AMP - Dalam praktik politik, terutama untuk proses pemilihan kepala daerah, secara umum para calon eksekutif maupun legislatif adalah “calon pengkhianat” bagi partai pengusung atau timses yang bersangkutan.
Mengapa begitu? Ini karena ada kecenderungan Partai Politik hanya digunakan sebagai “kendaraan” sesaat saja untuk mencapai target jabatan yang dikejar.
Di Aceh, fenomena seperti ini kerap disebut dengan istilah “politek raket bak pisang”.
Istilah “raket bak pisang” memang sangat popular sebagai salah satu kosakata penting dalam istilah perpolitikan di Aceh. Maknanya dalam bahasa Indonesia adalah, “rakit batang pisang”.
Maksudnya, orang menyeberang ke suatu tempat dengan menggunakan batang pisang sebagai rakitnya. Batang pisang ini dianggap sesuatu yang berharga pada saat diperlukan, tetapi menjadi tidak penting lagi setelah penumpangnya sampai di seberang, di tempat tujuan.
Makna konotatif dari istilah ini adalah, “pengkhianatan” terhadap mereka yang telah sukses mengantarkan seseorang dari suatu posisi yang sulit – diseberang sungai atau di seberang laut — dengan sukses karena telah tercapainya tujuan.
Biasanya orang yang menggunakan rakit batang pisang ini langsung membuang rakitnya begitu sampai di tujuan, seakan-akan tiada makna.
Dalam studi dan pengalaman politik saya sebagai orang yang dekat dengan lingkungan politik di Aceh sejak pertengahan tahun 90-an, ketika saya masih menjadi wartawan dan aktivis, istilah ini menunjukkan fakta dan bukti-bukti yang kuat tentang kebenarannya.
Cerita yang selalu terjadi paska pemilihan kepala daerah (Pilkada) atau Pemilihan Umum (Pemilu) legislative, bahwa orang-orang yang sukses menjadi Kepala Daerah atau Anggota Legislatif segera melupakan Partai Politik serta tim sukses yang telah membantu orang bersangkutan duduk dalam jabatan yang diperebutkan.
Cerita tentang kesedihan, kemarahan, kekesalan dan perasaan dikhianati dari para pengusung atau anggota tim sukses serta petinggi Partai Politik akan segera merebak menjadi cerita dan pergunjingan dikalangan internal atau di ruang publik seperti warung kopi dan tempat lainnya. Tetapi biasanya, “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”.
Pejabat yang telah berhasil menggunakan “raket bak pisang” tadi tetap tenang dalam jabatannya, karena kalangan yang merasa dikhianati tidak bisa berbuat apa-apa.
Peristiwa seperti ini bisa terjadi karena beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama: Si calon eksekutif atau legislative sejak awal sudah membayar kepada para petinggi Partai Politik bersangkutan sejumlah uang yang merupakan “bayaran” atas telah diberikannya dukungan kepada si calon.
Biasanya uang seperti ini disebut dengan “mahar”, yaitu pembayaran jasa atas dukungan yang diberikan kepada si calon. Sebagai konsekuensi dari siatuasi ini si calon merasa telah “membayar tiket” kendaraannya untuk sampai ke tujuan. Jadi transaksi telah selesai. Inilah yang kemudian disebut sebagai praktik transaksional dalam politik.
Kemungkinan kedua adalah: Tidak ada transaksi “pembayaran tiket” sejak awal. Tetapi kesepakatan politik atau komitmen untuk tujuan-tujuan politik berikutnya, atau kerjasama politik. Menurut saya, pola ini masih bisa dianggap sehat, walau bisa saja dalam konteks kerjasama itu ada aspek keuangan, berupa konsesi proyek, bantun atau dukungan fasilitas dan seterusnya bisa mengarah pada Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Sedangkan kemungkinan ketiga adalah; Bebas mahar, atau tidak ada transaksi apapun apakah bayaran tiket kendaraan, konsesi proyek dan lain-lain, kalaupun ada hanyalah komitmen kerjasama politik dalam kerangka membangun suatu daerah.
Tetapi kemungkinan ketiga ini pun, bisa menimbulkan kerumitan, karena bisa saja sang calon tetap menjadikan Partai Politik sebagai “Raket Bak Pisang”, karena ketika yang bersangkutan sudah berkuasa, ia tidak menjalankan amanah-amanah ideal dari partai.
Tetap saja Partai Politik tersandera oleh pengkhianatan dari calon yang telah diusungnya. Tentang hal ini, orang Aceh sudah cukup faham, itulah sebabnya ada pepatah yang berbunyi; “Watee di laot sapue kheun, ka troh u darat ka laen cerita”. Mari merenung!
