Ilustrasi: Dengan pengalaman dan kapasitas sumber daya yang minim, desa seperti berjalan meraba-raba dalam mengelola keuangan dan proyek yang besarnya. |
AMP - Dari tahun ke tahun jumlah Dana Desa terus meningkat. Pada 2015 total Dana Desa berjumlah Rp20,77 triliun. Tahun 2016 naik menjadi Rp46,98 triliun. Pada 2017 naik lagi menjadi Rp60 triliun.
Jika penyalurannya lancar dan dipergunakan secara tepat guna, seharusnya Dana Desa itu bisa memberikan manfaat besar kepada masyarakat desa. Jika dipergunakan untuk pembangunan infrastruktur, secara teoritis, dana desa seharusnya bisa meningkatkan daya beli masyarakat yang dilibatkan dalam proyek-proyek infrastruktur itu,
Praktiknya tidak sesederhana itu. Kita masih sering mendengar kabar pengaduan tentang korupsi Dana Desa. Tidak semua desa mampu memanfaatkan dana itu secara tepat guna. Dan, Dana Desa pun tidak lancar tersalurkan.
Tanpa menganggap remeh persoalan lainnya, ketidaklancaran penyaluran Dana Desa patut mendapat perhatian. Dana Desa yang mengendap, akibat ketidaklancaran tersebut, tentu akan membuat desa tak bisa menyerap dana yang telah dialokasikan. Itu berarti manfaat yang Dana Desa, yang dituju, tak tercapai.
Isu Dana Desa yang mengendap itu sudah terlihat sejak awal. Sampai Oktober 2015 baru sekitar sepertiga Dana Desa yang diserap dari total yang dianggarkan pemerintah pada tahun itu. Karena saat itu adalah tahun pertama, rendahnya penyerapan Dana Desa pada saat itu masih dimaklumi. Belakangan serapan Dana Desa tahun 2015 disebut mencapai 82%.
Bagaimana dengan tahun ini? Pada akhir November lalu Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo mengklaim bahwa Dana Desa tahun ini telah terserap 98 persen dari total Rp60 triliun.
Barangkali yang diklaim oleh Menteri Desa adalah jumlah Dana Desa yang telah disalurkan oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah; bukan Dana Desa yang telah diserap oleh masyarakat desa. Sebab sejumlah daerah mengakui masih banyak desa yang belum mencairkan Dana Desa.
Aceh, misal. Pada minggu ketiga November lalu Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (PMG) Aceh, Prof Dr Amhar Abubakar menyatakan, dari total Rp1,957 triliun, Dana Desa tahap II Aceh baru ditarik Rp188,916 miliar. Sisanya masih berada di rekening kas umum negara.
Di Sumatera Barat, dari total 885 nagari/desa, masih ada 293 nagari/desa sampai minggu ketiga November belum mencairkan dana desa tahap II. Dana desa sebesar Rp101 miliar, seperti dikatakan Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Sumatera Barat Syafrizal, masih mengendap di kas daerah.
Di Kabupaten Ogan Komering Ulu Sumatera Selatan, sampai akhir November lalu masih ada Dana Desa tahap II sebesar Rp1,2 miliar yang belum dicairkan oleh empat desa. Dana itu sekarang mengendap.
Direktur Jenderal Perimbangan Kementerian Keuangan Boediarso Teguh Widodo menyatakan, Kementerian Keuangan telah menyalurkan hampir seluruh Dana Desa yang telah dianggarkan. Dengan pagu Rp36 triliun, sejak April sampai akhir November lalu Dana Desa Tahap I telah ke pemerintah daerah mencapai 99,4 persen.
Sedangkan Dana Desa Tahap II, dengan pagu Rp24 triliun, sejak Agustus sampai akhir November lalu telah disalurkan ke pemerintah daerah sebanyak 77,8 persen.
Namun belum semua Dana Desa yang sudah ditransfer ke pemerintah daerah itu diteruskan ke desa-desa. Di beberapa daerah, seperti dikatakan Boediarso Teguh Widodo, Dana desa yang masih mengendap di rekening kas umum daerah mencapai Rp12,88 triliun untuk 22.884 desa.
Dana Desa yang cukup besar itu belum bisa dicairkan karena persyaratan administrasi belum dipenuhi.
