Halloween Costume ideas 2015
loading...

Wali; Antara Cinta dan Perjuangan

(Alm. Wali Bersama Anak Semata Wayang, Karim M. Tiro. Photo: Koleksi Haekal Afifa)
AMP - Legenda telah mencatat sosok Wilhelm Tell sebagai seorang pemimpin yang sangat berani dalam perjuangan kemerdekaan Swiss melawan Austria. Tell menjadi simbol perlawanan untuk kemerdekaan yang sangat berarti dan menginspirasi semua orang. Bagi anak-anak Swiss, tidak ada yang luput dalam ingatan mereka, bagaimana sosok Wilhelm Tell berjuang habis-habisan dalam Perang Morganted pada tahun 1315.

Perjuangannya dimulai ketika Gessler, juru sita Austria memerintahkan rakyat Uri agar memberi penghormatan kepada topi yang digantung di alun-alun kota sebagai bentuk pengakuan atas dominasi Austria terhadap Swiss. Wilhelm Tell, pimpinan pemberontakan menolak untuk hormat kepada simbol penjajah itu harus menerima akibatnya. Ia ditangkap dan dipaksa untuk menembak sebutir Apel diatas kepala anaknya, jika meleset maka anaknya menjadi korban. Kisah dramatis yang melegenda ini berabad-abad telah dipentaskan oleh para seniman, baik melalui audio maupun visual di dunia. Bahkan, Giaccino Antonio Rossini mengabadikan kisah ini dalam lagunya Guillaume Tell pada tahun 1829.

Kisah inilah yang menginspirasi saya melihat lebih jauh bagaimana perasaan alm. Tengku Hasan di Tiro dalam perjuangan kemerdekaan Aceh. Perasaan dramatis yang beliau deskripsikan dalam bukunya The Price of Freedom; the unfinished diary of Tengku Hasan Tiro. Dalam catatan yang tidak selesai itu, Wali berkisah bagaimana pahit dan sakitnya perasaan ketika ia sebagai orang tua harus meninggalkan Karim Michael Tiro, anak semata wayangnya demi perjuangan Aceh; Satu hal lagi yang sangat menyakitkan saya adalah saya harus meninggalkan anak laki-laki saya; Karim, yang masih berumur 6 tahun, di Amerika. Seperti yang sudah dimaklumi oleh semua ayah, bahwa itu merupakan tahun-tahun yang sangat bahagia dalam hidup seorang anak. Meninggalkan seorang anak yang baru berumur 6 tahun tanpa ada kasih sayang merupakan hal yang sangat menyakitkan, apalagi hal itu sengaja dilakukan – walau dengan alasan apapun bagi setiap orangtua – tetapi alasan itu tidaklah adil dan tidak akan bisa diterima oleh seorang anak.

Ini merupakan sebuah luka bagi seorang anak tersayang, dan tidak akan ada orang lain yang peduli selain dia berharap pada ayahnya sendiri, dan dia tidak mengerti bagaimana dia akan protes saat ayahnya tidak ada disampingnya. Begitulah, saya melakukan perjuangan dengan melawan semua perasaan yang ada. Hanya seorang seperti Wilhelm Tell yang sangat mengerti seperti apa kesedihan hati saya ini.

Bagi Wali, Aceh dengan segala kekurangan dan kelebihannya lebih ia cintai ketimbang anak dan istrinya. Ia lebih memilih pulang untuk mencerdaskan anak bangsanya dan membiarkan keluarganya hidup menderita. Sangat berat dan menyakitkan, yang meremukkan hati dan tanpa rasa kemanusiaan sedikitpun adalah sebuah kenyataan bahwa dalam melaksanakan kewajiban suci ini demi bangsa dan negara Aceh, saya harus merelakan keluarga dan menghancurkan harapan hidup yang sangat bahagia ini: saya harus meninggalkan istri dan anak di Amerika. Tulis Wali dalam catatannya.

Tidak bisa dibayangkan, ketika banyak deklarator Aceh Merdeka yang masih hidup saat itu lalu hijrah ke pengasingan dengan membawa anak dan istrinya, sosok alm. Wali lebih memilih hidup sendiri bersama teman perjuangan yang telah menemaninya. Ia harus bertarung, bagaimana memberikan tanggung jawab kepada anak dan istri sebagai seorang ayah dan suami dengan tanggung jawab kepada bangsa dan generasi setelahnya kini.

Bagi Aceh, Wali telah menjadi simpul cinta dan perjuangan. Namun, tidak banyak orang Aceh hari ini yang sanggup menghargai bagaimana perasaan cinta Wali kepada Aceh yang melebihi cinta kepada keluarganya. Hari ini, 91 tahun setelah kelahirannya (25 September 1925) dan 6 tahun setelah kepergiannya (3 Juni 2010) ia telah mewarisi cinta, perjuangan dan perdamaian itu kepada kita. Tetapi, melihat realitas hari ini ketika banyak anak didiknya merebut kursi kekuasaan dan bagaimana ia diperlakukan, benar seperti apa yang dikatakannya; Hanya seorang Wilhelm Tell yang sangat mengerti bagaimana perasaannya. Bukan saya, kau atau kalian!

Sumber: acehtrend.co
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget