ESKALASI kekerasan menjelang Pemilihan Kepala Daerah mulai terasa. Di Aceh Timur, aksi intimidasi dan kekerasan dirasakan oleh petugas pemilihan. Di Aceh Besar, spanduk kandidat bupati dirusak. Di Nagan Raya dan sejumlah daerah, hal sama juga terjadi.
Kekerasan adalah cara paling primitif dalam berdemokrasi. Parahnya, hal ini masih diyakini sebagai salah satu cara untuk memenangkan pertarungan. Minimnya pengetahuan politik menjadi salah satu alasan peningkatan jumlah kekerasan ini akan terus terjadi hingga menjelang pelaksanaan pilkada nanti.
Perlu cara-cara persuasif dalam menangani hal ini. Bukan berarti membiarkan. Setiap pelanggaran harus benar-benar terdata dan diproses, namun di saat
bersamaan, para penyelenggara pemilu harus benar-benar memberikan pemahaman politik yang benar kepada masyarakat.
Para kandidat dan tim utama pemenangan juga harus bersikap gentleman dengan benar-benar memberikan janji mereka untuk menjaga pelaksanaan pilkada tetap aman. Bagaimanapun, kendali terhadap para simpatisan di lapangan ada di tangan mereka. Mustahil para pendukung bersikap irasional tanpa perintah dari mereka yang berkepentingan.
Aktivis antikekerasan, Destika Gilang Lestari, memperkirakan empat bulan sebelum puncak pelaksanaan demokrasi ini akan benar-benar menjadi masa krusial. Intimidasi, bahkan kekerasan, tidak mustahil terjadi jika tidak diantisipasi sejak dini.
Badan Pengawas Pemilu juga harus bertindak proaktif. Tidak boleh membiarkan kecurangan-kecurangan dan aksi intimidasi. Dengan menggandeng pihak kepolisian, Bawaslu harusnya bisa menuntaskan aksi-aksi yang meresahkan tersebut.
Tanpa penindakan terhadap aksi intimidasi dan kekerasan ini, akan tumbuh sikap agresif. Ini jelas tidak baik bagi penyelenggaraan pemilihan nanti. Menindak para pelaku kekerasan adalah upaya menyejajarkan mereka di mata hukum.[Sumber: AjJNN.Net]
Kekerasan adalah cara paling primitif dalam berdemokrasi. Parahnya, hal ini masih diyakini sebagai salah satu cara untuk memenangkan pertarungan. Minimnya pengetahuan politik menjadi salah satu alasan peningkatan jumlah kekerasan ini akan terus terjadi hingga menjelang pelaksanaan pilkada nanti.
Perlu cara-cara persuasif dalam menangani hal ini. Bukan berarti membiarkan. Setiap pelanggaran harus benar-benar terdata dan diproses, namun di saat
bersamaan, para penyelenggara pemilu harus benar-benar memberikan pemahaman politik yang benar kepada masyarakat.
Para kandidat dan tim utama pemenangan juga harus bersikap gentleman dengan benar-benar memberikan janji mereka untuk menjaga pelaksanaan pilkada tetap aman. Bagaimanapun, kendali terhadap para simpatisan di lapangan ada di tangan mereka. Mustahil para pendukung bersikap irasional tanpa perintah dari mereka yang berkepentingan.
Aktivis antikekerasan, Destika Gilang Lestari, memperkirakan empat bulan sebelum puncak pelaksanaan demokrasi ini akan benar-benar menjadi masa krusial. Intimidasi, bahkan kekerasan, tidak mustahil terjadi jika tidak diantisipasi sejak dini.
Badan Pengawas Pemilu juga harus bertindak proaktif. Tidak boleh membiarkan kecurangan-kecurangan dan aksi intimidasi. Dengan menggandeng pihak kepolisian, Bawaslu harusnya bisa menuntaskan aksi-aksi yang meresahkan tersebut.
Tanpa penindakan terhadap aksi intimidasi dan kekerasan ini, akan tumbuh sikap agresif. Ini jelas tidak baik bagi penyelenggaraan pemilihan nanti. Menindak para pelaku kekerasan adalah upaya menyejajarkan mereka di mata hukum.[Sumber: AjJNN.Net]
loading...
Post a Comment