AMP - Kegagalan percobaan kudeta di Turki, menunjukkan aneka pesan. Pertama, masyarakat Turki menjunjung tinggi demokrasi. Mereka seperti menganggap kudeta adalah cara primitif dalam merebut kekuasaan. Dan mereka tidak ingin terperangkap kembali dalam kekuasaan militer.
Di sisi yang lain, tertangkap pula pesan dunia mengutuk pengambilalihan kekuasaan melalui kudeta. Cara berkuasa kontra demokrasi yang dilakukan militer ini, sudah tak laku apa pun dalihnya.
Dunia Barat misalnya, punya kepentingan strategis terhadap Turki. Negara ini ibarat benteng Eropa yang diharapkan mampu menahan dari gelombang pengungsi terorisme dan radikalisme yang kini makin kental di Timur Tengah. Meski beberapa kali berselisih dengan Erdogan, Barat masih merasa nyaman Turki di bawah kekuasaan Erdogan. Karenanya Barat tetap menginginkan Turki yang stabil.
Bagi orang nomor satu di Turki, Presiden Recep Tayyip Erdogan, sekali pun percobaan kudeta adalah tamparan baginya. Namun upaya yang gagal tersebut juga menunjukkan ia sangat kuat. Partai oposisi seperti Partai Rakyat Republik (CHP), Partai Gerakan Nasional (MHP), bahkan partai yang pro Kurdi, Partai Rakyat Demokratik (HDP) menyatakan kecaman terhadap upaya kudeta tersebut.
Kudeta militer, memang akrab dengan perjalanan sejarah pemerintah Turki. Sejak tahun 1960an, setidaknya sudah 4 kali kudeta terjadi. Kudeta pada tahun 1997, berhasil memaksa Perdana Menteri Necmettin Erbakan untuk mundur. Pemerintahan sementara pun dibentuk untuk mengembalikan asas sekuler negeri itu.
Percobaan Kudeta militer yang gagal (15/7/2016), konon dipicu oleh faksi di militer yang menganggap Erdogan tengah membawa Turki meninggalkan sekularisme, menuju negara Islam. Turki di bawah kepemimpinan Erdogan memang memiliki masalah dalam negeri yang cukup kompleks.
Salah satunya adalah isu keamanan yang kurang kondusif. Pemicunya memang masalah di luar, yaitu dampak langsung dari perebutan kekuasaan di Suriah yang belum jelas kapan selesainya.
Namun masalah terbesar justru benar-benar berasal dari dalam negeri. Sebagian rakyat, terutama kaum pembela hak asasi manusia, kelompok liberal demokrat, dan media yang kritis terhadap pemerintah, mencermati Erdogan semakin otoriter.
Ia sering dinilai melanggar konstitusi. Ia disinyalir akan mengubah Turki dari negara sekuler menjadi negara Islam. Dalam kekuasaannya, Erdogan mencoba mengikis budaya dan aturan sekuler di negaranya untuk digantikan dengan aturan-aturan Islami.
Erdogan berkuasa sejak 2003 melalui Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP). Ia menjadi perdana menteri Turki tiga periode, sampai 2014. Ia kemudian menjadi presiden pertama Turki yang dipilih langsung oleh rakyat, sejak Agustus 2014.
Banyak spekulasi menuding Erdogan juga ingin mengubah sistem tata negara Turki, dari parlementer menjadi presidensial untuk memperkuat kekuasaannya.
Sepak terjang Erdogan ini kerap kali mendapat kritik. Dan Erdogan sangat reaktif terhadap kritik. Sejumlah orang yang dianggap lawan politiknya ditangkap, dengan tudingan serius: membantu kelompok teroris. Setidaknya ada 24 orang yang dianggap kritis ditahan pada 2014, termasuk pemimpin redaksi stasiun televisi Samanyolu dan harian berbahasa Inggris Today's Zaman, yang memiliki tiras 650.000 eksemplar.
Maret lalu, pemerintah Erdogan secara paksa mengambil alih manajemen surat kabar berpengaruh Today's Zaman dan kantor berita Turki terluas aksesnya di dunia, Cihan. Represi terhadap media juga dilakukan dengan mengawasi percakapan warga Turki di media sosial.
Kawan politik yang semula sealiran, namun kemudian dianggap membahayakan kekuasaannya pun disisihkan. Perdana Menteri Ahmet Davutoglu, misalnya, kolega separtai Erdogan di Partai Keadilan dan Pembangunan pun tak diberi peran, sekali pun Turki masih berbentuk parlementer.
Begitu pula ulama berpengaruh Fethullah Gulen penyokong utama Erdogan saat ia maju sebagai Perdana Menteri Turki pada 2003. Erdogan, awalnya memanfaatkan pengaruh Gulen di kepolisian dan lembaga yudisial untuk menghadang kekuatan militer yang berkuasa sejak 1960.
Namun, setelah berkuasa, ia menuding Gulen, sebagai teroris dan pengkhianat. Itu terjadi setelah Gulen mengungkap skandal korupsi di sekeliling Erdogan, termasuk anak Erdogan. Kini Gulen, bermukim di Amerika Serikat.
