mei 2015.
Tercatat 715 orang pernah berjejalan di dalam kapal tersebut selama berminggu-minggu sebelum terdampar di kawasan pesisir Seunuddon, Kabupaten Aceh Utara. Mereka adalah pengungsi kelompok minirotas Rohingya asal Myanmar dan migran ekonomi asal Bangladesh.
“Saya bersama paman ada di bibir pantai ini dan melihat kapal berukuran besar dari jauh dan pelan-pelan mendekat tapi kira-kira 200 meter dari garis pantai, kapal mulai karam,” kata Mohamad Ali, nelayan Desa Sagoe, Kecamatan Seunuddon tentang mendaratnya gelombang pertama pengungsi dan migran di Aceh hampir satu tahun silam.
“Satu orang mencebur ke laut dan berenang ke pantai. Pria itu bertanya, 'Indon atau Malaysia?'. Saya jawab Indon (sebutan populer Indonesia di Malaysia).
Membantu pengungsi
Dikisahkan oleh Mohamad, pria itu berenang menuju perahu dan begitu sampai di sana penumpang-penumpang lain, terutama yang laki-laki, mencebur ke laut untuk selanjutnya berusaha mencapai pantai sementara perahu semakin masuk ke dalam air.
“Mereka banyak yang terkulai lemas di pantai dan banyak juga yang pingsan.”
“Saya pernah melihat orang-orang Burma di tempat lain sehingga saya tahu mereka berasal dari sana juga walau saya tidak mengerti bahasa mereka .”
Selepas itu, warga sekitar berdatangan dan para nelayan mengerahkan perahu-perahu mereka untuk menjemput.
“Perempuan-perempuan dan anak-anak ditempatkan di bagian lambung. Kondisi mereka lemah dan tampak ketakutan,” tutur Mohamad Ali yang menjadi orang pertama yang menyelamatkan rombongan pengungsi dan migran.
Mereka adalah rombongan pertama yang mendarat di Aceh pada sekitar pukul 07.15 pada 5 Mei 2015, setelah sempat terombang-ambing di laut menyusul operasi terhadap penyelundupan dan perdagangan manusia yang digelar Thailand dan Malaysia.
Melihat begitu banyak pendatang yang lemah, menurut Mohamad Ali, warga secara spontan memberikan makanan dan pakaian dengan prioritas anak-anak.
“Setelah diberi makan di pantai, mereka dibawa ke surau tak jauh dari pantai. Tapi begitu polisi datang mereka berhamburan melarikan diri, mungkin takut ditangkap seperti di Malaysia.”
Yakub, seorang nelayan lain di Desa Sagoe, Kecamatan Seunuddon, turut menjemput mereka yang lari ke sungai di desa setempat.
“Ada sekitar 20 orang yang lari jauh dekat sungai bahkan ada tujuh orang yang lari lebih jauh lagi,” kata Yakub.
Tak kurang 715 pengungsi dan migran tersebut ditampung di surai dan kemudian dipindahkan ke Polres setempat, tetapi karena fasilitas tak mencukupi mereka dipindahkan ke beberapa tempat lagi sebelum akhirnya dibangunkan penampungan Blang Adoe, Kabupaten Aceh Utara. Kedatangan rombongan pertama ini kemudian disusul dengan perahu-perahu lain yang juga mendarat di Aceh sehingga jumlah mereka ketika itu hampir mencapai 1.800 orang.
Khusus migran Bangladesh sudah dipulangkan ke negara mereka melalui Medan. Namun pengungsi Rohingya seharusnya menunggu penempatan di negara lain atau dikembalikan ke Myanmar jika situasi politik menguntungkan.
Baik Mohamad Ali maupun Yakub seakan tidak percaya bahwa sebagian besar orang yang pernah mereka selamatkan itu sekarang sudah meninggalkan kamp yang disediakan untuk mereka.
“Ke mana mereka pergi,” tanya Mohamad. “Apakah Hussein masih ada?”
Hussein, katanya, bisa berbahasa Melayu dan menjadi penerjemah bagi para pengungsi.
Sebagian dari mereka diketahui berada di Medan dan sebagian lainnya bahkan sudah sampai di Malaysia melalui jalur gelap untuk bergabung dengan sanak saudara mereka. Malaysia merupakan tujuan utama mereka sebelum terdampar di Aceh.
Negara itu juga kedatangan 271 pengungsi Rohignya pada waktu yang hampir bersamaan dengan kedatangan pengungsi di Aceh.[] Sumber: bbcindonesia.com
Hanya saja perahu bercat biru dan bergambar naga tersebut belum pernah digunakan melaut sejak ditambatkan di sana pada Mei 2015.