Mengapa begitu? Ini karena ada kecenderungan Partai Politik hanya digunakan sebagai “kendaraan” sesaat saja untuk mencapai target jabatan yang dikejar.
Di Aceh, fenomena seperti ini kerap disebut dengan istilah “politek raket bak pisang”.
Istilah “raket bak pisang” memang sangat popular sebagai salah satu kosakata penting dalam istilah perpolitikan di Aceh. Maknanya dalam bahasa Indonesia adalah, “rakit batang pisang”.
Maksudnya, orang menyeberang ke suatu tempat dengan menggunakan batang pisang sebagai rakitnya. Batang pisang ini dianggap sesuatu yang berharga pada saat diperlukan, tetapi menjadi tidak penting lagi setelah penumpangnya sampai di seberang, di tempat tujuan.
Makna konotatif dari istilah ini adalah, “pengkhianatan” terhadap mereka yang telah sukses mengantarkan seseorang dari suatu posisi yang sulit – diseberang sungai atau di seberang laut — dengan sukses karena telah tercapainya tujuan.
Biasanya orang yang menggunakan rakit batang pisang ini langsung membuang rakitnya begitu sampai di tujuan, seakan-akan tiada makna.
Dalam studi dan pengalaman politik saya sebagai orang yang dekat dengan lingkungan politik di Aceh sejak pertengahan tahun 90-an, ketika saya masih menjadi wartawan dan aktivis, istilah ini menunjukkan fakta dan bukti-bukti yang kuat tentang kebenarannya.
Cerita yang selalu terjadi paska pemilihan kepala daerah (Pilkada) atau Pemilihan Umum (Pemilu) legislative, bahwa orang-orang yang sukses menjadi Kepala Daerah atau Anggota Legislatif segera melupakan Partai Politik serta tim sukses yang telah membantu orang bersangkutan duduk dalam jabatan yang diperebutkan.
Cerita tentang kesedihan, kemarahan, kekesalan dan perasaan dikhianati dari para pengusung atau anggota tim sukses serta petinggi Partai Politik akan segera merebak menjadi cerita dan pergunjingan dikalangan internal atau di ruang publik seperti warung kopi dan tempat lainnya. Tetapi biasanya, “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”.
Pejabat yang telah berhasil menggunakan “raket bak pisang” tadi tetap tenang dalam jabatannya, karena kalangan yang merasa dikhianati tidak bisa berbuat apa-apa.
Peristiwa seperti ini bisa terjadi karena beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama: Si calon eksekutif atau legislative sejak awal sudah membayar kepada para petinggi Partai Politik bersangkutan sejumlah uang yang merupakan “bayaran” atas telah diberikannya dukungan kepada si calon.
Biasanya uang seperti ini disebut dengan “mahar”, yaitu pembayaran jasa atas dukungan yang diberikan kepada si calon. Sebagai konsekuensi dari siatuasi ini si calon merasa telah “membayar tiket” kendaraannya untuk sampai ke tujuan. Jadi transaksi telah selesai. Inilah yang kemudian disebut sebagai praktik transaksional dalam politik.
Kemungkinan kedua adalah: Tidak ada transaksi “pembayaran tiket” sejak awal. Tetapi kesepakatan politik atau komitmen untuk tujuan-tujuan politik berikutnya, atau kerjasama politik. Menurut saya, pola ini masih bisa dianggap sehat, walau bisa saja dalam konteks kerjasama itu ada aspek keuangan, berupa konsesi proyek, bantun atau dukungan fasilitas dan seterusnya bisa mengarah pada Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Sedangkan kemungkinan ketiga adalah; Bebas mahar, atau tidak ada transaksi apapun apakah bayaran tiket kendaraan, konsesi proyek dan lain-lain, kalaupun ada hanyalah komitmen kerjasama politik dalam kerangka membangun suatu daerah.
Tetapi kemungkinan ketiga ini pun, bisa menimbulkan kerumitan, karena bisa saja sang calon tetap menjadikan Partai Politik sebagai “Raket Bak Pisang”, karena ketika yang bersangkutan sudah berkuasa, ia tidak menjalankan amanah-amanah ideal dari partai.
Tetap saja Partai Politik tersandera oleh pengkhianatan dari calon yang telah diusungnya. Tentang hal ini, orang Aceh sudah cukup faham, itulah sebabnya ada pepatah yang berbunyi; “Watee di laot sapue kheun, ka troh u darat ka laen cerita”. Mari merenung!
Sumber: acehtrend.co
loading...
Post a Comment