William Nessen |
MESKI banyak yang mencemaskan kelakuannya, William Nessen rupanya masih betah gaul di sarang gerombolan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Hingga akhir pekan lalu, Nessen, 46 tahun, terus menolak menyerahkan diri kepada TNI atau Polri. Melalui istrinya, Shadia Marhaban, ia menyatakan berniat terus bertahan di persembunyian sampai TNI bersedia memenuhi tuntutannya. Shadia, yang kabarnya tinggal di Amerika Serikat, mengaku kerap dihubungi Nessen melalui telepon satelit. Banyak pihak menyebutkan, William Nessen bukan sekedar Jurnalis tapi juga intel hebat yang dimiliki Amerika Serikat.
Nessen mengajukan tiga syarat, seperti disampaikannya lewat telepon kepada Panglima Komando Operasi TNI, Brigadir Jenderal Bambang Dharmono, Sabtu dua pekan lalu, dua jam setelah tenggat yang diberikan penguasa darurat militer berakhir. Ia mau keluar dari persembunyiannya asalkan tidak ditembak, tak ditangkap, dan tak pula diinterogasi.
Bambang menolak memenuhi syarat ketiga. Hukum darurat militer memberikan wewenang kepada TNI untuk melakukan penangkapan dan pemeriksaan. ”Kami tetap akan memeriksa Nessen untuk mengetahui kegiatannya bersama GAM,” Bambang menjelaskan sikapnya. Ia curiga, kegiatan Nessen bukan cuma menjalankan tugas jurnalistik, melainkan juga terlibat membantu gerakan separatis GAM.
Indikasinya, menurut TNI, memang mengarah ke sana. Nessen menikahi Shadia Marhaban, aktivis asal Aceh yang kerap mempropagandakan perjuangan GAM di luar negeri. Ia juga diketahui bersahabat dekat dengan Irwandi Yusuf, aktivis GAM yang ditahan Markas Besar Polri sejak Mei lalu.
Nessen mengajukan tiga syarat, seperti disampaikannya lewat telepon kepada Panglima Komando Operasi TNI, Brigadir Jenderal Bambang Dharmono, Sabtu dua pekan lalu, dua jam setelah tenggat yang diberikan penguasa darurat militer berakhir. Ia mau keluar dari persembunyiannya asalkan tidak ditembak, tak ditangkap, dan tak pula diinterogasi.
Bambang menolak memenuhi syarat ketiga. Hukum darurat militer memberikan wewenang kepada TNI untuk melakukan penangkapan dan pemeriksaan. ”Kami tetap akan memeriksa Nessen untuk mengetahui kegiatannya bersama GAM,” Bambang menjelaskan sikapnya. Ia curiga, kegiatan Nessen bukan cuma menjalankan tugas jurnalistik, melainkan juga terlibat membantu gerakan separatis GAM.
Indikasinya, menurut TNI, memang mengarah ke sana. Nessen menikahi Shadia Marhaban, aktivis asal Aceh yang kerap mempropagandakan perjuangan GAM di luar negeri. Ia juga diketahui bersahabat dekat dengan Irwandi Yusuf, aktivis GAM yang ditahan Markas Besar Polri sejak Mei lalu.
Shadia sendiri dikenal aktif di sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Aceh. Perempuan 38 tahun asal Aceh Besar itu dikatakan pula sebagai koordinator jaringan internasional Sentral Informasi Referendum Aceh sejak tahun 2000. Ia juga aktif di Aceh Unity Front, lembaga yang membidangi isu perempuan Aceh.
Lembaga lain yang diterjuni Shadia ialah Yayasan Srikandi dan Internally Displaced Person, pemerhati isu-isu kemanusiaan. Koresponden GATRA di Sydney, Australia, Bambang Sancoko, melaporkan bahwa Shadia Marhaban pernah berkunjung ke kota itu sebagai duta keliling gerakan kemerdekaan Aceh. Sebuah harian terbitan Sydney melansir wawancara khusus dengan Shadia, April 2001.
Profil William Nessen kian berwarna setelah muncul pengakuan Salahudin Al-Fatah, pengusaha Aceh yang awal bulan ini diangkat menjadi direktur utama maskapai penerbangan Aceh, PT Seulawah NAD Air. Pria 50 tahun itu mengaku masih berstatus suami sah Shadia Marhaban.
