‘Apam APBA’ untuk ‘Aceh Troe’
Oleh Zulkipli R. Angkop
MISI ekonomi pemerintahan baru, Irwandi-Nova tampaknya sedang mengalami krisis kepercayaan publik. Aceh Troe adalah pernyataan misi ekonomi yang berisikan kebijakan umum dalam pembangunan ekonomi Aceh lima tahunan mendatang. Misi itu sedang dihadapkan pada sebuah kenyataan, di mana Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2018 untuk merealisasikannya, belum disahkan atau belum mendapat persetujuan bersama dengan DPRA selaku wakil rakyat.
Apa pun alasanya, saya cenderung melihat kenyataan ini sebagai kegagalan dan kelemahan Gubernur Aceh dalam membangun komunikasi politik dengan wakil rakyat. Irwandi Yusuf boleh berbangga dengan keberhasilan masa lalu di bidang kesehatan, namun kemampuannya dalam melihat efek buruk yang ditimbulkan dalam perekonomian akibat keterlambatan pengesahan APBA masih tergolong amatiran.
Prestasi yang luar biasa bagi Aceh jika eksekutif dan legislatif mampu mendisiplinkan atau menetapkan APBA tepat waktu, karena tahun-tahun sebelumnya RAPBA selalu terlambat disahkan. Terkadang bosan juga kita membaca misi-misi canggih dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA), jika masalah kerterlambatan pengesahan APBA terus berulang tiap tahun dan bahkan melewati batas periode gubernur alias “penyakit” pemerintahan periode lalu masih tertular pada pemerintahan saat ini.
–– ADVERTISEMENT ––
‘Kue rakyat’
Mari kita bicara dengan bahasa awam tentang APBA, karena APBA itu sendiri milik mayoritas masyarakat awam. Dalam bahasa sederhana, APBA itu adalah apam (“kue rakyat”), atau boleh dikatakan “isi dompet” (uang rakyat) yang mestinya segera dibelanjakan untuk menutupi segala jenis kebutuhan rakyat.
Jika uang tersebut tidak dapat dibelanjakan, sama saja dengan kita tidak memiliki uang. Kaitan dengan perekonomian secara umum sangat sederhana pula, kita dapat menjelaskan efek terlambatnya kucuran anggaran pemerintah terhadap perekonomian daerah, karena anggaran pemerintah merupakan satu variabel yang membentuk PDRB daerah. PDRB itu sendiri sering dikaitkan atau merupakan satu indikator kesejahteraan masyarakat yang berdomisili dalam suatu daerah.
Nah, itulah sebenarnya cacatan penting yang perlu kita pahami bersama sebagai masyarakat Aceh tentang RAPBA tahun ini yang sedang hangat diperdebatkan. Tarik ulur kepentingan para oknum-oknum pejabat terus berlanjut tanpa sedikitpun merasa bersalah kepada rakyatnya. Gubernur bersuara di medsos bahwa itu adalah misi penyelamatan uang rakyat, sedang para wakil rakyat membela hak-hak aspiratifnya yang sedang dicoba pangkas. Namun ketahuilah bahwa masyarakat kita tidak dalam posisi mewah menonton ini semua. Tontonan itu tentu tidak pada tempatnya di saat potret-potret kemiskinan, gizi buruk, pengangguran dan sebagainya sedang menjadi pemandangan umum dihampir seluruh pelosok Aceh.
Semestinya Gubernur Aceh harus fokus dalam mengawal proses perencanaan anggaran, apalagi pengalaman tahun-tahun sebelumnya APBA selalu terlambat pengesahanya. Gubernur mestinya memilki skenario yang tepat untuk percepatan pengesahan anggaran, apalagi alih-alih ke luar negeri untuk suatu urusan yang belum tentu manfaatnya untuk masyarakat Aceh tentu bukan sikap yang bijak dari seorang gubernur.
Kita dapat prediksikan jika pengesahan APBA dilakukan pada bulan februari mendatang, dapat dipastikan bahwa perekonomian Aceh pada triwulan pertama tanpa sumbangan apapun dari anggaran pemerintah. kondisi Aceh saat ini persis seperti seorang kaya raya dengan segepok uang dikantong berjalan di tengah-tengah kerumunan si miskin papa yang sedang kelaparan, wajar saja jika banyak orang mengatakan Aceh kaya, tapi rakyatnya miskin. Lalu masihkan Aceh Troe itu relevan menghadapi kenyataan ini? Saya yakin misi itu kini tinggal tulisannya saja dalam RPJMA.
Terkadang benar saja pernyataan-pernyataan humor di warung kopi, APBA harusnya menjadi/seperti “apam” yang mengenyangkan masyarakat Aceh (Aceh Troe). Apam merupakan makanan trdisional di Aceh, biasanya disajikan pada acara-acara adat dan digemari oleh seluruh lapisan masyarakat Aceh. Proses membuat Apam sangat sederhana dengan komposisi bahan baku yang minimalis, hanya butuh tepung beras, kelapa, garam dan sedikit gula. APBA itu sebenarnya tidak rumit, hanya pikiran-pikiran primitif kita yang membuatnya menjadi rumit. Wajar saja jika daerah-daerah yang terlambat dalam pembahasan APBD akan dikategorikan sebagai daerah “terbelakang” yang perlu pantauan khusus oleh Kemendagri.
