ABDURRAHMAN berjalan perlahan. Matanya sigap menyapu pandang ke seluruh tamu yang Minggu siang itu, memadati Astaka Diraja. Panglima Kerajaan Daya ini menggenggam erat pedang besi yang melingkung panjang di pinggang kiri. Ia pengawal setia raja.
Adalah Teuku Saifullah bin Teuku Hasymi El Hakimi, keturunan ke-13 raja Daya, yang dikawal Abdurrahman. Ia berdiri mematung di sisi kanan raja yang mengenakan pakaian serba kuning bermanik keemasan. Di sekelilingnya, tiga raja dari wilayah Kerajaan Daya duduk bersahaja, ada juga tamu undangan dari unsur pemerintahan. Sesaat kemudian, raja Daya mulai membacakan titahnya.
“Nibak uree nye geutanyee tapeu ingat uree teudeng nanggree dayee…” kata raja, menjelaskan maksud dari perayaan upacara. Ia menyebutkan, perayaan memperingati berdirinya Kerajaan Daya akan selalu dilakukan saban 10 Zulhijjah, atau Idul Adha pertama.
Dalam amanatnya juga, raja menyebutkan, setiap raja di peut sagoe Daya beserta warganya wajib untuk selalu memikirkan negeri Daya, baik di bidang agama, dan adat. “Seureutee tapeumakmue nanggroe ngen buet meublang, meuladang, ngen meulaot.” Maksudnya, memakmurkan negeri dengan bercocok tanam di sawah, berladang, dan melaut. Begitu juga untuk angkatan perang. Raja menuturkan, mereka wajib menjaga negeri sampai batas lautan hindia.
khadam kerajaan yang sedari tadi mengipaskan raja, membuka penganan yang dibungkus dalam sebuah nampan berwarna perak. Isinya; nasi dengan lauk lobster, ada juga udang, kepala ikan, dan sayur hasil alam Nanggroe Daya.
Khadam mengenakan pakaian hitam serta selempang khas Aceh dengan jahitan sutra putih yang digantung di dada. Kepalanya dililit sorban putih. Ia mengambil sejumput nasi, kemudian menyuapkan ke mulut sultan. Upacara berlangsung khidmat. Tak ada tawa dan canda saat prosesi sueleng – suap – nasi oleh khadam kepada raja.
Safrizal, pelaku budaya di Meureuhom Daya, menyebutkan, ada suatu keyakinan tentang peninggalan Poe Teumeurehom – gelar untuk raja Daya – yang dihibahkan kepada masyarakat. Misal, mereka yang dulu diberikan kapal laut atau perahu. “Jadi mereka akan mempersiapkan hasil laut dari wilayah Daya ketika upacara,” kata Safrizal. Begitu juga dengan mereka yang menyediakan nasi. Raja, dulunya telah menghibahkan sepetak sawah untuk bercocok tanam. Kepercayaan itu menjadikan tradisi ini terus dijaga.
“Ini ritual tahunan yang dipertahankan dan selalu dijalankan. Kalau tidak dilakukan, takutnya kualat,” sebut Safrizal, yang dijumpai Minggu, 28 Oktober 2012, di Astaka Diraja, komplek dari Makam Sultan Alaidin Riayatsyah.
Namun, alangkah disayangkan, kearifan lokal yang dilakukan turun temurun oleh para keturunan raja, maknanya perlahan mulai menguap. “Masyarakat sudah tidak terlalu paham, bahkan di kalangan keluarga sendiri pun, sudah tidak lagi paham. Hanya generasi-generasi awal saja yang mempertahankan ritual ini,” sebut Safrizal.
Meskipun demikian, oleh beberapa pemerhati adat dan keturunan raja Daya, adat tersebut tetap dipertahankan. Safrizal mengatakan, kearifan lokal itu mulai pudar sejak ulee balang atau pimpinan ditujuk oleh Belanda pada masa penjajahan. “Saat itu fungsi raja mulai tidak ada,” katanya.
