Pada pertengahan bulan Syakban, masyarakat Aceh melaksanakan khanduri beureu�at dan shalat tasbih di meunasah-meunasah. Di ujung bulan ini juga akan diadakan meugang, tradisi makan daging sehari menjelang Ramadhan.
Khanduri Beureu�at dilaksanakan pada 15 Syakban disebut juga sebagai nisfu Syakban. Pada malam itu, masyarakat gampong mengadakan kenduri dan mengundang seorang teungku untuk menyampaikan ceramah. Kenduri ini dilaksanakan untuk menyambut bulan suci Ramadhan, setelah selesai ceramah dan shalat tasbih, para hadirin akan makan kenduri bersama-sama yang dibawakan oleh masyarakat desa setempat.
Khanduri beureu�at selain disebut sebagai nisfu Syakban juga dikenal sebagai laylatul Bara�ah. Diyakini dari kata Bara�ah dalam bahasa Arab ini menjadi asal usul kata beureu�t dalam masyarakat Aceh.
Hajatan khanduri beureu�at ini diadakan sebagai wujud untuk mendapatkan keberkatan umur dari Allah SWT, karena diyakini pada malam tersebut Allah SWT akan menentukan umur hamba untuk tahun berikutnya. Pada malam itu masyarakat akan membawa kenduri ke meunasah, kenduri itu akan dimakan setelah selesai shalat tasbih dan berdoa bersama.
Pada malam 15 Syakban para teungku di desa-desa usai kenduri di meunasah tidak akan tidur. Mereka akan kembali ke rumah untuk melanjutkan berdoa kepada Allah SWT, agar umurnya diberkati untuk tahun depan dan segala musibah yang akan dihadapinya tahun depan dihapuskan dalam buku qada dan qadar yang akan ditulis oleh Allah SWT atas namanya.
Seumeusie Meugang
Pada tiga hari terakhir bulan Syakban, masyarakat Aceh disibukkan dengan persiapan untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Setiap rumah akan melakukan seumeusi meugang (menyembelih hewan) untuk bekal makanan selama puasa.
Perayaan meugangdi Aceh selain unik dan religius juga mengandung nilai kebersamaan. Tradisi meugang tidak hanya memiliki makna lahiriah sebagai perayaan menikmati daging sapi, melainkan juga memiliki beberapa dimensi nilai yang berpulang pada ajaran Islam dan adat istiadat masyarakat Aceh.
Pelaksanaan tradisi meugang memang bermula dari upaya masyarakat Aceh untuk merayakan datangnya bulan puasa dan dua hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Bagi masyarakat muslim pada umumnya, datangnya bulan Ramadhan disambut dengan gegap gempita. Tak terkecuali bagi masyarakat Aceh.
Meugang yang dilaksanakan sebelum puasa merupakan upaya untuk mensyukuri datangnya bulan yang penuh berkah. Meugang pada Hari Raya Idul Fitri adalah sebentuk perayaan setelah sebulan penuh menyucikan diri pada bulan Ramadhan. Sementara meugang menjelang Idul Adha adalah bentuk terima kasih karena masyarakat Aceh dapat melaksanakan Hari Raya Qurban.
Sejak zaman Kerajaan Aceh Darussalam, perayaan meugang telah menjadi salah satu momen berharga bagi para dermawan dan petinggi istana untuk membagikan sedekah kepada masyarakat fakir miskin. Kebiasaan berbagi daging meugangini hingga kini tetap dilakukan oleh para dermawan di Aceh. Tak hanya para dermawan, momen datangnya hari meugang juga telah dimanfaatkan sebagai ajang kampanye oleh calon-calon wakil rakyat, calon pemimpin daerah, maupun partai-partai di kala menjelang Pemilu.
Selain dimanfaatkan oleh para dermawan untuk berbagi rejeki, perayaan meugangjuga menjadi hari yang tepat bagi para pengemis untuk meminta-minta di pasar maupun pusat penjualan daging sapi. Para pengemis ini meminta sepotong atau beberapa potong daging kepada para pedagang. Ini berkaitan dengan terbangunnya nilai sosial atau kebersamaan.
Tradisi meugang yang melibatkan sektor pasar, keluarga inti maupun luas, dan sosial menjadikan suasana kantor-kantor pemerintahan, perusahaan-perusahaan swasta, serta lembaga pendidikan biasanya akan sepi sebab para karyawannya lebih memilih berkumpul di rumah. Orang-orang yang merantau pun bakal pulang untuk berkumpul menyantap daging sapi bersama keluarga. Perayaan meugangmenjadi penting karena pada hari itu akan berlangsung pertemuan silaturrahmi di antara saudara yang ada di rumah dan yang baru pulang dari perantauan.
Pentingnya tradisi meugang, menjadikan perayaan ini seolah telah menjadi kewajiban budaya bagi masyarakat Aceh. Betapa pun mahal harga daging yang harus dibayar, namun masyarakat Aceh tetap akan mengupayakannya, sebab dengan cara ini masyarakat Aceh dapat merayakan kebersamaan dalam keluarga. Dengan kata lain, melalui tradisi meugang masyarakat Aceh selalu memupuk rasa persaudaraan di antara keluarga mereka.
Tradisi meugang juga menjadi ajang bagi para menantu untuk menaruh hormat kepada mertuanya. Seorang pria, terutama yang baru menikah, secara moril akan dituntut untuk menyediakan beberapa kilogram daging untuk keluarga dan mertuanya. Hal ini sebagai simbol bahwa pria tersebut telah mampu memberi nafkah keluarga serta menghormati mertuanya.[Iskandar Norman]