Bisa jadi melihat berbagai persoalan di dalam negeri yang begitu kompleks, sejumlah militer menyimpulkan saat Erdogan cuti berlibur, sebagai momentum yang tepat untuk melakukan kudeta. Ternyata kesimpulan itu salah. Tak ada dukungan dari kekuatan baik di dalam maupun di luar negeri terhadap pelaku kudeta. Rakyat bahkan melawan.
Kini, aksi percobaan pengambilalihan kekuasaan yang gagal itu malah memberikan benefit yang besar terhadap Erdogan. Polisi dan militer yang setia kepadanya dengan mudah, menangkap tak kurang dari 6.000 orang yang diduga terlibat dalam upaya kudeta, sebagian besar adalah tentara dan pegawai pemerintah.
Setidaknya ada 34 pejabat militer berpangkat jenderal yang ditangkap. Sebanyak 2.745 jaksa dan hakim juga diciduk. Tudingannya sama: mereka menjadi anak buah Gulen. Orang yang dituduh oleh Erdogan sebagai dalang aksi kudeta yang merenggut korban tewas dari kalangan sipil lebih dari 161 orang dan 104 orang tentara.
Gulen, sejak awal telah membantah tudingan tersebut. Ia mengaku terhina dengan tudingan itu. Sebab ia merasa sebagai bagian dari orang Turki yang menderita di bawah kudeta militer selama lima dekade. Ia pun mengutuk kudeta tersebut. Ia tegas menyatakan pemerintah yang berkuasa di Turki harus terpilih dalam proses pemilihan umum.
Sebagai bangsa yang hidup di negeri demokrasi, kita tentu sepakat bahwa peralihan kekuasaan, harus melalui mekanisme demokrasi, yaitu pemilihan umum. Kekuasaan pemerintahan di negara mana pun tidak boleh diambil alih secara paksa dengan bedil dan kekerasan. Kudeta militer adalah anti demokrasi, cara kuno untuk memperoleh kekuasaan yang terkutuk.
Meski begitu kita juga menolak penguasa yang alih-alih menegakkan demokrasi, namun melakukan praktik otoritarianisme. Memanfaatkan momentum kegagalan kudeta untuk 'menghabisi' lawan politik juga bukan cara bijak. Harus ada mekanisme peradilan dan pembuktian keterlibatan seseorang dalam sebuah gerakan kudeta.
Apa lagi sampai saat ini, klaim terhadap percobaan kudeta tersebut masih sumir. Berbagai pihak pun mulai skeptis, menduga percobaan kudeta militer Turki hanyalah sebuah aksi drama panggung. Endingnya bisa diduga, Erdogan jadi juara.(beritategar)
Di sisi yang lain, tertangkap pula pesan dunia mengutuk pengambilalihan kekuasaan melalui kudeta. Cara berkuasa kontra demokrasi yang dilakukan militer ini, sudah tak laku apa pun dalihnya.
Dunia Barat misalnya, punya kepentingan strategis terhadap Turki. Negara ini ibarat benteng Eropa yang diharapkan mampu menahan dari gelombang pengungsi terorisme dan radikalisme yang kini makin kental di Timur Tengah. Meski beberapa kali berselisih dengan Erdogan, Barat masih merasa nyaman Turki di bawah kekuasaan Erdogan. Karenanya Barat tetap menginginkan Turki yang stabil.
Bagi orang nomor satu di Turki, Presiden Recep Tayyip Erdogan, sekali pun percobaan kudeta adalah tamparan baginya. Namun upaya yang gagal tersebut juga menunjukkan ia sangat kuat. Partai oposisi seperti Partai Rakyat Republik (CHP), Partai Gerakan Nasional (MHP), bahkan partai yang pro Kurdi, Partai Rakyat Demokratik (HDP) menyatakan kecaman terhadap upaya kudeta tersebut.
Kudeta militer, memang akrab dengan perjalanan sejarah pemerintah Turki. Sejak tahun 1960an, setidaknya sudah 4 kali kudeta terjadi. Kudeta pada tahun 1997, berhasil memaksa Perdana Menteri Necmettin Erbakan untuk mundur. Pemerintahan sementara pun dibentuk untuk mengembalikan asas sekuler negeri itu.
Percobaan Kudeta militer yang gagal (15/7/2016), konon dipicu oleh faksi di militer yang menganggap Erdogan tengah membawa Turki meninggalkan sekularisme, menuju negara Islam. Turki di bawah kepemimpinan Erdogan memang memiliki masalah dalam negeri yang cukup kompleks.
Salah satunya adalah isu keamanan yang kurang kondusif. Pemicunya memang masalah di luar, yaitu dampak langsung dari perebutan kekuasaan di Suriah yang belum jelas kapan selesainya.
Namun masalah terbesar justru benar-benar berasal dari dalam negeri. Sebagian rakyat, terutama kaum pembela hak asasi manusia, kelompok liberal demokrat, dan media yang kritis terhadap pemerintah, mencermati Erdogan semakin otoriter.
Ia sering dinilai melanggar konstitusi. Ia disinyalir akan mengubah Turki dari negara sekuler menjadi negara Islam. Dalam kekuasaannya, Erdogan mencoba mengikis budaya dan aturan sekuler di negaranya untuk digantikan dengan aturan-aturan Islami.
Erdogan berkuasa sejak 2003 melalui Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP). Ia menjadi perdana menteri Turki tiga periode, sampai 2014. Ia kemudian menjadi presiden pertama Turki yang dipilih langsung oleh rakyat, sejak Agustus 2014.
Banyak spekulasi menuding Erdogan juga ingin mengubah sistem tata negara Turki, dari parlementer menjadi presidensial untuk memperkuat kekuasaannya.
Sepak terjang Erdogan ini kerap kali mendapat kritik. Dan Erdogan sangat reaktif terhadap kritik. Sejumlah orang yang dianggap lawan politiknya ditangkap, dengan tudingan serius: membantu kelompok teroris. Setidaknya ada 24 orang yang dianggap kritis ditahan pada 2014, termasuk pemimpin redaksi stasiun televisi Samanyolu dan harian berbahasa Inggris Today's Zaman, yang memiliki tiras 650.000 eksemplar.
Maret lalu, pemerintah Erdogan secara paksa mengambil alih manajemen surat kabar berpengaruh Today's Zaman dan kantor berita Turki terluas aksesnya di dunia, Cihan. Represi terhadap media juga dilakukan dengan mengawasi percakapan warga Turki di media sosial.
Kawan politik yang semula sealiran, namun kemudian dianggap membahayakan kekuasaannya pun disisihkan. Perdana Menteri Ahmet Davutoglu, misalnya, kolega separtai Erdogan di Partai Keadilan dan Pembangunan pun tak diberi peran, sekali pun Turki masih berbentuk parlementer.
Begitu pula ulama berpengaruh Fethullah Gulen penyokong utama Erdogan saat ia maju sebagai Perdana Menteri Turki pada 2003. Erdogan, awalnya memanfaatkan pengaruh Gulen di kepolisian dan lembaga yudisial untuk menghadang kekuatan militer yang berkuasa sejak 1960.
Namun, setelah berkuasa, ia menuding Gulen, sebagai teroris dan pengkhianat. Itu terjadi setelah Gulen mengungkap skandal korupsi di sekeliling Erdogan, termasuk anak Erdogan. Kini Gulen, bermukim di Amerika Serikat.
Bisa jadi melihat berbagai persoalan di dalam negeri yang begitu kompleks, sejumlah militer menyimpulkan saat Erdogan cuti berlibur, sebagai momentum yang tepat untuk melakukan kudeta. Ternyata kesimpulan itu salah. Tak ada dukungan dari kekuatan baik di dalam maupun di luar negeri terhadap pelaku kudeta. Rakyat bahkan melawan.
Kini, aksi percobaan pengambilalihan kekuasaan yang gagal itu malah memberikan benefit yang besar terhadap Erdogan. Polisi dan militer yang setia kepadanya dengan mudah, menangkap tak kurang dari 6.000 orang yang diduga terlibat dalam upaya kudeta, sebagian besar adalah tentara dan pegawai pemerintah.
Setidaknya ada 34 pejabat militer berpangkat jenderal yang ditangkap. Sebanyak 2.745 jaksa dan hakim juga diciduk. Tudingannya sama: mereka menjadi anak buah Gulen. Orang yang dituduh oleh Erdogan sebagai dalang aksi kudeta yang merenggut korban tewas dari kalangan sipil lebih dari 161 orang dan 104 orang tentara.
Gulen, sejak awal telah membantah tudingan tersebut. Ia mengaku terhina dengan tudingan itu. Sebab ia merasa sebagai bagian dari orang Turki yang menderita di bawah kudeta militer selama lima dekade. Ia pun mengutuk kudeta tersebut. Ia tegas menyatakan pemerintah yang berkuasa di Turki harus terpilih dalam proses pemilihan umum.
Sebagai bangsa yang hidup di negeri demokrasi, kita tentu sepakat bahwa peralihan kekuasaan, harus melalui mekanisme demokrasi, yaitu pemilihan umum. Kekuasaan pemerintahan di negara mana pun tidak boleh diambil alih secara paksa dengan bedil dan kekerasan. Kudeta militer adalah anti demokrasi, cara kuno untuk memperoleh kekuasaan yang terkutuk.
Meski begitu kita juga menolak penguasa yang alih-alih menegakkan demokrasi, namun melakukan praktik otoritarianisme. Memanfaatkan momentum kegagalan kudeta untuk 'menghabisi' lawan politik juga bukan cara bijak. Harus ada mekanisme peradilan dan pembuktian keterlibatan seseorang dalam sebuah gerakan kudeta.
Apa lagi sampai saat ini, klaim terhadap percobaan kudeta tersebut masih sumir. Berbagai pihak pun mulai skeptis, menduga percobaan kudeta militer Turki hanyalah sebuah aksi drama panggung. Endingnya bisa diduga, Erdogan jadi juara.(beritategar)
loading...
Post a Comment