Raja terakhir yang punya kekuasaaan dan memang punya fungsi pemangku kuasa adalah Hakim Seutia Lila, yang ditunjuk oleh penerus penguasa daya, Sultan Jamalul Alam Badrul Munir. Jamalul Alam berkuasa di Meureuhom Daya tahun 1703, hingga tahun 1726.
Adat yang dimaksud adalah seumeuleng, peumeunap dan pembakaran pham kutika. Seumeuleng, artinya menyuapkan sejumput nasi ke mulut raja, sebagai tanda beliau telah dilantik atau ditabalkan sebagai penguasa. “Peumeunap adalah menemani sang raja saat bersantap makan,” kata tokoh pemuda Nanggroe Daya, Anwar Zamzami.
“Kalau pham kutika itu nama lampu teplok tujuh mata, yang setiap malam Hari Raya Idul Adha kita bakar di pinggir laut ini. Masing-masing mata punya maksud tersendiri. Misal lampu yang menghadap ke laut. Kalau lampu itu bersinar terang, berarti hasil lautnya untuk setahun penuh ini akan baik,” jelas Safrizal.
***
Nanggroe Daya – Negeri Daya – meliputi empat sagoe (segi) kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan itu adalah Kerajaan Lamno, Kuala Unga, Keuluang, dan Kerajaan Kuala Daya. Seluruh kerajaan tersebut disatukan oleh Sultan Alaidin Riayatsyah, tahun 1480.
Alkisah, Sultan Aceh Darussalam mengutus Sultan Salatin Alidin Riayatsyah ke Negeri Daya pada tahun 1480, untuk mengatasi kemelut empat kerajaan kecil tersebut. di Kerajaan Kuala Daya, sultan mengumpulkan semua raja. Saat itulah sang sultan mendeklarasikan berdirinya kerajaan daya, dengan maklumat Sultan Aceh, bahwa segala urusan diselesaikan dengan hukum Allah, dan hukum adat.
Setelah mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Daya, ia diangkat menjadi raja pertama. “Saat itulah raja di-sueleng, dan diperingati hingga kini,” kata Safrizal
“Kalau dulu itu, pertama kali, yang sueleng (suapi) adalah Sultan Alaidin Inayat Syah, saat mengangkat putranya Sultan Alaidin Riayatsyah sebagai Raja Negeri Daya sekitar tahun 1480,” kata Safrizal.
Saat ini, ada istilah raja sehari. Di mana, fungsi dari raja mulai berubah. Misal Abdurrahman, lelaki berbadan tegap kelahiran Daya ini, menghabiskan kesehariannya dengan pergi melaut. Bahkan, Teuku Saifullah yang mengemban amanat dengan jabatan raja, hanya pekerja swasta di Banda Aceh. “Itu yang saya maksudkan, fungsinya mulai berubah. Jadi ini hanya ritual adat saja, istilahnya raja sehari,” tutur Safrizal.
Hal itu, kata Safrizal, tidak lepas dari faktor penjajahan Belanda, dan sebuah upaya penjajah untuk menggelapkan sejarah kerajaan daya. “Bahkan ada kemungkinan Kerajaan Daya dihancurkan.”
Kerajaan Daya memanglah tidak lagi mempunyai bekas. Hanya makam Sultan Alaidin Riayatsyah yang bergelar Po Teumeurehom dan beberapa keturunannya, di bukit Gle Jong, yang selalu ramai dikunjungi masyarakat dari segala penjuru. “Kita berdoa memohon keberkahan di sini,” kata Aminah, salah seorang pengunjung makam. Bahkan, banyak juga orang yang melepaskan nazar di makam sultan.
Makam sultan tepat berada di atas bukit kecil di bibir pantai yang indah. Saban hari, ramai pengunjung yang berwisata ke pantai Meurehom Daya ini. Hamparan pasir tanpa gundukan batu karang dengan panorama sunsite menjadi daya tarik wisatawan. Minggu saat perayaan tersebut, ribuan masyarakat penuh sesak, memadati lokasi pantai, dan makam Po Teumeurehom.