Semestinya siap saji
Semestinya “apam rakyat” itu sudah matang dan siap saji sejak awal januari lalu, tidak perlu menunggu lama karena rakyat pun telah membayar gaji yang besar bagi para pemimpin dan wakil-wakilnya sebagai petugas membuat apam dan sekaligus pelayan (pramusaji) bagi mereka. Bukanlah mereka-mereka itu digaji untuk “bertengkar” dalam membuat apam, karena apam itu sendiri sangat mudah meraciknya.
Jika mereka lupa cara membuat apam, sampai harus memiliki tafsir masing-masing, maka sangat dianjurkan studi lagi ke seluruh pedalaman dan pelosok-pelosok Aceh. Di sana tentu akan ditemui wajah-wajah masyarakat kita yang menggugah perasaan iba. Saya yakin sekembalinya ke Kutaraja, palu pimpinan sidang akan terdengar nyaring bunyinya.
Kelihatannya kita belum mampu meninggalkan budaya last minute, berlama-lama di awal tahun anggaran lalu berkejaran dengan waktu di ujung tahun. Akan kurang bermakna kunjungan-kunjungan kerja akhir tahun dalam mengawasi proyek, jika di awal tahun kita melakukan kesalahan dalam dengan mengabaikan disiplin anggaran. Di pengujung tahun ini sebenarnya kita tidak ingin lagi menonton Pak Gubernur keliling Aceh dengan pesawat pribadinya untuk mengawasi proyek-proyek APBA yang deadline kontraknya terkadang hanya sisa dalam hitungan jam.
Sebagai catatan akhir, marilah kita berfikir jernih dalam mengurus kepentingan rakyat banyak. APBA itu masalah penting bagi rakyat Aceh saat ini, tidak layak dan sangat tidak etis jika para elite terus menjadikanya sebagai panggung mencari popularitas. Seolah-olah berperan sebagai penyelamat uang rakyat, dan menganggap pihak lain tidak mengerti persoalan, saya pikir itu hanyalah sikap apologi murahan. Demikian pula halnya yang punya hak aspiratif pun harus melihat baik-baik, sebenarnya aspirasi siapa sih yang sedang diperjuangkan?
* Zulkipli R. Angkop, alumnus Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Syiah Luala (Unsyiah) Banda Aceh, tinggal di Nagan Raya. Email: syiah_mugo@yahoo.co.id.
Dikutip dari serambinews.com
MISI ekonomi pemerintahan baru, Irwandi-Nova tampaknya sedang mengalami krisis kepercayaan publik. Aceh Troe adalah pernyataan misi ekonomi yang berisikan kebijakan umum dalam pembangunan ekonomi Aceh lima tahunan mendatang. Misi itu sedang dihadapkan pada sebuah kenyataan, di mana Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2018 untuk merealisasikannya, belum disahkan atau belum mendapat persetujuan bersama dengan DPRA selaku wakil rakyat.
Apa pun alasanya, saya cenderung melihat kenyataan ini sebagai kegagalan dan kelemahan Gubernur Aceh dalam membangun komunikasi politik dengan wakil rakyat. Irwandi Yusuf boleh berbangga dengan keberhasilan masa lalu di bidang kesehatan, namun kemampuannya dalam melihat efek buruk yang ditimbulkan dalam perekonomian akibat keterlambatan pengesahan APBA masih tergolong amatiran.
Prestasi yang luar biasa bagi Aceh jika eksekutif dan legislatif mampu mendisiplinkan atau menetapkan APBA tepat waktu, karena tahun-tahun sebelumnya RAPBA selalu terlambat disahkan. Terkadang bosan juga kita membaca misi-misi canggih dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA), jika masalah kerterlambatan pengesahan APBA terus berulang tiap tahun dan bahkan melewati batas periode gubernur alias “penyakit” pemerintahan periode lalu masih tertular pada pemerintahan saat ini.
–– ADVERTISEMENT ––
‘Kue rakyat’
Mari kita bicara dengan bahasa awam tentang APBA, karena APBA itu sendiri milik mayoritas masyarakat awam. Dalam bahasa sederhana, APBA itu adalah apam (“kue rakyat”), atau boleh dikatakan “isi dompet” (uang rakyat) yang mestinya segera dibelanjakan untuk menutupi segala jenis kebutuhan rakyat.
Jika uang tersebut tidak dapat dibelanjakan, sama saja dengan kita tidak memiliki uang. Kaitan dengan perekonomian secara umum sangat sederhana pula, kita dapat menjelaskan efek terlambatnya kucuran anggaran pemerintah terhadap perekonomian daerah, karena anggaran pemerintah merupakan satu variabel yang membentuk PDRB daerah. PDRB itu sendiri sering dikaitkan atau merupakan satu indikator kesejahteraan masyarakat yang berdomisili dalam suatu daerah.
