AMP - Digusur rupanya bukan hanya dialami oleh masyarakat yang tinggal di
darat, tetapi mereka yang tinggal di laut juga bisa tergusur. Inilah
yang dialami oleh masyarakat suku laut atau masyarakat Thailand
menyebutnya “Chao Lay”. Saat ini, mereka mendesak pemerintah Negara
Gajah Putih itu untuk turun tangan menyelesaikan sengketa akses menuju
kuil leluhur mereka yang kini telah diambil alih oleh sebuah perusahaan
pengembang.
Sengketa ini semakin memburuk, dimana pada akhir Januari lalu
perebutan wilayah berujung pada aksi kekerasan. Puluhan orang dilaporkan
mengalami luka-luka. Situasi ini membuat banyak pihak prihatin.
Masyarakat Thailand mengenal Chao Lay bukan orang laut biasa. Mereka
memiliki pengetahuan dan sangat faham soal seluk-beluk laut. Pada 2004
silam ketika bencana tsunami terjadi, sebagian besar dari masyarakat
laut ini berhasil menyelamatkan diri. Padahal air laut yang
menggulung-gulung dahsyatnya itu menewaskan lebih dari 250 ribu orang.
Chao Lay umumnya tinggal di wilayah perairan Thailand dan Myanmar.
Masalah muncul ketika Baron World Trade Ltd, perusahaan pengembang,
membangun properti di kepulauan Phuket, sebuah wilayah yang ramai
dikunjungi wisatawan mancanegara dan domestik. Phuket terletak sekitar
840 kilometer dari selatan Ibu Kota Bangkok, Thailand.
Baron World Trade Ltd berkeras mereka menguasai wilayah tersebut. Namun mereka menolak memberikan keterangan lebih banyak.
Agar perkara ini tidak terus-menerus menggantung, perwakilan Chao Lay
atau yang disebut Moken dan Urak Lawoi, bertolak ke Bangkok. Disana,
mereka mendesak Kementerian Kehakiman agar melakukan investigasi atas
aksi penyerangan pada bulan lalu dan tentu saja mencari jalan keluar
dari sengketa akses menuju kuil leluhur mereka. Ironis, Moken dan Urak
Lawoi harus pulang tangan hampa karena Kementerian Kehakiman memilih
bergeming.
“Mereka (Chao Lay) ingin pemerintah memperhatikan hak-hak mereka dan
mempercepat jalan keluar atas kasus ini. Lihat kedholiman yang mereka
alami,” kata Preeda Kongpaen dari Chumchon Thai Foundation, Kamis
(11/2), LSM yang memperjuangkan hak kepemilikan tanah bagi masyarakat
adat yang merupakan penduduk asli Thailand.
Status “Stateless”
Ucapan Preeda itu bukan gertak sambal. Dalam laporan lembaga HAM,
Human Rights Watch, pada 2015 lalu Chao Lay sangat rentan terhadap
menjadi korban pemerasan dan penyalahgunaan lainnya oleh otoritas
berwenang. Hal itu terjadi lantaran para Chao Lay adalah kelompok
nelayan kelana yang hidupnya berpindah-pindah sehingga membuat sebagian
besar dari mereka berstatus stateless (tidak punya kewarganegaraan).
“Meskipun bukti-bukti sudah jelas, termasuk kliping berita dan
laporan saksi mata, nyatanya tidak ada kemajuan yang dibuat oleh
kepolisian Thailand. Aparat kepolisian masih belum bisa mengidentifikasi
siapa yang telah menyerang Chao Lay Januari lalu,” kata Sunai Phasuk,
peneliti Human Rights Watch di Thailand.
Tak terima dengan tudingan Sunai, Noppadon Thiraprawat, pengawas dari
pos polisi Chalong, memastikan pihaknya telah menahan enam orang yang
diduga melakukan penyerangan pada Chao Lay. Sampai sekarang, pihaknya
masih menjalankan proses investigasi dan meyakinkan akan mengatasi
masalah ini.(koranjakarta)
loading...
Post a Comment