***
Saya mengunjungi makam Sultan Alaidin Riayatsyah, pada Minggu, di akhir Oktober lalu. Makam sultan terletak di pinggir pantai di Desa Kuala Daya, 15 menit perjalanan dari Kota Lamno, Ibukota Aceh Jaya.
Mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh, perjalanan darat menuju Lamno ditempuh sepanjang 85 kilometer, atau dua jam.
Meskipun diluluhlantakkan tsunami 2004 silam, Aceh Jaya masih tetap menyajikan pantai yang bersih dengan pasir putih yang berkilau kala langit terik. Kala senja, pendar kemilau sunset dengan latar lautan lepas Samudera Hindia.
Selain menyajikan wisata bahari dan budaya, akses ke Lamno, di pantai barat Aceh ini, sangatlah mudah. Jalanan mulus yang dibangun pasca tsunami berkelok membelah gunung Geureute, salah satu gunung tertinggi di Aceh. Dari puncak di ketinggian, hamparan laut luas dengan gugusan pulau kecil akan sangat memanjakan mata.
Mau berbelanja? Hmmm, di Lamno, ada aneka makanan khas yang bisa anda temukan. Seperti ikan kerling, ikan air tawar yang khas Lamno, ikan ataupun gurita kering hasil laut lamno, dan durian lamno yang rasanya legit di lidah.
Di Lamno anda akan menemukan perempuan-perempuan lokal yang disangka turis. Tampilan mereka memang lokal, namun lihatlah wajah mereka. Hidung mancung, kulit putih, dengan mata biru. Mereka, keturunan Portugis, yang konon pernah menduduki wilayah Kuala Daya di Lamno, belasan abad silam.
Di Meureuhom Daya, pada hari yang semakin sore. Naunsa pantai yang teduh saat cuaca mendung di akhir Oktober itu bertambah ramai. Anak-anak berjingkrak ria, bermain manja di ombak laut yang terus menyapu bibir pantai.
Raja daya telah usai salat dan berdoa di makam sultan. Namun keramaian belum terbendung. Sore itu, di hari raya yang suci bagi umat islam, doa terus dilantunkan. Raja dan pelaku adat Nanggroe Daya berharap, budaya seumeuleng dan peumenap, peninggal para sultan terus lestari. [acehkita.com]
Adalah Teuku Saifullah bin Teuku Hasymi El Hakimi, keturunan ke-13 raja Daya, yang dikawal Abdurrahman. Ia berdiri mematung di sisi kanan raja yang mengenakan pakaian serba kuning bermanik keemasan. Di sekelilingnya, tiga raja dari wilayah Kerajaan Daya duduk bersahaja, ada juga tamu undangan dari unsur pemerintahan. Sesaat kemudian, raja Daya mulai membacakan titahnya.
“Nibak uree nye geutanyee tapeu ingat uree teudeng nanggree dayee…” kata raja, menjelaskan maksud dari perayaan upacara. Ia menyebutkan, perayaan memperingati berdirinya Kerajaan Daya akan selalu dilakukan saban 10 Zulhijjah, atau Idul Adha pertama.
Dalam amanatnya juga, raja menyebutkan, setiap raja di peut sagoe Daya beserta warganya wajib untuk selalu memikirkan negeri Daya, baik di bidang agama, dan adat. “Seureutee tapeumakmue nanggroe ngen buet meublang, meuladang, ngen meulaot.” Maksudnya, memakmurkan negeri dengan bercocok tanam di sawah, berladang, dan melaut. Begitu juga untuk angkatan perang. Raja menuturkan, mereka wajib menjaga negeri sampai batas lautan hindia.
khadam kerajaan yang sedari tadi mengipaskan raja, membuka penganan yang dibungkus dalam sebuah nampan berwarna perak. Isinya; nasi dengan lauk lobster, ada juga udang, kepala ikan, dan sayur hasil alam Nanggroe Daya.
Khadam mengenakan pakaian hitam serta selempang khas Aceh dengan jahitan sutra putih yang digantung di dada. Kepalanya dililit sorban putih. Ia mengambil sejumput nasi, kemudian menyuapkan ke mulut sultan. Upacara berlangsung khidmat. Tak ada tawa dan canda saat prosesi sueleng – suap – nasi oleh khadam kepada raja.
