AMP - Lord Avebury meninggal. Minggu, (14/2/2016) dalam usia 87 tahun politisi Inggris itu “menyusul” Hasan Tiro.
Munawar Liza Zainal menyebut Lord Avebury adalah sahabat dekat Hasan Tiro. Politisi Liberal Demokrat Inggris inilah yang telah menemani perjalanan politik pembebasan Hasan Tiro.
Menurut Munawar Liza Zainal, persahatan Lord Avebury dengan Hasan Tiro memiliki garis sejarah. Indatu Lord Avebury juga pernah membela Aceh saat Belanda menyerang Kesultanan Aceh.
Munawar Liza juga pernah menulis bahwa dalam proses perdamaian Aceh, nama Lord Avebury (Eric Reginald Lubbock, baron Avebury ke IV) anggota majelis Lord Inggris, juga sangat disegani, dan tidak pernah surut membela Aceh dalam berbagai kesempatan.
Munawar bersaksi, bahwa Lord Avebury juga seorang tokoh yang berdiri paling depan dalam menyelamatkan pengungsi Aceh yang bermalah di Malaysia ketika konflik. Melalui facebook, Ainal Ismail memperkuat kesaksian Munawar: “Dialah (Lord Avebury) yang melepaskan ayah anak-anak saya dari tahanan ISA (Internal Security Act).”
Ainal Ismail adalah salah seorang pengungsi Aceh yang sekarang tinggal di Stavanger, Norwegia, dan menikah dengan orang Turki.
Munawar Liza benar. Perhatian Lord untuk Aceh masih tetap kekal bahkan usai konflik berlalu dari bumi Aceh. Lord dalam kapasitasnya sebagai anggota parlemen UK pernah mengusul kepada Perdana Menterinya untuk mengundang Sby untuk menyaksikan referendum rakyat Skotlandia.
“Saya berharap Perdana Menteri mengundang Presiden SBY untuk mengunjungi Inggris pada bulan September tahun depan sehingga ia dapat melihat bagaimana kita berurusan dengan tuntutan penentuan nasib sendiri di negeri ini.” kata Lord Avebury, anggota Parlemen Tinggi Inggris dalam debat di Parlemen Tinggi Inggris pada tanggal 24 Juli 2013.
Lord memandang perlu mengundang Sby agar Indonesia mengakhiri langkah membasmi gerakan penentuan nasib sendiri, dan Lord mengingatkan soal jalan dialog yang ditempuh dalam penyelesaian Aceh.
Akhir tahun 1999, Aguswandi dari London mengatakan bahwa seorang anggota Majelis Parlemen Inggris bernama, Lord Avebury dari partai oposisi Liberal Demokrat akan segera mengusulkan pembentukan sebuah Tim Parlemen Inggris untuk berkunjungan ke Aceh guna melihat dari dekat tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia di Aceh”, kata Agus kala itu.
Kala itu Aguswandi menjelaskan siapa Lord Avebury. Ia, selain anggota parlemen Inggris, juga Deputy Chairman Parliamentari Human Rights Group dan ia sangat dikenal paling konsisten memperjuangkan Hak Asasi Manusia dan membantu perjuangan Self Ditermination dibanyak negara di dunia, selain ia sangat memperhatikan apa yang terjadi selama ini di Aceh.
Menurut Aguswandi, yang paling menarik dari Lord Avebury adalah, paman-nya juga anggota parlemen Inggris yang pada Juli 1873 melakukan protes keras terhadap pemerintahnya sendiri, dikarenakan pemerintah Inggris pada saat itu telah melanggar perjanjian dengan pihak Kesultanan Aceh, dimana pada tahun 1819 Kerajaan Inggris dan Kesultanan Aceh membuat dan menandatangani perjanjian bersama tentang persahabatan, pertahanan dan perdagangan bersama, hal itu lah yang dilanggar oleh Kerajaan Inggris dengan membiarkan Kerajaan Belanda melakukan penyerangan terhadap kedaulatan Kesultanan Aceh, serta menyerahkan kedaulatan Kesulatan Aceh kepada Indonesia, saat Belanda kalah perang melawan Raja Aceh waktu itu.
Agus menambahkan, selain itu Lord Avebury mendorong rakyat Aceh agar secepat mungkin mewujudkan pembentukan sebuah badan bersama yang anggotanya adalah representasi (wakil) dari berbagai elemen rakyat Aceh untuk memudahkan memperjuangkan tuntutan berbagai hak-haknya, hal ini sangat penting dan khususnya pada tingkat Internasional nanti.