Salahudin menikahi Shadia pada 1991, dan dikaruniai tiga anak. Ia menuturkan, bahtera pernikahannya porak-poranda setelah Nessen muncul, dua tahun lalu. Kala itu, Agustus 2001, Salahudin berkunjung ke Houston, Amerika Serikat. Shadia yang tinggal di Jakarta meneleponnya. Ia memohon agar seorang pria asal Amerika diizinkan menginap di rumah mereka di kompleks Tanjung Mas Raya, Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Salahudin melarangnya. Shadia tak menggubris. Tragisnya, saat Salahudin tergopoh pulang, Shadia sudah kabur bersama Nessen, seraya meninggalkan tiga anaknya. Nessen membawanya ke Singapura, lalu ke Amerika.
”Hancur perasaan saya,” kata Salahudin, yang mengaku berat badannya turun hampir 20 kilogram akibat tekanan batin. Selang dua pekan, Shadia kembali ke rumah, tapi perkawinannya kadung goyah. Desember 2001, Shadia mengajukan cerai, dan dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. ”Saya naik banding, namun sampai sekarang belum ada putusannya,” tutur Salahudin.
Tanpa menunggu keputusan banding, Shadia menikahi Nessen. Dua anaknya ia bawa serta. Hingga kini, hati Salahudin masih meradang. ”Saya mau tuntut Nessen secara hukum,” ujarnya. Ia menduga, Shadia sudah berhubungan lama dengan Nessen melalui internet. ”Shadia biasa saling kirim e-mail dengan para wartawan asing,” katanya. Semula ia tak tahu istrinya bekerja untuk GAM.
Lembaga lain yang diterjuni Shadia ialah Yayasan Srikandi dan Internally Displaced Person, pemerhati isu-isu kemanusiaan. Koresponden GATRA di Sydney, Australia, Bambang Sancoko, melaporkan bahwa Shadia Marhaban pernah berkunjung ke kota itu sebagai duta keliling gerakan kemerdekaan Aceh. Sebuah harian terbitan Sydney melansir wawancara khusus dengan Shadia, April 2001.
Profil William Nessen kian berwarna setelah muncul pengakuan Salahudin Al-Fatah, pengusaha Aceh yang awal bulan ini diangkat menjadi direktur utama maskapai penerbangan Aceh, PT Seulawah NAD Air. Pria 50 tahun itu mengaku masih berstatus suami sah Shadia Marhaban.
Salahudin menikahi Shadia pada 1991, dan dikaruniai tiga anak. Ia menuturkan, bahtera pernikahannya porak-poranda setelah Nessen muncul, dua tahun lalu. Kala itu, Agustus 2001, Salahudin berkunjung ke Houston, Amerika Serikat. Shadia yang tinggal di Jakarta meneleponnya. Ia memohon agar seorang pria asal Amerika diizinkan menginap di rumah mereka di kompleks Tanjung Mas Raya, Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Salahudin melarangnya. Shadia tak menggubris. Tragisnya, saat Salahudin tergopoh pulang, Shadia sudah kabur bersama Nessen, seraya meninggalkan tiga anaknya. Nessen membawanya ke Singapura, lalu ke Amerika.
”Hancur perasaan saya,” kata Salahudin, yang mengaku berat badannya turun hampir 20 kilogram akibat tekanan batin. Selang dua pekan, Shadia kembali ke rumah, tapi perkawinannya kadung goyah. Desember 2001, Shadia mengajukan cerai, dan dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. ”Saya naik banding, namun sampai sekarang belum ada putusannya,” tutur Salahudin.
Tanpa menunggu keputusan banding, Shadia menikahi Nessen. Dua anaknya ia bawa serta. Hingga kini, hati Salahudin masih meradang. ”Saya mau tuntut Nessen secara hukum,” ujarnya. Ia menduga, Shadia sudah berhubungan lama dengan Nessen melalui internet. ”Shadia biasa saling kirim e-mail dengan para wartawan asing,” katanya. Semula ia tak tahu istrinya bekerja untuk GAM.
Kini, Salahudin tinggal bersama istri pertamanya, Misriawati, di kompleks BTN Ajun, Lamhasan, Aceh Besar, bersama lima anaknya, termasuk seorang anak dari perkawinannya dengan Shadia. Salahudin sengaja melansir kasus perkawinannya dengan Shadia ke publik karena khawatir dituduh ikut GAM.
Menurut catatan di Komando Daerah Militer Iskandar Muda, Banda Aceh, Nessen mulai bekerja di Aceh pada 2001. Namanya mulai dibahas setelah ia bisa memotret Muzzakir Manaf di sebuah tempat rahasia, Januari lalu. Ia wartawan pertama yang mewawancarai Muzzakir, setelah menjabat Panglima GAM, menggantikan Tengku Abdullah Syafi’ie yang tewas pada 2001. Sebelumnya, Muzzakir selalu menolak ditemui wartawan.
Kepada GATRA, Nessen pernah bertutur, ia harus ikut masuk hutan bersama pasukan GAM selama sebulan sebelum bisa menemui Muzzakir. Sejak itulah, Nessen dekat dengan pihak GAM. Ia leluasa masuk ke basis-basis GAM, dan bertemu dengan para pemimpin kaum separatis itu. Pimpinan GAM memberinya nama Abu Billi. Julukan ”Abu” dan ”Tengku” biasanya hanya untuk mereka yang dianggap ikut berjasa dalam perjuangan GAM.
Komite Perlindungan Wartawan yang berbasis di New York menyatakan bahwa Nessen bekerja untuk The Sydney Morning Herald, Australia, serta The Boston Globe dan The Independence, Amerika. Tapi, di Departemen Luar Negeri RI, ia mencatatkan diri sebagai reporter bidang ekonomi koran San Francisco Chronicle. ”Ia mendapat izin kerja dari kantor imigrasi sebagai wartawan ekonomi, hingga Oktober 2003,” kata Direktur Informasi dan Media Departemen Luar Negeri, Wahid Supriyadi. Menurut Wahid, Nessen tak pernah meminta kartu pengenal khusus seperti lazimnya wartawan asing.
Pengelola koran Boston Globe mengakui Nessen memang reporternya, dengan status pembantu lepas, tanpa ikatan kontrak apa pun. Menurut James Smith, Editor Luar Negeri Boston Globe, selama di Indonesia, Nessen cuma pernah menulis dua kali, di antaranya tentang Joy Lee Sadler, juru rawat Amerika yang ditangkap karena masuk Aceh tanpa izin, Desember 2002.
Belakangan, ia tak pernah berkabar lagi. Dalam pantauan TNI, Nessen tak terlalu rajin menulis laporan untuk koran-korannya. Toh, ia sanggup bertahan hidup di Indonesia. Itu yang memunculkan kecurigaan: siapa yang memberinya bantuan dana?
Menurut catatan di Komando Daerah Militer Iskandar Muda, Banda Aceh, Nessen mulai bekerja di Aceh pada 2001. Namanya mulai dibahas setelah ia bisa memotret Muzzakir Manaf di sebuah tempat rahasia, Januari lalu. Ia wartawan pertama yang mewawancarai Muzzakir, setelah menjabat Panglima GAM, menggantikan Tengku Abdullah Syafi’ie yang tewas pada 2001. Sebelumnya, Muzzakir selalu menolak ditemui wartawan.
Kepada GATRA, Nessen pernah bertutur, ia harus ikut masuk hutan bersama pasukan GAM selama sebulan sebelum bisa menemui Muzzakir. Sejak itulah, Nessen dekat dengan pihak GAM. Ia leluasa masuk ke basis-basis GAM, dan bertemu dengan para pemimpin kaum separatis itu. Pimpinan GAM memberinya nama Abu Billi. Julukan ”Abu” dan ”Tengku” biasanya hanya untuk mereka yang dianggap ikut berjasa dalam perjuangan GAM.
Komite Perlindungan Wartawan yang berbasis di New York menyatakan bahwa Nessen bekerja untuk The Sydney Morning Herald, Australia, serta The Boston Globe dan The Independence, Amerika. Tapi, di Departemen Luar Negeri RI, ia mencatatkan diri sebagai reporter bidang ekonomi koran San Francisco Chronicle. ”Ia mendapat izin kerja dari kantor imigrasi sebagai wartawan ekonomi, hingga Oktober 2003,” kata Direktur Informasi dan Media Departemen Luar Negeri, Wahid Supriyadi. Menurut Wahid, Nessen tak pernah meminta kartu pengenal khusus seperti lazimnya wartawan asing.
Pengelola koran Boston Globe mengakui Nessen memang reporternya, dengan status pembantu lepas, tanpa ikatan kontrak apa pun. Menurut James Smith, Editor Luar Negeri Boston Globe, selama di Indonesia, Nessen cuma pernah menulis dua kali, di antaranya tentang Joy Lee Sadler, juru rawat Amerika yang ditangkap karena masuk Aceh tanpa izin, Desember 2002.
Belakangan, ia tak pernah berkabar lagi. Dalam pantauan TNI, Nessen tak terlalu rajin menulis laporan untuk koran-korannya. Toh, ia sanggup bertahan hidup di Indonesia. Itu yang memunculkan kecurigaan: siapa yang memberinya bantuan dana?
Apa pun, harian Boston Globe peduli atas keselamatannya. ”Kami berharap Pemerintah Indonesia menghormati tugas Nessen sebagai wartawan,” James Smith mengatakan kepada Didi Prambadi dari GATRA. Permintaan serupa datang dari Ketua Komite Hubungan Luar Negeri Senat Amerika Serikat, Richard Lugar. Selasa pekan lalu, datang suratnya kepada Presiden Megawati. Isinya, meminta pengamanan atas Nessen. ”Ia khawatir akan dibunuh atau ditangkap TNI bila meninggalkan pasukan GAM,” ujar Lugar.
Ancaman penangkapan memang ada. Kapolri Jenderal Da’i Bachtiar menyebut Nessen sedang dicari polisi. Ia dicurigai terlibat kegiatan GAM. ”Paling tidak, ia akan diperiksa sebagai saksi untuk kasus aktivis GAM, Irwandi Yusuf, tersangka penyebar propaganda GAM ke pers asing,” katanya.
Posisi Nessen hingga akhir pekan lalu tak diketahui jelas. Kalangan TNI menduga, Nessen sudah bergerak bersama pasukan GAM ke kawasan hutan Nisam, Aceh Utara. Kabarnya, saat ini ia bersama pasukan GAM yang dipimpin Darwis Jeunib.
Kedutaan Besar Amerika di Jakarta menyatakan tak pernah dihubungi Nessen. ”Kami terus melakukan kontak ke Pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan Nessen,” kata juru bicara Kedutaan Besar Amerika, Stanley Harsha, kepada Arief Ardiansyah dari GATRA. Celakanya, pemerintah kini tak lagi bisa menjamin keamanan para jurnalis asing yang bertugas tanpa izin di Aceh.
Awal pekan lalu, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 43/2003 tentang Pengaturan Warga Asing, Lembaga Swadaya, dan Pers Asing di Aceh. Dalam keppres itu dinyatakan, wartawan asing dan koresponden media asing cuma bisa meliput berita di Aceh setelah memperoleh izin Menteri Luar Negeri atas nama presiden.
Bagaimana nasib William Nessen sendiri? Juru bicara GAM Wilayah Passe, Tengku Djamaika, menyatakan sanggup menjamin keamanannya. Menurut Djamaika, kondisi Nessen masih segar bugar bersama GAM. ”Dia masih ingin bersama kami untuk kepentingan tugas jurnalistiknya,” ujar Djamaika. GAM pun tentu masih ingin bersama Nessen alias Abu Billi, untuk kepentingan perjuangannya. Sebuah simbiosis yang menguntungkan. [Sumber : GATRA.COM]
Ancaman penangkapan memang ada. Kapolri Jenderal Da’i Bachtiar menyebut Nessen sedang dicari polisi. Ia dicurigai terlibat kegiatan GAM. ”Paling tidak, ia akan diperiksa sebagai saksi untuk kasus aktivis GAM, Irwandi Yusuf, tersangka penyebar propaganda GAM ke pers asing,” katanya.
Posisi Nessen hingga akhir pekan lalu tak diketahui jelas. Kalangan TNI menduga, Nessen sudah bergerak bersama pasukan GAM ke kawasan hutan Nisam, Aceh Utara. Kabarnya, saat ini ia bersama pasukan GAM yang dipimpin Darwis Jeunib.
Kedutaan Besar Amerika di Jakarta menyatakan tak pernah dihubungi Nessen. ”Kami terus melakukan kontak ke Pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan Nessen,” kata juru bicara Kedutaan Besar Amerika, Stanley Harsha, kepada Arief Ardiansyah dari GATRA. Celakanya, pemerintah kini tak lagi bisa menjamin keamanan para jurnalis asing yang bertugas tanpa izin di Aceh.
Awal pekan lalu, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 43/2003 tentang Pengaturan Warga Asing, Lembaga Swadaya, dan Pers Asing di Aceh. Dalam keppres itu dinyatakan, wartawan asing dan koresponden media asing cuma bisa meliput berita di Aceh setelah memperoleh izin Menteri Luar Negeri atas nama presiden.
Bagaimana nasib William Nessen sendiri? Juru bicara GAM Wilayah Passe, Tengku Djamaika, menyatakan sanggup menjamin keamanannya. Menurut Djamaika, kondisi Nessen masih segar bugar bersama GAM. ”Dia masih ingin bersama kami untuk kepentingan tugas jurnalistiknya,” ujar Djamaika. GAM pun tentu masih ingin bersama Nessen alias Abu Billi, untuk kepentingan perjuangannya. Sebuah simbiosis yang menguntungkan. [Sumber : GATRA.COM]
loading...
Post a Comment