Safrizal, pelaku budaya di Meureuhom Daya, menyebutkan, ada suatu keyakinan tentang peninggalan Poe Teumeurehom – gelar untuk raja Daya – yang dihibahkan kepada masyarakat. Misal, mereka yang dulu diberikan kapal laut atau perahu. “Jadi mereka akan mempersiapkan hasil laut dari wilayah Daya ketika upacara,” kata Safrizal. Begitu juga dengan mereka yang menyediakan nasi. Raja, dulunya telah menghibahkan sepetak sawah untuk bercocok tanam. Kepercayaan itu menjadikan tradisi ini terus dijaga.
“Ini ritual tahunan yang dipertahankan dan selalu dijalankan. Kalau tidak dilakukan, takutnya kualat,” sebut Safrizal, yang dijumpai Minggu, 28 Oktober 2012, di Astaka Diraja, komplek dari Makam Sultan Alaidin Riayatsyah.
Namun, alangkah disayangkan, kearifan lokal yang dilakukan turun temurun oleh para keturunan raja, maknanya perlahan mulai menguap. “Masyarakat sudah tidak terlalu paham, bahkan di kalangan keluarga sendiri pun, sudah tidak lagi paham. Hanya generasi-generasi awal saja yang mempertahankan ritual ini,” sebut Safrizal.
Meskipun demikian, oleh beberapa pemerhati adat dan keturunan raja Daya, adat tersebut tetap dipertahankan. Safrizal mengatakan, kearifan lokal itu mulai pudar sejak ulee balang atau pimpinan ditujuk oleh Belanda pada masa penjajahan. “Saat itu fungsi raja mulai tidak ada,” katanya.
Raja terakhir yang punya kekuasaaan dan memang punya fungsi pemangku kuasa adalah Hakim Seutia Lila, yang ditunjuk oleh penerus penguasa daya, Sultan Jamalul Alam Badrul Munir. Jamalul Alam berkuasa di Meureuhom Daya tahun 1703, hingga tahun 1726.
Adat yang dimaksud adalah seumeuleng, peumeunap dan pembakaran pham kutika. Seumeuleng, artinya menyuapkan sejumput nasi ke mulut raja, sebagai tanda beliau telah dilantik atau ditabalkan sebagai penguasa. “Peumeunap adalah menemani sang raja saat bersantap makan,” kata tokoh pemuda Nanggroe Daya, Anwar Zamzami.
“Kalau pham kutika itu nama lampu teplok tujuh mata, yang setiap malam Hari Raya Idul Adha kita bakar di pinggir laut ini. Masing-masing mata punya maksud tersendiri. Misal lampu yang menghadap ke laut. Kalau lampu itu bersinar terang, berarti hasil lautnya untuk setahun penuh ini akan baik,” jelas Safrizal.
***
Nanggroe Daya – Negeri Daya – meliputi empat sagoe (segi) kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan itu adalah Kerajaan Lamno, Kuala Unga, Keuluang, dan Kerajaan Kuala Daya. Seluruh kerajaan tersebut disatukan oleh Sultan Alaidin Riayatsyah, tahun 1480.
Alkisah, Sultan Aceh Darussalam mengutus Sultan Salatin Alidin Riayatsyah ke Negeri Daya pada tahun 1480, untuk mengatasi kemelut empat kerajaan kecil tersebut. di Kerajaan Kuala Daya, sultan mengumpulkan semua raja. Saat itulah sang sultan mendeklarasikan berdirinya kerajaan daya, dengan maklumat Sultan Aceh, bahwa segala urusan diselesaikan dengan hukum Allah, dan hukum adat.
Setelah mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Daya, ia diangkat menjadi raja pertama. “Saat itulah raja di-sueleng, dan diperingati hingga kini,” kata Safrizal
“Kalau dulu itu, pertama kali, yang sueleng (suapi) adalah Sultan Alaidin Inayat Syah, saat mengangkat putranya Sultan Alaidin Riayatsyah sebagai Raja Negeri Daya sekitar tahun 1480,” kata Safrizal.