Nah, itulah sebenarnya cacatan penting yang perlu kita pahami bersama sebagai masyarakat Aceh tentang RAPBA tahun ini yang sedang hangat diperdebatkan. Tarik ulur kepentingan para oknum-oknum pejabat terus berlanjut tanpa sedikitpun merasa bersalah kepada rakyatnya. Gubernur bersuara di medsos bahwa itu adalah misi penyelamatan uang rakyat, sedang para wakil rakyat membela hak-hak aspiratifnya yang sedang dicoba pangkas. Namun ketahuilah bahwa masyarakat kita tidak dalam posisi mewah menonton ini semua. Tontonan itu tentu tidak pada tempatnya di saat potret-potret kemiskinan, gizi buruk, pengangguran dan sebagainya sedang menjadi pemandangan umum dihampir seluruh pelosok Aceh.
Semestinya Gubernur Aceh harus fokus dalam mengawal proses perencanaan anggaran, apalagi pengalaman tahun-tahun sebelumnya APBA selalu terlambat pengesahanya. Gubernur mestinya memilki skenario yang tepat untuk percepatan pengesahan anggaran, apalagi alih-alih ke luar negeri untuk suatu urusan yang belum tentu manfaatnya untuk masyarakat Aceh tentu bukan sikap yang bijak dari seorang gubernur.
Kita dapat prediksikan jika pengesahan APBA dilakukan pada bulan februari mendatang, dapat dipastikan bahwa perekonomian Aceh pada triwulan pertama tanpa sumbangan apapun dari anggaran pemerintah. kondisi Aceh saat ini persis seperti seorang kaya raya dengan segepok uang dikantong berjalan di tengah-tengah kerumunan si miskin papa yang sedang kelaparan, wajar saja jika banyak orang mengatakan Aceh kaya, tapi rakyatnya miskin. Lalu masihkan Aceh Troe itu relevan menghadapi kenyataan ini? Saya yakin misi itu kini tinggal tulisannya saja dalam RPJMA.
Terkadang benar saja pernyataan-pernyataan humor di warung kopi, APBA harusnya menjadi/seperti “apam” yang mengenyangkan masyarakat Aceh (Aceh Troe). Apam merupakan makanan trdisional di Aceh, biasanya disajikan pada acara-acara adat dan digemari oleh seluruh lapisan masyarakat Aceh. Proses membuat Apam sangat sederhana dengan komposisi bahan baku yang minimalis, hanya butuh tepung beras, kelapa, garam dan sedikit gula. APBA itu sebenarnya tidak rumit, hanya pikiran-pikiran primitif kita yang membuatnya menjadi rumit. Wajar saja jika daerah-daerah yang terlambat dalam pembahasan APBD akan dikategorikan sebagai daerah “terbelakang” yang perlu pantauan khusus oleh Kemendagri.
Semestinya siap saji
Semestinya “apam rakyat” itu sudah matang dan siap saji sejak awal januari lalu, tidak perlu menunggu lama karena rakyat pun telah membayar gaji yang besar bagi para pemimpin dan wakil-wakilnya sebagai petugas membuat apam dan sekaligus pelayan (pramusaji) bagi mereka. Bukanlah mereka-mereka itu digaji untuk “bertengkar” dalam membuat apam, karena apam itu sendiri sangat mudah meraciknya.
Jika mereka lupa cara membuat apam, sampai harus memiliki tafsir masing-masing, maka sangat dianjurkan studi lagi ke seluruh pedalaman dan pelosok-pelosok Aceh. Di sana tentu akan ditemui wajah-wajah masyarakat kita yang menggugah perasaan iba. Saya yakin sekembalinya ke Kutaraja, palu pimpinan sidang akan terdengar nyaring bunyinya.
Kelihatannya kita belum mampu meninggalkan budaya last minute, berlama-lama di awal tahun anggaran lalu berkejaran dengan waktu di ujung tahun. Akan kurang bermakna kunjungan-kunjungan kerja akhir tahun dalam mengawasi proyek, jika di awal tahun kita melakukan kesalahan dalam dengan mengabaikan disiplin anggaran. Di pengujung tahun ini sebenarnya kita tidak ingin lagi menonton Pak Gubernur keliling Aceh dengan pesawat pribadinya untuk mengawasi proyek-proyek APBA yang deadline kontraknya terkadang hanya sisa dalam hitungan jam.
Sebagai catatan akhir, marilah kita berfikir jernih dalam mengurus kepentingan rakyat banyak. APBA itu masalah penting bagi rakyat Aceh saat ini, tidak layak dan sangat tidak etis jika para elite terus menjadikanya sebagai panggung mencari popularitas. Seolah-olah berperan sebagai penyelamat uang rakyat, dan menganggap pihak lain tidak mengerti persoalan, saya pikir itu hanyalah sikap apologi murahan. Demikian pula halnya yang punya hak aspiratif pun harus melihat baik-baik, sebenarnya aspirasi siapa sih yang sedang diperjuangkan?
* Zulkipli R. Angkop, alumnus Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Syiah Luala (Unsyiah) Banda Aceh, tinggal di Nagan Raya. Email: syiah_mugo@yahoo.co.id.
Dikutip dari serambinews.com