Tercatat 715 orang pernah berjejalan di dalam kapal tersebut selama berminggu-minggu sebelum terdampar di kawasan pesisir Seunuddon, Kabupaten Aceh Utara. Mereka adalah pengungsi kelompok minirotas Rohingya asal Myanmar dan migran ekonomi asal Bangladesh.
“Saya bersama paman ada di bibir pantai ini dan melihat kapal berukuran besar dari jauh dan pelan-pelan mendekat tapi kira-kira 200 meter dari garis pantai, kapal mulai karam,” kata Mohamad Ali, nelayan Desa Sagoe, Kecamatan Seunuddon tentang mendaratnya gelombang pertama pengungsi dan migran di Aceh hampir satu tahun silam.
“Satu orang mencebur ke laut dan berenang ke pantai. Pria itu bertanya, 'Indon atau Malaysia?'. Saya jawab Indon (sebutan populer Indonesia di Malaysia).
Membantu pengungsi
Dikisahkan oleh Mohamad, pria itu berenang menuju perahu dan begitu sampai di sana penumpang-penumpang lain, terutama yang laki-laki, mencebur ke laut untuk selanjutnya berusaha mencapai pantai sementara perahu semakin masuk ke dalam air.
“Mereka banyak yang terkulai lemas di pantai dan banyak juga yang pingsan.”
“Saya pernah melihat orang-orang Burma di tempat lain sehingga saya tahu mereka berasal dari sana juga walau saya tidak mengerti bahasa mereka .”
Selepas itu, warga sekitar berdatangan dan para nelayan mengerahkan perahu-perahu mereka untuk menjemput.
“Perempuan-perempuan dan anak-anak ditempatkan di bagian lambung. Kondisi mereka lemah dan tampak ketakutan,” tutur Mohamad Ali yang menjadi orang pertama yang menyelamatkan rombongan pengungsi dan migran.
Mereka adalah rombongan pertama yang mendarat di Aceh pada sekitar pukul 07.15 pada 5 Mei 2015, setelah sempat terombang-ambing di laut menyusul operasi terhadap penyelundupan dan perdagangan manusia yang digelar Thailand dan Malaysia.
Melihat begitu banyak pendatang yang lemah, menurut Mohamad Ali, warga secara spontan memberikan makanan dan pakaian dengan prioritas anak-anak.
“Setelah diberi makan di pantai, mereka dibawa ke surau tak jauh dari pantai. Tapi begitu polisi datang mereka berhamburan melarikan diri, mungkin takut ditangkap seperti di Malaysia.”
Yakub, seorang nelayan lain di Desa Sagoe, Kecamatan Seunuddon, turut menjemput mereka yang lari ke sungai di desa setempat.
“Ada sekitar 20 orang yang lari jauh dekat sungai bahkan ada tujuh orang yang lari lebih jauh lagi,” kata Yakub.
Tak kurang 715 pengungsi dan migran tersebut ditampung di surai dan kemudian dipindahkan ke Polres setempat, tetapi karena fasilitas tak mencukupi mereka dipindahkan ke beberapa tempat lagi sebelum akhirnya dibangunkan penampungan Blang Adoe, Kabupaten Aceh Utara. Kedatangan rombongan pertama ini kemudian disusul dengan perahu-perahu lain yang juga mendarat di Aceh sehingga jumlah mereka ketika itu hampir mencapai 1.800 orang.
Khusus migran Bangladesh sudah dipulangkan ke negara mereka melalui Medan. Namun pengungsi Rohingya seharusnya menunggu penempatan di negara lain atau dikembalikan ke Myanmar jika situasi politik menguntungkan.
Baik Mohamad Ali maupun Yakub seakan tidak percaya bahwa sebagian besar orang yang pernah mereka selamatkan itu sekarang sudah meninggalkan kamp yang disediakan untuk mereka.
“Ke mana mereka pergi,” tanya Mohamad. “Apakah Hussein masih ada?”
Hussein, katanya, bisa berbahasa Melayu dan menjadi penerjemah bagi para pengungsi.
Sebagian dari mereka diketahui berada di Medan dan sebagian lainnya bahkan sudah sampai di Malaysia melalui jalur gelap untuk bergabung dengan sanak saudara mereka. Malaysia merupakan tujuan utama mereka sebelum terdampar di Aceh.
Negara itu juga kedatangan 271 pengungsi Rohignya pada waktu yang hampir bersamaan dengan kedatangan pengungsi di Aceh.[] Sumber: bbcindonesia.com
loading...
Post a Comment