Saat itu, sebuah informasi berkembang bahwa sudah ada rencana kunjungan sebuah tim Parlemen Inggris ke Aceh dengan isu adanya sebuah pertemuan khusus antara Wali Negara Aceh Teuku Hasan Muhammad di Tiro dengan Ratu Inggris dan sekjen PBB pada tanggal 8 Desember 1999 untuk memperkuat kembali perjanjian antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Inggris yang telah ditandatangani pada tahun 1603 dan tahun 1819
tersebut.
Saat itu, sebuah kabar juga beredar. Informasi dimaksud seputar dokumen yang diterbitkan dalam surat kabar Inggeris, The Times (London), pada tanggal 28 Januari, 1991. Sebuah dokumen yang kabarnya diteken oleh 4 orang anggota Parlemen Inggeris yang terkemuka, salah satunya Lord Avebury, anggota House of Lords, Majlis Tinggi Parlemen Inggeris.
Dalam dokumen ini dikatakan:
“In view of long history of friendship between Britain and Acheh – including a Treaty of ‘Permanent Peace, Friendship and Defensive Alliance’ in 1819 – before the territory was invaded by the Dutch in 1873, it would be fitting if we invited the United Nations Human Rights Commission to review the available evidence…”
Kini, Lord Avebury sudah “menyusul” sahabatnya, Hasan Tiro. Dan keduanya telah meninggalkan harapan yang sama, tentang pentingnya kebebasan atau kemerdekaan bagi negeri-negeri yang mendambakan kemajuan dan kesejahteraan. Adakah pandangan hidup mereka diimplementasikan oleh para pengagumnya yang masih hidup?!
Dalam catatan Husaini Hasan, Lord Aveburi pernah mengatakan bahwa hak Aceh untuk merdeka sangat terbuka. Menurutnya, klaim Aceh untuk menentukan nasib sendiri dapat disamakan dengan klaim Latvia, Eritrea, dan Kroasia.
Akhirnya, Munawar Liza mengucapkan duka cita, dan berharap pimpinan GAM yang kini duduk di pemerintah Aceh pandai berbalas budi. Mungkinkah? Jangan-jangan mereka tidak kenal dengan Lord Avebury? [*]
Munawar Liza Zainal menyebut Lord Avebury adalah sahabat dekat Hasan Tiro. Politisi Liberal Demokrat Inggris inilah yang telah menemani perjalanan politik pembebasan Hasan Tiro.
Menurut Munawar Liza Zainal, persahatan Lord Avebury dengan Hasan Tiro memiliki garis sejarah. Indatu Lord Avebury juga pernah membela Aceh saat Belanda menyerang Kesultanan Aceh.
Munawar Liza juga pernah menulis bahwa dalam proses perdamaian Aceh, nama Lord Avebury (Eric Reginald Lubbock, baron Avebury ke IV) anggota majelis Lord Inggris, juga sangat disegani, dan tidak pernah surut membela Aceh dalam berbagai kesempatan.
Munawar bersaksi, bahwa Lord Avebury juga seorang tokoh yang berdiri paling depan dalam menyelamatkan pengungsi Aceh yang bermalah di Malaysia ketika konflik. Melalui facebook, Ainal Ismail memperkuat kesaksian Munawar: “Dialah (Lord Avebury) yang melepaskan ayah anak-anak saya dari tahanan ISA (Internal Security Act).”
Ainal Ismail adalah salah seorang pengungsi Aceh yang sekarang tinggal di Stavanger, Norwegia, dan menikah dengan orang Turki.
Munawar Liza benar. Perhatian Lord untuk Aceh masih tetap kekal bahkan usai konflik berlalu dari bumi Aceh. Lord dalam kapasitasnya sebagai anggota parlemen UK pernah mengusul kepada Perdana Menterinya untuk mengundang Sby untuk menyaksikan referendum rakyat Skotlandia.
“Saya berharap Perdana Menteri mengundang Presiden SBY untuk mengunjungi Inggris pada bulan September tahun depan sehingga ia dapat melihat bagaimana kita berurusan dengan tuntutan penentuan nasib sendiri di negeri ini.” kata Lord Avebury, anggota Parlemen Tinggi Inggris dalam debat di Parlemen Tinggi Inggris pada tanggal 24 Juli 2013.