Jumlah besar Dana Desa yang mengendap di kas pemerintah daerah itu seharusnya menjadi sinyal bahwa perlu penanganan serius agar penyaluran dan pemanfaatan Dana Desa bisa lebih optimal. Persyaratan administrasi tetap haruslah ada sebagai bagian dari ketertiban, dan sebagai alat kontrol ketepatan penggunaan dan penghindaran penyelewengan dana,
Bagaimanapun desa belum pernah mengelola keuangan yang sangat besar sebelumnya. Dengan pengalaman dan kapasitas sumber daya yang minim, desa seperti berjalan meraba-raba dalam mengelola keuangan dan proyek yang besarnya.
Di satu sisi, desa mendapatkan kesempatan yang besar untuk mandiri. Pada saat yang sama, desa harus sangat teliti dan cermat agar tidak terperosok ke dalam tindakan korupsi.
Tanpa perlu melonggarkan pengawasannya, Presiden Joko Widodo pernah meminta agar sesegera mungkin dilakukan penyederhanaan sistem pelaporan dan pertanggungjawaban Dana Desa.
"Saya titip agar lebih optimal, warga desa jangan terlalu dibebankan dengan hal-hal yang bersifat administratif," kata Presiden.
Hal itu bisa menjadi salah satu jalan untuk mengatasi persoalan penyaluran Dana Desa. Namun, yang lebih penting adalah meningkatkan kemampuan desa dalam mengelola dana yang mereka terima.
Peningkatan kapasitas itu jelas harus mencakup juga peningkatan kemampuan dalam menangani administrasi pengelolaan Dana desa. Namun hal itu tentu bukan satu-satunya yang terpenting.
Peningkatan kapasitas desa itu pertama-tama harus diarahkan agar desa bisa mandiri, seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang Desa. Desa, misal, harus bisa merumuskan kebutuhan dan memutuskan cara memenuhinya dengan memanfaatkan Dana Desa yang mereka terima.
Arahan-arahan dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah seharusnya dilakukan hanya dalam rangka memastikan cita-cita kemandirian itu dan untuk mensikronkannya dengan pembangunan nasional.
Dalam peningkatan kapasitas tersebut, peran pendamping desa sangatlah penting. Itu sebabnya semua pihak harus berani mengevaluasi para pendamping yang dianggap tidak mempunyai kompetensi dalam mewujudkan amanat Undang-undang Desa.
Terlebih, memasuki tahun politik, semua pihak harus menahan diri agar tidak mengotori geliat pembangunan desa itu dengan kepentingan elektoral.[beritagar.id]
Jika penyalurannya lancar dan dipergunakan secara tepat guna, seharusnya Dana Desa itu bisa memberikan manfaat besar kepada masyarakat desa. Jika dipergunakan untuk pembangunan infrastruktur, secara teoritis, dana desa seharusnya bisa meningkatkan daya beli masyarakat yang dilibatkan dalam proyek-proyek infrastruktur itu,
Praktiknya tidak sesederhana itu. Kita masih sering mendengar kabar pengaduan tentang korupsi Dana Desa. Tidak semua desa mampu memanfaatkan dana itu secara tepat guna. Dan, Dana Desa pun tidak lancar tersalurkan.
Tanpa menganggap remeh persoalan lainnya, ketidaklancaran penyaluran Dana Desa patut mendapat perhatian. Dana Desa yang mengendap, akibat ketidaklancaran tersebut, tentu akan membuat desa tak bisa menyerap dana yang telah dialokasikan. Itu berarti manfaat yang Dana Desa, yang dituju, tak tercapai.
Isu Dana Desa yang mengendap itu sudah terlihat sejak awal. Sampai Oktober 2015 baru sekitar sepertiga Dana Desa yang diserap dari total yang dianggarkan pemerintah pada tahun itu. Karena saat itu adalah tahun pertama, rendahnya penyerapan Dana Desa pada saat itu masih dimaklumi. Belakangan serapan Dana Desa tahun 2015 disebut mencapai 82%.
Bagaimana dengan tahun ini? Pada akhir November lalu Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo mengklaim bahwa Dana Desa tahun ini telah terserap 98 persen dari total Rp60 triliun.
Barangkali yang diklaim oleh Menteri Desa adalah jumlah Dana Desa yang telah disalurkan oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah; bukan Dana Desa yang telah diserap oleh masyarakat desa. Sebab sejumlah daerah mengakui masih banyak desa yang belum mencairkan Dana Desa.