Saat ini, ada istilah raja sehari. Di mana, fungsi dari raja mulai berubah. Misal Abdurrahman, lelaki berbadan tegap kelahiran Daya ini, menghabiskan kesehariannya dengan pergi melaut. Bahkan, Teuku Saifullah yang mengemban amanat dengan jabatan raja, hanya pekerja swasta di Banda Aceh. “Itu yang saya maksudkan, fungsinya mulai berubah. Jadi ini hanya ritual adat saja, istilahnya raja sehari,” tutur Safrizal.
Hal itu, kata Safrizal, tidak lepas dari faktor penjajahan Belanda, dan sebuah upaya penjajah untuk menggelapkan sejarah kerajaan daya. “Bahkan ada kemungkinan Kerajaan Daya dihancurkan.”
Kerajaan Daya memanglah tidak lagi mempunyai bekas. Hanya makam Sultan Alaidin Riayatsyah yang bergelar Po Teumeurehom dan beberapa keturunannya, di bukit Gle Jong, yang selalu ramai dikunjungi masyarakat dari segala penjuru. “Kita berdoa memohon keberkahan di sini,” kata Aminah, salah seorang pengunjung makam. Bahkan, banyak juga orang yang melepaskan nazar di makam sultan.
Makam sultan tepat berada di atas bukit kecil di bibir pantai yang indah. Saban hari, ramai pengunjung yang berwisata ke pantai Meurehom Daya ini. Hamparan pasir tanpa gundukan batu karang dengan panorama sunsite menjadi daya tarik wisatawan. Minggu saat perayaan tersebut, ribuan masyarakat penuh sesak, memadati lokasi pantai, dan makam Po Teumeurehom.
***
Saya mengunjungi makam Sultan Alaidin Riayatsyah, pada Minggu, di akhir Oktober lalu. Makam sultan terletak di pinggir pantai di Desa Kuala Daya, 15 menit perjalanan dari Kota Lamno, Ibukota Aceh Jaya.
Mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh, perjalanan darat menuju Lamno ditempuh sepanjang 85 kilometer, atau dua jam.
Meskipun diluluhlantakkan tsunami 2004 silam, Aceh Jaya masih tetap menyajikan pantai yang bersih dengan pasir putih yang berkilau kala langit terik. Kala senja, pendar kemilau sunset dengan latar lautan lepas Samudera Hindia.
Selain menyajikan wisata bahari dan budaya, akses ke Lamno, di pantai barat Aceh ini, sangatlah mudah. Jalanan mulus yang dibangun pasca tsunami berkelok membelah gunung Geureute, salah satu gunung tertinggi di Aceh. Dari puncak di ketinggian, hamparan laut luas dengan gugusan pulau kecil akan sangat memanjakan mata.
Mau berbelanja? Hmmm, di Lamno, ada aneka makanan khas yang bisa anda temukan. Seperti ikan kerling, ikan air tawar yang khas Lamno, ikan ataupun gurita kering hasil laut lamno, dan durian lamno yang rasanya legit di lidah.
Di Lamno anda akan menemukan perempuan-perempuan lokal yang disangka turis. Tampilan mereka memang lokal, namun lihatlah wajah mereka. Hidung mancung, kulit putih, dengan mata biru. Mereka, keturunan Portugis, yang konon pernah menduduki wilayah Kuala Daya di Lamno, belasan abad silam.
Di Meureuhom Daya, pada hari yang semakin sore. Naunsa pantai yang teduh saat cuaca mendung di akhir Oktober itu bertambah ramai. Anak-anak berjingkrak ria, bermain manja di ombak laut yang terus menyapu bibir pantai.
Raja daya telah usai salat dan berdoa di makam sultan. Namun keramaian belum terbendung. Sore itu, di hari raya yang suci bagi umat islam, doa terus dilantunkan. Raja dan pelaku adat Nanggroe Daya berharap, budaya seumeuleng dan peumenap, peninggal para sultan terus lestari. [acehkita.com]
loading...
Post a Comment