Lord memandang perlu mengundang Sby agar Indonesia mengakhiri langkah membasmi gerakan penentuan nasib sendiri, dan Lord mengingatkan soal jalan dialog yang ditempuh dalam penyelesaian Aceh.
Akhir tahun 1999, Aguswandi dari London mengatakan bahwa seorang anggota Majelis Parlemen Inggris bernama, Lord Avebury dari partai oposisi Liberal Demokrat akan segera mengusulkan pembentukan sebuah Tim Parlemen Inggris untuk berkunjungan ke Aceh guna melihat dari dekat tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia di Aceh”, kata Agus kala itu.
Kala itu Aguswandi menjelaskan siapa Lord Avebury. Ia, selain anggota parlemen Inggris, juga Deputy Chairman Parliamentari Human Rights Group dan ia sangat dikenal paling konsisten memperjuangkan Hak Asasi Manusia dan membantu perjuangan Self Ditermination dibanyak negara di dunia, selain ia sangat memperhatikan apa yang terjadi selama ini di Aceh.
Menurut Aguswandi, yang paling menarik dari Lord Avebury adalah, paman-nya juga anggota parlemen Inggris yang pada Juli 1873 melakukan protes keras terhadap pemerintahnya sendiri, dikarenakan pemerintah Inggris pada saat itu telah melanggar perjanjian dengan pihak Kesultanan Aceh, dimana pada tahun 1819 Kerajaan Inggris dan Kesultanan Aceh membuat dan menandatangani perjanjian bersama tentang persahabatan, pertahanan dan perdagangan bersama, hal itu lah yang dilanggar oleh Kerajaan Inggris dengan membiarkan Kerajaan Belanda melakukan penyerangan terhadap kedaulatan Kesultanan Aceh, serta menyerahkan kedaulatan Kesulatan Aceh kepada Indonesia, saat Belanda kalah perang melawan Raja Aceh waktu itu.
Agus menambahkan, selain itu Lord Avebury mendorong rakyat Aceh agar secepat mungkin mewujudkan pembentukan sebuah badan bersama yang anggotanya adalah representasi (wakil) dari berbagai elemen rakyat Aceh untuk memudahkan memperjuangkan tuntutan berbagai hak-haknya, hal ini sangat penting dan khususnya pada tingkat Internasional nanti.
Saat itu, sebuah informasi berkembang bahwa sudah ada rencana kunjungan sebuah tim Parlemen Inggris ke Aceh dengan isu adanya sebuah pertemuan khusus antara Wali Negara Aceh Teuku Hasan Muhammad di Tiro dengan Ratu Inggris dan sekjen PBB pada tanggal 8 Desember 1999 untuk memperkuat kembali perjanjian antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Inggris yang telah ditandatangani pada tahun 1603 dan tahun 1819
tersebut.
Saat itu, sebuah kabar juga beredar. Informasi dimaksud seputar dokumen yang diterbitkan dalam surat kabar Inggeris, The Times (London), pada tanggal 28 Januari, 1991. Sebuah dokumen yang kabarnya diteken oleh 4 orang anggota Parlemen Inggeris yang terkemuka, salah satunya Lord Avebury, anggota House of Lords, Majlis Tinggi Parlemen Inggeris.
Dalam dokumen ini dikatakan:
“In view of long history of friendship between Britain and Acheh – including a Treaty of ‘Permanent Peace, Friendship and Defensive Alliance’ in 1819 – before the territory was invaded by the Dutch in 1873, it would be fitting if we invited the United Nations Human Rights Commission to review the available evidence…”
Kini, Lord Avebury sudah “menyusul” sahabatnya, Hasan Tiro. Dan keduanya telah meninggalkan harapan yang sama, tentang pentingnya kebebasan atau kemerdekaan bagi negeri-negeri yang mendambakan kemajuan dan kesejahteraan. Adakah pandangan hidup mereka diimplementasikan oleh para pengagumnya yang masih hidup?!
Dalam catatan Husaini Hasan, Lord Aveburi pernah mengatakan bahwa hak Aceh untuk merdeka sangat terbuka. Menurutnya, klaim Aceh untuk menentukan nasib sendiri dapat disamakan dengan klaim Latvia, Eritrea, dan Kroasia.
Akhirnya, Munawar Liza mengucapkan duka cita, dan berharap pimpinan GAM yang kini duduk di pemerintah Aceh pandai berbalas budi. Mungkinkah? Jangan-jangan mereka tidak kenal dengan Lord Avebury? [*]
Sumber: acehtrend.co
loading...
Post a Comment