Aceh, misal. Pada minggu ketiga November lalu Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (PMG) Aceh, Prof Dr Amhar Abubakar menyatakan, dari total Rp1,957 triliun, Dana Desa tahap II Aceh baru ditarik Rp188,916 miliar. Sisanya masih berada di rekening kas umum negara.
Di Sumatera Barat, dari total 885 nagari/desa, masih ada 293 nagari/desa sampai minggu ketiga November belum mencairkan dana desa tahap II. Dana desa sebesar Rp101 miliar, seperti dikatakan Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Sumatera Barat Syafrizal, masih mengendap di kas daerah.
Di Kabupaten Ogan Komering Ulu Sumatera Selatan, sampai akhir November lalu masih ada Dana Desa tahap II sebesar Rp1,2 miliar yang belum dicairkan oleh empat desa. Dana itu sekarang mengendap.
Direktur Jenderal Perimbangan Kementerian Keuangan Boediarso Teguh Widodo menyatakan, Kementerian Keuangan telah menyalurkan hampir seluruh Dana Desa yang telah dianggarkan. Dengan pagu Rp36 triliun, sejak April sampai akhir November lalu Dana Desa Tahap I telah ke pemerintah daerah mencapai 99,4 persen.
Sedangkan Dana Desa Tahap II, dengan pagu Rp24 triliun, sejak Agustus sampai akhir November lalu telah disalurkan ke pemerintah daerah sebanyak 77,8 persen.
Namun belum semua Dana Desa yang sudah ditransfer ke pemerintah daerah itu diteruskan ke desa-desa. Di beberapa daerah, seperti dikatakan Boediarso Teguh Widodo, Dana desa yang masih mengendap di rekening kas umum daerah mencapai Rp12,88 triliun untuk 22.884 desa.
Dana Desa yang cukup besar itu belum bisa dicairkan karena persyaratan administrasi belum dipenuhi.
Jumlah besar Dana Desa yang mengendap di kas pemerintah daerah itu seharusnya menjadi sinyal bahwa perlu penanganan serius agar penyaluran dan pemanfaatan Dana Desa bisa lebih optimal. Persyaratan administrasi tetap haruslah ada sebagai bagian dari ketertiban, dan sebagai alat kontrol ketepatan penggunaan dan penghindaran penyelewengan dana,
Bagaimanapun desa belum pernah mengelola keuangan yang sangat besar sebelumnya. Dengan pengalaman dan kapasitas sumber daya yang minim, desa seperti berjalan meraba-raba dalam mengelola keuangan dan proyek yang besarnya.
Di satu sisi, desa mendapatkan kesempatan yang besar untuk mandiri. Pada saat yang sama, desa harus sangat teliti dan cermat agar tidak terperosok ke dalam tindakan korupsi.
Tanpa perlu melonggarkan pengawasannya, Presiden Joko Widodo pernah meminta agar sesegera mungkin dilakukan penyederhanaan sistem pelaporan dan pertanggungjawaban Dana Desa.
"Saya titip agar lebih optimal, warga desa jangan terlalu dibebankan dengan hal-hal yang bersifat administratif," kata Presiden.
Hal itu bisa menjadi salah satu jalan untuk mengatasi persoalan penyaluran Dana Desa. Namun, yang lebih penting adalah meningkatkan kemampuan desa dalam mengelola dana yang mereka terima.
Peningkatan kapasitas itu jelas harus mencakup juga peningkatan kemampuan dalam menangani administrasi pengelolaan Dana desa. Namun hal itu tentu bukan satu-satunya yang terpenting.
Peningkatan kapasitas desa itu pertama-tama harus diarahkan agar desa bisa mandiri, seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang Desa. Desa, misal, harus bisa merumuskan kebutuhan dan memutuskan cara memenuhinya dengan memanfaatkan Dana Desa yang mereka terima.
Arahan-arahan dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah seharusnya dilakukan hanya dalam rangka memastikan cita-cita kemandirian itu dan untuk mensikronkannya dengan pembangunan nasional.
Dalam peningkatan kapasitas tersebut, peran pendamping desa sangatlah penting. Itu sebabnya semua pihak harus berani mengevaluasi para pendamping yang dianggap tidak mempunyai kompetensi dalam mewujudkan amanat Undang-undang Desa.
Terlebih, memasuki tahun politik, semua pihak harus menahan diri agar tidak mengotori geliat pembangunan desa itu dengan kepentingan elektoral.[beritagar.id]
loading...
Post a Comment