Halloween Costume ideas 2015
loading...

Kapitalisasi dan Budak Partai Politik

AMP - Kali ini, fenomena konflik kepentingan politik kembali dipertontonkan. Salah satu contoh, Zaini Djalil, SH yang sudah berkerja dengan baik sebagai Calon Wakil Gubernur mendampingi Tarmizi A. Karim dalam Pilkada 2017 di Aceh, harus berjiwa besar menerima keputusan “cerai”. Layaknya, seperti seseorang yang sudah sangat siap menikah lantas diperintahkan untuk berpisah.

Kejadian ini telah memberikan saya satu persepsi, bahwa Partai Politik sebagai sebuah instrumen demokrasi justru sebenarnya sarat dengan konflik kepentingan dan seakan ia dan internalnya belum siap berdemokrasi, sehingga sikap komunikasi politik dari sebuah partai telah memberi asumsi lahirnya frozen democracy (pembusukan demokrasi) yang menawarkan sebuah narasi bahwa politik akan bertransformasi menjadi masalah; siapa dapat apa, kapan dan bagaimana sebagaimana kesimpulan Ilmuwan Politik Amerika, Harold D. Lasswell dalam bukunya Politics; Who Gets What, When, How (1935).

Secara umum, praktek partai politik seperti contoh yang sebutkan diatas seakan menegaskan kepada kita bahwa, partai politik bisa melakukan apa saja layaknya sebuah perusahaan swasta. Memang, politik adalah usaha untuk ikut berkuasa atau untuk mempengaruhi pembagian kekuasaan seperti definisi Max Weber sebutkan. Pertanyaannya, siapa hakikatnya yang menjadi dasar kekuasaan politik di negara kita? Dalam tulisan ini, saya mencoba menawarkan jawaban dengan mengamati praktek politik dan demokrasi di Aceh menjelang Pilkada 2017.

Pencopotan Zaini Djalil dari Calon Wakil Gubernur dengan Tarmizi A. Karim telah menimbulkan ragam spekulasi di Aceh, ada yang mengatakan bahwa kolaborasi pasangan ini tidak efektif (potensial) karena sama-sama berasal dari Pantai Utara (Aceh Utara – Bireuen) sehingga tidak akan menghasilkan banyak suara, ada pula yang berkomentar kalau Zaini Djalil tidak memiliki restu dari pengurus Partai Nasdem pusat, dan ada juga yang menganalisa kalau deal politik dari Partai Golkar dengan Tarmizi A. Karim dalam bentuk dukungan kepadanya telah mengorbankan Zaini Djalil.

Terlepas dari bermacam tafsiran tersebut, saya melihat bahwa peran pengurus partai nasional di Jakarta justru lebih besar dari pada pengurus di daerah. Ibarat sebuah perusahaan, kekuasaan dan kewenangan partai politik ditentukan oleh para pemegang saham, yang lain hanyalah buruh yang bekerja untuk kepentingan tuannya. Maka tidak heran, siapapun boleh dicopot ditengah jalan jika itu dianggap tidak mewakili kepentingan atau tidak memberikan keuntungan politik kaum elit dalam partai politik (kapitalisme politik).

Eksistensi dan praktek partai politik seperti inilah yang selama ini menyebabkan lahirnya perspektif buruk terhadap politik. Akhirnya, representatif sebagai kata kunci dalam demokrasi berada pada dimensi abu-abu. Tidak jelas, siapa mewakili siapa dalam struktur dan sistem negara kita. Rakyat hanya menjadi komoditas dan konsumsi sejumlah elit partai politik untuk terus dieksploitasi. Karena kenyataannya, ketika seseorang menjadi anggota atas nama perwakilan rakyat, justru pengaruh partai politik lebih besar dari pada pengaruh rakyat kepadanya. Ironis.

Kepentingan rakyat yang seharusnya diutamakan oleh negara telah didominasi oleh kepentingan partai politik dan para penguasanya. Kader partai politik, di daerah khususnya seakan menjadi alat untuk kepentingan politik di nasional ataupun sebaliknya. Seperti seorang budak yang hanya diberikan sedikit keluasan guna bertahan hidup. Karena sehebat dan sebaik apapun kinerja seorang kader partai di daerah, dia tidak akan pernah bisa menjadi asset pembangunan, jika “tangan pusat” selaku “tuan tanah” tidak menyetujuinya.

Praktek partai politik seperti ini telah menghilangkan usaha sistem demokrasi yang sesungguhnya, dimana ia seharusnya bertanggung jawab kepada semua warga negara (accountabilility) untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakatnya. Perselingkuhan elit partai politik dalam merebut kekuasaan telah melahirkan oligarki politik, sehingga politik menjadi ajang dalam melihat pengaruh dan siapa yang berpengaruh, atau mempelajari kekuasaan dan siapa yang sebenarnya berkuasa. Akhirnya, pendidikan dan hasil kapitalisasi politik yang dipentaskan telah mendidik kita bagaimana menjadi budak politik yang baik bagi sebuah partai.

Oleh karena itu, saya berasumsi kehadiran jalur independen dalam praktek demokrasi di Aceh khususnya, menjadi harapan baru untuk menyandarkan aspirasi perubahan. Walaupun tidak memberi jaminan besar, setidaknya ia bisa melepaskan diri dari ragam kepentingan partisan demi mewujudkan kepentingan rakyatnya. Karena memang, sebagaimana Alexis de Tecqueville (1805-1859), sosok sejarawan dan ilmuwan politik Prancis katakan; Ada banyak manusia yang punya prinsip di partai-partai politik dalam sebuah negara, tapi tidak ada partai yang punya prinsip.(acehtrend.co)
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget