AMP - Pagi baru merekah, saat ratusan orang berjubel di Masjid Raya Al Ittihad, Jumat 26 Oktober 2012. Tak hanya di dalam, jamaah juga menyemut di halaman masjid yang beralamat di Tebet Barat tersebut. Mereka riuh bertakbir sebelum menunaikan salat Idul Adha.
Tiba-tiba, keriuhan mereda. Jamaah terdiam. Di tengah keheningan itu, nama-nama penyumbang hewan kurban diumumkan. Diserukan secara lantang melalui corong pengeras. Satu persatu nama penderma disebutkan. Hingga tiba saatnya panitia menyebut penyumbang tanpa nama.
“ Perlu kami umumkan, kambing yang terbesar justru diberikan oleh seorang pemulung. Beliau biasa berkeliling di sekitar Tebet sini,” demikian pengumuman yang terdengar bak teka-teki kala itu.
Para jamaah geger mendengarnya. Mereka kembali riuh, saling bertanya. Menerka-nerka siapa gerangan pemulung itu. Namun tetap saja, tak ada yang tahu. Salat Id kala itu pun berlangsung dengan penuh haru. Suara sang Imam bahkan bergetar saat membaca ayat-ayat di setiap rakaat salat.
Setelah salat, barulah terkuak siapa pemulung berhati mulia itu. Dialah Mak Yati. Pencari barang rongsok yang tinggal di gubuk reot tak jauh dari masjid. Bersama sang suami, Maman, perempuan berusia 65 tahun itu menyumbang dua kambing, masing-masing berharga Rp 1 juta dan Rp 2 juta. Kisah ini pertama kali dilansir oleh merdeka.com.
Perjuangan
Sejak itu, nama Mak Yati menjadi tenar. Berbagai media nasional meliput. Kisahnya dengan cepat menyebar di dunia maya. Namanya ditulis di berbagai surat kabar. Hampir saban hari wajahnya muncul di layar kaca. Di sejumlah saluran televisi. Silih berganti.
Keluarga Mak Yati tentu tak mudah membeli hewan kurban itu. Pendapatan dari memungut sampah di kawasan Jakarta Selatan tentu tidaklah seberapa. Jika hasil Mak Yati dan Maman waktu itu digabung, rata-rata hanya mendapat Rp 25 ribu perhari.
Bagi orang lain, mungkin hasil itu tak bisa menutup kebutuhan keluarga. Apalagi untuk hidup mewah di Ibukota. Namun Mak Yati dan keluarga membajakan tekad. Mereka mengencangkan ikat pinggang erat-erat, berhemat agar bisa menabung demi niat berkurban saat Idul Adha.
Tak hanya belitan ekonomi. Soal lain yang dihadapi Mak Yati dan Maman adalah cibiran tetangga. Kemiskinan membuat tetangga kanan kiri memandang dengan sebelah mata niat mereka. Menjadikan niat mulia ini sebagai bahan olok-olok.
“ Pada ketawa, bilang sudah pemulung, sudah tua, nggembel ngapain kurban,” tutur perempuan yang sehari-hari dipanggil Mak Yati itu.
Tapi, Mak Yati dan Maman tak menggubris selentingan-selentingan miring di telinga. Semangat mereka untuk membeli hewan kurban tak luntur. Rupiah demi rupiah mereka kumpulkan. Akhirnya setelah tiga tahun, duit yang mereka kumpulkan cukup untuk membeli hewan kurban yang mereka dambakan.
Dituntunlah dua kambing itu ke Masjid Raya Al Ittihad, Tebet Barat, Jakarta Selatan. Kepada panitia, hewan kurban itu dipasrahkan. Karena tahu siapa yang berkurban, pengurus masjid sempat tidak tega menerima kambing-kambing itu. Sebab, kala itu Mak Yati memang tidak masuk hitungan wajib berkurban.
Namun Maman dan Mak Yati bersikukuh. Boleh atau tidak, kedua kambing itu tetap mereka kurbankan. Dengan penuh keharuan, akhirnya panitia menerima persembahan Mak Yati dan Maman.
“ Pada bilang apa tidak sayang, mending uangnya untuk yang lain. Tapi saya pikir sekali seumur hidup masa tidak pernah kurban. Malu cuma nunggu daging kurban,” tutur Mak Yati.
Memang, sejak tiba di Jakarta tahun 1965 silam, perempuan asal Pasuruan, Jawa Timur, ini setiap tahun tak pernah absen mengantre untuk dapat daging kurban. Kemiskinan yang membelit menjadikan daging sebagai menu paling mahal dan boleh jadi langka bagi keluarganya.
Berbuah berkah
Kisah Mak Yati di berbagai media kala itu memang membetot perhatian masyarakat. Hingga akhirnya kabar kedermawanan Mak Yati dan keluarga ini sampai juga ke telinga Menteri Sosial, Salim Segaf Al-Jufri. Pak Menteri pun bertandang ke gubuk reot Mak Yati.
Inilah yang membuat Mak Yati menangis haru. “ Saya kaget, kedatangan menteri. Baru kali ini gembel kedatangan tamu besar,” kata Mak Yati sambil terisak kala itu.
Kondisi rumah Mak Yati memang memprihatinkan. Dinding hanya terbuat dari papan tripleks dan seng karatan. Itu pun dengan tambalan di sana-sini. Baik di dalam maupun di luar rumah pemandangannya seragam. Kumuh. Barang-barang bekas terhampar berserakan.
Kondisi itu membuat Menteri Salim trenyuh. Saat kunjungan 28 Oktober itu, Menteri Salim memberi bantuan uang kepada keluarga Mak Yati. Tak hanya itu, janji untuk membuatkan rumah di kampung halaman pun terlontar dari sang menteri.
“ Orangtua kita ini berupaya menabung. Kejadian yang luar biasa. Ini memberikan contoh kemiskinan juga bisa berbuat kebaikan. Di sini juga kita bisa melihat, kenapa ibu ini yang miskin, seorang pemulung, yang bekerja hingga jam 11 malam, bisa menabung untuk berkurban,” kata Salim kala itu.
Janji Salim pun menjadi angin segar bagi Yati. Sebab, usianya semakin tua. Dia merasa suatu saat tenaganya tak akan mampu mengimbangi gerak roda kehidupan di Ibukota. Sehingga dia bermimpi bisa menghabiskan masa tua di tanah kelahiran, di Pasuruan, Jawa Timur.
Dan ternyata, janji menteri itu bukan isapan jempol belaka. Pada Februari tahun silam, Kementerian Sosial memberi bantuan modal usaha dan jaminan hidup selama 3 bulan sebesar Rp 2,8 juta, selain bantuan rumah layak huni dengan luas tanah 100 meter persegi dan luas bangunan 45 meter persegi.
Mimpi Mak Yati untuk hidup di tanah kelahiran telah terkabul. Pak Menteri juga sudah menjenguknya akhir tahun lalu. Kini, Mak Yati dan keluarga hidup damai bertani jagung. Kurban itu telah menjadi berkah! (dream.co.id)
Tiba-tiba, keriuhan mereda. Jamaah terdiam. Di tengah keheningan itu, nama-nama penyumbang hewan kurban diumumkan. Diserukan secara lantang melalui corong pengeras. Satu persatu nama penderma disebutkan. Hingga tiba saatnya panitia menyebut penyumbang tanpa nama.
“ Perlu kami umumkan, kambing yang terbesar justru diberikan oleh seorang pemulung. Beliau biasa berkeliling di sekitar Tebet sini,” demikian pengumuman yang terdengar bak teka-teki kala itu.
Para jamaah geger mendengarnya. Mereka kembali riuh, saling bertanya. Menerka-nerka siapa gerangan pemulung itu. Namun tetap saja, tak ada yang tahu. Salat Id kala itu pun berlangsung dengan penuh haru. Suara sang Imam bahkan bergetar saat membaca ayat-ayat di setiap rakaat salat.
Setelah salat, barulah terkuak siapa pemulung berhati mulia itu. Dialah Mak Yati. Pencari barang rongsok yang tinggal di gubuk reot tak jauh dari masjid. Bersama sang suami, Maman, perempuan berusia 65 tahun itu menyumbang dua kambing, masing-masing berharga Rp 1 juta dan Rp 2 juta. Kisah ini pertama kali dilansir oleh merdeka.com.
Perjuangan
Sejak itu, nama Mak Yati menjadi tenar. Berbagai media nasional meliput. Kisahnya dengan cepat menyebar di dunia maya. Namanya ditulis di berbagai surat kabar. Hampir saban hari wajahnya muncul di layar kaca. Di sejumlah saluran televisi. Silih berganti.
Keluarga Mak Yati tentu tak mudah membeli hewan kurban itu. Pendapatan dari memungut sampah di kawasan Jakarta Selatan tentu tidaklah seberapa. Jika hasil Mak Yati dan Maman waktu itu digabung, rata-rata hanya mendapat Rp 25 ribu perhari.
Bagi orang lain, mungkin hasil itu tak bisa menutup kebutuhan keluarga. Apalagi untuk hidup mewah di Ibukota. Namun Mak Yati dan keluarga membajakan tekad. Mereka mengencangkan ikat pinggang erat-erat, berhemat agar bisa menabung demi niat berkurban saat Idul Adha.
Tak hanya belitan ekonomi. Soal lain yang dihadapi Mak Yati dan Maman adalah cibiran tetangga. Kemiskinan membuat tetangga kanan kiri memandang dengan sebelah mata niat mereka. Menjadikan niat mulia ini sebagai bahan olok-olok.
“ Pada ketawa, bilang sudah pemulung, sudah tua, nggembel ngapain kurban,” tutur perempuan yang sehari-hari dipanggil Mak Yati itu.
Tapi, Mak Yati dan Maman tak menggubris selentingan-selentingan miring di telinga. Semangat mereka untuk membeli hewan kurban tak luntur. Rupiah demi rupiah mereka kumpulkan. Akhirnya setelah tiga tahun, duit yang mereka kumpulkan cukup untuk membeli hewan kurban yang mereka dambakan.
Dituntunlah dua kambing itu ke Masjid Raya Al Ittihad, Tebet Barat, Jakarta Selatan. Kepada panitia, hewan kurban itu dipasrahkan. Karena tahu siapa yang berkurban, pengurus masjid sempat tidak tega menerima kambing-kambing itu. Sebab, kala itu Mak Yati memang tidak masuk hitungan wajib berkurban.
Namun Maman dan Mak Yati bersikukuh. Boleh atau tidak, kedua kambing itu tetap mereka kurbankan. Dengan penuh keharuan, akhirnya panitia menerima persembahan Mak Yati dan Maman.
“ Pada bilang apa tidak sayang, mending uangnya untuk yang lain. Tapi saya pikir sekali seumur hidup masa tidak pernah kurban. Malu cuma nunggu daging kurban,” tutur Mak Yati.
Memang, sejak tiba di Jakarta tahun 1965 silam, perempuan asal Pasuruan, Jawa Timur, ini setiap tahun tak pernah absen mengantre untuk dapat daging kurban. Kemiskinan yang membelit menjadikan daging sebagai menu paling mahal dan boleh jadi langka bagi keluarganya.
Berbuah berkah
Kisah Mak Yati di berbagai media kala itu memang membetot perhatian masyarakat. Hingga akhirnya kabar kedermawanan Mak Yati dan keluarga ini sampai juga ke telinga Menteri Sosial, Salim Segaf Al-Jufri. Pak Menteri pun bertandang ke gubuk reot Mak Yati.
Inilah yang membuat Mak Yati menangis haru. “ Saya kaget, kedatangan menteri. Baru kali ini gembel kedatangan tamu besar,” kata Mak Yati sambil terisak kala itu.
Kondisi rumah Mak Yati memang memprihatinkan. Dinding hanya terbuat dari papan tripleks dan seng karatan. Itu pun dengan tambalan di sana-sini. Baik di dalam maupun di luar rumah pemandangannya seragam. Kumuh. Barang-barang bekas terhampar berserakan.
Kondisi itu membuat Menteri Salim trenyuh. Saat kunjungan 28 Oktober itu, Menteri Salim memberi bantuan uang kepada keluarga Mak Yati. Tak hanya itu, janji untuk membuatkan rumah di kampung halaman pun terlontar dari sang menteri.
“ Orangtua kita ini berupaya menabung. Kejadian yang luar biasa. Ini memberikan contoh kemiskinan juga bisa berbuat kebaikan. Di sini juga kita bisa melihat, kenapa ibu ini yang miskin, seorang pemulung, yang bekerja hingga jam 11 malam, bisa menabung untuk berkurban,” kata Salim kala itu.
Janji Salim pun menjadi angin segar bagi Yati. Sebab, usianya semakin tua. Dia merasa suatu saat tenaganya tak akan mampu mengimbangi gerak roda kehidupan di Ibukota. Sehingga dia bermimpi bisa menghabiskan masa tua di tanah kelahiran, di Pasuruan, Jawa Timur.
Dan ternyata, janji menteri itu bukan isapan jempol belaka. Pada Februari tahun silam, Kementerian Sosial memberi bantuan modal usaha dan jaminan hidup selama 3 bulan sebesar Rp 2,8 juta, selain bantuan rumah layak huni dengan luas tanah 100 meter persegi dan luas bangunan 45 meter persegi.
Mimpi Mak Yati untuk hidup di tanah kelahiran telah terkabul. Pak Menteri juga sudah menjenguknya akhir tahun lalu. Kini, Mak Yati dan keluarga hidup damai bertani jagung. Kurban itu telah menjadi berkah! (dream.co.id)
loading...
Post a Comment